tiga

Rumi's

"Bar. Lo udah dapat info belum?"

Aku mendengar suara aneh dari sisi lain ruangan. Tapi konsetrasiku terputus saat Bara berbicara.

"Harusnya dia dijemput jam sebelas. Gimana keadaan di sana?"

Aku mengintip dari balik kemudi. Sekumpulan orang tua yang masih menunggu anak-anaknya tampak mengobrol santai di luar studio, "Bentar lagi anak-anak bakal pulang."

Baru selesai berkata pintu studio terbuka. Semua anak berlarian keluar mencari orangtua mereka masing-masing. Dengan pakaian ketat khas para penari ballet aku melihat Lyan yang muncul paling terakhir, anak rambutnya berantakan, dan memenuhi sebagian wajahnya. Namun senyum puas terpantri di sana.

"Rumi. Woi Rum. Lo masih di sana, kan?"

Aku menjauhkan ponselku dari telinga. Suara Bara yang tiba-tiba berteriak membuat gendang telingaku pengang, "Iya-iya sorry. Ngelamun gue."

Bara mendengus, "Pasti gara-gara Lyan. Setiap ada dia di sekitar lo pasti lo banyak ngelamun."

"Bawel." Aku segera bergerak keluar saat meyakini jika para orangtua itu sudah meninggalkan studio. Setelah memperhatikan sekitar aku segera menyusup masuk melewati jendela. Berusaha untuk tidak menimbulkan banyak suara agar tidak ada yang curiga, "dengarin gue sekarang. Buat si Dimas sibuk sampai tengah malam. Lo bisa, kan?" kataku sambil mengunci kembali jendela yang kumasuki.

"Bisa, sih. Emang lo mau ngapain? Bukannya lo udah ngerjain dia?" tanya Bara.

Aku menyeringai, "Ada yang mau gue lakuin ke dia. Mending lo langsung halangi si Dimas deh dari pada nanya mulu."

"Oke-Oke. Tapi ingat lo utang minuman sama gue."

"Iya." Aku mematikan ponselku sepihak dan mengganti menjadi mode diam agar tidak ada yang menggangguku saat ini. Aku masih mengamati Lyan yang kini masuk sambil membawa tas dari delivery food.

Aku melihat dia yang duduk membelakangiku sambil membuka makananya. Makan malam yang terlewat. Dari tempatku bersembunyi aku jadi bisa memperhatikannya lebih lama meski hanya punggungnya saja.

Melihatnya yang tampak asyik dan tidak terganggu dengan kehadiranku membuatku segera menyelinap dan mengunci pintu. Saat aku kembali Lyan sudah tidak berada di tempatnya. Dia sudah berdiri di depan kaca besar dan bersiap untuk memulai latihan rutinnya.

Aku menemukan spot yang bagus untuk bersembunyi. Tempat yang lebih leluasa untuk memperhatikan Lyan tanpa wanita itu sadari. Mungkin terdengar seperti stalker, tapi memang itu yang sedang kulakukan sekarang. Membuntuti dan memperhatikan seorang Lyan Aara-Belle.

Di dunia ini Lyan itu satu-satunya manusia yang paling aku benci. Walaupun dia seorang wanita tidak ada kata ampun baginya setiap kali dia memancing emosiku.

Dia itu orang yang paling sombong, menjengkelkan, kasar, dan egois yang pernah ku kenal. Meski dia selalu bersikap hangat pada orang lain menurutku itu hanya tipu daya agar semua orang menilainya baik. Lyan itu manusia yang penuh kepalsuan.

Meski begitu harus kuakui dia hebat untuk urusan menari. Aku sendiri sampai kagum. Melihatnya yang sedang menari mengikuti irama dengan meliukan pinggul membuat pikiran kotorku bekelana.

Tapi aku masih tetap membenci dia.

Lyan sedikit menghiburku saat aku menunggu untuk menjalankan rencanaku diwaktu yang tepat. Setelah dua jam berlatih akhirnya dia memutuskan untuk beristirahat. Dia menyeka wajah dan tubuhnya yang berkeringat dengan handuk kecil. Melihatnya yang tampak terengah-engah karena kelelahan memberi efek lain pada tubuhku. Ruangan yang dingin malah membuatku panas seketika.

Terlalu lama menunggu membuatku bosan. Saat Lyan mencari sesuatu aku menyelinap untuk mencapai sakelar. Dan langsung menyeringai membayangkan bagaimana ekspresi Lyan nanti. Tanpa rasa bersalah aku mematikan lampu.

"Akh..." Lyan berteriak cukup kencang. Merasa ini cukup menyenangkan aku kembali menghidupkan lampu.

