NovelToon NovelToon

MY LAST PROMISE

BAB 1

Selamat membaca

Sore ini hujan lagi. Sudah tiga hari berturut-turut langit Jakarta selalu gelap diselimuti mendung. Hujannya tidak lama, tapi tetap saja, cukup membuatnya kembali pulang telat sore ini. Gadis itu hanya menghela nafas, badannya kembali bersandar sambil menatap air yang masih terus jatuh.

"Loh, Reina, kamu belum pulang?" seorang membuyarkan lamunannya.

"Masih hujan, El," dan lagi, ia menghela nafas panjang, tanpa mengalihkan pandangannya yang terlihat semakin pilu.

"Kamu masih takut hujan?"

Tanpa menjawab, pandangan lurusnya perlahan menoleh kepada sahabat yang ikut duduk di sampingnya sejak tadi, bibirnya menyimpul senyum tipis, ia juga menggeleng pelan. Seakan mengisyaratkan, ia sudah mulai baik-baik saja.

***

Reina Andini, nama cantik ini memang cocok disematkan untuk gadis unik yang baru saja pergi ke kamar mandi selepas sampai dirumah tadi. Memiliki arti nama sebagai seorang putri, Reina bagaikan putri dari negara antah berantah. Yang kisah hidupnya entah bagaimana ia harus menceritakan.

Bagaimana tidak? Sebagai gadis yang dikenal ramah walau kadang sesekali ceroboh ini, Reina juga bisa mendadak menjadi gadis misterius dengan kesedihan mendalam yang orang lain tidak tahu apa. Hanya satu orang yang mengetahui ini semua, Elsa, akrab disapa El, sahabatnya sejak Reina merasa ia hanya sendirian. Tepat di lima tahun lalu.

Tidak, Reina tidak memiliki penyakit mental serius yang akhir-akhir ini sering dibicarakan oleh media. Mungkin hanya sebatas trauma. Ya, itu saja.

"Astaga Ruby, apa yang kamu lakukan!" teriaknya sambil berkacak pinggang. Rambutnya yang masih basah ia lilitkan pada handuk besar berwarna biru.

Sambil terus bergumam, Reina berjongkok membereskan sisa sereal yang tumpah karena ulah kucingnya.

Reina memang hanya tinggal berdua dengan Ruby, kucing jantan berwarna abu yang sering mengajaknya baku hantam. Setidaknya, Ruby hanya akan diam saja meskipun mendengar Reina menangis di pertengahan malam.

Ponselnya berdering. Satu pesan masuk dari Ibu, memperlihatkan foto sang adik dalam acara kelulusan sekolah menengah pertamanya. Reina tersenyum, jarinya mengusap foto itu berulang kali. Dalam hatinya berkata bahwa ia harus tambah semangat bekerja. Perihal sekolah Reihan, adiknya, sudah menjadi tanggung jawabnya sejak Ayahnya tiada.

Sudah pukul 2 pagi, Reina masih menggusarkan badannya diatas kasur. Setidaknya sudah tiga film ia habiskan hingga saat ini. Di ujung tempat tidurnya, Ruby terlihat sudah terlelap di alam mimpinya, dan Reina sedikit iri dengan hal itu.

Reina menatap sekeliling kamarnya yang sudah ia gelapkan, hanya lampu tidur yang sedikit menerangi di atas nakasnya. Ia terlihat bosan entah ingin apa.

Ia tidak tertarik dengan ponselnya. Untuk apa juga. Ibu dan Elsa pasti sudah tidur. Sosial media juga tidak menarik minatnya. Reina mengacak rambutnya frustasi.

Jangan suruh Reina untuk tidur, jika dirasa belum sangat lelah, maka Reina tidak akan tidur. Kalau ditanya, Reina akan menjawab dengan mudah, tidur hanyalah kegiatan terakhir yang akan ia lakukan jika tidak tahu lagi harus melakukan apa.

Kecuali ia mau meminum obatnya

Reina beranjak keluar kamarnya. Sepertinya minum cokelat hangat akan membuat tubuhnya menjadi rileks. Ia cukup menyesal pergi ke dapur tanpa membawa ponsel, setidaknya ia bisa sambil mendengarkan lagu yang ia putar keras-keras.

Tidak seperti saat ini. Sepi. Hanya dentingan sendok dalam mug favoritnya yang memecah keheningan. Reina bernyanyi pelan. Setidaknya menghindari lamunannya.

'Kamu jangan banyak melamun ya, Reina,' pesan Ibu.

***

Reina berlari kecil mempercepat langkahnya, dengan sesekali menggerutu dan melirik jam di lengan kirinya.

Sial, semoga saja toko belum ramai pengunjung

Hari Senin menjadi hari paling sibuk, biasanya toko roti tempatnya bekerja selalu ramai pengunjung bahkan sejak pagi. Dan hari ini, Reina berangkat kesiangan lagi dan lagi.

