Bab 3 Gagasan Arc Quantum Reactor

"Dingin sekali," ungkap Agasa.

Malam menjadi begitu sangat dingin, terasa embusan angin di kota mati ini begitu menusuk tulang. Api unggun yang dihidupkan oleh Agasa menjadi satu-satunya penghangat tubuh. 

Agasa dan Teo berhasil membuat tenda sederhana dari beberapa bahan sisa di pusat perbelanjaan. Mereka begitu kelaparan, makanan yang ada dan terlihat masih layak untuk dimakan hanyalah kumpulan kaleng sarden.

Mereka juga tidak ingin tahu apakah makanan itu sudah melewati tanggal kedaluwarsa atau tidak. Yang terpenting bagi mereka berdua adalah mereka kenyang.

Buta tentang hari, jam, bahkan tahun membuat Teo merasa bodoh dan beranggapan bila dirinya tidak berguna.

"Seandainya tidak ada tabung gas ini, mungkin kita sudah mati kelaparan saat ini," singgung Teo. 

Ia sedang menghangatkan sarden kalengan dengan kompor gas mini yang ia temukan di area food court.

"Kita harus mencari sumber makanan lain seperti binatang liar secepatnya," ucap Agasa. Ia mengulurkan tangannya mendekat ke arah api unggun.

"Seandainya ada, kukira mereka semua sudah punah saat ini. Bayangkan saja, berapa jumlah para zombie di dunia ini, dan berapa yang tersisa dari para binatang?" pikir Teo merasa ragu.

"Hey, coba lihat ke langit. Bintangnya begitu indah, bukan?" Ucap Agasa begitu takjub dengan cerahnya langit malam di kota mati.

"Di mana pun tempatnya, bintang akan selalu bersinar terang, dan sekarang tergantung dari dirimu untuk meluangkan waktu melihat semua itu atau tidak," ucap Teo.

"Kau bekerja sebagai apa di dunia nyata?" Tanya Agasa.

Tiba-tiba pria tua itu mengalihkan topik.

"Hanya freelancer," jawab Teo.

"Benarkah? Aku lebih percaya bila kau adalah seorang agen mata-mata," ucap Agasa.

Ia menenggak segelas air yang dirinya temukan di wastafel ruang karyawan yang berada di atas rooftop. Dan tentunya air tersebut sudah dimasak terlebih dahulu.

"Terserah kau beranggapan apa," ungkap Teo yang tidak ingin menanggapi.

"Menurutmu, ke mana kita harus pergi?" Tanya Agasa.

Pria tua itu menoleh ke arah pemuda yang terlihat begitu menikmati memasak sardennya.

"Bila kita hanya mencoba untuk bertahan hidup di dunia yang sepenuhnya sudah hancur karena kiamat ini, kukira kita hanya akan bertahan hidup kira-kira sebulan saja. Itu pun sudah merupakan keajaiban," pikir Agasa.

"Berpikirlah, kita tidak bisa berkomunikasi dengan dunia nyata, kita juga tidak tahu apakah ada selain dari kita yang terdampar di dunia ini atau tidak," ungkap Teo.

"Lalu cara apa yang paling efektif untuk bertahan hidup? Itu semua merupakan ketakutan terbesar bagi umat manusia di saat dirinya tersudut, bukan?" Tambah Teo.

Agasa menjelaskan siapa dirinya. Meski sedikit takut dengan anggapan dan penilaian Teo, ia harus jujur pada partner barunya itu. 

"Aku adalah seseorang yang bekerja di Quark Corp. Dan aku salah satu petinggi yang bertanggung jawab atas ledakan badai energi itu." Agasa termenung. Ia merasa begitu bersalah.

"Aku tidak peduli hal itu, yang aku pedulikan adalah bagaimana kau gunakan otakmu untuk menciptakan sesuatu lagi, ciptakan sebuah kesempatan agar kita bisa pulang," jelas Teo yang begitu kesal.

