NovelToon NovelToon

Casa Del Castaneda

Melepas Malaikat Kecil

Granada, Spanyol bagian selatan.

Seorang wanita yang mengenakan midi dress floral berwana biru, berlari di dalam koridor rumah sakit. Untunglah dia hanya menggunakan sandal tipis, sehingga derap langkahnya tak menimbulkan suara menganggu bagi para pengunjung lain di rumah sakit itu. Wanita berambut cokelat tadi baru berhenti, ketika dirinya tiba di depan ruang ICU. Wajah pucat tanpa polesan make up yang tadinya masih menunjukkan sebuah harapan, tiba-tiba menjadi muram. Sepasang iris berwarna hazel miliknya, langsung berkaca-kaca saat melihat seorang wanita paruh baya yang sudah berurai air mata. “Bibi ….” Suara wanita bertubuh langsing itu parau, bahkan hampir tak tak terdengar.

Namun, wanita paruh baya yang sedang menangis tadi dapat mendengar suara parau itu di sela isakannya. Wanita yang dipanggil dengan sebutan ‘bibi’ tersebut segera menoleh. “Paloma.” Dia menyebutkan nama wanita muda yang berjalan pelan ke arahnya. “Mereka sudah melepas seluruh alat medis,” ucap wanita paruh baya itu lagi sambil terus meneteskan air mata. “Nilo … aku tak akan mengasuh anak itu lagi …,” ratap si wanita dengan cardigan rajut merah hati. Dia menutupi wajah menggunakan kedua telapak tangan.

Sementara, Paloma seketika membeku untuk beberapa saat. Tatapannya tertuju pada ruangan di mana ada beberapa perawat keluar dari sana. Paloma memaksakan kakinya untuk melangkah, hingga dia tiba di depan pintu yang terbuka. Di sana, terbaring tubuh mungil yang sudah ditutupi seluruhnya oleh kain berwarna putih.

Air mata menetes tanpa harus diminta. Kepedihan dan rasa sakit yang tak akan pernah terobati dengan sejuta tawa bahagia sampai kapanpun. Ya, anak itu telah pergi. Menyerah pada penyakit yang membuatnya harus meregang nyawa.

“Nilo! Putraku!” tangis Paloma pecah. Dipeluknya jasad yang sudah terbujur kaku di ranjang rumah sakit. Tempat yang akan menghadirkan kenangan buruk bagi wanita dua puluh lima tahun tersebut. “Bangun, Nak! Aku sudah mendapatkan sedikit uang untuk menyambung kehidupanmu. Bagaimana mungkin harus kugunakan uang ini untuk biaya pemakamanmu. Tidak!” Paloma berteriak nyaring, membuat dua perawat yang masih berada di sana segera menghampiri.

Salah satu dari mereka, meraih tubuh Paloma agar melepaskan jasad Nilo.

“Hentikan, Nyonya. Kami dapat memahami perasaan Anda. Akan tetapi, inilah takdir Tuhan,” ucap salah seorang perawat yang memegangi kedua lengan Paloma dari samping.

“Putra Anda sudah berjuang melawan rasa sakitnya selama ini. Dia anak yang hebat, karena dirinya tak pernah menangis meskipun ada banyak jarum suntik yang menusuk kulitnya. Dia sangat luar biasa,” timpal seorang perawat lain.

Sebagai seorang wanita, kedua petugas medis itu pasti dapat merasakan kehancuran hati Paloma. Walaupun tentunya tak ada yang dapat menggambarkan seberapa besar kesedihan tersebut.

......................

Sore yang cerah, tapi terasa begitu muram bagi Paloma. Wanita bermata hazel itu duduk menyamping di lantai sambil bersandar pada dinding. Dipandanginya wajah sang anak tercinta, Diego Nilo Sanchez atau yang akrab disapa Nilo. Tak bosan-bosan, Paloma mengecup wajah anak berusia lima tahun tersebut melalui selembar foto. Setelah itu, Paloma mendekap foto tadi. Menempelkan erat di dada.

“Paloma,” sapa wanita paruh baya yang kemarin ada di rumah sakit. Dia masuk ke kamar dan berjalan menghampiri wanita yang tak membalas sapaannya, bahkan menoleh pun tidak. Paloma masih bersandar pada dinding, dengan posisi duduk yang belum berubah sejak tadi.