Sialnya juga, setiap Senin pagi, Pak Hans, sang pemilik toko, akan datang tepat waktu hanya untuk bertegur sapa dan menengok sebentar kinerja para karyawannya.

Ini sudah menjadi peringatan terakhir untuknya. Berkali-kali ponselnya berbunyi tanda panggilan dari Elsa. Ia hiraukan. Pikirnya, bagaimana ia bisa sampai secepat kilat agar tidak dipecat.

Terimakasih untuk dewa matahari karena hari ini tidak seterik biasanya. Reina terengah-engah di depan toko, tangannya menghapus peluh dan membenahi kuncirannya yang mulai berantakan.

Tapi tidak. Sepertinya ia lebih baik tidak datang secepat ini. Reina lebih baik memutar arah dan pulang tidur santai dirumahnya. Tidak peduli dengan surat peringatan, tidak peduli dengan Pak Hans, bahkan tidak peduli dengan Elsa yang memperhatikannya dengan tatapan cemas.

Reina masih berdiri di ambang pintu kaca toko. Tatapannya kosong menatap depan. Pikirannya menerawang jauh. Telapak tangannya terasa basah oleh keringat. Di ujung sana, Elsa mengisyaratkan dirinya untuk pergi bersembunyi.

Perlahan Reina menundukkan kepalanya, menatap sendu jari jemarinya yang saling bertautan. Ia menggigit bibirnya yang mulai bergetar.

Namun ia kembali tersadar, bahkan sedikit terperanjat, ketika mendengar suara bell berbunyi tepat di sisinya, tanda pengunjung lain telah datang.

Reina menggelengkan kepalanya. Apa-apaan ini. Ia kemudian mengatur nafasnya dalam-dalam. Ini bukan masalah besar. Ia bisa menghadapinya. Dengan sedikit kasar, Reina melepas sebuah cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya, lalu dengan cepat ia masukkan ke dalam saku celana.

"Reina, sedang apa kamu disana? Cepat masuk," Pak Hans menyadari kehadirannya.

Ia terkesiap. Bola matanya bergantian menatap Pak Hans, dan seorang lelaki dengan jas biru tua yang masih membelakanginya.

"Ehm, i-iya maaf, Pak," langkah kakinya semakin pelan ketika jarak di antara mereka semakin dekat, "Saya langsung ke dapur ya, Pak," lanjutnya.

Pak Hans terlihat terkejut dengan jawaban gadis belia di hadapannya. Ia memperlihatkan senyum tanda maaf kepada tamu dihadapannya, yang masih juga membelakangi Reina.

"Reina, semua karyawan disini sudah berkenalan dengan tamu spesial kita hari ini, jadi lebih baik kamu melakukan hal yang sama, cepat kemari, baru sehabis itu kamu bisa ke dapur dan buatkan roti terbaikmu untuk kami."

Reina membuka mulutnya, kemudian kembali merapatkannya lagi. Ia tidak tahu bagaimana caranya untuk menolak.

Gadis yang saat ini masih mematung itu kemudian memicingkan matanya kepada tamu spesial yang dibanggakan Pak Hans tadi.

Ia hanya berharap. Lelaki itu tidak mengacaukan harinya. Ia bahkan sangat memohon untuk itu.

"Tidak perlu, Pak Hans. Saya tahu toko anda sedang sibuk saat ini, saya maklumi jika Reina harus langsung bergegas untuk bekerja," lelaki itu kemudian membalik badannya.

Ini akan menjadi mimpi buruknya. Melihat wajahnya, Reina memejamkan matanya, berharap ini tidak nyata. Matanya kembali terbuka dan masih menampilkan sosok yang ia harap tidak akan pernah datang. Ini nyata.

Tidak ingin semua orang curiga, Reina hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis, "Terima kasih, Pak.." ucapannya menggantung

"Jo. Jonathan."

Reina terbelalak melihat uluran tangan dihadapannya.

Ia menjadi kikuk. Tidak tahu harus berbuat apa. Apakah harus menjabat kembali tangannya? Atau biarkan saja dan pergi sesukanya?

Ah Tuhan, jika boleh jujur, hari ini bukan seperti hari yang Reina inginkan seperti sebelum-sebelumnya.

Reina memberanikan diri untuk menatap wajah pria di hadapannya, yang saat ini melihatnya dengan wajah serius. Sangat sangat serius. Reina bahkan menautkan alisnya, mengapa ia menatapnya seperti itu?

'hey, aku yang seharusnya memasang wajah dingin itu padamu,' ucapnya dalam hati.

Tidak ingin membuat malu Pak Hans, yang sedari tadi sudah memberi isyarat -dengan sangat tidak sabar-, untuk Reina membalas jabatan tangan yang juga masih belum enyah dari hadapannya.

Dengan berat hati dan sedikit tersenyum paksa, Reina bersalaman dengan Jo, "Reina. Senang bertemu dengan anda Pak Jonathan. Saya permisi."