"Kesempatan?" Tanya Agasa.

"Kita memiliki sumber daya yang tidak terbatas di dunia mati ini, Profesor," tegas Teo.

Agasa baru sadar akan ucapan Teo. Ia bisa menggunakan semuanya untuk apa pun.

"Kau benar, bila kita menyingkirkan rasa takut saat ini, kita memiliki akses tidak terbatas untuk membuat dan memakai apa pun di dunia ini, bahkan untuk membuat sebuah nuklir?" Pikir Agasa.

"Apa maksudmu?" Tanya Teo.

"Bila dunia ini adalah cerminan dari dunia nyata, artinya ada sumber daya selevel uranium yang di kembangkan di dunia ini. Coba pikirkan, bagaimana cara dunia ini kiamat selain karena perang dunia dan nuklir?" Pikir Agasa.

"Lalu apa maksudmu?" Tanya Leo kembali.

Teo merasa bila Agasa memiliki jalan keluar atas masalah terjebaknya mereka di dunia paralel.

"Kemungkinan besar, kita bisa membuat pintu keluar untuk pergi dari dunia ini," ucap Agasa tersenyum menatap Teo.

"Biar aku tebak, kau ingin menciptakan Arc Fusion Reactor?" Pikir Teo.

Ia langsung menebak. Maklum saja, Teo juga seorang penggila teknologi. Ia langsung berpikir ke mana arah pembicaraan dari Agasa.

"Benar, tapi dengan ukuran yang jauh lebih kecil, layaknya milik Tony Stark. Dan aku akan menamainya sebagai Arc Quantum Reactor," jelas Agasa yang begitu senang.

"Apa itu bisa dilakukan?" Tanya Teo.

Ia merasa ragu bila Arc Quantum Reactor bisa dibuat.

"Bila kita bisa mencapai laboratorium nuklir atau minimal pembangkit listrik tenaga nuklir, kita bisa melakukannya," ungkap Agasa.

"Tapi ini baru gagasan dasar, bukan? Kau masih harus merancang segalanya dari awal," pikir Teo.

"Itu benar, bila aku bisa membuat cetak biru dari Arc Quantum Reactor ini, kita bisa mewujudkan itu. Dan setelah itu, kita harus mencari negara mana yang memiliki fasilitas penunjang untuk merealisasikannya," jelas Agasa.

Teo jadi merasa yakin dengan ucapan dan semangat dari Agasa. Baru pertama kalinya ia berpartner dengan seorang yang jenius. Dan baru pertama kali ia begitu sangat bersemangat untuk bertahan hidup.

"Well, yang pertama, kita harus membuat cetak biru itu. Lalu yang kedua, kita cari informasi mengenai negara mana yang paling maju di dunia ini. Bila kita beruntung, kita bisa menemukan negara yang sudah mengembangkan nano teknologi. Dan yang ketiga, kita harus temukan cara untuk bisa pergi ke sana," pikir Teo.

"Aku menemukan beberapa kertas A3 dan A2 yang masih tersimpan rapi di kantor dekat gudang. Aku akan ke sana dahulu, jangan menggangguku!" ucapnya. Agasa pergi menuju ke kantor itu.

Namun, tiba-tiba ia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Teo, "Dari mana kau mendapatkan katana itu?"

Agasa tertarik dengan katana yang berada di samping Teo.

"Aku mendapatkannya dari dunia nyata. Sebelum aku terdampar di sini, aku sebenarnya sedang berlatih kendo dan sedang melihat pedang katana milik guruku," jelas Teo.

"Jadi kau bisa kendo? Menarik. Apa lagi yang kau bisa?" tanya Agasa.

"Sedikit taekwondo, dan banyak tinjuan liar. Apa itu cukup?" Tanya Teo.

"Kau ternyata lucu juga, itu membuatmu sangat menarik, Teo," ungkap Agasa sambil tersenyum. Ia kembali jalan menuju ke kantor itu.