“Makanlah dulu, Nak,” ucap wanita yang tak lain adalah Teresa Calderon, tetangga baik hati dan sudah dianggap keluarga oleh Paloma.

“Aku tidak lapar, Bibi,” jawab Paloma lesu. Tak ada semangat sama sekali dalam dirinya. Berbeda dengan ciri khas yang selama ini melekat pada karakter wanita dua puluh lima tahun tersebut.

“Kau tidak makan sejak dua hari yang lalu,” ucap Teresa. Dia merasa iba dengan kondisi Paloma.

“Nilo-ku juga belum makan. Dia pasti kelaparan,” racau Paloma. Air mata kembali membasahi pipinya.

Teresa ikut menangis, setelah mendengar nama bocah yang selama ini kerap dia asuh sepanjang hari disebut. Karena itulah, wanita bertubuh agak gemuk itu tak kuasa menahan kepedihannya yang mendalam. “Aku juga menyayangi putramu. Sama seperti kau,” ucap wanita berusia setengah abad itu pilu. “Nilo tak pernah kuanggap sebagai orang lain. Dia adalah cucuku.” Teresa terisak pelan.

Terbayang kembali dalam ingatannya, ketika Paloma akan melahirkan seorang diri. Teresa merupakan tetangga terdekat di rumah susun itu. Rumahnya bersebelahan dengan tempat tinggal Paloma, meskipun status ibunda Nilo hanya penyewa di sana.

Sebenarnya, Paloma masih terikat pernikahan dengan seorang pria bernama Rafael Hernandez. Saat usia kandungannya baru menginjak sekitar enam bulan, Rafael memutuskan untuk merantau ke Porcuna sebagai buruh di perkebunan zaitun bersama beberapa rekannya.

Pada awal kepergian, Rafael masih kerap mengirimkan sebagian dari upah yang dia dapatkan kepada Paloma. Namun, setelah beberapa bulan kemudian semua berubah. Jangankan uang, tak ada kabar sama sekali yang Paloma dengar tentang keadaan sang suami. Pria itu menghilang bagai ditelan bumi.

Hingga tiba waktunya Paloma melahirkan, Rafael tak pernah kembali. Paloma harus berjuang sendiri. Menghidupi dia dan putra semata wayangnya, Nilo. Namun, kini Nilo pun pergi meninggalkan Paloma untuk selamanya. Wanita malang itu benar-benar sebatang kara.

“Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Nak?” tanya Teresa setelah beberapa hari berlalu.

Paloma sudah mulai bangkit dari keterpurukanya. Dia kembali menjalani hari-hari dengan normal, meskipun tetap ada satu sisi hati yang terasa kosong. “Entahlah, Bibi. Aku belum bisa berpikir dengan jernih.” Wanita berambut cokelat itu duduk menghadapi makanan yang dihidangkan oleh Teresa.

“Apakah Paman Alonso tidak marah, karena Bibi sering menemaniku di sini?” Paloma mengarahkan pandangan pada wanita paruh baya yang selama ini tak memiliki anak dari hasil pernikahannya. Namun, Teresa dan Alonso saling menerima kekurangan satu sama lain.

“Kau tahu bahwa dia juga sangat menyayangimu,” jawab Teresa diiringi senyuman lembut penuh kasih. Dia mulai menyantap makanan dalam piring di hadapannya. “Hampir saja aku lupa,” ucap wanita berambut kelabu-putih itu.

“Ada apa, Bibi?” tanya Paloma menghentikan sejenak santap siangnya. “Kemarin, Nyonya Soledad mengatakan bahwa akan ada rombongan ke Porcuna. Perkebunan Zaitun Castaneda sedang membutuhkan banyak pekerja.” Teresa meneguk minumannya sebelum lanjut bercerita.

“Lalu?” tanya Paloma dengan raut yang tiba-tiba aneh.

“Barangkali, kau hendak menitip surat atau ….”

“Untuk apa, Bibi?” sela Paloma. Dia meletakkan sendok yang sedang dipegangnya.

“Bagaimanapun juga, Rafael harus mengetahui kondisimu saat ini ….”