***

Harapan Reina hanya satu. Cukup hari ini saja. Dan jangan ada hari-hari lain yang terulang seperti ini. Ia tidak ingin mimpi buruknya selalu terulang di setiap hari, atau pada hari yang acak.

Reina tidak mengerti, mengapa lelaki itu harus muncul dihadapannya dengan rasa tak berdosa. Jonathan. Lelaki itu memang pandai membuat kekacauan. Sama persis seperti apa yang ia lakukan terakhir kali. Di lima tahun lalu. Saat semuanya mulai gelap, saat semuanya mulai membuat Reina kehilangan arah dan tak tahu harus berbuat apa.

Reina hancur. Wanita itu terluka. Gadis kebanggaan Ibu itu harus kecewa, dan merasakan apa itu arti patah hati sesungguhnya. Reina menangis pada malam minggu, di lima tahun lalu. Pintu kamarnya terkunci. Ia menangis hingga terlelap.

Tapi sayang, lelapannya hanya sebatas syarat mata yang tertutup. Tapi sayang, memori itu akan terus datang meski tanpa diundang. Mengajaknya bercanda yang tak tertawa. Bagaikan kaset yang sedang diputar, memori itu masih terekam sangat jelas dalam ingatan Reina.

Di dalam ingatan seorang gadis yang saat ini hanya ingin menjalankan kehidupannya dengan normal, membantu Ibu serta adiknya, hingga suatu saat nanti mampu menemukan tambatan hatinya. Hanya itu.

Dan tadi pagi, ia harus melihat wajah yang sama dengan pelaku sakit hatinya. Pelaku yang tidak mengerti bagaimana Reina bersusah payah untuk mengembalikan kebahagiaannya. Pelaku yang dengan percaya dirinya berdiri di hadapan Reina, memasang wajah dinginnya, dan mengulurkan tangannya. Apakah dia tidak berpikir ketika melakukan itu semua?

Semua rasa sakit yang Reina rasa, Jo terlihat seperti tak tahu apa-apa.

Atau mungkin tidak ingin tahu. Mungkin hanya pura-pura tidak tahu. Atau bahkan mungkin saja memang tidak peduli sama sekali.

Dan Reina belum sepenuhnya bisa berdamai dengan itu semua.

BAB 2

Selamat membaca

jangan lupa follow , like

jangan lupa follow Instagram nya @Rezza.rezza.officiall

"Jo, sebagai sahabat, gue emang bakalan selalu dukung lu. Tapi buat kali ini, apa lu yakin?"

Lelaki itu tampak tak ambil pusing, ia masih mengemas beberapa barangnya ke dalam koper sedang berwarna hitam.

"Lu dengerin gue ngomong tidak sih, Jo?"

Jonathan mendecak, ia menegak dan menghadap kepada Devan yang masih bersandar di ambang pintu, "Iya, gue denger, Dev. Tapi lu sadar tidak sih, lu udah nanya hal yang sama berulang kali. Dan jawaban gue juga masih sama."

Devan mendengus, ia kemudian beralih untuk duduk di ujung ranjang Jo, tepat di samping koper yang terbuka. Ia melihat tumpukan baju yang tidak terlalu rapi, tapi cukup membuatnya gusar. "Ya, oke. Gue akan stop tanya-tanya tentang ini. Tapi ingat, kalau sesuatu terjadi sama lu di sana, jangan pernah lupa buat hubungi gue di sini."

"Lu bakalan jadi orang pertama yang gue cari, Dev. Thanks, bro!" Jo menepuk pundak sahabatnya dan berjalan ke arah nakas untuk mengambil ponselnya.

"Kalau gitu gue balik ke kamar, kabarin gue kalau lu udah mau berangkat ke airport."

Sepeninggalan Devan, Jo memilih untuk bersantai. Jam masih menunjukkan pukul 10 pagi, setidaknya ia masih punya waktu 2 jam hingga jadwal penerbangannya tiba. Ia meluruskan kakinya, dan menyandarkan badannya pada kepala ranjang.

Jo tinggal di sebuah mansion mewah, apartemen 50 lantai ini menjadi salah satu tempat tinggal yang banyak dicari oleh para kelompok kalangan atas. Termasuk Jo dan sahabatnya, Devan, dua pria yang dikenal dengan kehidupan mewahnya.

Devan sudah menjadi sahabat dekat Jo sejak pertama kali Jo mendarat di sana. Di lima tahun lalu. Pertemuan mereka memang tidak disengaja, bahkan sangat sepele, hanya karena Jo yang tidak sengaja menjatuhkan lensa kamera Devan di bandara. Lensa itu pecah, dan Jo tak mampu membayar gantinya.

