MY LAST PROMISE

MY LAST PROMISE

BAB 1

Selamat membaca

Sore ini hujan lagi. Sudah tiga hari berturut-turut langit Jakarta selalu gelap diselimuti mendung. Hujannya tidak lama, tapi tetap saja, cukup membuatnya kembali pulang telat sore ini. Gadis itu hanya menghela nafas, badannya kembali bersandar sambil menatap air yang masih terus jatuh.

"Loh, Reina, kamu belum pulang?" seorang membuyarkan lamunannya.

"Masih hujan, El," dan lagi, ia menghela nafas panjang, tanpa mengalihkan pandangannya yang terlihat semakin pilu.

"Kamu masih takut hujan?"

Tanpa menjawab, pandangan lurusnya perlahan menoleh kepada sahabat yang ikut duduk di sampingnya sejak tadi, bibirnya menyimpul senyum tipis, ia juga menggeleng pelan. Seakan mengisyaratkan, ia sudah mulai baik-baik saja.

***

Reina Andini, nama cantik ini memang cocok disematkan untuk gadis unik yang baru saja pergi ke kamar mandi selepas sampai dirumah tadi. Memiliki arti nama sebagai seorang putri, Reina bagaikan putri dari negara antah berantah. Yang kisah hidupnya entah bagaimana ia harus menceritakan.

Bagaimana tidak? Sebagai gadis yang dikenal ramah walau kadang sesekali ceroboh ini, Reina juga bisa mendadak menjadi gadis misterius dengan kesedihan mendalam yang orang lain tidak tahu apa. Hanya satu orang yang mengetahui ini semua, Elsa, akrab disapa El, sahabatnya sejak Reina merasa ia hanya sendirian. Tepat di lima tahun lalu.

Tidak, Reina tidak memiliki penyakit mental serius yang akhir-akhir ini sering dibicarakan oleh media. Mungkin hanya sebatas trauma. Ya, itu saja.

"Astaga Ruby, apa yang kamu lakukan!" teriaknya sambil berkacak pinggang. Rambutnya yang masih basah ia lilitkan pada handuk besar berwarna biru.

Sambil terus bergumam, Reina berjongkok membereskan sisa sereal yang tumpah karena ulah kucingnya.

Reina memang hanya tinggal berdua dengan Ruby, kucing jantan berwarna abu yang sering mengajaknya baku hantam. Setidaknya, Ruby hanya akan diam saja meskipun mendengar Reina menangis di pertengahan malam.

Ponselnya berdering. Satu pesan masuk dari Ibu, memperlihatkan foto sang adik dalam acara kelulusan sekolah menengah pertamanya. Reina tersenyum, jarinya mengusap foto itu berulang kali. Dalam hatinya berkata bahwa ia harus tambah semangat bekerja. Perihal sekolah Reihan, adiknya, sudah menjadi tanggung jawabnya sejak Ayahnya tiada.

Sudah pukul 2 pagi, Reina masih menggusarkan badannya diatas kasur. Setidaknya sudah tiga film ia habiskan hingga saat ini. Di ujung tempat tidurnya, Ruby terlihat sudah terlelap di alam mimpinya, dan Reina sedikit iri dengan hal itu.

Reina menatap sekeliling kamarnya yang sudah ia gelapkan, hanya lampu tidur yang sedikit menerangi di atas nakasnya. Ia terlihat bosan entah ingin apa.

Ia tidak tertarik dengan ponselnya. Untuk apa juga. Ibu dan Elsa pasti sudah tidur. Sosial media juga tidak menarik minatnya. Reina mengacak rambutnya frustasi.

Jangan suruh Reina untuk tidur, jika dirasa belum sangat lelah, maka Reina tidak akan tidur. Kalau ditanya, Reina akan menjawab dengan mudah, tidur hanyalah kegiatan terakhir yang akan ia lakukan jika tidak tahu lagi harus melakukan apa.

