Lyan's
Tidak dapat dipungkiri masa remaja memang masa yang penuh dengan rasa penasaran yang tinggi. Entah itu soal pergaulan malam ataupun tentang pergaulan bebas. Dan yang paling banyak dilakukan adalah pergaulan bebas. Kenapa? Karena rayuan dan tentu saja didorong oleh rasa penasaran yang tinggi. Dengan sedikit rayuan dari para buaya dan desakan janji-janji manis palsu sudah pasti para wanita akan tergoda.
Hal itupun terjadi padaku. Setan mana yang berani-beraninya merasukiku sampai aku dengan mudahnya terhasut rayuan yang menyebabkanku menghabiskan malam dengan pria asing yang hanya kukenal namanya.
"Ehmm." Aku membersihkan tenggorokanku. Pagi ini saat terbangun dari tidur aku masih dengan nyamanya bergelung di bawah selimut ditemani pelukan hangat pria asing dan lucunya aku sangat menikmati pelukannya. Napasnya yang panas menggelitik tengkukku dan tiba-tiba saja aku merasakan seluruh tubuhku meremang, "Bisa nggak pindahin tangan lo dari dada gue?"
"Maaf." Dia terkekeh sambil melepaskan tangannya yang tadinya menangkup dadaku. Otomatis membuat dekapannya terlepas.
Sayang sekali.
"Gue nggak perlu jelasin kan apa yang semalam gue lakuin keelo?"
Aku tersenyum geli. Tanpa diberi tahu pun aku sudah tahu apa yang sudah terjadi dengan kami tadi malam. Baju yang berserakan, bantal, dan seprai yang tidak berada di tempat asalnya dan apa lagi ini? Bekas kulit ****** yang dibuang sembarangan, "Nggak usah. Lagian ini bukan pertama kalinya buat gue."
Pria itu tertawa sambil meregakan badan. Otot-otonya melentur dengan nikmat. Lengannya yang tidak terlalu kekar namun berotot ditambah urat-urat hijau yang menonjol saat dia mengepalkan tangannya benar-benar satu nikmat dari tuhan yang tidak mungkin aku sia-siakan. Setidaknya rasa kecewaku sedikit terobati dengan pemandangan indah darinya.
"Lo ada kelas jam berapa?" pertanyaan yang tiba-tiba ditanyakannya membuatku kembali sadar dan segera beranjak bangun meninggalakan kasur.
"Mati gue." Aku menatap jam digital yang sudah menunjukkan pukul tujuh empat lima sedangkan kelas yang harus aku hadiri hari ini pukul delapan lewat sepuluh.
"Lo nggak bermaksud buat mancing gue pake gunung kembar lo, kan? Btw, looks yummy your breasts," suaranya memenuhi ruangan kamar yang hening. Sadar jika aku tidak menggunakan apa pun tanpa aba-aba kutarik seprai putih miliknya untuk menutupi tubuh telanjangku.
"Kamar mandi lo di mana, Galih?" Dia kembali tertawa sambil kembali mencari posisi nyaman di tempat tidur.
"Pintu pertama sebelah kanan di ujung lorong."
Aku tidak peduli dengan tingkah absurdnya karena kelasku akan segera dimulai, "Makasih," ujarku sambil berbalik pergi.
"Woi. Lyan." Dia berteriak saat tanganku hampir menyentuh handle pintu, "nama gue bukan Galih."
***
Akhirnya aku telat mengikuti kelas pagi ini.
"Lyana Aara Belle." Dosen pangampu pagi ini sampai harus memalingkan wajahnya dari buku absen saat memanggil namaku. Sedangkan aku masih berdiam diri di luar ruangan. Beliau tersenyum dingin, "apakah anda yakin anda di sini untuk mengikuti kelas saya?"