“Jika Rafael masih peduli, maka dia tidak akan pernah mencampakkanku. Rafael pasti kembali. Terlebih, aku sedang mengandung saat dia pergi. Namun, buktinya hingga tahun berganti ….” Paloma menyeka air mata yang kembali membasahi pipi. “Rafael tak pernah kembali. Aku sudah tak mengharapkannya lagi,” tegas Paloma.

Teresa begitu terenyuh dengan segala hal yang menimpa wanita muda di hadapannya. Andai saja dia merupakan orang berada, maka Teresa akan melimpahkan seluruh harta yang dimilikinya untuk Paloma. Namun, kondisi Teresa dan Alonso pun tak jauh berbeda dengan wanita yang baru kehilangan putra tercintanya itu.

Teresa menyentuh punggung tangan Paloma dengan lembut. Dia hanya mampu memberikan dukungan secara moril kepada wanita malang tersebut. Namun, Teresa akan selalu berusaha untuk membantu sebisanya. “Bukan itu maksudku, Nak,” ucap wanita paruh baya tersebut beberapa saat kemudian. “Seberapa keji hati suamimu? Apakah dia benar-benar tak memiliki perasaan?”

“Apa menurut Bibi Rafael masih ada di Porcuna? Di perkebunan Castaneda.” Paloma terdengar ragu. Dia menggeleng. “Aku tidak yakin,” ucapnya lagi.

“Baiklah. Aku tak akan memaksa. Ini hanya pemikiranku,” balas Teresa. “Ayo. Lanjutkan makanmu.”

Selang beberapa hari dari perbincangan tadi, Paloma terus merenungkan apa yang Teresa katakan. Memang benar bahwa dia masih memiliki seorang suami, meskipun Paloma sudah terbiasa melakukan segalanya sendirian.

Keesokan harinya, Paloma kembali menemui Teresa. Kebetulan, di sana juga masih ada Alonso yang belum pergi berjualan. “Aku akan ke pergi Porcuna,” putus Paloma.

Bukan Penyusup

Atas bantuan dari Alonso, Paloma bisa pergi bersama rombongan para pekerja yang akan menuju Porcuna. Sebagian besar dari mereka adalah kaum pria. Sedangkan kaum wanita hanya beberapa orang, yang nantinya akan ditempatkan sebagai pelayan di sebuah bangunan megah bernama Casa del Castaneda.

Rombongan tadi berangkat dari Stasiun Bus Granada, yang terletak di Avenida de Juan Pablo II. Selama kurang lebih tiga jam perjalanan harus mereka tempuh, hingga tiba di Porcuna. Tepatnya, di perkebunan zaitun terbesar kotamadya tersebut. Perkebunan zaitun itu sendiri merupakan milik seorang pria bernama Sebastian Cruz Castaneda.

Sebastian, merupakan duda berusia tiga puluh tujuh tahun. Istrinya yang terkenal sangat cantik nan anggun, meninggal dunia sebelum memberi Sebastian seorang anak. Setelah kepergian wanita yang teramat dia cintai, Sebastian memutuskan untuk hidup menyendiri. Pria itu selalu menyibukkan diri, dengan bisnisnya yang kian berkembang pesat.

Seperti yang telah diketahui, buah zaitun dapat diolah menjadi berbagai produk. Baik itu untuk makanan ataupun bahan kecantikan. Manfaat zaitun sendiri sudah tak diragukan lagi. Hal tersebut, membuat lahan bisnis milik Sebastian seakan tak memiliki saingan sama sekali. Dia menjadi raja di Porcuna.

“Selamat sore, Tuan,” sapa pria berpostur tegap. Rentang usianya lebih muda dari Sebastian. Pria itu mengenakan celana jeans sobek-sobek di bagian lutut, yang dipadukan dengan atasan kemeja kotak-kotak. Dia merupakan seseorang yang menjabat sebagai mandor di perkebunan.

“Selamat sore, Martin,” balas Sebatian tanpa membalikkan kursi yang dia duduki. Posisi pria itu membelakangi sang mandor. Martin hanya dapat melihat tangan kanan sang majikan, yang diletakkan pada pinggiran kursi sambil memegangi cerutu berasap tipis. “Ada apa?” tanya Sebastian. Suara sang pemilik perkebunan itu terdengar begitu berat dan tegas.