Kecuali ia mau meminum obatnya

Reina beranjak keluar kamarnya. Sepertinya minum cokelat hangat akan membuat tubuhnya menjadi rileks. Ia cukup menyesal pergi ke dapur tanpa membawa ponsel, setidaknya ia bisa sambil mendengarkan lagu yang ia putar keras-keras.

Tidak seperti saat ini. Sepi. Hanya dentingan sendok dalam mug favoritnya yang memecah keheningan. Reina bernyanyi pelan. Setidaknya menghindari lamunannya.

'Kamu jangan banyak melamun ya, Reina,' pesan Ibu.

***

Reina berlari kecil mempercepat langkahnya, dengan sesekali menggerutu dan melirik jam di lengan kirinya.

Sial, semoga saja toko belum ramai pengunjung

Hari Senin menjadi hari paling sibuk, biasanya toko roti tempatnya bekerja selalu ramai pengunjung bahkan sejak pagi. Dan hari ini, Reina berangkat kesiangan lagi dan lagi.

Sialnya juga, setiap Senin pagi, Pak Hans, sang pemilik toko, akan datang tepat waktu hanya untuk bertegur sapa dan menengok sebentar kinerja para karyawannya.

Ini sudah menjadi peringatan terakhir untuknya. Berkali-kali ponselnya berbunyi tanda panggilan dari Elsa. Ia hiraukan. Pikirnya, bagaimana ia bisa sampai secepat kilat agar tidak dipecat.

Terimakasih untuk dewa matahari karena hari ini tidak seterik biasanya. Reina terengah-engah di depan toko, tangannya menghapus peluh dan membenahi kuncirannya yang mulai berantakan.

Tapi tidak. Sepertinya ia lebih baik tidak datang secepat ini. Reina lebih baik memutar arah dan pulang tidur santai dirumahnya. Tidak peduli dengan surat peringatan, tidak peduli dengan Pak Hans, bahkan tidak peduli dengan Elsa yang memperhatikannya dengan tatapan cemas.

Reina masih berdiri di ambang pintu kaca toko. Tatapannya kosong menatap depan. Pikirannya menerawang jauh. Telapak tangannya terasa basah oleh keringat. Di ujung sana, Elsa mengisyaratkan dirinya untuk pergi bersembunyi.

Perlahan Reina menundukkan kepalanya, menatap sendu jari jemarinya yang saling bertautan. Ia menggigit bibirnya yang mulai bergetar.

Namun ia kembali tersadar, bahkan sedikit terperanjat, ketika mendengar suara bell berbunyi tepat di sisinya, tanda pengunjung lain telah datang.

Reina menggelengkan kepalanya. Apa-apaan ini. Ia kemudian mengatur nafasnya dalam-dalam. Ini bukan masalah besar. Ia bisa menghadapinya. Dengan sedikit kasar, Reina melepas sebuah cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya, lalu dengan cepat ia masukkan ke dalam saku celana.

"Reina, sedang apa kamu disana? Cepat masuk," Pak Hans menyadari kehadirannya.

Ia terkesiap. Bola matanya bergantian menatap Pak Hans, dan seorang lelaki dengan jas biru tua yang masih membelakanginya.

"Ehm, i-iya maaf, Pak," langkah kakinya semakin pelan ketika jarak di antara mereka semakin dekat, "Saya langsung ke dapur ya, Pak," lanjutnya.

Pak Hans terlihat terkejut dengan jawaban gadis belia di hadapannya. Ia memperlihatkan senyum tanda maaf kepada tamu dihadapannya, yang masih juga membelakangi Reina.

"Reina, semua karyawan disini sudah berkenalan dengan tamu spesial kita hari ini, jadi lebih baik kamu melakukan hal yang sama, cepat kemari, baru sehabis itu kamu bisa ke dapur dan buatkan roti terbaikmu untuk kami."

Reina membuka mulutnya, kemudian kembali merapatkannya lagi. Ia tidak tahu bagaimana caranya untuk menolak.

Gadis yang saat ini masih mematung itu kemudian memicingkan matanya kepada tamu spesial yang dibanggakan Pak Hans tadi.

