Lyan's
Aku tidak menyarankankan kalian untuk keluar melalui jendela jika kalian tidak tahu bagaimana caranya melompat dengan benar. Atau setidaknya jika ingin melompat pastikan jendela yang akan kalian lompati tidak terlalu tinggi agar tidak menyebabkan cidera yang parah.
Begitu mendarat di tanah aku merasakan sakit di tulang pinggulku. Kakiku bahkan mati rasa karena terlalu shock.
"Pegang tangan gue."
Aku menatap Rumi yang menyodorkan tangannya untuk membantuku tapi kutolak. Dengan segera aku bangkit berdiri dan tersandung saat akan melangkah. Jangan-jangan kakiku patah?
"**** ... aw."
Hampir saja aku terjatuh jika Rumi tidak menahan pinggulku, "Sakit." Aku meratap. Air mataku sudah berlinang memenuhi mataku. Aku kesal, karena saran bodoh dari Rumi aku malah mencelakai sebelah kakiku. Kucengkram kuat dadanya saat dia menahanku. "Pergelangan kaki gue patah ... gara-gara lo ini."
Rumi meringis kesakitan karena cengkramanku. Aku sedikit terhibur. Kemudian dia membalas mengcengkramku ditempat yang sama membuatku meringis kesakitan. "Enak aja salah gue. Ini salah lo sendiri yang main lompat tanpa persiapan."
Aku memindahkan tangannya yang tadi mencengkramku, "Kan lo mau ninggalin gue. Jadinya gue lompat lah."
"Semuanya aja salah gue ya. Emang nggak pernah benar gue di mata lo," katanya sambil menggoyangkan kepalaku ke kanan dan kiri.
"Berhenti, berhenti. Gue pusing." Aku memaksa melepaskan tangannya dari kepalaku. Namun sayang keseimbanganku terganggu aku terjatuh tanpa sempat membalas Rumi, "RUMI ... kurang ajar ya lo. Gue benci banget sama lo."
Aku kira dia akan langsung pergi meninggalkanku karena aku bertingkah menyebalkan, tapi dugaanku salah. Aku terkejut melihat raut wajah Rumi yang melembut. Dia menatap pergelangan kakiku yang membiru kemudian mendesah pelan dan ikut berjongkok di sampingku.
"Jangan dipegang." Aku memperingatinya sebelum tangannya mengenai kakiku.
Aku tahu Rumi akan memutar matanya kesal. Dia tidak menghiraukan perkataanku (seperti biasa) dan mengulurkan tangan untuk memeriksa pergelangan kakiku. Aku setengah berteriak karena takut Rumi akan menekannya tapi dia malah memijat lembut dan membuatku terdiam. Dia juga sampai meluruskan kakiku dan meletakannya di atas pangkuannya.
"Kaki lo nggak patah. Cuma keseleo," katanya sambil menekan di berbagai tempat dan memijatnya pelan seolah dia benar-benar tahu apa yang harus dilakukannya, "tenang Lyn kaki lo bakal sembuh."
Aku menggigit bibirku saat pijatan Rumi terasa menyakitkan.
"Maaf-maaf. Sakit banget pasti." Dia memeriksa sekali lagi kemudian menatap mataku, "besok ke tukang urut aja kalau masih belum baikan. Gimana? Lo masih mau pulang sekarang?"
"Lo yang nganter kan? Tadi lo sendiri yang bilang kalau gue ikut lompat lewat jendela lo bakalan anter gue pulang," kataku membentak.
Rumi mengangguk, "Iya sih gue ngomong gitu tadi. Berarti gak papa kalau lo gue gendong? Dipapah kelamaan. Gue males kalau lama."
"Kalau gue gigit lo berarti lo nggak boleh marah."
"Gue udah terbiasa digigit sama lo kan."
"Terserah. Yang pasti gue pingin pulang. Kaki gue sakit banget dan badan gue udah lengket pingin bersih-bersih habis itu istirahat."
"Iya-iya. Sabar."
Dia benar-benar menggendongku di punggungnya. Hal yang tidak pernah terfikir sebelumnya olehku.
"Sumpah lo berat banget. Kebanyakan makan apa sih lo sampe bikin punggung gue panas."
Aku memukul pundaknya, enak saja padahal berat badanku hanya 48 kg. Berat wanita ideal menurut orang-orang, "Gue nggak seberat itu ya. Sembarangan lo kalau ngomong."