Teo memilih untuk memakan sarden yang sudah ia panaskan. Sambil bersandar di tepi dinding pembatas rooftop, ia menatap jauh ke depan. 

Teo melihat betapa indahnya terang bulan yang menyinari kota yang begitu gelap seperti pemakaman. Teo melihat ke arah bawah, terlihat ada beberapa zombie yang terlihat sedang lalu-lalang mencari target segar.

"Tolong!" 

Seorang anak berlari menghindari kejaran para zombie itu sambil memegangi lengan tangan kanannya yang terluka. 

"Tolong!" 

Ia terus berlari hingga menuju ke perempatan dekat gedung pusat perbelanjaan, tempat Teo dan Agasa berada.

"Tolong! Ada orang di sini?!" Teriak anak itu.

Ia tersandung kakinya sendiri dan berakhir tersungkur di atas aspal. Para zombie itu semakin mendekatinya. Detak jantung terus terpompa hingga tatapan mata anak itu seakan berkata, "Aku akan mati di sini."

Anak itu menghela napas, ia melihat pintu pusat perbelanjaan terbuka, anak itu segera berdiri kembali dan bergegas masuk ke dalam pusat perbelanjaan. 

Darah dari lukanya berceceran di atas aspal dan memancing penciuman para zombie itu. Hal tersebut membuat mereka semakin agresif dan mendekat.

Anak itu terus lari dan masuk lebih dalam dari pusat perbelanjaan. Ia menaiki eskalator yang telah rusak menuju ke lantai dua.

Terlihat dari belakangnya, para zombie terus mencoba untuk memasuki pintu pusat perbelanjaan yang tertutup ⅔ bagian saja. Ditambah lagi, pintu tersebut hanya muat satu orang saja.

Anak itu terus menaiki eskalator hingga menuju ke lantai tujuh. Sesampainya di lantai tujuh, ia duduk di lantai sebentar untuk menarik napas. 

"Sakit! Aw!" Ucap anak itu.

DUAK!!!

Suara keras terdengar dari bagian pintu pusat perbelanjaan. Para zombie ternyata berhasil beranjak masuk dan mulai mengikuti jejak darah milik anak itu.

"Sial!" Teriak anak itu. 

Ia lantas bingung. Dirinya sudah berada di lantai paling atas, namun ia tidak tahu harus pergi ke mana lagi.

"Woy! Bocah!" Teriak Teo dari koridor seberang.

"Cepat kemari!" Teriak Teo.

Anak itu menoleh ke arah asal suara. Tanpa bertele-tele, ia segera menghampiri Teo. Kawanan zombie yang menggila terlihat perlahan mulai menaiki eskalator menuju ke lantai lima. 

Teo memandu anak itu untuk menuju ke rooftop. Ia menggunakan karbol yang begitu banyak untuk menghapus jejak darah dari anak itu.

Teo berusaha menghilangkan aroma darah milik anak itu untuk memutus indera penciuman para zombie.

"Terus naiki tangga itu! Nanti aku akan ke sana!" Teriak Teo.

Ia juga menjatuhkan satu panel besi dan beberapa furniture untuk membuat barikade koridor yang mengarah ke tangga rooftop. Setelah dikiranya cukup, Teo segera menyusul anak itu.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Teo yang merasa khawatir.

"Sakit sekali, Kak." Rintih anak itu sambil menahan luka di lengan kanannya.

"Kau terluka?" Tanya Teo.

Kedua mata anak itu mulai terasa buram. Pandangannya kian pendek. Tubuh anak itu mulai melemah.

"Begitulah..., Kak…." Tiba-tiba anak itu malah pingsan.

"Woy?" Teo terkejut ketika anak itu malah tidak sadarkan diri.

Terpopuler

Comments

Miraafas

Miraafas

kutengok kau wibu kah? 🗿

2023-03-24

2

Putri mawalingga

Putri mawalingga

klo udah up k episode 4,Bru aku kasih hadiah .

2023-03-24

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!