Bab 4 Mulai untuk berburu

Matahari kembali menunjukkan wajahnya. Semalaman Agasa terjaga untuk menulis cetak biru dari Arc Quantum Reactor hingga Ia akhirnya tertidur di atas meja kerja.

Sementara itu, anak yang semalam dikejar oleh puluhan zombie sedang tertidur pulas di dalam tenda. Luka di lengannya sudah diobati. Terlihat Teo sedang bersantai sementara di tepi pembatas dinding gedung. 

"Kau sudah bangun?" Tanya Teo sambil menyeruput kopi hitam panas.

"Dari mana kau mendapatkan kopi itu?" Tanya Agasa sambil menguap.

"Kau lupa kita di mana?" Ucap Teo.

"Aha, kau baru hunting makanan di lantai bawah?" Pikir Agasa.

"Sayangnya untuk pagi ini tidak, karena lantai di bawah telah dipenuhi oleh puluhan zombie," ucap Teo.

"Zombie? kenapa mereka bisa mencapai lantai tujuh?" Tanya Agasa bingung.

"Darah," jawab Teo.

"Darah? Milikmu?" Tanya Agasa bingung.

"Bukan, tapi milik anak yang sedang tidur di dalam tenda," jawab Teo.

Agasa baru sadar bila ada anak laki-laki yang tertidur di dalam tenda. Sedari tadi ia hanya bangun tanpa melihat siapa yang tidur di sebelahnya. 

"Tenda? ada orang di dalam tenda?" Tanya Agasa. Ia melihat ke dalam tenda.

"Anak laki, dari mana datangnya?" Tanya Agasa ke Teo. Ia melihat dari kejauhan.

"Tadi malam, Ia baru saja lari marathon bersama para zombie. Luka di lengan kanannya membuat para zombie mengikutinya. Aku hanya berpendapat, mereka menyukai bau darah," ucap Teo.

"Kau menolongnya? Baguslah," ucap Agasa. Ia menyeduh satu sachet kopi di cangkir yang sudah dicuci oleh Teo.

Sebelum ia menyeduh, Agasa melihat tanggal kedaluwarsanya. Masih tersisa satu bulan sebelum kedaluwarsa.

"Lalu, pagi ini kita makan apa? Sarden kaleng lagi, kah?" tanya Agasa. Menyeruput kopi yang diseduhnya.

"Aku baru memanah dua burung merpati yang terbang rendah tadi. Kau bisa mulai memasaknya, Aku baru membersihkannya tadi," ucap Teo. 

Ia menaruh cangkirnya dan mengambil busur panah yang ia temukan di gudang kantor.

"Busur itu, memangnya kau bisa menggunakannya?" Tanya Agasa.

"Tentu saja. Aku lumayan handal untuk menggunakan busur panah," ungkap Teo yang menyeruput kembali kopinya.

"Apa ini takdir? Kau seperti sosok hero dalam dunia anime bergenre isekai di Jepang. Apa ada lagi yang belum kau beritahukan padaku?" Pikir Agasa. Ia meledek Teo sambil tersenyum.

Keduanya menatap lurus ke batas horizon yang berada di sela-sela gedung kota yang terbengkalai. Saling tersenyum dan menertawai apa yang mereka katakan. 

"Dari pada memikirkanku, lebih baik berpikir untuk mengupgrade senjata. Anak panah ini terbatas, aku harus membuat anak panah baru untuk berjaga-jaga," ucap Teo.

"Apa ada perkakas? Kita bisa membuatnya dari panel besi yang berada di sini. Atau kau perlu yang berbahan dasar kayu?" Tanya Agasa.

"Apa pun itu, aku terima," balas Teo.

Ia meletakkan cangkir kopinya dan mengambil busur miliknya. Teo mencoba memanah cangkir yang ditaruh di tepi pembatas gedung.

Perlahan, ia menarik tali busurnya. Kedua matanya menatap lurus menargetkan cangkir tersebut. Ia mengembuskan napas sebentar dan langsung melepaskan tali busurnya. 

Satu anak panah melesak cepat.

WUSH!!!

TAK!!!

Cangkir itu terkena anak panah hingga jatuh ke bawah menimpa beberapa zombie.

Beberapa saat kemudian, dari dalam tenda, anak itu baru saja terbangun. Ia menguap sambil melakukan peregangan badan. Tercium sebuah bau harum seperti daging dibakar. 

Ia menoleh keluar tenda, sorotan cahaya matahari memantul silau ke matanya. Ia melihat pria tua sedang memanggang sebuah daging berbentuk seperti seekor ayam.

"Kau sudah sadar?" Tanya Teo duduk di depan Agasa sambil menyusun 3 piring untuk mereka.