Dering ponselnya berbunyi, tanda sebuah panggilan masuk. Jo yang baru saja memejamkan matanya terkesiap. Ia melirik pada layar untuk mengetahui identitas pemanggil, lalu tersenyum tipis dan mengangkatnya,

"Hai, sudah selesai kelas?"

["Iya, kamu jadi berangkat hari ini?"]

"Mhmm, kamu jadi kan mau antar aku ke airport?"

["So sorry ya. Sore ini aku harus datang ke undangan pameran busana di Town Hall, is that okay ya?"]

"Oh, oke. Ya- oke- ya-, gapapa. Have fun ya."

["Thanks, you too. Have a safe flight ya. Bye bub."]

Belum sempat mengucapkan selamat tinggal, panggilannya sudah terputus. Jo menertawakan dirinya. Ia membanting ponselnya dan kembali menelungkupkan wajahnya pada bantal.

***

Bandara sudah dipenuhi oleh beberapa penumpang yang akan terbang siang ini. Beberapa menit lalu Devan meninggalkannya untuk membeli kopi hangat. Dan disini, Jo kembali sendiri, menghadap kepada beberapa orang yang lalu lalang.

Lamunannya sampai kepada wajah Ibunya yang menangis terharu saat dirinya memenangkan pertandingan sepak bola pertamanya, tepat saat usianya menginjak 8 tahun. Wajah Ibunya sangat damai, dan akan selalu begitu, memeluknya erat saat turun podium, dan mengusap rambutnya.

Apakah itu juga yang akan ia rasakan nanti? Jo tidak ingin banyak berharap.

Para penumpang sudah mulai berdiri dan bersiap, petugas sudah memberitahu keberangkatan mereka akan segera dimulai. Jo berdiri di tempatnya, tapi menjadi kaku dan tak tahu harus bagaimana, ia mendadak menjadi sangat gelisah.

Jo menggaruk tengkuknya dan menoleh ke belakang, mencari tahu apakah Devan sudah kembali. Memikirkan Ibunya saja sudah membuatnya khawatir berlebihan, dan berpikir apakah ini memang benar-benar harus ia lakukan.

Sudah sejak seminggu yang lalu, Jo sudah memantapkan hatinya. Memantapkan diri sampai mentalnya. Tidak ada kegundahan, tidak ketakutan.

Tapi kini, saat semuanya sudah tersusun sesuai rencana, Jo justru menjadi bingung dengan dirinya sendiri, yang bahkan ia pun tidak mengerti.

Jo merasa seharusnya ia tidak ada disini. Seharusnya tidak perlu ada keinginan memperbaiki semuanya sendiri. Seharusnya tidak perlu ada penerbangan yang ia pesan untuk membawanya kembali.

Dan seharusnya tidak perlu ada pertemuan yang nantinya hanya akan menjadi perdebatan.

"Jonathan, pesawat lu udah mau take off tuh, malah bengong, nanti gue yang naik kan lu yang repot," Devan menyadarkan lamunannya sambil tertawa.

Jo menghadap kepada lelaki bertopi merah yang kini menyusup sedikit kopinya yang masih panas, "Dev, kenapa kok gue sekarang malah gini ya, gue ngerasa kayak-"

"Gelisah? Takut? Khawatir? Gue paham, Jo. Kalau gue jadi lu, gue juga pasti ngerasain hal yang sama. Tapi gue yakin, lu pasti bisa, dan lu pasti mampu. Jonathan yang gue kenal selalu pilih pilihannya yang tepat," potong Devan sambil tersenyum.

Ia kemudian menaruh kopinya pada kursi, dan memeluk Jo dengan erat. Tangannya juga menepuk pundak Jo untuk beberapa kali. Pertanda bahwa Devan akan selalu ada disampingnya, dan mendukung semua langkahnya. "Good luck, bro. Gue doain lu dari jauh. Go to your fam," ucapnya.

Jo menghela nafasnya lega. Ia kemudian mampu menegakkan bahunya dan tersenyum. Ia mengangguk, "Thanks, Dev!" sambil berlari meninggalkan sahabatnya yang masih tersenyum ke arahnya.

Sebelum naik ke atas, Jo berhenti. Tangannya meraih ponsel dari saku dan membuka fitur pesan. Setidaknya, ia masih harus tetap mengabari kekasihnya, walau ia sendiri tak tahu entah kapan pesannya akan dibalas.

Duduk di kursi penumpang, Jo kembali terdiam. Disampingnya hanya ada seorang wanita muda yang sibuk dengan buku di tangannya. Mungkin ia juga tidak sadar kalau kursi sebelahnya sudah terisi.

Sial, Jo benci diam. Jo benci dengan kondisi seperti ini. Diam akan membuatnya menjadi melamun. Dan lamunannya akan membuat dirinya merasa menjadi orang paling bersalah di muka bumi ini.

Jo memilih untuk memasang earphone, dan menyalakan musik ponselnya, setidaknya alunan lagu bisa membantu menyingkirkan pikiran gelisahnya.

