BAB 2

Selamat membaca

jangan lupa follow , like

jangan lupa follow Instagram nya @Rezza.rezza.officiall

"Jo, sebagai sahabat, gue emang bakalan selalu dukung lu. Tapi buat kali ini, apa lu yakin?"

Lelaki itu tampak tak ambil pusing, ia masih mengemas beberapa barangnya ke dalam koper sedang berwarna hitam.

"Lu dengerin gue ngomong tidak sih, Jo?"

Jonathan mendecak, ia menegak dan menghadap kepada Devan yang masih bersandar di ambang pintu, "Iya, gue denger, Dev. Tapi lu sadar tidak sih, lu udah nanya hal yang sama berulang kali. Dan jawaban gue juga masih sama."

Devan mendengus, ia kemudian beralih untuk duduk di ujung ranjang Jo, tepat di samping koper yang terbuka. Ia melihat tumpukan baju yang tidak terlalu rapi, tapi cukup membuatnya gusar. "Ya, oke. Gue akan stop tanya-tanya tentang ini. Tapi ingat, kalau sesuatu terjadi sama lu di sana, jangan pernah lupa buat hubungi gue di sini."

"Lu bakalan jadi orang pertama yang gue cari, Dev. Thanks, bro!" Jo menepuk pundak sahabatnya dan berjalan ke arah nakas untuk mengambil ponselnya.

"Kalau gitu gue balik ke kamar, kabarin gue kalau lu udah mau berangkat ke airport."

Sepeninggalan Devan, Jo memilih untuk bersantai. Jam masih menunjukkan pukul 10 pagi, setidaknya ia masih punya waktu 2 jam hingga jadwal penerbangannya tiba. Ia meluruskan kakinya, dan menyandarkan badannya pada kepala ranjang.

Jo tinggal di sebuah mansion mewah, apartemen 50 lantai ini menjadi salah satu tempat tinggal yang banyak dicari oleh para kelompok kalangan atas. Termasuk Jo dan sahabatnya, Devan, dua pria yang dikenal dengan kehidupan mewahnya.

Devan sudah menjadi sahabat dekat Jo sejak pertama kali Jo mendarat di sana. Di lima tahun lalu. Pertemuan mereka memang tidak disengaja, bahkan sangat sepele, hanya karena Jo yang tidak sengaja menjatuhkan lensa kamera Devan di bandara. Lensa itu pecah, dan Jo tak mampu membayar gantinya.

Dering ponselnya berbunyi, tanda sebuah panggilan masuk. Jo yang baru saja memejamkan matanya terkesiap. Ia melirik pada layar untuk mengetahui identitas pemanggil, lalu tersenyum tipis dan mengangkatnya,

"Hai, sudah selesai kelas?"

["Iya, kamu jadi berangkat hari ini?"]

"Mhmm, kamu jadi kan mau antar aku ke airport?"

["So sorry ya. Sore ini aku harus datang ke undangan pameran busana di Town Hall, is that okay ya?"]

"Oh, oke. Ya- oke- ya-, gapapa. Have fun ya."

["Thanks, you too. Have a safe flight ya. Bye bub."]

Belum sempat mengucapkan selamat tinggal, panggilannya sudah terputus. Jo menertawakan dirinya. Ia membanting ponselnya dan kembali menelungkupkan wajahnya pada bantal.

***

Bandara sudah dipenuhi oleh beberapa penumpang yang akan terbang siang ini. Beberapa menit lalu Devan meninggalkannya untuk membeli kopi hangat. Dan disini, Jo kembali sendiri, menghadap kepada beberapa orang yang lalu lalang.

Lamunannya sampai kepada wajah Ibunya yang menangis terharu saat dirinya memenangkan pertandingan sepak bola pertamanya, tepat saat usianya menginjak 8 tahun. Wajah Ibunya sangat damai, dan akan selalu begitu, memeluknya erat saat turun podium, dan mengusap rambutnya.

Apakah itu juga yang akan ia rasakan nanti? Jo tidak ingin banyak berharap.

Para penumpang sudah mulai berdiri dan bersiap, petugas sudah memberitahu keberangkatan mereka akan segera dimulai. Jo berdiri di tempatnya, tapi menjadi kaku dan tak tahu harus bagaimana, ia mendadak menjadi sangat gelisah.

Jo menggaruk tengkuknya dan menoleh ke belakang, mencari tahu apakah Devan sudah kembali. Memikirkan Ibunya saja sudah membuatnya khawatir berlebihan, dan berpikir apakah ini memang benar-benar harus ia lakukan.

