Salah Gaul

Salah Gaul

satu

Lyan's

Tidak dapat dipungkiri masa remaja memang masa yang penuh dengan rasa penasaran yang tinggi. Entah itu soal pergaulan malam ataupun tentang pergaulan bebas. Dan yang paling banyak dilakukan adalah pergaulan bebas. Kenapa? Karena rayuan dan tentu saja didorong oleh rasa penasaran yang tinggi. Dengan sedikit rayuan dari para buaya dan desakan janji-janji manis palsu sudah pasti para wanita akan tergoda.

Hal itupun terjadi padaku. Setan mana yang berani-beraninya merasukiku sampai aku dengan mudahnya terhasut rayuan yang menyebabkanku menghabiskan malam dengan pria asing yang hanya kukenal namanya.

"Ehmm." Aku membersihkan tenggorokanku. Pagi ini saat terbangun dari tidur aku masih dengan nyamanya bergelung di bawah selimut ditemani pelukan hangat pria asing dan lucunya aku sangat menikmati pelukannya. Napasnya yang panas menggelitik tengkukku dan tiba-tiba saja aku merasakan seluruh tubuhku meremang, "Bisa nggak pindahin tangan lo dari dada gue?"

"Maaf." Dia terkekeh sambil melepaskan tangannya yang tadinya menangkup dadaku. Otomatis membuat dekapannya terlepas.

Sayang sekali.

"Gue nggak perlu jelasin kan apa yang semalam gue lakuin keelo?"

Aku tersenyum geli. Tanpa diberi tahu pun aku sudah tahu apa yang sudah terjadi dengan kami tadi malam. Baju yang berserakan, bantal, dan seprai yang tidak berada di tempat asalnya dan apa lagi ini? Bekas kulit ****** yang dibuang sembarangan, "Nggak usah. Lagian ini bukan pertama kalinya buat gue."

Pria itu tertawa sambil meregakan badan. Otot-otonya melentur dengan nikmat. Lengannya yang tidak terlalu kekar namun berotot ditambah urat-urat hijau yang menonjol saat dia mengepalkan tangannya benar-benar satu nikmat dari tuhan yang tidak mungkin aku sia-siakan. Setidaknya rasa kecewaku sedikit terobati dengan pemandangan indah darinya.

"Lo ada kelas jam berapa?" pertanyaan yang tiba-tiba ditanyakannya membuatku kembali sadar dan segera beranjak bangun meninggalakan kasur.

"Mati gue." Aku menatap jam digital yang sudah menunjukkan pukul tujuh empat lima sedangkan kelas yang harus aku hadiri hari ini pukul delapan lewat sepuluh.

"Lo nggak bermaksud buat mancing gue pake gunung kembar lo, kan? Btw, looks yummy your breasts," suaranya memenuhi ruangan kamar yang hening. Sadar jika aku tidak menggunakan apa pun tanpa aba-aba kutarik seprai putih miliknya untuk menutupi tubuh telanjangku.

"Kamar mandi lo di mana, Galih?" Dia kembali tertawa sambil kembali mencari posisi nyaman di tempat tidur.

"Pintu pertama sebelah kanan di ujung lorong."

Aku tidak peduli dengan tingkah absurdnya karena kelasku akan segera dimulai, "Makasih," ujarku sambil berbalik pergi.

"Woi. Lyan." Dia berteriak saat tanganku hampir menyentuh handle pintu, "nama gue bukan Galih."

***

Akhirnya aku telat mengikuti kelas pagi ini.

"Lyana Aara Belle." Dosen pangampu pagi ini sampai harus memalingkan wajahnya dari buku absen saat memanggil namaku. Sedangkan aku masih berdiam diri di luar ruangan. Beliau tersenyum dingin, "apakah anda yakin anda di sini untuk mengikuti kelas saya?"

Aku menahan diri untuk tidak mengutuk dosen di hadapanku ini. Bagaimana pun juga aku sudah berusaha berangkat dan memberanikan diri untuk hadir meski pun telat. Dengan cepat aku menarik nafas dalam-dalam untuk menghalau kesalku. Biasanya cara ini efektif.

"Iya Pak. Lain kali saya tidak akan terlambat lagi untuk mengikuti kelas Bapak."