Dan ternyata itu menjadi pilihan terbaiknya. Tidak lama dari lagu yang berputar sedikit keras, Jo merasa matanya sangat berat, mungkin saja efek kelelahan beberapa hari terakhir, pikirnya. Ia kemudian tertidur dalam lelap dan hening tanpa mimpi.

***

Jo menggerakkan tubuhnya yang terasa cukup pegal kali ini. Setelah turun dari pesawat, Jo memutuskan untuk menumpangi taksi yang ada.

"Kita kemana, mas?"

Jo kembali terdiam. Sial, ia bahkan tidak tahu harus kemana.

Apa harus langsung kembali ke rumah? Jo tertawa, apakah akan semudah itu dia diterima disana?

"Ke hotel dekat sini saja, Pak."

***

Terik matahari ternyata memasuki jendela yang tirainya tidak tertutup rapat. Membuat silau seorang laki-laki yang masih mengenakan pakaian terakhirnya di atas ranjang yang berantakan.

Sesampainya di hotel, Jo tidak melakukan apapun. Ia hanya masuk, menyalakan pendingin ruangan, dan langsung tidur di atas ranjang. Entahlah, rasanya Jo tidak ingin melakukan apa-apa, bahkan hanya sekedar membersihkan badan sekalipun.

Sayup-sayup matanya terbuka. Tangannya terangkat untuk mengusap kedua matanya yang masih malas. Jo kemudian membuka jaketnya, tinggal lama di Eropa menjadikannya lupa bahwa negaranya sangat panas di pagi hari.

Sebagian dari kalian pasti berpikir semenyedihkan apa hidup Jo. Seperti jauh dari keluarga dan lain sebagainya. Tapi tidak. Jonathan Fender adalah pemain sepak bola muda yang cukup terkenal di Inggris, hidup kaya raya, memiliki kekasih cantik yang berasal dari keluarga pebisnis ternama, dan dapat dengan mudah menghamburkan harta sesukanya.

Dan disinilah dia. Kembali ke Indonesia. Merasa asing di negeri sendiri. Ia bahkan tidak siap dengan apa yang akan dihadapi. Tapi sebelum itu, perut Jo terasa lapar minta diisi.

Jo bersiap untuk mandi, dan akan keluar untuk mencari sarapan, ia tidak begitu tertarik dengan makanan yang telah disediakan.

Sebagai pemain sepak bola populer Eropa, ia tidak terlalu terganggu dengan beberapa penggemar yang ia anggap tidak rusuh seperti penggemar selebritas biasanya.

Ia berjalan pada trotoar yang cukup sepi. Aroma roti dari toko sebelah kirinya sudah mulai tercium. Dan cacing di perutnya semakin berteriak karena itu. Jo memilih untuk masuk. Bunyi bel pengunjung sudah berbunyi. Seorang pria tidak terlalu tua berbalik badan dan tersenyum menyapa.

"Jonathan? Kamu Jonathan Fender kan?" kata pria itu mendekat.

Jo mengerutkan keningnya, darimana ia bisa tahu, pikirnya. Bahkan Jo sendiri tidak mengenalinya.

Ia membuka maskernya, "Iya," Jo hanya bisa menjawab sebisanya, sambil berpikir siapa pria yang ada di hadapannya.

Pria itu tertawa, tangannya merangkul, "Saya Hans, kerabat orang tuamu, kamu pasti lupa dengan saya. Terakhir saya bertemu kamu itu saat kamu masih sangat remaja. Tidak menyangka kamu sudah sebesar ini sekarang. Bahkan sudah menjadi orang sukses di negeri orang ya? Saya bangga sama kamu."

Jo tersenyum, "Bagaimana Om tahu kalau ini saya? Saya bahkan merasa penampilan saya jauh berbeda dengan saat remaja."

"Ah soal itu. Jas biru yang kamu kenakan ini adalah jas kesayangan Ayahmu. Saya masih ingat itu. Jas ini adalah jas pertama yang ia pakai saat rapat pertama kali di perusahaan yang ia bangun. Jas kebanggaannya kalau kata orang."

Jo tertunduk melihat jas yang ia kenakan.

"Reina, sedang apa kamu disana? Cepat masuk!"

Jo menegakkan kepalanya. Nama itu. Nama yang beberapa minggu terakhir mengganggu pikirannya. Nama itu memang ia cari, tapi tidak dengan waktu secepat ini.

Bodoh. Nama itu tidak hanya dimiliki satu perempuan saja.

Jo tidak membalikkan badannya. Biarkan ia dibilang sombong. Tapi ia belum siap menerima kenyataan kalau gadis itu adalah gadis yang ia cari.

"Ehm, i-iya maaf, Pak."

Suaranya. Jo masih paham betul dengan suara lembut gadisnya.