Sudah sejak seminggu yang lalu, Jo sudah memantapkan hatinya. Memantapkan diri sampai mentalnya. Tidak ada kegundahan, tidak ketakutan.

Tapi kini, saat semuanya sudah tersusun sesuai rencana, Jo justru menjadi bingung dengan dirinya sendiri, yang bahkan ia pun tidak mengerti.

Jo merasa seharusnya ia tidak ada disini. Seharusnya tidak perlu ada keinginan memperbaiki semuanya sendiri. Seharusnya tidak perlu ada penerbangan yang ia pesan untuk membawanya kembali.

Dan seharusnya tidak perlu ada pertemuan yang nantinya hanya akan menjadi perdebatan.

"Jonathan, pesawat lu udah mau take off tuh, malah bengong, nanti gue yang naik kan lu yang repot," Devan menyadarkan lamunannya sambil tertawa.

Jo menghadap kepada lelaki bertopi merah yang kini menyusup sedikit kopinya yang masih panas, "Dev, kenapa kok gue sekarang malah gini ya, gue ngerasa kayak-"

"Gelisah? Takut? Khawatir? Gue paham, Jo. Kalau gue jadi lu, gue juga pasti ngerasain hal yang sama. Tapi gue yakin, lu pasti bisa, dan lu pasti mampu. Jonathan yang gue kenal selalu pilih pilihannya yang tepat," potong Devan sambil tersenyum.

Ia kemudian menaruh kopinya pada kursi, dan memeluk Jo dengan erat. Tangannya juga menepuk pundak Jo untuk beberapa kali. Pertanda bahwa Devan akan selalu ada disampingnya, dan mendukung semua langkahnya. "Good luck, bro. Gue doain lu dari jauh. Go to your fam," ucapnya.

Jo menghela nafasnya lega. Ia kemudian mampu menegakkan bahunya dan tersenyum. Ia mengangguk, "Thanks, Dev!" sambil berlari meninggalkan sahabatnya yang masih tersenyum ke arahnya.

Sebelum naik ke atas, Jo berhenti. Tangannya meraih ponsel dari saku dan membuka fitur pesan. Setidaknya, ia masih harus tetap mengabari kekasihnya, walau ia sendiri tak tahu entah kapan pesannya akan dibalas.

Duduk di kursi penumpang, Jo kembali terdiam. Disampingnya hanya ada seorang wanita muda yang sibuk dengan buku di tangannya. Mungkin ia juga tidak sadar kalau kursi sebelahnya sudah terisi.

Sial, Jo benci diam. Jo benci dengan kondisi seperti ini. Diam akan membuatnya menjadi melamun. Dan lamunannya akan membuat dirinya merasa menjadi orang paling bersalah di muka bumi ini.

Jo memilih untuk memasang earphone, dan menyalakan musik ponselnya, setidaknya alunan lagu bisa membantu menyingkirkan pikiran gelisahnya.

Dan ternyata itu menjadi pilihan terbaiknya. Tidak lama dari lagu yang berputar sedikit keras, Jo merasa matanya sangat berat, mungkin saja efek kelelahan beberapa hari terakhir, pikirnya. Ia kemudian tertidur dalam lelap dan hening tanpa mimpi.

***

Jo menggerakkan tubuhnya yang terasa cukup pegal kali ini. Setelah turun dari pesawat, Jo memutuskan untuk menumpangi taksi yang ada.

"Kita kemana, mas?"

Jo kembali terdiam. Sial, ia bahkan tidak tahu harus kemana.

Apa harus langsung kembali ke rumah? Jo tertawa, apakah akan semudah itu dia diterima disana?

"Ke hotel dekat sini saja, Pak."

***

Terik matahari ternyata memasuki jendela yang tirainya tidak tertutup rapat. Membuat silau seorang laki-laki yang masih mengenakan pakaian terakhirnya di atas ranjang yang berantakan.

Sesampainya di hotel, Jo tidak melakukan apapun. Ia hanya masuk, menyalakan pendingin ruangan, dan langsung tidur di atas ranjang. Entahlah, rasanya Jo tidak ingin melakukan apa-apa, bahkan hanya sekedar membersihkan badan sekalipun.

Sayup-sayup matanya terbuka. Tangannya terangkat untuk mengusap kedua matanya yang masih malas. Jo kemudian membuka jaketnya, tinggal lama di Eropa menjadikannya lupa bahwa negaranya sangat panas di pagi hari.