Aku kembali menunggu dan mematikan lagi lampu ruangan tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Kali ini Lyan tidak berteriak dan aku tahu dia sudah mulai panik. Sebenarnya aku penasaran bagaimana raut wajahnya yang panik dan ketakutan karena tingkahku. Aku berharap dapat melihat wajahnya sekarang. Pasti rasanya menyenangkan melihat dia menderita karena aku.

Aku melangkah menjauh saat melihat Lyan yang sudah ketakutan. Dia mencoba meraih sesuatu yang kuyakini itu ponsel miliknya. Karena tidak sabar aku segera keluar dari persembunyianku. Lyan yang terlanjur takut tetap berteriak membuatku tahu di mana letak posisinya meski lampu ruangan padam.

"S-siapa lo?" suaranya bergetar karena ketakutan. Rasanya aku ingin tertawa tapi sebisa mungkin aku tahan, "gue bakal lapor polisi kalau lo ganggu gue."

"Halo. Halo Dimas! Dim tolongin gue ... "

Tanpa berpikir panjang aku segera bergerak maju. Mendorongnya sampai jatuh hingga dia berteriak keras dan ponsel yang digenggamnya terlempar beberapa meter dari tangannya.

"AHHHHHHHH. PLEASE JANGAN BUNUH GUE."

Dia memberontak dalam pelukanku. Aku mengernyit heran. Kenapa ada orang bodoh macam dia. Jika dia benar-benar diculik saat ini pasti dia akan langsung dibunuh karena sangat berisik dan mengganggu.

Aku segera meraih ponselnya dan memasukkan ke dalam kantong. Untung saja lampu ruangan sudah kupandamkan. Jadi dengan jarak sedekat ini dia tidak akan tahu siapa aku.

"PLEASE ... PLEASE ... JANGAN BUNUH GUE. LO BISA AMBIL SEMUA UANG SAMA BARANG GUE. TAPI BIARIN GUE PERGI. GUE NGGAK BAKAL LAPOR KE SIAPA-SIAPA."

"Harusnya lo yang kabur dari gue?" Aku bertanya dengan suara berat. Berharap dia tidak mengeli suaraku.

"PLEASE PERGI. JAUH-JAUH DARI GUE."

"Gue aja nggak ada pegang lo sama sekali."

"PLEASE JAUH-JAUH DARI GUE. GUE TAHU LO MAU BUNUH GUE." Lyan menjauh dariku dan menyerangku dengan pukulan bertubi-tubi. Dasar manusia aneh bukannya lari malah mencoba melawan.

"Aw ... aw ... ngapain sih lo. Jangan tarik rambut gue gila." Aku mencoba melepaskan diri dari serangannya. Kulit kepalaku terasa perih karena dia menjambak rambutku dengan keras.

"GUE NGGAK BAKAL BIARIN LO BUNUH GUE," katanya, sambil berteriak di telingaku. Aku yang sudah tidak kuat dengan siksaan yang dia berikan dengan segera melepaskan diri. Memukul perutnya pelan hanya untuk memberi efek kejut.

"Apa-apaan sih lo. Lagian siapa yang mau ngebunuh lo."

"ELO YANG MAU BUNUH GUE BRENGSEK."

Setelah itu tidak ada satu pun suara yang keluar dari kami.

"Gue kenal suara loe" ujar Lyan seketika.

Bagus Rumi. Akhirnya lo ketahuan.

"Bagus deh kalau lo tahu siapa gue," kataku sambil membenarkan rambutku yang sudah tidak berbentuk.

"Ini bukan suara asli lo."

Aku memutar mata kesal, "Terus suara gue harus gimana?"

Rencanaku gagal dan Lyan sudah tidak tampak ketakutan lagi. Lagian untuk apa aku mengajukan ide menakuti Lyan hanya untuk satu tiket bioskop bergenre horor padahal aku tidak suka film horor. Aku pasti sudah tidak waras.

"Kembaliin hp gue." Lyan memerintah sambil mengadahkan tangannya entah kearah mana.

"Oke. Tangkap, nih."

Aku mendengar suara tangan yang ditepuk tanda bersiap menerima lemparan ponsel dariku. Aku tertawa melihat tingkah konyolnya, "Lo percaya gue bakal ngasih hp lo cuma-cuma."

"Awas lo, kalau sampai gue tau siapa loe. Gue bakal habisin lo pakai tangan kosong."

Aku menariknya mendekat. Punggungnya kutekan kearah dadaku kedua tangannya kukunci dengan satu tanganku. Sedangkan tanganku yang satunya mendekap tubuhnya (tahu maksudnya kan😂😂😂) dengan posisi ini aku dapat menghindu aroma tubuhnya.

Terpopuler

Comments

Mom Dee 🥰 IG : devinton_01

Mom Dee 🥰 IG : devinton_01

paham aku paham Thor 🤭😂

2025-03-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!