Jo memejamkan matanya. Sial Hans ini memang tidak mengenal hubungan kami. Tapi dia benar-benar tidak tahu situasi. Jo kemudian memutar badannya. Dan untuk pertama kalinya, di lima tahun, wajah itu ada di hadapan wajahnya.

Tidak butuh waktu lama bagi Jo membuat Reina menghilang dari hadapannya. Tinggal saja ia katakan bahwa Reina bisa langsung melanjutkan pekerjaannya.

Jo masih menatap punggung gadis itu yang semakin lama semakin terhalang oleh para pekerja lainnya. Ia terkesiap, ia tak seharusnya memandang gadis itu berlebihan.

Tapi apa boleh dikata. Gadis itu selalu terlihat lugu. Wajahnya, bibir tipisnya, dan tatapan binarnya masih sama. Ia bahkan masih saja terlihat kaku saat Jo mengulurkan tangannya. Semua itu masih sama seperti pertama kali Jo mengajaknya berkenalan dulu.

Tapi gadis itu juga yang sudah mengacaukan semuanya. Gadis itu sudah pandai memainkan perasaan Jo. Gadis itu juga yang sudah membawanya memaksakan diri untuk kembali disini.

Dan Jo tersadar, bahwa gadisnya itu sudah tidak selugu dulu lagi.

BAB 3

SELAMAT MEMBACA

Kalau boleh meminta, tidak perlu ada pertemuan, kalau ada perpisahan. Tidak perlu ada pertemuan, kalau ada pertengkaran. Bahkan tidak perlu kembali, kalau aku sudah tidak menjadi seseorang yang kamu ingini lagi.

Bahkan seorang pelari, perlu aba-aba untuk memulai. Tapi kamu, kenapa kamu harus datang tanpa diundang. Tanpa ada yang menyuruh. Tanpa ada yang meminta.

Dentingan oven sudah menyala, giliran roti caramel hangat yang siap di sajikan, bersama secangkir latte dengan sedikit gula.

'Ternyata seleranya masih sama," pikirnya

"El, kamu aja deh yang antar," Reina mendorong nampan putih yang berisikan dua buah piring dan gelas di hadapannya.

Elsa yang sedang membenahi apronnya dengan cepat menoleh, "Eh, kok aku? Kamu aja deh, Rei. Kan kamu yang dekat dengan Pak Hans dan.. Jonathan."

Reina mendengus. Lagi-lagi nama lelaki itu harus melintas di telinganya. Ini bagian dari profesionalitas pekerjaannya, dan ia tidak boleh menghindar.

Yang terpenting adalah cincinnya tidak terlihat di hadapan Jo.

Dua lelaki itu ternyata sedang asik berbincang. Entah nyaman atau tidak, Jo terlihat hanya menimpali sebisanya. Letak duduk Jo berhadapan langsung dengan Reina yang baru saja keluar dari arah pantry.

Dan entah disadari oleh Reina atau tidak, Jo terus menatap wanita yang saat ini sibuk memasang senyum di bibirnya seraya membalas sapaan dari beberapa anak kecil yang berkunjung ke toko siang ini.

Namun nampaknya, Reina sengaja tidak meluruskan pandangannya, agar tidak terjadi kontak mata di antara mereka.

"Selamat pagi menjelang siang, ini best seller dari menu disini. Selamat menikmati," sapanya ramah.

Reina menganggap setidaknya ia hanya harus ramah sekitar dua menit di hadapan lelaki memuakkan itu.

Tapi ternyata. Tidak ada dua atau tiga menit. Sial. Harinya memang sial. Kalau tahu akan seperti ini jadinya, ia akan membujuk Elsa sampai berhasil bagaimanapun caranya.

"Om Hans, boleh saya meminta waktu Reina sebentar? Saya ingin berbicara dengannya."

Jonathan. Lelaki yang masih memasang wajah dinginnya itu dengan mudahnya berbicara hal demikian.

Sementara Reina, wanita muda yang kini masih berdiri di samping mereka justru membelalakkan matanya.

'Jo benar-benar kurang ajar,' ucapnya dalam hati

"Oh ya, ya, silahkan. Reina ini memang pegawai saya yang paling terkenal disini. Saya akan tinggal kedalam sebentar dulu kalau begitu."

Reina hanya berharap, Pak Hans mengurungkan niatnya dan kembali duduk disana. Menyuruhnya untuk membereskan dapur pun Reina tak apa, meski itu bukan tugasnya. Yang terpenting adalah ia harus lenyap dari sini secepatnya.

Tapi nihil. Keberuntungan belum berpihak padanya. Mungkin ini karena ia bangun terlambat pagi ini.

Hening. Reina masih terdiam di tempatnya. Ia hanya berpura-pura mengedarkan pandangannya pada pengunjung toko untuk mengatasi kegelisahannya.

Jo pun demikian. Meski ialah sang empunya ide, kali ini justru ia menjadi bingung. Ia hanya mengetukkan ujung kakinya pada lantai. Ia tidak tahu harus memulai darimana. Sial, mengapa ia menjadi selemah ini.