Ia hanya berharap. Lelaki itu tidak mengacaukan harinya. Ia bahkan sangat memohon untuk itu.

"Tidak perlu, Pak Hans. Saya tahu toko anda sedang sibuk saat ini, saya maklumi jika Reina harus langsung bergegas untuk bekerja," lelaki itu kemudian membalik badannya.

Ini akan menjadi mimpi buruknya. Melihat wajahnya, Reina memejamkan matanya, berharap ini tidak nyata. Matanya kembali terbuka dan masih menampilkan sosok yang ia harap tidak akan pernah datang. Ini nyata.

Tidak ingin semua orang curiga, Reina hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis, "Terima kasih, Pak.." ucapannya menggantung

"Jo. Jonathan."

Reina terbelalak melihat uluran tangan dihadapannya.

Ia menjadi kikuk. Tidak tahu harus berbuat apa. Apakah harus menjabat kembali tangannya? Atau biarkan saja dan pergi sesukanya?

Ah Tuhan, jika boleh jujur, hari ini bukan seperti hari yang Reina inginkan seperti sebelum-sebelumnya.

Reina memberanikan diri untuk menatap wajah pria di hadapannya, yang saat ini melihatnya dengan wajah serius. Sangat sangat serius. Reina bahkan menautkan alisnya, mengapa ia menatapnya seperti itu?

'hey, aku yang seharusnya memasang wajah dingin itu padamu,' ucapnya dalam hati.

Tidak ingin membuat malu Pak Hans, yang sedari tadi sudah memberi isyarat -dengan sangat tidak sabar-, untuk Reina membalas jabatan tangan yang juga masih belum enyah dari hadapannya.

Dengan berat hati dan sedikit tersenyum paksa, Reina bersalaman dengan Jo, "Reina. Senang bertemu dengan anda Pak Jonathan. Saya permisi."

***

Harapan Reina hanya satu. Cukup hari ini saja. Dan jangan ada hari-hari lain yang terulang seperti ini. Ia tidak ingin mimpi buruknya selalu terulang di setiap hari, atau pada hari yang acak.

Reina tidak mengerti, mengapa lelaki itu harus muncul dihadapannya dengan rasa tak berdosa. Jonathan. Lelaki itu memang pandai membuat kekacauan. Sama persis seperti apa yang ia lakukan terakhir kali. Di lima tahun lalu. Saat semuanya mulai gelap, saat semuanya mulai membuat Reina kehilangan arah dan tak tahu harus berbuat apa.

Reina hancur. Wanita itu terluka. Gadis kebanggaan Ibu itu harus kecewa, dan merasakan apa itu arti patah hati sesungguhnya. Reina menangis pada malam minggu, di lima tahun lalu. Pintu kamarnya terkunci. Ia menangis hingga terlelap.

Tapi sayang, lelapannya hanya sebatas syarat mata yang tertutup. Tapi sayang, memori itu akan terus datang meski tanpa diundang. Mengajaknya bercanda yang tak tertawa. Bagaikan kaset yang sedang diputar, memori itu masih terekam sangat jelas dalam ingatan Reina.

Di dalam ingatan seorang gadis yang saat ini hanya ingin menjalankan kehidupannya dengan normal, membantu Ibu serta adiknya, hingga suatu saat nanti mampu menemukan tambatan hatinya. Hanya itu.

Dan tadi pagi, ia harus melihat wajah yang sama dengan pelaku sakit hatinya. Pelaku yang tidak mengerti bagaimana Reina bersusah payah untuk mengembalikan kebahagiaannya. Pelaku yang dengan percaya dirinya berdiri di hadapan Reina, memasang wajah dinginnya, dan mengulurkan tangannya. Apakah dia tidak berpikir ketika melakukan itu semua?

Semua rasa sakit yang Reina rasa, Jo terlihat seperti tak tahu apa-apa.

Atau mungkin tidak ingin tahu. Mungkin hanya pura-pura tidak tahu. Atau bahkan mungkin saja memang tidak peduli sama sekali.

Dan Reina belum sepenuhnya bisa berdamai dengan itu semua.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!