“Para pekerja dari Granada telah tiba. Aku sudah mengarahkan mereka ke mess. Namun, sepertinya ada sedikit kekeliruan,” lapor Martin.

“Kekeliruan bagaimana maksudmu?” tanya Sebastian lagi. Dia memutar kursinya sehingga jadi menghadap kepada Martin yang masih berdiri tegap dan sopan.

Sebastian Cruz Castaneda. Pria itu tampak begitu matang. Berambut cokelat tembaga dengan sepasang mata cokelat madu yang indah. Sebastian memiliki paras yang sangat maskulin. Terlihat sedikit garang dengan rahang kokoh, serta garis wajah tegas yang berhiaskan janggut tidak terlalu tebal. "Jelaskan," titahnya penuh wibawa.

"Begini, Tuan." Martin mengawali penjelasannya. "Jumlah orang yang datang kemari ternyata tidak sesuai dengan data yang kuterima dari Antonio," lapornya.

"Tidak sesuai?" Sebastian menaikkan sebelah alisnya. Dia lalu mengisap cerutu yang masih mengepulkan asap tipis.

"Ya, Tuan," sahut Martin. "Dalam data yang kuterima kemarin, ada lima belas pekerja pria. Mereka semua akan ditempatkan di perkebunan. Sementara untuk pekerja wanita ada sepuluh orang. Tiga akan bertugas di dapur umum. Sisanya menjadi pelayan di Casa del Castaneda, untuk membantu persiapan jamuan besar akhir pekan ini," jelas Martin lagi.

"Lalu, apa masalahnya?" Sebastian kembali bertanya.

"Masalahnya adalah yang datang kemari ternyata lebih satu orang. Seorang wanita yang namanya tidak ada dalam daftar," jawab Martin menjelaskan dengan hati-hati.

Sebastian berdecak pelan setelah mendengar penuturan Martin. Pria itu beranjak dari tempat duduknya. "Kupikir ada masalah serius," ujar pria itu enteng.

"Aku hanya memberikan laporan kepada Anda." Martin tetap memperlihatkan sikap hormatnya. "Aku takut jika ini akan menjadi masalah untuk ke depannya."

Sebastian berjalan gagah ke hadapan sang mandor yang memiliki postur hampir sama dengan dirinya. "Kau tidak perlu mempermasalahkan hal itu. Lagi pula, kita membutuhkan banyak tenaga untuk persiapan jamuan besar yang kuputuskan secara mendadak," ucap Sebastian. Pria berambut ikal dan agak gondrong itu menepuk lengan Martin, yang terlihat lega dengan jawaban sang majikan.

"Baiklah kalau begitu, Tuan," balas Martin mengngguk seraya diiringi senyuman.

"Kembalilah dan urus semuanya agar tetap tertib. Aku tidak ingin jika sampai ada kericuhan seperti yang sudah-sudah." Seusai berkata demikian, Sebastian melangkah ke dekat pintu keluar ruang kerjanya.

Martin yang melihat sang majikan akan berlalu dari sana, segera berjalan mengikuti pria itu. Dia mengekor Sebastian hingga sang pemilik perkebunan zaitun tersebut berbelok ke arah lain. Sedangkan dia sendiri bermaksud kembali ke area perkebunan.

Akan tetapi, Martin segera menghentikan langkah tegapnya, ketika dia melihat beberapa wanita yang mengikuti pelayan senior di Casa del Castaneda. Pria dengan topi fedora tersebut segera menghampiri mereka. "Tunggu, Nyonya Raquela," cegah pria itu dengan cukup nyaring.

Rombongan wanita tadi sontak berhenti dan menoleh dengan serempak kepada Martin, yang setengah berlari ke arah mereka. Setelah tiba di hadapan kepala pelayan bernama Raquela, Martin lalu mengeluarkan secarik kertas. Dia membaca salinan daftar pekerja wanita yang didapatnya dari Antonio.

"Aku ingin memeriksa nama-nama pekerja wanita yang baru datang hari ini," ucap Martin kepada Raquela.

"Oh. Silakan, Tuan Aguire," balas wanita paruh baya dengan postur tinggi besar itu.