Ia berdeham pelan, "Duduk, Rei," ucapnya tanpa menatap.

Lama tidak menjawab. Ia langsung terduduk dan mengganti wajah cantiknya itu menjadi wajah serius yang siap menghajarnya. "Ada apa? Cepat bicara, masih banyak yang harus ku kerjakan."

"Kamu membenciku?" pertanyaan yang meluncur tiba-tiba.

Reina tertawa pelan. Pertanyaan macam apa itu astaga. Reina menggelengkan kepalanya dan menoleh pada jendela. Pemandangan lelaki di hadapannya sangat-sangat tidak menarik minatnya.

"Untuk apa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu? Kamu bahkan seharusnya sudah tahu apa jawabanku."

"Rei, kamu hanya cukup menjawab iya atau tidak."

"Kamu harus cari tahu sendiri jawabannya. Kalau kamu punya hati, kamu pasti tahu apa yang akan aku bilang buat jawabin pertanyaanmu yang tidak bermutu itu."

"Reina," suaranya meninggi, selalu seperti ini jika ia sudah mulai terpancing emosi, Reina sudah mengerti. "Kamu bisa tidak sih, tenangin pikiran kamu, dan jawab pertanyaanku. Udah, Rei, sesimple itu, dan jangan memancingku."

"Jonathan," suaranya mulai bergetar. "Kenapa sih, Jo, kamu harus datang sekarang, kamu sadar tidak sih, kamu bikin semuanya hancur tau tidak? Kamu-" suaranya terhenti. Reina merasa kalau ia lanjutkan, maka ia akan menangis.

Di hadapannya, Jo masih menatapnya tanpa bicara. Dan tentu saja, tanpa rasa bersalah sedikitpun

Jo menghela nafasnya. Mungkin ini memang terlalu dini untuk membahas semuanya.

"Oke, Rei, aku minta maaf. Mungkin ini memang bukan waktu yang pas buat kita bicarakan ini semua. Tapi-" kini giliran ucapan Jo yang terhenti.

Tatapan Jo tiba-tiba turun, tepat kepada jari jemari Reina yang saling tertaut di atas meja. Kosong, tidak ada cincin disana. Ini seperti bukan Reina yang biasanya. Semarah apapun ia kepada Jo, maka Reina tidak akan pernah melepaskan cincinnya.

"Reina, kamu tidak pakai cincin itu?"

Reina merasa sudah lelah dengan drama siang ini. Lelaki ini harus pergi dari hadapannya sekarang juga. "Jo, aku rasa kamu sudah kelewat batas. Ini masalah pribadi kita berdua, dan kamu malah pakai ini di waktu aku kerja. Sorry, Jo, aku ada keluargaku yang harus aku hidupi. Jadi tolong, jangan hancurkan hari dan pekerjaanku. Tolong pergi. Sekarang. Tolong, Jo."

Tidak ada emosi disana. Tidak ada penekanan disana. Jo mengucapkannya justru dengan nada yang sangat sangat lembut. Membuat Jo menautkan alisnya. Tapi seketika ia tersadar, ia masih memiliki hari esok untuk menyelesaikan ini semua.

"Oke, aku pergi. Tapi tolong jangan pernah anggap kita selesai. Masalah kita, aku dan kamu, belum pernah selesai sampai kita benar-benar membicarakan ini semua. Dan kamu, Reina, tolong dewasa, tolong jangan pikirkan rasa sakitmu saja, disini ada aku, yang jauh-jauh datang hanya untuk bertemu," Jo bangkit dan membenahi jasnya.

Reina berbisik pelan pada dirinya sendiri, "Tidak ada juga yang menyuruhmu datang kembali."

"Aku pulang," membalikkan badannya, lalu pergi menghilang.

Punggung itu semakin jauh. Jas birunya sudah mulai tidak terlihat. Reina termenung seketika, apa yang sudah terjadi pada harinya?

Apa yang harus ia lakukan kedepannya kalau lelaki itu belum juga pergi? Apakah ini sanggup menghadapi?

Memikirkannya saja sudah membuat Reina pusing. Dan ini tidak baik untuk pekerjaannya. Ini baru memasuki setengah hari. Reina bersiap untuk membenahi meja dan kembali ke dapur.

***

Hidupnya sulit. Benar-benar sulit. Bukan, bukan karena keadaan keluarganya. Tapi karena keadaan bertambahnya satu makhluk yang tidak pernah ia harapkan kedatangannya.

Sudah dua jam sedari tadi, Reina membolak balikan badannya di atas kasur. Rasanya sulit sekali untuk tidur.

Bayangan wajah Jo sialnya masih melintas setiap kali ia memejamkan mata. Dan ia takut itu akan sampai ke dalam mimpi. Karena itu akan menjadi mimpi buruknya.

Reina mencoba memejamkan matanya sekali lagi.