"Apa aku pingsan?" Tanya anak itu.

"Entahlah, kau pingsan dan terus lanjut tertidur sampai pagi," sahut Agasa. 

Ia mengangkat daging itu dari api.

Anak itu duduk di samping Agasa dengan rasa malu. Perutnya keroncongan, menandakan ia begitu lapar. Sedari tadi, ia terus melihat ke arah daging yang sedang dipotong oleh Agasa.

"Makanlah, kau perlu banyak energi untuk pagi ini," ucap Agasa memberikan potongan daging ke anak itu.

"Siapa namamu?" Tanya Agasa.

Anak itu makan dengan lahap. Ia bahkan tidak merespon pertanyaan Agasa.

"Pelan-pelan, kau bisa tersedak nanti," sahut Teo. 

Ia ikut duduk di samping Agasa setelah selesai latihan memanah. Teo mengambil bagian dagingnya dan memakannya dengan perlahan.

"Apa tanganmu sudah sembuh?" Tanya Agasa kembali.

"Ha? Oh, sudah. Lengan tangan Alwi sudah sembuh," ucapnya sambil tersenyum.

"Alwi? Apa itu namamu?" Tanya Agasa.

"Iya benar, Kek." Alwi melanjutkan makannya lagi.

"Kek? Pfffttt…." Teo menahan tawa.

"Diam Kau! Dan kau! Panggil aku Profesor Agasa," bentak Agasa.

"Si–siap, Profesor!" seru Alwi sambil tangannya memberi hormat.

Teo tidak bisa menahan candaan konyol Alwi yang seenaknya saja asal memanggil. Namun hal itu justru memecah keheningan di pagi hari. 

"Dari mana asal negaramu?" Tanya Agasa.

"Indonesia, benar, 'kan?" Tanya Teo.

"Kakak tahu dari mana? Tanya Alwi.

"Anggap saja kita jodoh. Kakak juga berasal dari Indonesia. Dan kakek tua ini berasal dari Jepang," jelas Teo.

"Sebenarnya kita ada di mana, Kak? Kenapa ada zombie? Ini Jakarta, bukan?" Tanya Alwi beruntun.

"Profesor, buat dirimu berguna dengan gelar itu," sindir Teo.

"Ia menyebalkan!" Kesal Agasa dalam hati.

Perlahan-lahan, Agasa menjelaskan keadaan mereka secara singkat ke Alwi.

"Saat ini kita ada di dunia paralel, Alwi. Lebih tepatnya Bumi ke-2 dari Bumi kita, atau disebut sebagai dunia cermin atau universe lain," jelas Agasa.

"Kau paham?" Tanya Teo.

"Jadi ini adalah Bumi ke-2 atau Universe lain. Lalu, kenapa kita bisa berada di sini?" Tanya Alwi lagi.

"Terakhir kali, Alwi sedang mengaji di rumah, dan tiba-tiba ada cahaya putih yang menyilaukan dari luar rumah. Setelah itu Alwi sudah tidak bisa melihat lagi. Dan tiba-tiba Alwi sudah ada di kota ini," ucap Alwi bingung.

"Oh, itu karena salah dirinya," tunjuk Teo ke Agasa.

"Terima kasih, dan sekarang aku merasa seperti seorang penjahat multiverse karena sudah membuat kalian berdua terdampar di sini," sindir Agasa.

"Maksudnya?" Tanya Alwi bingung.

"Intinya adalah badai energi yang disebabkan oleh ledakan Quantum Ark adalah penyebabnya, selesai, titik!" Seru Teo.

"Apakah saat bertemu orang lain lagi kita harus menjelaskan secara detail mengenai alasan penyebab ia di sini?" Tanya Teo yang merasa kesal.

"Kurasa kita bisa melakukan open recruitment dan melakukan bagian pendahuluan itu sesering mungkin," canda Agasa. Ia tertawa lepas.

Setelah mereka bertiga menyelesaikan makannya, Teo mempersiapkan katana yang sudah diasah. Ia juga mempersiapkan busur dan anak panah, serta beberapa pisau dan kapak. 

Lalu, Agasa memilih untuk kembali menuju ke ruang kantor. Ia ingin menyelesaikan cetak biru dari Arc Quantum Reactor secepat mungkin.

Alwi yang bingung ingin melakukan apa, memilih untuk menghampiri Teo. Ia melihat apa yang sedang Teo lakukan. 

"Apa Kakak akan berburu?" Alwi mencoba memegang busur panah dan coba bergaya seperti akan memanah.

"Kau bisa memanah?" Tanya Teo.

"Tentu, Alwi pernah ikut lomba panah amatir dan juara dua," jawabnya.

"Hanya juara dua? Artinya kau belum terlalu expert," sahut Teo. Ia menyarungkan lagi katana miliknya.