Tanpa berlama-lama, Martin menyebutkan satu per satu nama yang ada dalam daftar. Semua berjumlah sepuluh orang. Mereka mengangkat tangan saat namanya disebutkan. Tinggal satu orang yang tak mengangkat tangan. Wanita berambut cokelat yang sejak tadi terlihat gelisah.

"Siapa namamu?" tanya Martin.

"Paloma."

"Sebutkan nama lengkapmu, agar kumasukkan ke dalam daftar pegawai," ucap Martin lagi.

"Paloma Sanchez de Luna. Aku kemari bukan untuk bekerja di sini," balas Paloma yang membuat Martin dan Raquela saling pandang.

"Majulah," suruh Martin. Akan tetapi, Paloma tidak menurut. Dia tetap berdiri di tempatnya. Sikap wanita cantik berwajah pucat itu membuat Martin semakin heran. Dia lalu menoleh kepada Raquela. "Bawa yang lainnya. Aku akan mengurus wanita ini," suruh pria tampan tersebut.

Raquela mengangguk sopan. Meskipun usianya jauh di atas Martin, tetapi pria muda itu memiliki jabatan yang terbilang tinggi di sana. Selain sebagai mandor, Martin juga merupakan orang kepercayaan Sebastian.

Sepeninggal Raquela dan rombongan pekerja wanita lain, hanya ada Martin dan Paloma di koridor tadi. Untuk beberapa saat, mereka berdua saling terdiam. Martin sibuk mengamati sosok cantik bertubuh indah di hadapannya, dalam balutan pakaian sederhana. Sedangkan, Paloma mengarahkan pandangan ke lantai.

"Jadi, namamu adalah Paloma? Paloma Sanchez de Luna?" ulang Martin memecah kebisuan antara mereka berdua.

"Ya," jawab Paloma singkat.

"Kenapa kau datang kemari jika bukan hendak bekerja?" tanya Martin penuh selidik.

"Ada urusan penting yang harus kuselesaikan," jawab Paloma masih dengan nada bicara yang sama. Dia juga tak menoleh kepada Martin, saat menjawab pertanyaan pria tersebut.

"Jika sudah memasuki area Casa del Castaneda, itu artinya semua yang menjadi urusanmu harus dikonfirmasikan padaku. Aku harus memberikan laporan yang akurat kepada Tuan Sebastian. Itu juga jika kau tak ingin dianggap sebagai penyusup, Nona de Luna," jelas Martin. Gaya bicaranya tenang, tapi terdengar tegas di telinga Paloma.

"Ini urusan pribadi," jawab Paloma. Dia tetap bicara seperlunya.

"Aku tak akan mencampuri urusan pribadimu. Setidaknya, utarakan alasanmu jika memang bukan untuk bekerja," ucap Martin lagi.

Paloma tak segera menjawab. Pandangannya pun masih tertuju ke lantai. Pada sepasang sepatu boots yang dikenakan oleh Martin. Tak ada alasan bagi Paloma untuk tetap menyimpan alasan dia datang ke sana. Paloma juga tak ingin dianggap sebagai penyusup, meskipun memang begitu kenyataannya. "Aku hendak mencari Rafael Hernandez."

Permintaan yang Mendesak

“Rafael Hernadez?” ulang Martin.

“Ya,” jawab Paloma meyakinkan bahwa pria di hadapannya memang tak salah dengar.

“Rafael Hernandez?” Martin kembali menyebut nama itu sambil bergumam. Dia seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. Sesekali, pria tampan dengan topi fedora kuning gading tersebut menyentuh pangkal hidungnya yang mancung. “Akan kucarikan namanya di daftar pekerja perkebunan. Namun, selagi aku melakukan itu … maksudku sekarang sudah malam … kau ….” Martin memperhatikan Paloma yang masih menunduk. “Butuh waktu untuk mengecek nama para pekerja yang jumlahnya tidaklah sedikit,” ucap pria itu lagi.

Paloma segera mengangkat wajah setelah mendengar ucapan Martin. Dia terlihat kecewa. “Tidak bisakah kau lakukan sekarang, Tuan?” pintanya setengah memaksa.

“Maaf. Tidak bisa. Aku sibuk, Nona,” tolak Martin.

“Jam seperti ini?” Paloma mengernyitkan kening. Raut wajahnya menyiratkan rasa heran.

