empat

Rumi's

"LEPASIN GUE NGGAK? LO JANGAN KURANG AJAR YA!" Lyan berteriak lagi yang sontak membuatku terkekeh dan memojokkannya ke dinding di belakang kami. Kubalikkan tubuhnya sampai dia yang tersudut olehku dan dinding. Kedua pergelangan tangannya kukunci ke atas kepalanya hingga dia tidak dapat memberontak sedikit pun.

"R-u Rumi," desisnya. Meski sedikit ragu tapi dia mengucapkan namaku dengan yakin. Haruskah aku bangga karena meski dalam kondisi gelap dia tetap bisa mengenaliku?

Seberkas cahaya dari ventilasi udara mampu membuatku menatap intens wajah Lyan. Matanya tampak polos dengan raut ketakutan yang ketara. How's cute.

"Rumi." Matanya memincing saat berhasil mengetahui siapa yang berani menganggunya, "apa-apaan sih lo. Nggak lucu tahu nakutin orang kaya gini."

Melihat bibir tipis miliknya rasanya seperti mengundang untuk dikecup, "Gue cuma pingin kasih lo sedikit pelajaran, Lyn."

Lyan mencebikkan bibirnya kesal, "Lepasin gue nggak." Dia minta untuk dilepaskan dari kungkunganku tapi dia tidak berjuang sama sekali untuk melepaskan diri.

"Lain kali kalau lo ada diposisi begini lari. Jangan cuma teriak-teriak nggak jelas."

Lyan membelalakan matanya. Mungkin menyadari betapa bodohnya dia yang hanya memohon minta dilepaskan. Aku berdeham membuatnya memasang kembali wajah kesalnya.

"Lagian lo ngapain, sih? Mau nakutin gue? Apa mau nyulik gue? Lo kan tahu gue nggak bakalan takut sama lo."

"Ahhhh please jangan bunuh gue. Jangan bunuh gue." Aku mengikuti kalimatnya tadi saat meminta untuk dilepaskan. Wajahnya menunduk, mungkin karena dia malu.

"Diam ya. Gue mana ada kayak gitu," katanya sambil berusaha melepas tanganku.

"Emang nggak kayak gitu. Suara lo lebih cempreng tadi."

"Lepasin gue nggak! Gue bakal telepon polisi kalau lo macam-macam sama gue."

"Lyn. Harusnya lo belajar dari pengalaman." Aku semakin mengeratkan cengkramanku dan memajukkan tubuhku agar semakin menempel padannya, "kalau lo ngerjain gue. Gue bakal balas sepuluh kali lebih parah."

"Sialan lo. Harusnya gue potong joni lo waktu itu."

"Lyn sayang. Dari pada dipotong mending lo mainin joni gue dan gue bakal ngebuat lo melayang lebih tinggi, baby."

Lyan memalingkan wajahnya dan kembali menatap mataku dengan cepat. Aku mencuri kecupan di bibirnya yang sedari tadi memanggil untuk dihisap. Tidak puas hanya sekali kecupan aku kembali mengulanginya. Kali ini sedikit lebih berani. Dia juga ikut membalas kecupanku.

Kami sibuk menikmati sentuhan bibir yang semakin liar. Sebenarnya aku sudah tidak lagi mencengram kuat kedua tangannya dan tampaknya Lyan juga tidak ada niatan untuk melepaskan diri dariku.

"Mau sampai kapan kita berdiri kayak gini. Dekat-dekat sama lo bener-bener nggak aman buat gue," suaranya lirih dan hembusan nafasnya terasa berat.

"Lo maunya gimana?"

"Lo sendiri masih nahan tangan gue."

"Gue takut lo kabur," kataku. Padahal jarak kami sudah sangat terkikis bahkan dada kami saja sudah saling menempel. Tapi aku tetap mendekatkan diri ke arahnya dan kembali mencengram erat pergelangan tangannya.

Dia meringis, "Tangan gue sakit."

Tidak tega melihat tampangnya yang kesakitan. Aku segera melepaskan cengramanku. Lyan mengusap pelan dan berkata lirih, "Lo apain tangan gue, sih. Dia kan nggak salah apa-apa."

"Dia udah nuang kopi ke celana gue."

Lyan terkekeh pelan. Aku melemparkan tatapan kesal yang membuatnya terdiam seketika, "Kan lo duluan yang mulai."

"Bilang aja." Aku menusuk pipinya pelan. Dia sampai terlonjak kaget, "lo pingin liat joni gue, kan?"

"E-enggak ya. Enak aja lo. Ngapain gue liat joni lo." Dia mendorongku menjauh, "jangan dekat-dekat gue engap. Kepanasan."

Lyan beranjak menjauh. Dia sudah mulai terbiasa dengan kegelapan. Badannya kini menempel pada dinding dan mencari sakelar lampu untuk menerangi ruangan. Aku pun sudah cukup jengah dengan kegelapan.

Yang aku inginkan saat ini adalah terus menatap Lyan. Lampu menyala membuat pandanganku tidak beralih sedikitpun ditambah dengan santainya dia mengambil tempat di sampingku membuatku lebih leluasa menatapnya. Entah memang otakku sedang tidak beres atau memang aku yang sedang bernafsu. Kostum yang digunakan Lyan malah semakin menambah keseksiannya. Celana ketat, bagian punggung yang terbuka lebar tampak kontras dengan warna kulitnya membuatku meremang hebat.

Setiap bagian tubuhnya yang terlihat tampak seperti mahakarya yang sempurna. Dadanya membusung indah. Aku belum menemukan dada yang seindah miliknya.

Lyan mulai merapikan kembali rambutnya, "Lo ngerusak pintu depan nggak? Kalo iya lo mesti ganti."

"Nggak gue rusak. Cuma gue kunci doang." Aku mengedikkan bahu malas, "berarti kapan-kapan gue mesti bawa lo keluar."

"Maksud lo apa kapan-kapan? Nggak ada ya begitu-begituan lagi. Parno gue." Dia menatap marah yang malah membuatnya tampak menggemaskan.

"Gue senang aja kita kekunci di studio lo. Tenang, nyaman. Apalagi cuma berdua sama lo."

"GUE NGGAK MAU KEKUNCI LAGI DI SINI SAMA LO." Lyan menekankan setiap kalimat.

"Santai elah. Bercanda doang gue."

Lyan menggenggam tanganku, memohon dengan muka memelas. "Gue pingin pulang Rum. Please."

"Bukannya lo mesti nunggu Dimas ngejemput ya?" Aku memiringkan kepala. Bertanya hal bodoh padanya.

"Kok lo bisa tahu."

"Harusnya dia udah dateng waktu tadi lo telepon dia. Mana? Kok sampe sekarang nggak datang?"

"Gue nggak telpon dia. Cuma nakut-nakutin lo doang. Jawab gue, lo kok bisa tahu kalau dia mau jemput gue?"

"Kalau gue kasih tahu ntar nggak surprise lagi, dong."

Dia menginjak kakiku dengan keras, "Terserah. Gue bakal cari tahu sendiri tanpa harus lo kasih tahu."

Ponsel milik Lyan bergetar di sakuku. Dengan segera aku menekan tombol hijau, me-laudspeaker, dan meninggikan tanganku agar dia tidak bisa merebutnya.

"Dimas," bisikku.

"Lyan. Lyan," suara Dimas terdengar sangat antusias. Yang membuatku mengernyit, "gue dapet job di luar kota. Sorry nggak bisa jemput lo. Tapi tenang aja adiknya teman gue bakal jemput lo sebentar lagi. Lo jangan khawatir sama dia. Gue pastiin lo bakal aman. Gue matiin ya. Ini gue harus pergi. Sorry Lyan, bye."

"Dimas ... Dimas tunggu. Dengerin gue ... " panggilan diputuskan sepihak. Aku tergelak melihat raut wajah Lyan yang kesal.

"Bara yang buat teman lo sibuk." Aku mengatakan dengan jujur, "dan dia nggak punya teman yang bisa jemput lo malam ini."

Sebenarnya aku kasihan melihatnya yang tampak ingin menangis, tapi mengingat bagaimana sulitnya aku menghilangkan noda bekas kopi tadi membuat rasa ibaku menghilang seketika.

"Gue benci sama lo, Rum."

"Tapi gue sayang banget sama lo."

Lyan bersedekap tampak berpikir sambil menghela nafas kasar.

"Lo boleh balas gue sekarang. Mau lempar gue pakai makanan atau minuman atau dua-duanya juga boleh." Air matanya sudah menggenang. Aku tahu itu hanya tipu dayanya saja, "gue pingin pulang. Gue nggak mau kekunci di sini cuma berdua sama lo."

"Nggak seru ah. Gue mau pulang aja. Kalau lo mau keluar lo bisa ikutin gue. Gue bakal keluar pakai cara yang sama kayak gue pas masuk tadi. Habis itu gue anter lo pulang."

Lyan mendengus, "Pulang bareng lo? Makasih, deh. Mending gue kekunci di sini aja, deh."

"Itu jawaban yang gue mau. Ya udah gue tinggal." Aku berbalik dan melangkah pergi.

"Gimana caranya lo keluar kalau kekunci dari luar?" Aku tahu dia ingin keluar dan penasaran tapi gengsinya lebih tinggi.

"Lompat dari jendela. Jangan ikutin gue."

Lyan ternganga. Dia menatap jendela yang kumaksud, "kalau gue ikut lo lompat lo beneran bakal anter gue?"

"Iya," kataku sambil tersenyum.

"Jangan senyum-senyum. Lo bikin gue malah nggak percaya sama lo."

"Terserah lo deh. Gue balik."

"Tungguin ih."

"Males gue." Aku membuka jendela dan bersiap untuk melompat. Aku mendarat dengan aman. Karena tidak ada tanda-tanda Lyan akan menyusul dengan segera aku melangkah pergi.

Drakkk bruakk

"****. Pantat gue."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!