Aku menahan diri untuk tidak mengutuk dosen di hadapanku ini. Bagaimana pun juga aku sudah berusaha berangkat dan memberanikan diri untuk hadir meski pun telat. Dengan cepat aku menarik nafas dalam-dalam untuk menghalau kesalku. Biasanya cara ini efektif.
"Iya Pak. Lain kali saya tidak akan terlambat lagi untuk mengikuti kelas Bapak."
Beliau mengangguk dan memberi isyarat agar aku segera mencari tempat duduk. Tanpa menunggu untuk ditegur kedua kalinya aku segera melakukannya. Aku menyelinap ke tempat kosong yang ada di samping sahabatku. Biasanya kami memang selalu duduk berdampingan karena tujuan utama kami duduk bersama adalah mengobrol saat pelajaran berlangsung.
"Gimana Galih?"
Aku mengabaikan Dimas dan lebih memilih untuk duduk diam di tempatku dan berpura-pura mengeluarkan buku catatan. Mulai menulis karena dosen itu masih mengawasiku. Setelah beliau yakin jika aku bisa mengikuti kelas dengan baik beliau kembali menatap laptop dan kembali melanjutkan kelas.
"Gila ya lo. Namanya bukan Galih."
Dimas menundukkan kepalanya. Aku tahu dia pasti tengah menertawakan kebodohanku. Bisa-bisanya aku ditipu. Aku menginjak kakinya dengan keras agar dia terdiam tapi yang ada dia malah semakin menahan tawa sampai wajahnya berubah menjadi merah. Diam-diam aku berharap dosen pengampu di depan mengusirnya keluar dari kelas.
"Seenggaknya lo harus berterimakasih karena gue udah bantu lo supaya lo nggak tidur sama stranger."
"Terserah."
"Lo beruntung ceweknya nggak nyamperin. Semalam dia bawa ceweknya ke party. Coba itu cewek tahu pacarnya bakal tidur sama lo apa nggak ngamuk dia."
"Dimas. Gila ya lo." Aku berucap kesal dengan kejahilan sahabatku yang satu ini.
"Aara Belle, Dimas Pradipta. Silahkan keluar dari kelas saya."
Sialan. Seharusnya aku tidak menanggapi si Dimas. Aku berharap agar dia yang didepak keluar dari kelas tapi yang terjadi malah aku juga ikutan diusir.
Dengan segera kami berdua beranjak pergi meninggalkan kelas dengan dibanjiri tatapan memelas dari teman kelas kami.
"Kalau kita dikeluarin terus bisa-bisa tahun ini kita nggak lulus." Dimas meraih tanganku dan menarikku pergi meninggalkan gedung. Di seberang kampus ada warung tongkrongan yang biasanya kami kunjungi setiap selesai kelas, "Lo belum sarapan, kan? Gue juga. Mending kita isi perut dulu."
Aku tersenyum di belakang Dimas saat pria itu menuntunku masuk ke dalam warung. Meski jahil Dimas merupakan teman terbaik yang pernah kumiliki. Dia tidak pernah mengambil kesempatan dalam kesempitan meski sebenarnya aku tidak masalah jika dia mengajakku melakukan hal yang aneh.
Kami duduk di area outdoor yang biasa kami pilih. Di hadapan kami sudah tersedia seporsi ayam geprek tentu saja bersama es teh dengan nasi goreng hati. Sedangkan untuk Dimas, dia memesan kopi hitam.
"Harusnya kita pacaran aja, Dim." Aku mengucapkannya dengan santai.
Dimas menghela nafas. Walau aku tahu sebenarnya dia menahan diri untuk tidak tertawa dengan kalimat absurdku, "Lo udah sering ngomong kayak gini."
"Ya harusnya lo mempertimbangkan gue, dong." Aku berbicara dengan mulut yang dipenuhi nasi dan ayam geprek level tiga. Membuat Dimas mengernyit jijik, "sejujurnya gue tersinggung tahu lo nolak gue. Emang gue sejelek itu apa sampe lo dengan teganya nolak gue berkali-kali."