“Ya. Ini sudah malam,” balas Martin. “Aku bekerja seharian di perkebunan. Mengurus banyak hal. Sekarang adalah waktunya untuk beristirahat,” tegas pria itu.

“Ayolah, Tuan. Kumohon,” pinta Paloma. Wanita muda itu memasang wajah memelas.

“Aku sangat membutuhkan bantuanmu,” ucap Paloma lagi bersungguh-sungguh.

“Kau datang kemari dengan cara menyusup di antara para pekerja. Kau juga tidak bersedia bekerja di sini. Sekarang, kau memintaku untuk melakukan sesuatu secara tiba-tiba dan … dengar, Nona de Luna.” Martin berbicara dengan nada yang cukup serius. “Tuan Sebastian tidak akan menyukai kehadiranmu di sini. Jadi, sebelum kau menempatkan dirimu dalam masalah, kusarankan sebaiknya segera tinggalkan Casa del Castaneda sekarang juga.”

“Aku pasti akan pergi, tapi setelah menemukan informasi tentang orang yang sedang kucari. Kumohon, Tuan. Ini berhubungan dengan masa depanku ….” Paloma menjeda ucapannya. Dia tak harus banyak bicara.

Sementara, Martin hanya dapat mengembuskan napas panjang. Sebenarnya, inilah hal yang paling tidak dia sukai dari seorang wanita. Wajah memelas dengan mata menggemaskan seperti yang diperlihatkan oleh Paloma, merupakan sesuatu yang membuat dirinya selalu merasa tak tega. Terlebih, wanita di hadapannya itu ternyata sangat cantik jika diperhatikan dengan lebih saksama.

Martin melepas topi fedora berwarna kuning gading tadi. Pria itu mengacak-acak rambut yang sedikit berkeringat sambil berdecak pelan. Selalu ada pengecualian untuk seorang wanita cantik. Dengan terpaksa, dia akhirnya menuruti permintaan Paloma. “Ikuti aku,” ajaknya.

Pria dengan kemeja kotak-kotak itu melangkah lebih dulu ke bagian lain bangunan megah tersebut. Dia membawa Paloma melintasi taman air mancur yang berada di tengah-tengah bangunan. Dari taman dengan ukuran tidak terlalu luas tadi, Martin berjalan menyusuri koridor yang cukup panjang. Sementara Paloma terus mengikutinya sambil menjinjing tas kain berisi beberapa helai pakaian ganti.

Setelah menyusuri koridor panjang tadi, mereka berdua tiba di depan sebuah bangunan tiga lantai dengan banyak kamar. Itu merupakan mess khusus untuk para pekerja perkebunan dan beberapa staf bagian administrasi.

“Tunggulah di sini,” pesan Martin. Dia meninggalkan Paloma yang berdiri dekat tangga menuju lantai dua. Martin berjalan menuju sebuah kamar. Dia tampak berbicara dengan si penghuni kamar tersebut. Setelah beberapa saat, Martin dan pria penghuni kamar tadi berjalan turun. Mereka menghampiri Paloma yang masih berdiri di dekat tangga.

“Perkenalkan. Ini Antonio. Dia menangani segala informasi dan hal lainnya yang berhubungan dengan para pekerja di sini.” Martin memperkenalkan pria yang ada di sebelahnya kepada Paloma.

Paloma mengangguk pelan diiringi senyuman kecil sebagai balasan yang dianggap sopan.

“Ini adalah Nona de Luna. Dia kemari hendak mencari seseorang bernama Rafael Hernandez,” terang Martin seraya mengalihkan perhatiannya kepada Antonio.

“Rafael Hernandez?” ulang Antonio. Pria dengan rentang usia sama seperti Martin itu menautkan alisnya yang tebal. “Rafael Hernandez,” ulangnya. Pria itu pun tampak berpikir. Sementara Paloma dan Martin masih menunggu jawaban yang akan diberikan pria tersebut. “Kapan dia mulai bekerja di sini?” tanya Antonio setelah berpikir beberapa saat.

“Sekitar lima tahun yang lalu,” jawab Paloma.

“Lima tahun yang lalu?” ulang Martin.

Paloma tidak membalas. Wanita muda berambut cokelat itu hanya megangguk samar.

