Lyan's
Menyelesaikan tiga pertemuan mendadak dengan durasi yang amat tidak manusiawi benar-benar menguras emosiku. Aku merasa kembali menjadi anak sekolahan dan itu benar-benar terasa menyebalkan. Harusnya Rabu pagiku sudah ditemani dengan setumpuk novel yang diberikan Dimas sebagai ucapan permintaan maaf tapi semua rencana itu batal.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan mulai membenarkan rambutku yang sudah tidak berbentuk. Hari ini Dimas tidak masuk kelas dia terlalu malas meninggalkan kasurnya dan membuat hariku terasa sepi. Sebelum pulang aku berniat untuk membeli kopi untuk mengembalikkan semangatku.
"Buat lo." Aku berbalik saat mendengar suara Dimas. Dia sudah berdiri di sampingku dengan segelas es kopi favoritku. Dan itu membuatku tersipu.
"Tau aja lo kalau gue butuh kopi."
"Jelas dong. Yang paling kenal lo itu gue."
Aku tersenyum senang sambil memberikan satu kecupan di pipinya. Hanya ingin memperjelas aku tidak memiliki perasaan apa pun pada Dimas begitu pun Dimas padaku. Awal bersahabat dengannya aku memang sempat berpikir untuk berpacaran dengannya, tapi seiring berjalannya waktu kenyaman sebagai sahabat lebih mendominasi dibandingkan sebagai pasangan. Dia terlalu baik dan berharga. Aku sudah merasa beruntung dapat memilikinya sebagai seorang sahabat.
Kami duduk di taman kampus sambil menikmati hembusan angin yang menyegarkan otakku.
"Kelas kita bakal mulai lima belas menit lagi." Dimas memberi tahuku sambil menyesap nikmat kopinya.
"Kelas lagi. Gila emang. Gue mau pulang," kataku sambil menyesap nikmat kopi milikku.
"Nggak ada. Lo masuk kelas sama gue.," protesnya, "dah buruan yuk. Ntar diusir kayak kemarin lagi."
Aku melangkah malas mengikuti Dimas. Sampai sepasang kekasih yang asyik bercengkrama lewat, menabrakku, dan hampir berlalu tanpa memgucapkan maaf.
"Mau kemana lo?" Aku menarik keras tas selempang yang dikenakan wanita itu, "lo udah nabrak gue yang sebesar ini terus mau main kabur aja tanpa minta maaf."
"G ... gue nggak ngerasa ... nabrak lo ... kok." Perempuan itu berkata dengan nada suara pelan yang langsung saja mendapat usapan menenangkan dari pasangannya.
"Santai dong nggak usah marah-marah. Cewek gue takut ini."
"Minta maaf sekarang."
"Sayang." Perempuaan itu malah merengek yang makin membuatku kesal.
"Lo tinggal minta maaf ngapain pakai ngerengek ke cowok lo, sih. Nggak punya mulut apa?"
"Udahlah Lyan. Dilihatin itu, lho."
"Jangan ikut campur," potongku cepat, "masih tetap diam lo, nggak mau minta maaf? Makannya jadi cewek jangan kegatalan sampai buram kalau ada manusia besar di samping lo."
"HEH. Maksud lo apa?"
Aku tersenyum remeh saat melihat wanita itu berubah pucat. Dia pikir dia bisa mengabaikanku.
"Tanya sendiri sama cewek lo. Oh iya, cuma mau ngasih tahu cowok yang lo goda di parkiran itu cowok gue, brengsek."
Aku segera berlalu saat melihat raut wajah mengerikan dari pasangan wanita itu. Dalam hati tertawa puas karena sebentar lagi sudah dipastikan akan ada perang diantara mereka.
"Seneng banget lo bikin rusak hubungan orang."
Ada apa dengan hari ini? Sepanjang hari selalu saja ada gangguan yang memancing emosiku dan dia satu-satunya manusia yang ingin aku hindari sepanjang hidupku. Rumi Abhimaya.
"Ngapain sih lo ikut campur. Pergi sana."
Rumi mengangkat cuek alisnya. Harus aku akui dia memang tampan ditambah dia memiliki rahang tegas dan sorot mata tajam yang makin menambah sempurna guratan di wajahnya. Tidak heran banyak wanita yang mengantri untuk sekedar menghabiskan malam bersama Rumi.
"Udah gue bilang berkali-kali jangan natap gue seintens itu. Gue takut lo jatuh cinta sama gue."