Dimas mengelap bibirku yang belepotan dengan tisu, "Listen. Gue tahu lo luar dalam. Lo itu kayak bom waktu yang bisa meledak kapan aja, dan gue nggak mau ambil resiko kena ledakan."
"Sakit sekali everybadeh."
Dia tertawa. Sambil mencuri beberapa potong ayam geprekku yang sontak membuatku melotot kesal, "Kidding Lyan. Lo kan tahu sendiri gue bukan tipe lo dan lo juga bukan tipe gue makannya kita bisa betah temanan."
Aku mendengus, "Bilang aja lo takut nggak bisa ngehandle gue."
"Itu lo tahu. Lo itu kaya badai Lyan. Yang cuma bisa dijinakan sama pusaran air. Sedangkan gue cuma sungai kecil yang nggak bisa nahan lo."
Aku tertawa mendengar perumpamaan aneh dari Dimas. Bisa saja pria ini.
Lyan's
Menyelesaikan tiga pertemuan mendadak dengan durasi yang amat tidak manusiawi benar-benar menguras emosiku. Aku merasa kembali menjadi anak sekolahan dan itu benar-benar terasa menyebalkan. Harusnya Rabu pagiku sudah ditemani dengan setumpuk novel yang diberikan Dimas sebagai ucapan permintaan maaf tapi semua rencana itu batal.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan mulai membenarkan rambutku yang sudah tidak berbentuk. Hari ini Dimas tidak masuk kelas dia terlalu malas meninggalkan kasurnya dan membuat hariku terasa sepi. Sebelum pulang aku berniat untuk membeli kopi untuk mengembalikkan semangatku.
"Buat lo." Aku berbalik saat mendengar suara Dimas. Dia sudah berdiri di sampingku dengan segelas es kopi favoritku. Dan itu membuatku tersipu.
"Tau aja lo kalau gue butuh kopi."
"Jelas dong. Yang paling kenal lo itu gue."
Aku tersenyum senang sambil memberikan satu kecupan di pipinya. Hanya ingin memperjelas aku tidak memiliki perasaan apa pun pada Dimas begitu pun Dimas padaku. Awal bersahabat dengannya aku memang sempat berpikir untuk berpacaran dengannya, tapi seiring berjalannya waktu kenyaman sebagai sahabat lebih mendominasi dibandingkan sebagai pasangan. Dia terlalu baik dan berharga. Aku sudah merasa beruntung dapat memilikinya sebagai seorang sahabat.
Kami duduk di taman kampus sambil menikmati hembusan angin yang menyegarkan otakku.
"Kelas kita bakal mulai lima belas menit lagi." Dimas memberi tahuku sambil menyesap nikmat kopinya.
"Kelas lagi. Gila emang. Gue mau pulang," kataku sambil menyesap nikmat kopi milikku.
"Nggak ada. Lo masuk kelas sama gue.," protesnya, "dah buruan yuk. Ntar diusir kayak kemarin lagi."
Aku melangkah malas mengikuti Dimas. Sampai sepasang kekasih yang asyik bercengkrama lewat, menabrakku, dan hampir berlalu tanpa memgucapkan maaf.
"Mau kemana lo?" Aku menarik keras tas selempang yang dikenakan wanita itu, "lo udah nabrak gue yang sebesar ini terus mau main kabur aja tanpa minta maaf."
"G ... gue nggak ngerasa ... nabrak lo ... kok." Perempuan itu berkata dengan nada suara pelan yang langsung saja mendapat usapan menenangkan dari pasangannya.
"Santai dong nggak usah marah-marah. Cewek gue takut ini."
"Minta maaf sekarang."
"Sayang." Perempuaan itu malah merengek yang makin membuatku kesal.
"Lo tinggal minta maaf ngapain pakai ngerengek ke cowok lo, sih. Nggak punya mulut apa?"
"Udahlah Lyan. Dilihatin itu, lho."
