"Maksudmu saat ini kita berada di dunia paralel?!" Seru Agasa yang merasa terkejut. Ia sampai menarik kerah baju pemuda itu.
"Aku baru sampai sekitar sepuluh menit yang lalu sebelum dirimu, dan sepertinya kita harus mencari tempat yang lebih tinggi untuk bertahan hidup," ucap Teo.
Ia melihat jauh ke arah belakang Agasa.
"Apa yang kau lihat?" Tanya Agasa, ia berbalik badan.
"Apa itu?" Tanya Agasa.
Ia melihat beberapa manusia dengan pakaian yang kotor dan wajah yang penuh luka menuju ke arah mereka berdua sambil berlari.
"Sebut saja itu zombie! Kau ingin mati atau hidup untuk menanyakan namanya?!" Teriak Teo.
Ia telah melarikan diri dengan memanjat gedung bertingkat menggunakan sebuah tali.
"Ayo!" Teriak Teo.
"Ba–bagaimana kau bisa secepat itu?!" Agasa merasa terkejut.
Ia segera bergegas menyambar tali yang menggantung dan segera naik merambat ke atas. Teo ikut membantu dengan menarik tali itu agar Agasa bisa cepat sampai ke atas.
Zombie itu mulai mendekati tali dan berusaha naik ke atas. Agasa berusaha secepat mungkin agar tidak tertangkap oleh para kumpulan mayat hidup itu.
"Tolong!" Teriak Agasa menjulurkan tangannya yang langsung diraih oleh Teo.
Saat Agasa telah naik dan masuk ke dalam gedung lantai dua, Teo langsung memotong talinya menggunakan katana yang ada di punggungnya. Terlihat para Zombie itu terus berteriak merasakan kekecewaan karena santapannya telah lepas.
"Terima kasih," ucap Agasa.
"Tidak masalah," balas Teo.
Ia merebahkan dirinya di lantai sambil menghela napas seraya berpikir.
"Bila semua ini akibat dari ledakan badai energi Quantum Ark, maka kita benar-benar terjebak di dunia paralel ini, kan?" ucap Agasa.
"Menurutmu, berapa banyak yang terlempar ke dunia ini?" Tanya Agasa yang merasa penasaran.
"Aku tidak tahu," jawab Teo.
"Lalu bagaimana nasib dunia nyata?!" Agasa bertanya ke dirinya sendiri.
"Aku tidak tahu," jawab Teo lagi.
"Kenapa Dunia paralel seperti dunia kita?" Tanya Agasa. Ia merasa bingung.
"Sudah, lebih baik kau diam saja. Sekarang kita berpikir bagaimana caranya untuk bisa kembali ke dunia nyata yang seperti kau bilang tadi. Aku tidak mau terjebak disini selamanya," ucap Teo.
Ia menoleh ke arah pria tua yang terlihat cukup pintar itu. Teo merasa bila Agasa masih mengalami syok karena terdampar di dunia lain.
"Bahkan bila dunia kita disebut sebagai the real world, lalu dunia ini apa? Aku dan kau berada di sini saat ini. Menginjak tanah, merasakan lapar dan haus, berdarah, dan bahkan juga bisa mati. Bukankah ini terlihat sangat nyata?! Kita bukan berada di dunia Metaverse milik Zuckerberg, melainkan multiverse milik Tuhan itu sendiri," pikir Teo yang membentak Agasa.
"Jadi, multiverse is a real?!" Ucap Agasa begitu terkejut.
"Kita harus mencari tempat tinggal, Informasi tentang kota dan juga dunia ini. Lalu mencari makanan yang tersisa di kota mati ini," pikir Teo. Ia berdiri dan melihat ke sekeliling.
"Aku setuju, Tapi sebaiknya kita mencari peta dari dunia ini. Aku ingin tahu bentuk bumi di dunia paralel ini, atau bisa dibilang di multiverse ini," ungkap Agasa.