Beliau mengangguk dan memberi isyarat agar aku segera mencari tempat duduk. Tanpa menunggu untuk ditegur kedua kalinya aku segera melakukannya. Aku menyelinap ke tempat kosong yang ada di samping sahabatku. Biasanya kami memang selalu duduk berdampingan karena tujuan utama kami duduk bersama adalah mengobrol saat pelajaran berlangsung.

"Gimana Galih?"

Aku mengabaikan Dimas dan lebih memilih untuk duduk diam di tempatku dan berpura-pura mengeluarkan buku catatan. Mulai menulis karena dosen itu masih mengawasiku. Setelah beliau yakin jika aku bisa mengikuti kelas dengan baik beliau kembali menatap laptop dan kembali melanjutkan kelas.

"Gila ya lo. Namanya bukan Galih."

Dimas menundukkan kepalanya. Aku tahu dia pasti tengah menertawakan kebodohanku. Bisa-bisanya aku ditipu. Aku menginjak kakinya dengan keras agar dia terdiam tapi yang ada dia malah semakin menahan tawa sampai wajahnya berubah menjadi merah. Diam-diam aku berharap dosen pengampu di depan mengusirnya keluar dari kelas.

"Seenggaknya lo harus berterimakasih karena gue udah bantu lo supaya lo nggak tidur sama stranger."

"Terserah."

"Lo beruntung ceweknya nggak nyamperin. Semalam dia bawa ceweknya ke party. Coba itu cewek tahu pacarnya bakal tidur sama lo apa nggak ngamuk dia."

"Dimas. Gila ya lo." Aku berucap kesal dengan kejahilan sahabatku yang satu ini.

"Aara Belle, Dimas Pradipta. Silahkan keluar dari kelas saya."

Sialan. Seharusnya aku tidak menanggapi si Dimas. Aku berharap agar dia yang didepak keluar dari kelas tapi yang terjadi malah aku juga ikutan diusir.

Dengan segera kami berdua beranjak pergi meninggalkan kelas dengan dibanjiri tatapan memelas dari teman kelas kami.

"Kalau kita dikeluarin terus bisa-bisa tahun ini kita nggak lulus." Dimas meraih tanganku dan menarikku pergi meninggalkan gedung. Di seberang kampus ada warung tongkrongan yang biasanya kami kunjungi setiap selesai kelas, "Lo belum sarapan, kan? Gue juga. Mending kita isi perut dulu."

Aku tersenyum di belakang Dimas saat pria itu menuntunku masuk ke dalam warung. Meski jahil Dimas merupakan teman terbaik yang pernah kumiliki. Dia tidak pernah mengambil kesempatan dalam kesempitan meski sebenarnya aku tidak masalah jika dia mengajakku melakukan hal yang aneh.

Kami duduk di area outdoor yang biasa kami pilih. Di hadapan kami sudah tersedia seporsi ayam geprek tentu saja bersama es teh dengan nasi goreng hati. Sedangkan untuk Dimas, dia memesan kopi hitam.

"Harusnya kita pacaran aja, Dim." Aku mengucapkannya dengan santai.

Dimas menghela nafas. Walau aku tahu sebenarnya dia menahan diri untuk tidak tertawa dengan kalimat absurdku, "Lo udah sering ngomong kayak gini."

"Ya harusnya lo mempertimbangkan gue, dong." Aku berbicara dengan mulut yang dipenuhi nasi dan ayam geprek level tiga. Membuat Dimas mengernyit jijik, "sejujurnya gue tersinggung tahu lo nolak gue. Emang gue sejelek itu apa sampe lo dengan teganya nolak gue berkali-kali."

Dimas mengelap bibirku yang belepotan dengan tisu, "Listen. Gue tahu lo luar dalam. Lo itu kayak bom waktu yang bisa meledak kapan aja, dan gue nggak mau ambil resiko kena ledakan."

"Sakit sekali everybadeh."

Dia tertawa. Sambil mencuri beberapa potong ayam geprekku yang sontak membuatku melotot kesal, "Kidding Lyan. Lo kan tahu sendiri gue bukan tipe lo dan lo juga bukan tipe gue makannya kita bisa betah temanan."

Aku mendengus, "Bilang aja lo takut nggak bisa ngehandle gue."

"Itu lo tahu. Lo itu kaya badai Lyan. Yang cuma bisa dijinakan sama pusaran air. Sedangkan gue cuma sungai kecil yang nggak bisa nahan lo."

Aku tertawa mendengar perumpamaan aneh dari Dimas. Bisa saja pria ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!