"Jangan ikut campur," potongku cepat, "masih tetap diam lo, nggak mau minta maaf? Makannya jadi cewek jangan kegatalan sampai buram kalau ada manusia besar di samping lo."
"HEH. Maksud lo apa?"
Aku tersenyum remeh saat melihat wanita itu berubah pucat. Dia pikir dia bisa mengabaikanku.
"Tanya sendiri sama cewek lo. Oh iya, cuma mau ngasih tahu cowok yang lo goda di parkiran itu cowok gue, brengsek."
Aku segera berlalu saat melihat raut wajah mengerikan dari pasangan wanita itu. Dalam hati tertawa puas karena sebentar lagi sudah dipastikan akan ada perang diantara mereka.
"Seneng banget lo bikin rusak hubungan orang."
Ada apa dengan hari ini? Sepanjang hari selalu saja ada gangguan yang memancing emosiku dan dia satu-satunya manusia yang ingin aku hindari sepanjang hidupku. Rumi Abhimaya.
"Ngapain sih lo ikut campur. Pergi sana."
Rumi mengangkat cuek alisnya. Harus aku akui dia memang tampan ditambah dia memiliki rahang tegas dan sorot mata tajam yang makin menambah sempurna guratan di wajahnya. Tidak heran banyak wanita yang mengantri untuk sekedar menghabiskan malam bersama Rumi.
"Udah gue bilang berkali-kali jangan natap gue seintens itu. Gue takut lo jatuh cinta sama gue."
Aku segera mengalihkan tatapanku dari wajah tampannya. Entah kenapa emosiku tidak pernah stabil tiap kali berhadapan dengan makhluk yang satu ini, "Lo terobsesi banget sih sama gue. Mandang lo doang nggak bakal bikin gue jatuh cinta sama lo ya. Gila aja cewek kayak gue dapatnya berandalan kayak lo. Sorry kita beda level."
Rumi terkekeh geli mendengar kalimatku, dia berjalan mendekat meraihku dan mengusap pelan pipiku, "Lo nggak bakal rugi kalau jadi pacar gue. Tapi sayang gue juga nggak tertarik sama pelacur kayak lo."
Aku tersentak mendengar kalimatnya. Kebencian terpancar jelas dikedua mataku. Tidak kupungkiri memang Rumi itu satu-satunya manusia yang dengan mudah menaik turunkan moodku dalam sekejap, "Senang deh dengarnya. Karena lo nggak perlu munafik buat kelihatan baik di depan gue." Aku menyunggingkan senyum sambil membenarkan kerah kemeja yang dikenakannya, "lo salah kalau mau cari masalah sama gue hari ini. Kalau gue jadi lo gue nggak bakal ngedeketin dalam radius 5 meter."
"Seramnya ... "
Aku terlanjur kesal dan melakukan hal yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya karena hal itu biasa kulakukan saat Rumi mencampuri urusan pribadiku.
Kutarik sabuk celana jinsnya dan membuang sisa kopiku ke dalam celananya.
"Ya ampun ya ampun. kok lo sampe ngompol, sih."
Aku tertawa puas melihat raut wajahnya yang menahan emosi. Mukanya sudah berubah merah padam dengan guratan-guratan urat vena yang timbul. Biasanya saat aku sudah mulai menganggu. Rumi akan membalas dua kali lipat lebih parah. Tapi saat ini dia malah menghela nafas panjang dan hanya tersenyum kesal ke arahku.
"Harusnya lo mikir dulu sebelum ngomong Rumi Abhimaya." Aku mengejeknya dengan nada seriang mungkin. Memancing amarah yang biasanya langsung dia muntahkan. Tapi beberapa menit telah berlalu yang ada hanya keheningan diantara kami. Jika seperti ini aku malah merasa bingung sendiri.
Bukan Rumi yang biasanya ini. Batinku.
Rumi bersuara yang malah membuatku terasa tenang, "Lo bakal nyesal," katanya padaku. Suaranya membuat nyaliku menciut seketika. Pelan namun dalam.