Aku segera mengalihkan tatapanku dari wajah tampannya. Entah kenapa emosiku tidak pernah stabil tiap kali berhadapan dengan makhluk yang satu ini, "Lo terobsesi banget sih sama gue. Mandang lo doang nggak bakal bikin gue jatuh cinta sama lo ya. Gila aja cewek kayak gue dapatnya berandalan kayak lo. Sorry kita beda level."
Rumi terkekeh geli mendengar kalimatku, dia berjalan mendekat meraihku dan mengusap pelan pipiku, "Lo nggak bakal rugi kalau jadi pacar gue. Tapi sayang gue juga nggak tertarik sama pelacur kayak lo."
Aku tersentak mendengar kalimatnya. Kebencian terpancar jelas dikedua mataku. Tidak kupungkiri memang Rumi itu satu-satunya manusia yang dengan mudah menaik turunkan moodku dalam sekejap, "Senang deh dengarnya. Karena lo nggak perlu munafik buat kelihatan baik di depan gue." Aku menyunggingkan senyum sambil membenarkan kerah kemeja yang dikenakannya, "lo salah kalau mau cari masalah sama gue hari ini. Kalau gue jadi lo gue nggak bakal ngedeketin dalam radius 5 meter."
"Seramnya ... "
Aku terlanjur kesal dan melakukan hal yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya karena hal itu biasa kulakukan saat Rumi mencampuri urusan pribadiku.
Kutarik sabuk celana jinsnya dan membuang sisa kopiku ke dalam celananya.
"Ya ampun ya ampun. kok lo sampe ngompol, sih."
Aku tertawa puas melihat raut wajahnya yang menahan emosi. Mukanya sudah berubah merah padam dengan guratan-guratan urat vena yang timbul. Biasanya saat aku sudah mulai menganggu. Rumi akan membalas dua kali lipat lebih parah. Tapi saat ini dia malah menghela nafas panjang dan hanya tersenyum kesal ke arahku.
"Harusnya lo mikir dulu sebelum ngomong Rumi Abhimaya." Aku mengejeknya dengan nada seriang mungkin. Memancing amarah yang biasanya langsung dia muntahkan. Tapi beberapa menit telah berlalu yang ada hanya keheningan diantara kami. Jika seperti ini aku malah merasa bingung sendiri.
Bukan Rumi yang biasanya ini. Batinku.
Rumi bersuara yang malah membuatku terasa tenang, "Lo bakal nyesal," katanya padaku. Suaranya membuat nyaliku menciut seketika. Pelan namun dalam.
"Gue tunggu."
Kami saling menatap dengan penuh dendam seperti biasanya. Menaruh semua kebencian kami ke dalam tatapan. Seolah-olah kami dapat memahami gerakan lawan hanya dari tatapan mata. Kami seperti magnet yang selalu tarik-menarik mencari masalah satu sama lain.
***
"Kenapa sih lo? Nggak bisa diem banget?"
Aku berhenti menggoyang-goyangkan kakiku, dan menatap Dimas, "Gue kayaknya bakal dapat masalah besar, deh."
Sedari tadi aku sibuk memperhatikan kaca spion. Takut jika ada yang membuntuti mobil Dimas. Meski sejauh ini tidak ada yang aneh. Hanya orang-orang yang berlalu-lalang dan tidak memiliki niat buruk pada kami.
"Takut aja ada yang ngebuntutin kita."
Dimas memelankan laju mobilnya agar dapat berbincang denganku.
"Lo ngapain si Rumi lagi, sih. Heran gue."
"Ya gitu. Cuma nyiram celananya pakai kopi," cicitku pelan.
"Lo apa?" suara Dimas melengking. Dia berteriak cukup keras, "kan udah gue bilang berkali-kali jangan ganggu si Rumi elah."
"Dia yang cari masalah duluan, kok. Sukanya ganggu-ganggu gue kalau gue lagi diem. Kan jadi kesal guenya." Aku berteriak meluapkan emosiku.
"Lo lupa apa soal kejadian tahun lalu. Kepala lo hampir dibotakin sama dia." Dimas mulai berceramah. Mengingatkan kembali tingkah nekat apa yang bisa dilakukan Rumi padaku, "habis deh lo sekarang."
"Gue nggak bakal takut ya. Lagian gue udah besar. Udah bisa jaga diri. Lo inget, kan. Gue juga pernah nangkap dia?"