"Gue sebenernya betah debat begini sama lo, tapi lo ngeselin juga lama-lama. Jadi gue lebih milih nganter loepulang dan kita ngelanjutin debat kita besok."
"Kenapa?"
"Pingin nonton blue film gue. Kenapa? Mau ikut?"
"Lo benar-benar minta dipukul ya Rum. Bisa-bisanya lo cerita santai ke gue."
Rumi terkekeh, "Kita udah sama-sama dewasa kali. Udah cukup umur. Lo juga udah lebih dari ngerti. Itu kebutuhan manusia. Nggak munafik dong gue cerita begituan ke lo."
"Otak lo mesti dicuci biar bersih ini." Aku mengacak-acak rambutnya. Membuat keseimbangan kami hampir oleng, "jangan sampai jatuh. Ntar gue masuk rumah sakit. Hobby banget sih lo masukin gue ke sana," omelku. Sudah menjadi rahasia umum soal aku dan Rumi yang tidak bisa akur.
Dari masa sekolah sampai kuliah kami berdua benar-benar musuh bubuyutan yang selalu berkelahi setiap bertemu. Salah satu di antara kami pasti akan terkena getahnya. Entah itu masuk rumah sakit atau masuk ke ruang keamanan. Kami memang tidak selalu berkelahi setiap bertemu kadang kala kami juga mengobrol seperti saat ini meski topik obrolannya tidak jelas dan sangat random. Dan tentu saja hal itu amat sangat jarang terjadi.
"Pegangan yang kencang makanya." Rumi membenarkan posisiku. Aku yang juga tidak ingin terjatuh memeluk erat lehernya dari belakang. Kakiku ini aset dan aku membutuhkannya untuk mengikuti lomba menari dua minggu lagi. Hadiah yang diberikan lumayan untuk menyambung hidupku selama beberapa bulan ke depan. Aku tinggal seorang diri karena Mama harus bekerja di luar kota. Sebenarnya Mama masih sanggup memberiku dana tapi aku ttidakenak jika terus-terusan meminta.
Rumi menggoyangkan badanya membuatku hampir terjatuh, "Jangan kencang-kencang. Lo mau bunuh gue. Gue kecekik."
"Mana ada. Gue nggak kencang rangkulnya."
"Harusnya lo berterima kasih sama gue. Ini malah ngomel-ngomel nggak jelas. Kuping gue sampe pengang."
"Gue lho nggak ngapa-ngapain."
"Turunin juga deh ini." Dia sudah berancang-ancang akan menurunkanku. Aku sedikit berteriak menolak untuk diturunkan, "nggak usah teriak di telinga gue kenapa sih?"
"Lagian lo iseng. Kaki gue masih sakit jangan diturunin. Nggak kuat jalan gue."
"Makannya lo diam." Aku benar-benar terdiam. Suara Rumi yang rendah dan dalam terdengar mengerikan. Mungkin aku sudah sangat keterlaluan sampai Rumi hanya diam tidak lagi menggubrisku. Aku lebih baik diteriaki oleh Rumi dari pada didiamkan seperti ini. Rasanya sangat menakutkan.
"Iya. Gue diem." Aku bercicit. Bibirku terlalu dekat dengan tatto elang yang terdapat di leher sebelah kirinya. Tidak besar aku saja tidak tahu jika Rumi memiliki tatto elang di sana.
Rumi itu iseng. Berkali-kali dia mencelakaiku tapi dia tetap membawaku ke rumah sakit karena rasa bersalahnya. Jika saja dia tidak menyebalkan aku akan dengan senang hati berteman dengan Rumi.
"Aneh rasanya kalau lo diam."
Aku berkedip menatap aneh Rumi dari belakang. "Gue nggak suka ngomong sama lo."
"Gue juga nggak suka ogeb. Terpaksa juga gue ngomong sama lo, tapi seenggaknya sebagai ganti udah gue gendong lo ngomong dong buat ngehibur gue."
"Udah terlanjur nggak moood. Enakan juga diam-diaman biar cepat sampe."
Rumi diam, tapi belum satu menit dia sudah bersuara.
"Lo juga nonton blue film, Lyn."
"Ngapain lo nanya-nanya?"
"Pingin tahu doang. Penasaran gue. Kebanyakan cewek pada risih setiap bahas soal beginian."
"Nonton. Risih ya karena ngebahasnya sama lawan jenis. Kalau sama satu jenis ya nggak risih."
"Kok bisa? Kenapa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments