Casa Del Castaneda
Granada, Spanyol bagian selatan.
Seorang wanita yang mengenakan midi dress floral berwana biru, berlari di dalam koridor rumah sakit. Untunglah dia hanya menggunakan sandal tipis, sehingga derap langkahnya tak menimbulkan suara menganggu bagi para pengunjung lain di rumah sakit itu. Wanita berambut cokelat tadi baru berhenti, ketika dirinya tiba di depan ruang ICU. Wajah pucat tanpa polesan make up yang tadinya masih menunjukkan sebuah harapan, tiba-tiba menjadi muram. Sepasang iris berwarna hazel miliknya, langsung berkaca-kaca saat melihat seorang wanita paruh baya yang sudah berurai air mata. “Bibi ….” Suara wanita bertubuh langsing itu parau, bahkan hampir tak tak terdengar.
Namun, wanita paruh baya yang sedang menangis tadi dapat mendengar suara parau itu di sela isakannya. Wanita yang dipanggil dengan sebutan ‘bibi’ tersebut segera menoleh. “Paloma.” Dia menyebutkan nama wanita muda yang berjalan pelan ke arahnya. “Mereka sudah melepas seluruh alat medis,” ucap wanita paruh baya itu lagi sambil terus meneteskan air mata. “Nilo … aku tak akan mengasuh anak itu lagi …,” ratap si wanita dengan cardigan rajut merah hati. Dia menutupi wajah menggunakan kedua telapak tangan.
Sementara, Paloma seketika membeku untuk beberapa saat. Tatapannya tertuju pada ruangan di mana ada beberapa perawat keluar dari sana. Paloma memaksakan kakinya untuk melangkah, hingga dia tiba di depan pintu yang terbuka. Di sana, terbaring tubuh mungil yang sudah ditutupi seluruhnya oleh kain berwarna putih.
Air mata menetes tanpa harus diminta. Kepedihan dan rasa sakit yang tak akan pernah terobati dengan sejuta tawa bahagia sampai kapanpun. Ya, anak itu telah pergi. Menyerah pada penyakit yang membuatnya harus meregang nyawa.
“Nilo! Putraku!” tangis Paloma pecah. Dipeluknya jasad yang sudah terbujur kaku di ranjang rumah sakit. Tempat yang akan menghadirkan kenangan buruk bagi wanita dua puluh lima tahun tersebut. “Bangun, Nak! Aku sudah mendapatkan sedikit uang untuk menyambung kehidupanmu. Bagaimana mungkin harus kugunakan uang ini untuk biaya pemakamanmu. Tidak!” Paloma berteriak nyaring, membuat dua perawat yang masih berada di sana segera menghampiri.
Salah satu dari mereka, meraih tubuh Paloma agar melepaskan jasad Nilo.
“Hentikan, Nyonya. Kami dapat memahami perasaan Anda. Akan tetapi, inilah takdir Tuhan,” ucap salah seorang perawat yang memegangi kedua lengan Paloma dari samping.
“Putra Anda sudah berjuang melawan rasa sakitnya selama ini. Dia anak yang hebat, karena dirinya tak pernah menangis meskipun ada banyak jarum suntik yang menusuk kulitnya. Dia sangat luar biasa,” timpal seorang perawat lain.
Sebagai seorang wanita, kedua petugas medis itu pasti dapat merasakan kehancuran hati Paloma. Walaupun tentunya tak ada yang dapat menggambarkan seberapa besar kesedihan tersebut.
......................
Sore yang cerah, tapi terasa begitu muram bagi Paloma. Wanita bermata hazel itu duduk menyamping di lantai sambil bersandar pada dinding. Dipandanginya wajah sang anak tercinta, Diego Nilo Sanchez atau yang akrab disapa Nilo. Tak bosan-bosan, Paloma mengecup wajah anak berusia lima tahun tersebut melalui selembar foto. Setelah itu, Paloma mendekap foto tadi. Menempelkan erat di dada.
“Paloma,” sapa wanita paruh baya yang kemarin ada di rumah sakit. Dia masuk ke kamar dan berjalan menghampiri wanita yang tak membalas sapaannya, bahkan menoleh pun tidak. Paloma masih bersandar pada dinding, dengan posisi duduk yang belum berubah sejak tadi.
“Makanlah dulu, Nak,” ucap wanita yang tak lain adalah Teresa Calderon, tetangga baik hati dan sudah dianggap keluarga oleh Paloma.
“Aku tidak lapar, Bibi,” jawab Paloma lesu. Tak ada semangat sama sekali dalam dirinya. Berbeda dengan ciri khas yang selama ini melekat pada karakter wanita dua puluh lima tahun tersebut.
“Kau tidak makan sejak dua hari yang lalu,” ucap Teresa. Dia merasa iba dengan kondisi Paloma.
“Nilo-ku juga belum makan. Dia pasti kelaparan,” racau Paloma. Air mata kembali membasahi pipinya.
Teresa ikut menangis, setelah mendengar nama bocah yang selama ini kerap dia asuh sepanjang hari disebut. Karena itulah, wanita bertubuh agak gemuk itu tak kuasa menahan kepedihannya yang mendalam. “Aku juga menyayangi putramu. Sama seperti kau,” ucap wanita berusia setengah abad itu pilu. “Nilo tak pernah kuanggap sebagai orang lain. Dia adalah cucuku.” Teresa terisak pelan.
Terbayang kembali dalam ingatannya, ketika Paloma akan melahirkan seorang diri. Teresa merupakan tetangga terdekat di rumah susun itu. Rumahnya bersebelahan dengan tempat tinggal Paloma, meskipun status ibunda Nilo hanya penyewa di sana.
Sebenarnya, Paloma masih terikat pernikahan dengan seorang pria bernama Rafael Hernandez. Saat usia kandungannya baru menginjak sekitar enam bulan, Rafael memutuskan untuk merantau ke Porcuna sebagai buruh di perkebunan zaitun bersama beberapa rekannya.
Pada awal kepergian, Rafael masih kerap mengirimkan sebagian dari upah yang dia dapatkan kepada Paloma. Namun, setelah beberapa bulan kemudian semua berubah. Jangankan uang, tak ada kabar sama sekali yang Paloma dengar tentang keadaan sang suami. Pria itu menghilang bagai ditelan bumi.
Hingga tiba waktunya Paloma melahirkan, Rafael tak pernah kembali. Paloma harus berjuang sendiri. Menghidupi dia dan putra semata wayangnya, Nilo. Namun, kini Nilo pun pergi meninggalkan Paloma untuk selamanya. Wanita malang itu benar-benar sebatang kara.
“Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Nak?” tanya Teresa setelah beberapa hari berlalu.
Paloma sudah mulai bangkit dari keterpurukanya. Dia kembali menjalani hari-hari dengan normal, meskipun tetap ada satu sisi hati yang terasa kosong. “Entahlah, Bibi. Aku belum bisa berpikir dengan jernih.” Wanita berambut cokelat itu duduk menghadapi makanan yang dihidangkan oleh Teresa.
“Apakah Paman Alonso tidak marah, karena Bibi sering menemaniku di sini?” Paloma mengarahkan pandangan pada wanita paruh baya yang selama ini tak memiliki anak dari hasil pernikahannya. Namun, Teresa dan Alonso saling menerima kekurangan satu sama lain.
“Kau tahu bahwa dia juga sangat menyayangimu,” jawab Teresa diiringi senyuman lembut penuh kasih. Dia mulai menyantap makanan dalam piring di hadapannya. “Hampir saja aku lupa,” ucap wanita berambut kelabu-putih itu.
“Ada apa, Bibi?” tanya Paloma menghentikan sejenak santap siangnya. “Kemarin, Nyonya Soledad mengatakan bahwa akan ada rombongan ke Porcuna. Perkebunan Zaitun Castaneda sedang membutuhkan banyak pekerja.” Teresa meneguk minumannya sebelum lanjut bercerita.
“Lalu?” tanya Paloma dengan raut yang tiba-tiba aneh.
“Barangkali, kau hendak menitip surat atau ….”
“Untuk apa, Bibi?” sela Paloma. Dia meletakkan sendok yang sedang dipegangnya.
“Bagaimanapun juga, Rafael harus mengetahui kondisimu saat ini ….”
“Jika Rafael masih peduli, maka dia tidak akan pernah mencampakkanku. Rafael pasti kembali. Terlebih, aku sedang mengandung saat dia pergi. Namun, buktinya hingga tahun berganti ….” Paloma menyeka air mata yang kembali membasahi pipi. “Rafael tak pernah kembali. Aku sudah tak mengharapkannya lagi,” tegas Paloma.
Teresa begitu terenyuh dengan segala hal yang menimpa wanita muda di hadapannya. Andai saja dia merupakan orang berada, maka Teresa akan melimpahkan seluruh harta yang dimilikinya untuk Paloma. Namun, kondisi Teresa dan Alonso pun tak jauh berbeda dengan wanita yang baru kehilangan putra tercintanya itu.
Teresa menyentuh punggung tangan Paloma dengan lembut. Dia hanya mampu memberikan dukungan secara moril kepada wanita malang tersebut. Namun, Teresa akan selalu berusaha untuk membantu sebisanya. “Bukan itu maksudku, Nak,” ucap wanita paruh baya tersebut beberapa saat kemudian. “Seberapa keji hati suamimu? Apakah dia benar-benar tak memiliki perasaan?”
“Apa menurut Bibi Rafael masih ada di Porcuna? Di perkebunan Castaneda.” Paloma terdengar ragu. Dia menggeleng. “Aku tidak yakin,” ucapnya lagi.
“Baiklah. Aku tak akan memaksa. Ini hanya pemikiranku,” balas Teresa. “Ayo. Lanjutkan makanmu.”
Selang beberapa hari dari perbincangan tadi, Paloma terus merenungkan apa yang Teresa katakan. Memang benar bahwa dia masih memiliki seorang suami, meskipun Paloma sudah terbiasa melakukan segalanya sendirian.
Keesokan harinya, Paloma kembali menemui Teresa. Kebetulan, di sana juga masih ada Alonso yang belum pergi berjualan. “Aku akan ke pergi Porcuna,” putus Paloma.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
bikin haru
2023-08-09
1
Sulati Cus
baru baca udah nyesek
2023-06-07
2
Puspa Bintang
author hebat .. ceritamu unik
2023-04-29
2