"Iya. Habis itu lo dibanting sampe harus nginap di rumah sakit dua bulan."
Aku meringis membenarkan, "Tapi kan tadi cuma sedikit kopinya."
"Sedikit menurut ngana belum tentu dia juga mikir sama."
Dimas menghentikan mobilnya di depan studioku. Aku bernafas lega karena apa yang kutakutkan tidak terjadi.
"Lo selesai jam berapa?" kata Dimas, "gue jemput. Khawatir gue kalau ngebiarin lo pulang sendiri."
"Jam sembilan kayaknya. Tapi gue mesti latihan buat kompetisi. Jam sebelas deh."
Dimas mengernyit tidak suka saat tahu aku akan pulang larut. Tapi pria itu tidak bisa protes karena aku memiliki alasan yang masuk akal.
"Ya udah. Tunggu sampai gue datang. Gue nggak kasih izinin lo buat pulang malam sendirian."
Raut khawatir yang ditunjukkannya membuat hatiku menghangat. Aku mengulurkan tangan untuk menarik kepalanya dan memberikan kecupan dipipinya dengan cepat, "Siap ma bro. Makasih udah dianterin."
Dimas mengucapkan selamat tinggal dengan setengah hati. Aku tahu dia berat untuk meninggalkanku tapi anak-anak sudah berkumpul dan menungguku di dalam studio. Setelah mobilnya tak terlihat aku segera masuk ke dalam.
"Kak Lyan."
Segerombolan anak yang menunggu berlari ke arahku. Nana, bocah yang paling muda melompat kearahku. Rok tutunya membuat dia tampak menggemaskan.
"Mbak sampai bosan bilangin si Nana kalau roknya khusus buat ballet aja." Ibunya Nana menghampiriku dengan senyum yang terpancar diwajahnya.
"Nggak apa-apa mbak. Rok tutunya kan emang ada yang dipakai buat harian." Aku segera membuka kunci studio, "ayo anak-anak masuk ke dalam. Waktunya menari." Mereka terlihat antusias bahkan mulai berpencar untuk melakukan pemanasan.
Aku sudah menjadi penari ballet selama lebih dari sepuluh tahun. Tapi jika disuruh memilih antara ballet dan sastra aku akan diam karena keduanya memiliki tempat yang sama-sama special di hatiku.
Aku mulai mengajarkan ballet untuk anak-anak yang lebih kecil setelah aku menyadari betapa bahagianya aku saat melihat tawa lepas dari mereka. Meski alasan utamanya adalah uang, setidaknya tidak ada yang dirugikan di sini. Dengan menghabiskan waktu di studio bersama anak-anak aku jadi bisa melupakan kepenatan yang menghampiriku. Mereka membantuku untuk tetap waras dan bahagia.
Aku menyelesaikan kelasku tepat pukul sembilan kurang lima belas. Aku mulai mengantar anak-anak keluar untuk kembali kepada orang tua mereka masing-masing.
Rutinitas yang selalu kujalani selalu sama. Pagi aku berkuliah. Malamnya bekerja mengajar ballet dan sesekali mengikuti pesta untuk mencicipi alkohol atau menghabiskan malam dengan pria asing saat moodku bagus.
Setelah menyelesaikan makan yang tertunda, aku kembali mengambil posisi untuk berlatih. Kompetisi kali ini hadiahnya lumayan dan tidak mungkin aku sia-siakan karena sisanya bisa kutabung.
Aku masih asyik mengikuti irama musik saat lampu tiba-tiba berkelip. Rasa takut menyerang. Studio yang kosong ditambah lampu ruangan yang tidak beres benar-benar kombinasi yang pas untuk melakukan tindak kejahatan.
Mungkin aku terlalu parno dan penakut. Tapi aku benar-benar mendengar suara langkah kaki yang mengikutiku dari belakang. Meski hal itu tidak mungkin karena pintu sudah aku kunci dan hanya aku satu-satunya yang memiliki kunci studio. Aku beranjak mendekat kearah pintu saat kudengar ada suara langkah kaki yang lain.
Aku mencoba memutar handle pintu, "Sialan," desisku. Ternyata aku sudah terkunci di studioku sendiri. Aku menelan ludah kasar. Dengan tangan bergetar aku bergerak cepat mencari ponselku. Saat aku sudah menemukan ponselku lampu tiba-tiba mati.
Dan tidak menyala kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments