Paloma kembali terdiam dan berpikir. Namun, apa yang ada dalam benak wanita muda itu seketika sirna, saat Martin kembali bersuara. “Tolong, jangan minta menemui Calos Martinez sekarang. Ini adalah waktunya bagi kami untuk beristirahat.”
“Apa yang dikatakan Tuan Aguire memang benar, Nona,” timpal Antonio setelah mematikan kembali komputernya. Pria berambut gelap tadi beranjak dari tempat duduk, lalu berpamitan. Antonio keluar meninggalkan Paloma dan Martin berdua di dalam ruangan tadi.
“Bagaimana, Nona de Luna? Apa keputusanmu sekarang?” tanya Martin.
“Aku ….” Paloma terlihat ragu.
“Ini sudah malam. Sebaiknya kau kuantar ke tempat para pelayan,” putus pria tampan dengan kemeja kotak-kotak itu. Tanpa menunggu jawaban dari Paloma, Martin beranjak keluar. Dia kembali mematikan lampu serta mengunci pintu, setelah Paloma mengikuti dirinya. Martin mengarahkan wanita muda dengan midi dress floral tersebut, kembali melewati koridor panjang dekat taman air mancur tadi.
“Memangnya, tidak apa-apa jika aku menginap di sini tanpa bekerja?” tanya Paloma sambil berjalan mengikuti langkah tegap Martin.
“Seharusnya kau sudah pergi sejak tadi,” sahut Martin tanpa menghentikan langkah atau menoleh kepada Paloma.
Paloma sendiri tak segera menanggapi. Wanita bermata hazel tersebut kembali teringat pada sang suami, yang entah berada di mana saat ini. Perasaannya makin tak karuan. Paloma masih memilih diam, hingga mereka tiba di depan pintu sebuah kamar.
Kamar tersebut berada di bagian belakang bangunan megah itu. Martin mengetuknya pelan. Tanpa harus menunggu lama, seseorang membuka pintu tadi dari dalam.
Wajah Raquela muncul. Pandangan wanita paruh baya berpostur tinggi besar tersebut langsung tertuju pada Paloma. Setelah memperhatikan wanita muda berambut cokelat itu untuk beberapa saat, barulah Raquela mengalihkan perhatiannya kepada Martin. “Bagaimana, Tuan Aguire?” tanyanya membuka suara.
“Biarkan Nona de Luna menginap malam ini. Anda tidak perlu khawatir. Aku yang akan menangani, jika nanti ada masalah dengan Tuan Sebastian,” jawab Martin. “Tolong sediakan tempat tidur untuknya.”
“Baiklah, Tuan Aguire. Aku akan menyuruh Matilde untuk mengantarnya ke kamar pelayan yang masih kosong.” Raquela mengangguk setuju.
Setelah itu, Martin melirik sesaat kepada Paloma yang masih diam. Pria tampan tersebut mengangguk pada Raquela sebagai isyarat bahwa dia hendak berpamitan. Martin yang sudah sangat lelah dengan aktivitasnya setelah bekerja seharian, segera berlalu dari hadapan kedua wanita itu.
Sepeninggal Martin, Raquela mengajak Paloma menemui Matilde. Matilde merupakan wakil kepala pelayan di sana. Wanita itu berusia lebih muda dari Raquela.
Matilde mengantar Paloma ke kamar yang akan ditempati olehnya. Kamar itu berada paling belakang. Di sana juga terdapat nomor yang ditempel pada pintu. Hal itu dikarenakan ada beberapa kamar yang disediakan untuk para pelayan. Sesuatu yang wajar, berhubung bangunan Casa del Castaneda sangat besar dan luas. Tempat seperti itu tentu membutuhkan banyak orang untuk merawatnya agar selalu bersih juga rapi.
Matilde mengetuk pintu kamar bernomor 25. Dia menunggu hingga seseorang membukanya dari dalam. Tampaklah seraut wajah manis dengan kulit putih. Wanita itu sepertinya memiliki usia yang sama dengan Paloma. “Selamat malam, Flor. Untuk malam ini, kau tak akan tidur sendiri,” ucap Matilde seraya mengarahkan pandangan kepada Paloma.
“Oh. Terima kasih, Nyonya Moreno.” Wanita muda bernama Flor tadi mengangguk dengan diiringi senyuman hangat. Sedangkan, Matilde membalasnya dengan senyuman simpul. Tanpa banyak bicara lagi, wakil kepala pelayan tersebut meninggalkan kedua wanita muda itu di depan kamar nomor 25 tadi.
“Masuklah,” ajak Flor ramah. Wanita muda berambut pirang itu terus mempertahankan senyuman hangat. “Namaku Flor Ceballos. Siapa namamu?” tanyanya.
“Paloma,” jawab wanita berambut cokelat dengan dress floral itu, sambil meletakkan tas yang sedari tadi dia jinjing di atas buffet kayu. “Paloma Sanchez de Luna.”
“Paloma,” ulang Flor. “Letakkan saja tasmu di sana,” tunjuknya pada sebuah lemari kayu berukuran kecil, yang berada di dekat ranjang tingkat. “Itu akan jadi lemari pakaianmu, Paloma,” ucap Flor lagi.
Paloma tak banyak bicara. Dia tersenyum, kemudian mengangguk. Paloma mengikuti ucapan Flor. Dia meletakkan tasnya di atas lemari kayu berukuran kecil tadi.