“Bagaimana?” tanya Martin kembali mengarahkan pandangan kepada Antonio.

Antonio mengembuskan napas berat. “Lima tahun lalu. Sudah cukup lama. Aku saja baru bekerja di sini sekitar tiga tahun. Itu artinya, aku harus membuka file-file lama. Seingatku, di dalam data pekerja perkebunan saat ini … sepertinya tidak ada nama Rafael Hernandez,” terang pria berambut gelap itu agak ragu.

“Apa kau yakin?” tanya Martin lagi.

“Biasanya, kami memperbarui pekerja setiap tahun. Pekerja lama yang usianya dianggap sudah tidak produktif lagi, akan digantikan dengan yang baru. Itu semua setelah melalui penyeleksian yang sangat ketat, karena kami tak ingin sembarangan dalam memutus kontrak kerja seseorang. Kecuali, jika orang itu sendiri yang mengundurkan diri,” jelas Antonio.

Paloma terdiam sejenak setelah mendengarkan penjelasan Antonio. “Bisakah jika kau memeriksanya sekarang, Tuan?” pinta wanita itu seraya kembali memasang raut yang sama seperti di hadapan Martin tadi.

“Maaf, Nona. Ini sudah di luar jam kerja,” tolak Antonio halus.

“Kumohon,” pinta Paloma setengah mendesak.

Antonio menoleh kepada Martin. Dia seakan meminta pendapat pada sang mandor. Kebetulan, Martin merupakan orang yang memegang kunci ruangan-ruangan penting di sana.

“Kau benar-benar merepotkan, Nona,” keluh Martin sambil berlalu dari dekat tangga, tempat mereka berbincang tadi. Dia berjalan ke sudut lain yang berada terpisah dari bangunan tiga lantai itu. Di sana, ada empat ruangan. Martin lalu membuka kunci salah satu pintu yang letaknya paling ujung.

Sementara Antonio dan Paloma yang mengikuti mandor muda tersebut, segera masuk setelah Martin menyalakan lampu ruangan dengan ukuran tidak terlalu besar. Di dalam sana, terdapat beberapa lemari kayu dan buffet dengan laci bersusun. Ada pula tiga buah komputer di atas meja terpisah.

Antonio, segera menuju salah satu komputer yang biasa dia gunakan. Pria dengan wajah khas latin tersebut tampak serius menghadapi layar yang sudah menyala. Hingga beberapa saat, Paloma dan Martin menunggu Antonio yang sedang memeriksa daftar para pekerja.

“Seharusnya aku sudah mandi dan bersiap makan malam saat ini,” keluh Martin.

“Maaf, karena telah merepotkanmu,” ucap Paloma merasa tak enak dengan ucapan Martin.

Namun, pria yang terus memegangi topi fedora itu tak menanggapi. Martin memang terlihat sangat lelah. “Bagaimana?” tanyanya sambil berjalan mendekat ke meja Antonio.

“Aku menemukan nama Rafael Hernandez. Dia berasal dari Granada ….”

“Ya. Benar sekali,” sela Paloma tampak semringah. Dia beranjak dari tempatnya berada, kemudian mendekat ke meja Antonio. Paloma berdiri di sebelah Martin.

“Rafael Hernandez tercatat pernah bekerja di sini hanya selama satu tahun. Padahal, usianya masih masuk kriteria untuk tetap bekerja di perkebunan Castaneda. Namun, dia mengundurkan diri,” jelas Antonio. “Seperti itu catatan yang kudapat di sini. Dia memutus kontrak kerja tanpa alasan yang jelas, sehingga tak ada uang kompensasi apapun yang diterima olehnya,” lanjut Antonio lagi.

Paloma terlihat kebingungan mendengar penuturan Antonio. Tiba-tiba, rasa cemas menyeruak hebat ke dalam hatinya. Entah apa yang terjadi kepada Rafael. Apakah pria itu baik-baik saja atau tidak. Paloma tampak salah tingkah. Namun, dengan segera dia dapat menguasai diri agar tetap terlihat biasa saja.

“Ah, ternyata masih ada rekannya yang bekerja hingga saat ini,” ujar Antonio kemudian.

“Siapa namanya?” tanya Paloma.

“Carlos Martinez.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!