Sebagian dari kalian pasti berpikir semenyedihkan apa hidup Jo. Seperti jauh dari keluarga dan lain sebagainya. Tapi tidak. Jonathan Fender adalah pemain sepak bola muda yang cukup terkenal di Inggris, hidup kaya raya, memiliki kekasih cantik yang berasal dari keluarga pebisnis ternama, dan dapat dengan mudah menghamburkan harta sesukanya.

Dan disinilah dia. Kembali ke Indonesia. Merasa asing di negeri sendiri. Ia bahkan tidak siap dengan apa yang akan dihadapi. Tapi sebelum itu, perut Jo terasa lapar minta diisi.

Jo bersiap untuk mandi, dan akan keluar untuk mencari sarapan, ia tidak begitu tertarik dengan makanan yang telah disediakan.

Sebagai pemain sepak bola populer Eropa, ia tidak terlalu terganggu dengan beberapa penggemar yang ia anggap tidak rusuh seperti penggemar selebritas biasanya.

Ia berjalan pada trotoar yang cukup sepi. Aroma roti dari toko sebelah kirinya sudah mulai tercium. Dan cacing di perutnya semakin berteriak karena itu. Jo memilih untuk masuk. Bunyi bel pengunjung sudah berbunyi. Seorang pria tidak terlalu tua berbalik badan dan tersenyum menyapa.

"Jonathan? Kamu Jonathan Fender kan?" kata pria itu mendekat.

Jo mengerutkan keningnya, darimana ia bisa tahu, pikirnya. Bahkan Jo sendiri tidak mengenalinya.

Ia membuka maskernya, "Iya," Jo hanya bisa menjawab sebisanya, sambil berpikir siapa pria yang ada di hadapannya.

Pria itu tertawa, tangannya merangkul, "Saya Hans, kerabat orang tuamu, kamu pasti lupa dengan saya. Terakhir saya bertemu kamu itu saat kamu masih sangat remaja. Tidak menyangka kamu sudah sebesar ini sekarang. Bahkan sudah menjadi orang sukses di negeri orang ya? Saya bangga sama kamu."

Jo tersenyum, "Bagaimana Om tahu kalau ini saya? Saya bahkan merasa penampilan saya jauh berbeda dengan saat remaja."

"Ah soal itu. Jas biru yang kamu kenakan ini adalah jas kesayangan Ayahmu. Saya masih ingat itu. Jas ini adalah jas pertama yang ia pakai saat rapat pertama kali di perusahaan yang ia bangun. Jas kebanggaannya kalau kata orang."

Jo tertunduk melihat jas yang ia kenakan.

"Reina, sedang apa kamu disana? Cepat masuk!"

Jo menegakkan kepalanya. Nama itu. Nama yang beberapa minggu terakhir mengganggu pikirannya. Nama itu memang ia cari, tapi tidak dengan waktu secepat ini.

Bodoh. Nama itu tidak hanya dimiliki satu perempuan saja.

Jo tidak membalikkan badannya. Biarkan ia dibilang sombong. Tapi ia belum siap menerima kenyataan kalau gadis itu adalah gadis yang ia cari.

"Ehm, i-iya maaf, Pak."

Suaranya. Jo masih paham betul dengan suara lembut gadisnya.

Jo memejamkan matanya. Sial Hans ini memang tidak mengenal hubungan kami. Tapi dia benar-benar tidak tahu situasi. Jo kemudian memutar badannya. Dan untuk pertama kalinya, di lima tahun, wajah itu ada di hadapan wajahnya.

Tidak butuh waktu lama bagi Jo membuat Reina menghilang dari hadapannya. Tinggal saja ia katakan bahwa Reina bisa langsung melanjutkan pekerjaannya.

Jo masih menatap punggung gadis itu yang semakin lama semakin terhalang oleh para pekerja lainnya. Ia terkesiap, ia tak seharusnya memandang gadis itu berlebihan.

Tapi apa boleh dikata. Gadis itu selalu terlihat lugu. Wajahnya, bibir tipisnya, dan tatapan binarnya masih sama. Ia bahkan masih saja terlihat kaku saat Jo mengulurkan tangannya. Semua itu masih sama seperti pertama kali Jo mengajaknya berkenalan dulu.

Tapi gadis itu juga yang sudah mengacaukan semuanya. Gadis itu sudah pandai memainkan perasaan Jo. Gadis itu juga yang sudah membawanya memaksakan diri untuk kembali disini.

Dan Jo tersadar, bahwa gadisnya itu sudah tidak selugu dulu lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!