"Gue tunggu."
Kami saling menatap dengan penuh dendam seperti biasanya. Menaruh semua kebencian kami ke dalam tatapan. Seolah-olah kami dapat memahami gerakan lawan hanya dari tatapan mata. Kami seperti magnet yang selalu tarik-menarik mencari masalah satu sama lain.
***
"Kenapa sih lo? Nggak bisa diem banget?"
Aku berhenti menggoyang-goyangkan kakiku, dan menatap Dimas, "Gue kayaknya bakal dapat masalah besar, deh."
Sedari tadi aku sibuk memperhatikan kaca spion. Takut jika ada yang membuntuti mobil Dimas. Meski sejauh ini tidak ada yang aneh. Hanya orang-orang yang berlalu-lalang dan tidak memiliki niat buruk pada kami.
"Takut aja ada yang ngebuntutin kita."
Dimas memelankan laju mobilnya agar dapat berbincang denganku.
"Lo ngapain si Rumi lagi, sih. Heran gue."
"Ya gitu. Cuma nyiram celananya pakai kopi," cicitku pelan.
"Lo apa?" suara Dimas melengking. Dia berteriak cukup keras, "kan udah gue bilang berkali-kali jangan ganggu si Rumi elah."
"Dia yang cari masalah duluan, kok. Sukanya ganggu-ganggu gue kalau gue lagi diem. Kan jadi kesal guenya." Aku berteriak meluapkan emosiku.
"Lo lupa apa soal kejadian tahun lalu. Kepala lo hampir dibotakin sama dia." Dimas mulai berceramah. Mengingatkan kembali tingkah nekat apa yang bisa dilakukan Rumi padaku, "habis deh lo sekarang."
"Gue nggak bakal takut ya. Lagian gue udah besar. Udah bisa jaga diri. Lo inget, kan. Gue juga pernah nangkap dia?"
"Iya. Habis itu lo dibanting sampe harus nginap di rumah sakit dua bulan."
Aku meringis membenarkan, "Tapi kan tadi cuma sedikit kopinya."
"Sedikit menurut ngana belum tentu dia juga mikir sama."
Dimas menghentikan mobilnya di depan studioku. Aku bernafas lega karena apa yang kutakutkan tidak terjadi.
"Lo selesai jam berapa?" kata Dimas, "gue jemput. Khawatir gue kalau ngebiarin lo pulang sendiri."
"Jam sembilan kayaknya. Tapi gue mesti latihan buat kompetisi. Jam sebelas deh."
Dimas mengernyit tidak suka saat tahu aku akan pulang larut. Tapi pria itu tidak bisa protes karena aku memiliki alasan yang masuk akal.
"Ya udah. Tunggu sampai gue datang. Gue nggak kasih izinin lo buat pulang malam sendirian."
Raut khawatir yang ditunjukkannya membuat hatiku menghangat. Aku mengulurkan tangan untuk menarik kepalanya dan memberikan kecupan dipipinya dengan cepat, "Siap ma bro. Makasih udah dianterin."
Dimas mengucapkan selamat tinggal dengan setengah hati. Aku tahu dia berat untuk meninggalkanku tapi anak-anak sudah berkumpul dan menungguku di dalam studio. Setelah mobilnya tak terlihat aku segera masuk ke dalam.
"Kak Lyan."
Segerombolan anak yang menunggu berlari ke arahku. Nana, bocah yang paling muda melompat kearahku. Rok tutunya membuat dia tampak menggemaskan.
"Mbak sampai bosan bilangin si Nana kalau roknya khusus buat ballet aja." Ibunya Nana menghampiriku dengan senyum yang terpancar diwajahnya.
"Nggak apa-apa mbak. Rok tutunya kan emang ada yang dipakai buat harian." Aku segera membuka kunci studio, "ayo anak-anak masuk ke dalam. Waktunya menari." Mereka terlihat antusias bahkan mulai berpencar untuk melakukan pemanasan.