"Ke mana Kakak akan berburu? Tanya Alwi.

"Kawasan stadion Senayan dan jalan tol," ucap Teo. 

"Alwi lupa, kita berada di Jakarta. Apa Alwi boleh ikut?" Tanya bocah itu. 

"Pegang busur dan anak panah itu, jangan sampai hilang dan rusak," sahut Teo. Ia memberi isyarat kepada Alwi untuk ikut.

"Siap!" Teriak Alwi sambil tersenyum.

Teo tidak berpamitan dengan Agasa. Ia langsung mengajak Alwi menuruni tangga rooftop dan menuju ke koridor yang di barikade oleh Teo. 

Para zombie sudah menghilang, namun Teo mencoba melangkah perlahan dan meminta Alwi menunggu di belakangnya. 

Ia mengintip dari tumpukan furniture. Saat merasa aman, Teo segera menyingkirkan barikade tersebut dari koridor. Alwi pun ikut membantunya.

"Mereka hilang? Bagaimana mungkin?" Tanya Alwi Penasaran.

"Aku tidak peduli, yang penting kita bisa dapat hewan buruan hari ini," sahut Teo. Ia memandu Alwi dengan berjalan di depannya. 

Alwi bersiaga dengan busur dan anak panahnya. Ia melihat sekeliling, hatinya berdetak cepat, Ia merasa takut dan was-was secara bersamaan. Perlahan berjalan, mereka menuruni eskalator hingga menuju lantai dasar.

"Darah Alwi tidak ada sisanya?" Tanya Alwi bingung.

"Mungkin mereka menjilatinya. Seperti wine, itulah darahmu," pikir Teo. Mereka keluar dari area pusat perbelanjaan.

"Stop!" seru Teo. 

Ia berhenti melangkah, di depannya terdapat satu zombie sedang diam sambil menatap ke arah Teo dengan tatapan kosong.

"Kau bisa memanah tepat di dahinya?" Tanya Teo.

"Alwi coba, yah?" Ia mengambil kuda-kuda untuk memanah. Perlahan Alwi menarik tali busurnya dan melepaskan satu anak panah yang melesak lurus.

WUSH!!!

Anak panah itu menancap masuk ke dalam mata kiri zombie. Ia terjungkal ke belakang dan langsung tidak bergerak.

"Nice! Tapi meleset, tapi bagus, tapi itu jelek," sindir Teo. 

Ia menghampiri zombie itu dan menarik anak panahnya kembali. Teo langsung membersihkan bekas darah hitam yang tercium busuk milik makhluk itu.

"Sebenarnya Kakak memuji atau menghina?" Tanya Alwi bingung.

"Cepatlah! Kita harus bergegas!" Teriak Teo mulai berlari. Alwi pun mengikutinya dari belakang.

DUAR!!!

Seketika Teo terkejut dan berhenti. Pelipis matanya terkena sambaran peluru dari senjata api. Ia menyuruh Alwi ikut berhenti dan berlindung di belakangnya.

Ia melihat ada seseorang yang berdiri sambil merokok dan memegang pistol.

"Ternyata masih ada yang hidup, kukira aku sudah membunuh mereka semua," ucap orang asing. 

Di sampingnya ada lima mayat manusia yang baru saja tewas dengan tembakan serta tusukan di tubuhnya.

"Kau membunuh mereka semua?" Tanya Teo. 

Tangannya mengambil pisau yang ia letakkan di saku belakang celana. Teo menggenggam erat pisau itu sambil terus berjaga-jaga.

"Mereka hanya sampah di dunia game virtual ini," ucap orang asing.

"Dunia Game? Apa kau berpikir saat ini kita berada di dalam game virtual reality?" Tanya Teo kembali.

"Lalu apa? Tidak mungkin ini bumi asli, bukan?" jawabnya balik.

"Aku, Teo!" Teriaknya mencoba berdamai.

"Jeremiah," jawabnya.

"Apa kau tahu akibat dari membunuh mereka?" Tanya Teo.

"Berdosa?" jawab Jeremiah.

"Itu salah satunya, dan yang lainnya adalah kau memancing para zombie untuk datang!" Teriak Teo. 

Tiba-tiba dari arah lain, ratusan kawanan zombie berdatangan dari dua belokan jalan.

mereka berlarian secara berbondong-bondong menuju ke arah tumpukan mayat yang berada di dekat Jeremiah.

"Kita harus ke mana, Kak!" Teriak Alwi ketakutan.

Terpopuler

Comments

Amon Rah

Amon Rah

nah dipanggil kakek kan sama bocah 😅

2023-03-25

1

Amon Rah

Amon Rah

🤣 dasar kakek-kakek

2023-03-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!