Ia mulai melihat-lihat rongsokan barang di ruangan itu.
"Kakek, coba lihat ini," ucap Teo. Ia melihat keluar ruangan.
"Astaga! Apa ini surga tersembunyi?" Ucap Agasa begitu takjub dan terkejut.
Mereka berdua melihat hall ruangan yang sangat besar. Ternyata mereka berada di sebuah pusat perbelanjaan besar yang memiliki lantai tujuh. Namun, suasana di dalam pusat perbelanjaan sudah hancur semua. Barang-barang yang berada di toko juga sudah terbengkalai.
"Aku lupa kita ada di Jakarta. Kurasa ini adalah pusat perbelanjaan di bilangan Senayan," pikir Teo.
"Dari tadi kau terus memanggilku dengan sebutan kakek, tolong panggil saja Profesor Agasa atau Agasa pun juga boleh," ucapnya.
"Baiklah, kalau begitu. Namaku Teo Abraham, panggil saja Teo," ucapnya.
"Apa yang harus kita lakukan?" Tanya Agasa.
"Cari makanan, senjata tajam, dan peta dunia," jelas Teo.
Ia masuk ke sebuah food court bernama The Food Hall. Teo melihat meja dan bangku berserakan dan saling tindih, serta bercerai-berai satu sama lain.
"Profesor, aku akan ke arah kiri, kau coba pergi ke arah kanan," ucap Teo.
Ia menyusuri area kiri, Teo mengambil beberapa pisau dan beberapa hal seperti peralatan makan serta panci dan kompor portabel yang masih dilengkapi gas. Ia memasukkannya ke dalam tas belanja yang lumayan besar.
Agasa terus pergi ke arah kanan hingga ia menuju ke restoran Jepang. Ia melihat sebuah peta dunia yang terpampang di dinding dengan ukuran begitu besar. Agasa segera langsung menurunkannya. Ia merobek peta yang terbuat dari kain kanvas itu dengan sebuah pisau yang tergeletak di dekatnya.
"Akhirnya ketemu juga, sebaiknya aku kembali ke Teo," ucap Agasa. Ia menggulung peta itu dan kembali menuju ke tempat Teo berada.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Agasa yang datang menghampiri Teo.
"Memilah beberapa barang untuk dipakai bertahan hidup," jawab Teo.
Di depannya sudah tersedia dua kantong tas belanja hijau dengan tulisan "Save Earth" berisi berbagai keperluan alat memasak hingga dua tabung gas ukuran tiga kilogram.
"Profesor, sebaiknya kita pergi ke rooftop. Aku tidak mau menjadi makan malam para zombie bila terus di sini," ucap Teo.
Ia mengambil dua tas belanja yang lumayan berat dan mengangkatnya dengan kedua tangan. Lalu Profesor Agasa membawa dua tabung gas yang masih penuh terisi dengan kedua tangannya.
Mereka menuju ke lantai atas. Karena Teo sudah pernah ke sini sebelumnya, Ia tahu celah untuk menuju ke rooftop.
"Aku mendapatkan peta dunia yang sangat lengkap," ucap Agasa sambil menaiki tangga dengan mengangkat kedua tabung gas itu.
"Astaga, aku lelah…," keluh Agasa yang akhirnya duduk beristirahat di anak tangga.
"Jaraknya masih lumayan, kukira bangunan tujuh lantai tidak begitu melelahkan seperti ini," pikir Teo yang ikut beristirahat.
"Aku membenci teori dunia quantum, paralel atau pun multiverse! Sial!" Keluh Agasa yang begitu muak dengan pengetahuan miliknya.
Teo menggalang tenaga lagi. Ia kembali berdiri dan menoleh ke arah pria tua itu.
"Sebentar lagi gelap, kita harus bergegas sampai di atas dan menutup jalur masuk ke rooftop agar para zombie tidak kemari. Aku tidak mau saat sedang bermimpi harus menjadi cemilan ringan para zombie," ungkap Teo.
"Baiklah, ayo kita lanjut berjalan," sahut Agasa. Mereka melanjutkan jalannya lagi menuju ke rooftop.
Sesampainya di atas rooftop, Teo langsung melepas lelahnya dengan rebahan di lantai yang kotor. Ia menghela napas panjang sambil melihat langit dengan awan senja yang semakin menggumpal dan menghitam.
"Sebentar lagi hujan, dan juga akan berubah menjadi malam," keluh Teo.
"Aku tahu, sebaiknya kita membuat tenda untuk berteduh," sahut Agasa. Ia menggelar peta dunia itu lagi.
"Apa yang kau lihat?" Tanya Teo. Ia melirik ke arah kirinya.
"Peta dunia," jawab Agasa.
"Luar biasa, kau langsung dapat petanya? Seakan-akan kita berada di dunia game virtual dan dibantu oleh A.I," ucap Teo menghayal.
"Lihatlah, kau pasti akan terkejut melihatnya," ucap Agasa yang tidak percaya setelah melihat secara menyeluruh peta tersebut.
"Apa?" Tanya Teo. Ia bangun dan merangkak menuju ke peta itu.
"Oh, ****! Apa ini!" Teriak Teo tidak percaya.
"Earthopean?!" Teo bertanya ke dirinya sendiri. Ia melihat judul dari peta dunia.
"Sepertinya di dunia paralel ini, yang kau sebut sebagai multiverse dari dunia kita adalah sebuah daratan benua yang seluruhnya masih tergabung jadi satu benua besar. Dan mungkin itu yang disebut sebagai Earthopean," pikir Agasa.
"Tapi kenapa nama tempat dan kota sama semua? Ini seperti seluruh wilayah negara di dunia beserta isinya di copy-paste di daratan Earthopean ini," pikir Teo yang merasa bingung.
"Bukan di copy, melainkan sama. Coba lihat daratan di wilayah Jepang. Bentuknya sama dengan di dunia kita. Namun di sini, Jepang malah bersatu dengan daratan Earthopean, Itu saja bedanya," jelas Agasa.
Ia melihat ke negara lain. Seluruh bentuk peta wilayah negara yang ada sama seperti di dunia nyata, namun hanya seperti dipadatkan jadi satu antar wilayah negara, jadi terlihat bersatu dalam satu daratan yang luas.
Misalkan negara yang dipisahkan oleh laut seperti Inggris akhirnya bersatu dengan daratan Eropa.
"Lalu, kita harus ke mana dan bagaimana?" Tanya Teo merasa bingung.
"Menciptakan Quantum Ark di sini dan kembali ke dunia nyata," pikir Agasa.
"Butuh 100 tahun bagi manusia di dunia kita untuk membuat rekayasa Quantum Ark hingga benar-benar bisa dipraktekkan. Dan sialnya, Itu gagal! Lalu, menurutmu apa di dunia kiamat ini bisa menciptakan hal itu? Bahkan untuk membuat satu mobil utuh untuk berjalan saja sudah menjadi hal yang mustahil!" Teriak Teo merasa putus asa.
"Jadi, kau berpikir bahwa tidak ada sisa-sisa dari peradaban di Earthopean?" Pikir Agasa.
"Bahkan tulang belulang penduduk lokal pun tidak ada," sindir Teo yang merasa kesal.
JEGEER!!!
Petir menyambar dan mulai bergemuruh. Matahari pun telah terbenam di barat. Agasa menggulung peta itu dan mulai merakit tenda ala dirinya.
"Bila kau masih punya otak, maka berdirilah untuk membuat tenda. Karena aku tidak ingin menjadi yang waras sendirian di sini," sindir Agasa.
"Kau menyebalkan," keluh Teo. Ia akhirnya segera bangun dan mulai membantu Agasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 13 Episodes
Comments
Amon Rah
Itu kenapa di ***** gituin? 🤣🤭
2023-03-25
1