Aku sudah menjadi penari ballet selama lebih dari sepuluh tahun. Tapi jika disuruh memilih antara ballet dan sastra aku akan diam karena keduanya memiliki tempat yang sama-sama special di hatiku.
Aku mulai mengajarkan ballet untuk anak-anak yang lebih kecil setelah aku menyadari betapa bahagianya aku saat melihat tawa lepas dari mereka. Meski alasan utamanya adalah uang, setidaknya tidak ada yang dirugikan di sini. Dengan menghabiskan waktu di studio bersama anak-anak aku jadi bisa melupakan kepenatan yang menghampiriku. Mereka membantuku untuk tetap waras dan bahagia.
Aku menyelesaikan kelasku tepat pukul sembilan kurang lima belas. Aku mulai mengantar anak-anak keluar untuk kembali kepada orang tua mereka masing-masing.
Rutinitas yang selalu kujalani selalu sama. Pagi aku berkuliah. Malamnya bekerja mengajar ballet dan sesekali mengikuti pesta untuk mencicipi alkohol atau menghabiskan malam dengan pria asing saat moodku bagus.
Setelah menyelesaikan makan yang tertunda, aku kembali mengambil posisi untuk berlatih. Kompetisi kali ini hadiahnya lumayan dan tidak mungkin aku sia-siakan karena sisanya bisa kutabung.
Aku masih asyik mengikuti irama musik saat lampu tiba-tiba berkelip. Rasa takut menyerang. Studio yang kosong ditambah lampu ruangan yang tidak beres benar-benar kombinasi yang pas untuk melakukan tindak kejahatan.
Mungkin aku terlalu parno dan penakut. Tapi aku benar-benar mendengar suara langkah kaki yang mengikutiku dari belakang. Meski hal itu tidak mungkin karena pintu sudah aku kunci dan hanya aku satu-satunya yang memiliki kunci studio. Aku beranjak mendekat kearah pintu saat kudengar ada suara langkah kaki yang lain.
Aku mencoba memutar handle pintu, "Sialan," desisku. Ternyata aku sudah terkunci di studioku sendiri. Aku menelan ludah kasar. Dengan tangan bergetar aku bergerak cepat mencari ponselku. Saat aku sudah menemukan ponselku lampu tiba-tiba mati.
Dan tidak menyala kembali.
Rumi's
"Bar. Lo udah dapat info belum?"
Aku mendengar suara aneh dari sisi lain ruangan. Tapi konsetrasiku terputus saat Bara berbicara.
"Harusnya dia dijemput jam sebelas. Gimana keadaan di sana?"
Aku mengintip dari balik kemudi. Sekumpulan orang tua yang masih menunggu anak-anaknya tampak mengobrol santai di luar studio, "Bentar lagi anak-anak bakal pulang."
Baru selesai berkata pintu studio terbuka. Semua anak berlarian keluar mencari orangtua mereka masing-masing. Dengan pakaian ketat khas para penari ballet aku melihat Lyan yang muncul paling terakhir, anak rambutnya berantakan, dan memenuhi sebagian wajahnya. Namun senyum puas terpantri di sana.
"Rumi. Woi Rum. Lo masih di sana, kan?"
Aku menjauhkan ponselku dari telinga. Suara Bara yang tiba-tiba berteriak membuat gendang telingaku pengang, "Iya-iya sorry. Ngelamun gue."
Bara mendengus, "Pasti gara-gara Lyan. Setiap ada dia di sekitar lo pasti lo banyak ngelamun."
"Bawel." Aku segera bergerak keluar saat meyakini jika para orangtua itu sudah meninggalkan studio. Setelah memperhatikan sekitar aku segera menyusup masuk melewati jendela. Berusaha untuk tidak menimbulkan banyak suara agar tidak ada yang curiga, "dengarin gue sekarang. Buat si Dimas sibuk sampai tengah malam. Lo bisa, kan?" kataku sambil mengunci kembali jendela yang kumasuki.