"Reina, kamu tidak pakai cincin itu?"

Suara itu berulang terus berputar di dalam pikirannya. Jika saja pikirannya adalah sebuah radio, maka kalau bisa, ia akan dengan cepat mengganti salurannya. Suara ini terlalu mengganggu dan merusak suasana hatinya.

Reina belum bisa menjadi pribadi yang tenang untuk sekarang ini. Dan Reina sangat tidak senang dengan hal itu. Sebelumnya ia sudah yakin, bahwa cepat atau lambat lelaki itu pasti akan kembali. Setidaknya, kalau bukan untuknya, pasti akan datang untuk keluarganya.

Tapi Reina masih menjadi gadis yang salah tingkah jika harus terus ditatap, atau menjadi gadis yang mudah tersulut emosi jika lelaki itu bicara. Perasaannya menjadi dapat berubah dengan sangat cepat, tanpa sampai hitungan detik sekalipun.

Ia tidak mempermasalahkan itu semua. Ia bahkan tidak mempermasalahkan masa lalunya. Ia hanya mempermasalahkan bagaimana ia menguasai dirinya, bagaimana dengan dewasa ia mengatur dirinya sendiri untuk tahu mana yang seharusnya dan mana yang tidak perlu ia lakukan dan pikirkan.

Reina bahkan tidak mengerti, mengapa lelaki itu, dengan mudahnya, berucap tanpa berpikir, ucapan yang keluar dari bibirnya yang sudah banyak membual janji. Jo layaknya seperti lelaki pada umumnya, yang dengan mudah tidak sadar akan kesalahannya.

Jo sepertinya memang sudah hilang ingatan,

Atau

Memang sudah lupa akan perasaan.

***

Di dalam kamarnya, Jo memutar musik keras-keras.

Ini sudah tegukan ketiga dari wine yang ia buka beberapa menit yang lalu.

Ia masih sadar. Masih sepenuhnya sadar. Ia masih mampu mengingat apa yang sudah terjadi pada dirinya sejak tadi pagi.

Belum genap dua hari ini disini, rasanya masalah yang datang seketika sudah bertubi-tubi menimpanya.

Jika masih menjadi anak kesayangan keluarga, Ibunya tidak akan membiarkannya seperti ini. Bahkan saat pertama kali ia merasakan menangis karena putus cinta, Ibunya akan datang ke kamarnya, duduk di sampingnya, dan memeluknya. Lalu hanya bertanya 'ada apa', dan bercerita seraya berkata 'semua akan baik-baik saja'.

Tapi untuk sekarang? Jangankan memeluknya, memikirkan sampai sana pun Jo tidak sanggup. Terlalu berkhayal, pikirnya. Tidak menamparnya saja Jo rasa sudah sangat bersyukur.

Jo masih menginap di hotel yang sama dengan hari sebelumnya. Entah sampai kapan ia akan menginap disini. Ia merasa belum siap untuk kembali ke rumah.

Ia duduk di sofa yang cukup luas. Lalu mengambil ponselnya. Di akun sosial medianya, Bella, kekasihnya itu justru sedang asyik menikmati malam indahnya di bar bersama teman-temannya. Wanita itu bahkan tidak membalas pesan Jo, atau bahkan memberi kabar sedikitpun.

"Wanita sialan," teriak Jo lepas dan membanting ponselnya.

Jo berjalan tergopoh menuju ranjangnya. Ia kemudian berbaring dan memeluk gulingnya.

Hentakan musik keras sudah berhenti, bersamaan dengan ponselnya yang mati setelah terpental cukup jauh. Jo tidak memusingkannya. Kepalanya terlalu berat hanya untuk membuka mata.

Jo terlelap. Ia pun tidak tahu mengapa ia bisa tidur secepat itu. Mungkin saja pengaruh alkohol, pikirnya.

***

Jika pertemuan ini menjadi pertemuan untuk mereka berakhir, maka jadikan pertemuan ini sebagai perdamaian diantara keduanya.

Mereka masih memiliki rasa. Semua yakin akan hal itu. Entah rasa yang sama atau rasa yang berbeda. Entah rasa untuk orang yang sama atau mungkin untuk orang yang berbeda.

Sikap dewasa tidak bisa dijadikan patokan sebagai dua insan menjalin hubungan. Mereka sudah saling dewasa, terlepas masalah diantara keduanya, mereka sudah bisa menjalani kehidupan sebagai manusia dewasa yang sadar akan tanggungan dan apa yang harus mereka lakukan.

Tapi apa yang salah dengan luka? Tidak semua orang mampu mengambil peran sebagai orang yang mampu menutupi luka dengan beraksi sebagai perempuan kuat yang terlihat seperti tidak terjadi apa-apa.

Banyak luka yang sulit sembuh. Banyak luka yang sulit lupa. Dan Reina salah satunya, salah satu dari wanita sedang merasakannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!