“Aku tidur di ranjang atas, dan kau di bawah,” ucap Flor lagi. Sepertinya, wanita muda berambut pirang itu merupakan seseorang yang supel. Dia tak terlihat canggung, meskipun baru bertemu dengan Paloma. “Tadinya, aku menempati kamar ini bersama seorang teman. Namun, dia mengundurkan diri sekitar dua minggu yang lalu. Syukurlah, sekarang aku tak sendirian lagi.” Flor terus berceloteh.
“Aku tidak bekerja di sini. Aku hanya menginap untuk malam ini saja,” ujar Paloma yang seketika membuat Flor menautkan alisnya.
Sementara, Paloma memilih duduk di tepian ranjang. Tubuhnya terasa begitu lelah.
“Maksudmu?” Flor memasang wajah tak mengerti. Namun, Paloma tak menjawab apalagi menjelaskan panjang lebar. Si pemilik mata hazel tersebut hanya tersenyum saat menanggapinya.
Malam kian larut. Ia merayap perlahan, menjemput suasana sunyi di sekitar Casa del Castaneda. Ketika semua penghuni tempat itu terlelap dalam buaian mimpi indah, Paloma justru terjaga dari tidurnya. Seperti biasa, bayangan Nilo kembali hadir dan mengusik kerinduan Paloma terhadap sang putra yang telah tiada.
Paloma duduk termenung sambil bersandar pada dinding, karena tempat tidur itu memang sengaja diletakkan di pinggir. Tanpa terasa, air mata kembali terjatuh di sudut bibir. Sebisa mungkin, wanita itu menahan tangisnya. Namun, perasaan hancur dalam dada tak mampu dia kendalikan. Akhirnya, Paloma memutuskan keluar kamar.
Dalam keremangan koridor, Paloma terus berjalan sambil menangis. Langkah gontai wanita muda itu berakhir di sebuah bukaan luas. Halaman belakang nan indah dengan lampu taman yang meneranginya dari berbagai sudut.
Paloma terpaku sejenak. Dia mengedarkan pandangan pada sekeliling tempat tersebut. Tiba-tiba, kegalauannya perlahan memudar. Paloma mengusap air mata yang membasahi pipi, ketika embusan angin malam menerpa paras cantiknya yang pucat.
“Apa kau ada di sini, Nilo? Putraku.” Paloma bergumam pelan. Dia lalu tertunduk dan kembali terisak. Paloma menempelkan kedua telapak tangan di dada. Kepedihan yang tadinya hanya diluapkan dalam sebuah isakan, lama-kelamaan menjadi tangis pilu tertahan. Paloma hanya ingin membebaskan ganjalan dalam hati yang kembali mengusiknya malam itu.
Beberapa saat telah berlalu. Paloma merasa sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dia pun memutuskan kembali ke kamar. Wanita itu bersabar menunggu hingga esok datang.
Keesokan harinya, Paloma bergegas merapikan diri. Dia kembali menjinjing tas berisi pakaian. Paloma keluar dari kamar, dan berpapasan dengan beberapa pelayan yang sibuk mengerjakan tugas masing-masing.
Orang-orang yang melihat keberadaan Paloma di sana sempat merasa aneh. Namun, wanita muda berambut cokelat itu memilih untuk bersikap tak peduli. Paloma terus berjalan keluar. Tujuannya adalah mess para pekerja perkebunan. Dia hendak menemui Martin. Namun, untunglah pria itu muncul bersamaan dengan Paloma yang telah berada di koridor dekat taman air mancur.
“Selamat pagi, Tuan Aguire,” sapa Paloma.
“Selamat pagi, Nona de Luna,” balas Martin. “Aku sudah bertemu dengan Carlos Martinez. Ikuti aku. Kita harus bergegas, sebelum jam kerja dimulai,” ajak Martin sambil membalikan badan. Dia berjalan dengan gagah. Sementara, Paloma mengikutinya.
Di dekat gerbang menuju pekebunan, telah menunggu seorang pria berambut ikal. Dialah yang bernama Carlos Martinez. Tanpa banyak basa-basi, Martin langsung bertanya tentang Rafael Hernandez.
“Rafael memutuskan berhenti dari sini. Dia sempat mengatakan bahwa dirinya mendapat pekerjaan dengan upah yang jauh lebih besar,” tutur Carlos.
“Apa kau tahu dia pergi ke mana?” tanya Paloma. Secercah harapan kembali hadir. Bagaimanapun juga, dia harus bertemu dengan Rafael, untuk menentukan kejelasan dari ikatan pernikahannya yang selama ini tak tahu akan dibawa ke mana.
“Sevilla. Dia pergi ke sana,” jawab Carlos yakin.
“Sevilla?” ulang Paloma. “Apa kau tahu tempat bekerjanya saat ini?”
Carlos menggeleng. “Tidak. Semenjak pergi ke sana, kami tidak berkomunikasi lagi. Memangnya kau siapa?” Carlos balik bertanya.
“Aku istrinya,” jawab Paloma.
“Istrinya? Setahuku Rafael masih lajang,” sanggah Carlos.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Najwa aulia
halo,thor.ceritanya bagus.semangat
2024-03-16
1
Diana Lubis
hallo...Thor..aku Uda mampir juga k sini..hehe....
ttp semangat ya Thor
2023-04-03
1