"Bisa, sih. Emang lo mau ngapain? Bukannya lo udah ngerjain dia?" tanya Bara.
Aku menyeringai, "Ada yang mau gue lakuin ke dia. Mending lo langsung halangi si Dimas deh dari pada nanya mulu."
"Oke-Oke. Tapi ingat lo utang minuman sama gue."
"Iya." Aku mematikan ponselku sepihak dan mengganti menjadi mode diam agar tidak ada yang menggangguku saat ini. Aku masih mengamati Lyan yang kini masuk sambil membawa tas dari delivery food.
Aku melihat dia yang duduk membelakangiku sambil membuka makananya. Makan malam yang terlewat. Dari tempatku bersembunyi aku jadi bisa memperhatikannya lebih lama meski hanya punggungnya saja.
Melihatnya yang tampak asyik dan tidak terganggu dengan kehadiranku membuatku segera menyelinap dan mengunci pintu. Saat aku kembali Lyan sudah tidak berada di tempatnya. Dia sudah berdiri di depan kaca besar dan bersiap untuk memulai latihan rutinnya.
Aku menemukan spot yang bagus untuk bersembunyi. Tempat yang lebih leluasa untuk memperhatikan Lyan tanpa wanita itu sadari. Mungkin terdengar seperti stalker, tapi memang itu yang sedang kulakukan sekarang. Membuntuti dan memperhatikan seorang Lyan Aara-Belle.
Di dunia ini Lyan itu satu-satunya manusia yang paling aku benci. Walaupun dia seorang wanita tidak ada kata ampun baginya setiap kali dia memancing emosiku.
Dia itu orang yang paling sombong, menjengkelkan, kasar, dan egois yang pernah ku kenal. Meski dia selalu bersikap hangat pada orang lain menurutku itu hanya tipu daya agar semua orang menilainya baik. Lyan itu manusia yang penuh kepalsuan.
Meski begitu harus kuakui dia hebat untuk urusan menari. Aku sendiri sampai kagum. Melihatnya yang sedang menari mengikuti irama dengan meliukan pinggul membuat pikiran kotorku bekelana.
Tapi aku masih tetap membenci dia.
Lyan sedikit menghiburku saat aku menunggu untuk menjalankan rencanaku diwaktu yang tepat. Setelah dua jam berlatih akhirnya dia memutuskan untuk beristirahat. Dia menyeka wajah dan tubuhnya yang berkeringat dengan handuk kecil. Melihatnya yang tampak terengah-engah karena kelelahan memberi efek lain pada tubuhku. Ruangan yang dingin malah membuatku panas seketika.
Terlalu lama menunggu membuatku bosan. Saat Lyan mencari sesuatu aku menyelinap untuk mencapai sakelar. Dan langsung menyeringai membayangkan bagaimana ekspresi Lyan nanti. Tanpa rasa bersalah aku mematikan lampu.
"Akh..." Lyan berteriak cukup kencang. Merasa ini cukup menyenangkan aku kembali menghidupkan lampu.
Aku kembali menunggu dan mematikan lagi lampu ruangan tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Kali ini Lyan tidak berteriak dan aku tahu dia sudah mulai panik. Sebenarnya aku penasaran bagaimana raut wajahnya yang panik dan ketakutan karena tingkahku. Aku berharap dapat melihat wajahnya sekarang. Pasti rasanya menyenangkan melihat dia menderita karena aku.
Aku melangkah menjauh saat melihat Lyan yang sudah ketakutan. Dia mencoba meraih sesuatu yang kuyakini itu ponsel miliknya. Karena tidak sabar aku segera keluar dari persembunyianku. Lyan yang terlanjur takut tetap berteriak membuatku tahu di mana letak posisinya meski lampu ruangan padam.
"S-siapa lo?" suaranya bergetar karena ketakutan. Rasanya aku ingin tertawa tapi sebisa mungkin aku tahan, "gue bakal lapor polisi kalau lo ganggu gue."
"Halo. Halo Dimas! Dim tolongin gue ... "
Tanpa berpikir panjang aku segera bergerak maju. Mendorongnya sampai jatuh hingga dia berteriak keras dan ponsel yang digenggamnya terlempar beberapa meter dari tangannya.
"AHHHHHHHH. PLEASE JANGAN BUNUH GUE."
Dia memberontak dalam pelukanku. Aku mengernyit heran. Kenapa ada orang bodoh macam dia. Jika dia benar-benar diculik saat ini pasti dia akan langsung dibunuh karena sangat berisik dan mengganggu.
Aku segera meraih ponselnya dan memasukkan ke dalam kantong. Untung saja lampu ruangan sudah kupandamkan. Jadi dengan jarak sedekat ini dia tidak akan tahu siapa aku.
"PLEASE ... PLEASE ... JANGAN BUNUH GUE. LO BISA AMBIL SEMUA UANG SAMA BARANG GUE. TAPI BIARIN GUE PERGI. GUE NGGAK BAKAL LAPOR KE SIAPA-SIAPA."
"Harusnya lo yang kabur dari gue?" Aku bertanya dengan suara berat. Berharap dia tidak mengeli suaraku.
"PLEASE PERGI. JAUH-JAUH DARI GUE."
"Gue aja nggak ada pegang lo sama sekali."
"PLEASE JAUH-JAUH DARI GUE. GUE TAHU LO MAU BUNUH GUE." Lyan menjauh dariku dan menyerangku dengan pukulan bertubi-tubi. Dasar manusia aneh bukannya lari malah mencoba melawan.
"Aw ... aw ... ngapain sih lo. Jangan tarik rambut gue gila." Aku mencoba melepaskan diri dari serangannya. Kulit kepalaku terasa perih karena dia menjambak rambutku dengan keras.
"GUE NGGAK BAKAL BIARIN LO BUNUH GUE," katanya, sambil berteriak di telingaku. Aku yang sudah tidak kuat dengan siksaan yang dia berikan dengan segera melepaskan diri. Memukul perutnya pelan hanya untuk memberi efek kejut.
"Apa-apaan sih lo. Lagian siapa yang mau ngebunuh lo."
"ELO YANG MAU BUNUH GUE BRENGSEK."
Setelah itu tidak ada satu pun suara yang keluar dari kami.
"Gue kenal suara loe" ujar Lyan seketika.
Bagus Rumi. Akhirnya lo ketahuan.
"Bagus deh kalau lo tahu siapa gue," kataku sambil membenarkan rambutku yang sudah tidak berbentuk.
"Ini bukan suara asli lo."
Aku memutar mata kesal, "Terus suara gue harus gimana?"
Rencanaku gagal dan Lyan sudah tidak tampak ketakutan lagi. Lagian untuk apa aku mengajukan ide menakuti Lyan hanya untuk satu tiket bioskop bergenre horor padahal aku tidak suka film horor. Aku pasti sudah tidak waras.
"Kembaliin hp gue." Lyan memerintah sambil mengadahkan tangannya entah kearah mana.
"Oke. Tangkap, nih."
Aku mendengar suara tangan yang ditepuk tanda bersiap menerima lemparan ponsel dariku. Aku tertawa melihat tingkah konyolnya, "Lo percaya gue bakal ngasih hp lo cuma-cuma."
"Awas lo, kalau sampai gue tau siapa loe. Gue bakal habisin lo pakai tangan kosong."
Aku menariknya mendekat. Punggungnya kutekan kearah dadaku kedua tangannya kukunci dengan satu tanganku. Sedangkan tanganku yang satunya mendekap tubuhnya (tahu maksudnya kan😂😂😂) dengan posisi ini aku dapat menghindu aroma tubuhnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!