SELAMAT MEMBACA
Kalau boleh meminta, tidak perlu ada pertemuan, kalau ada perpisahan. Tidak perlu ada pertemuan, kalau ada pertengkaran. Bahkan tidak perlu kembali, kalau aku sudah tidak menjadi seseorang yang kamu ingini lagi.
Bahkan seorang pelari, perlu aba-aba untuk memulai. Tapi kamu, kenapa kamu harus datang tanpa diundang. Tanpa ada yang menyuruh. Tanpa ada yang meminta.
Dentingan oven sudah menyala, giliran roti caramel hangat yang siap di sajikan, bersama secangkir latte dengan sedikit gula.
'Ternyata seleranya masih sama," pikirnya
"El, kamu aja deh yang antar," Reina mendorong nampan putih yang berisikan dua buah piring dan gelas di hadapannya.
Elsa yang sedang membenahi apronnya dengan cepat menoleh, "Eh, kok aku? Kamu aja deh, Rei. Kan kamu yang dekat dengan Pak Hans dan.. Jonathan."
Reina mendengus. Lagi-lagi nama lelaki itu harus melintas di telinganya. Ini bagian dari profesionalitas pekerjaannya, dan ia tidak boleh menghindar.
Yang terpenting adalah cincinnya tidak terlihat di hadapan Jo.
Dua lelaki itu ternyata sedang asik berbincang. Entah nyaman atau tidak, Jo terlihat hanya menimpali sebisanya. Letak duduk Jo berhadapan langsung dengan Reina yang baru saja keluar dari arah pantry.
Dan entah disadari oleh Reina atau tidak, Jo terus menatap wanita yang saat ini sibuk memasang senyum di bibirnya seraya membalas sapaan dari beberapa anak kecil yang berkunjung ke toko siang ini.
Namun nampaknya, Reina sengaja tidak meluruskan pandangannya, agar tidak terjadi kontak mata di antara mereka.
"Selamat pagi menjelang siang, ini best seller dari menu disini. Selamat menikmati," sapanya ramah.
Reina menganggap setidaknya ia hanya harus ramah sekitar dua menit di hadapan lelaki memuakkan itu.
Tapi ternyata. Tidak ada dua atau tiga menit. Sial. Harinya memang sial. Kalau tahu akan seperti ini jadinya, ia akan membujuk Elsa sampai berhasil bagaimanapun caranya.
"Om Hans, boleh saya meminta waktu Reina sebentar? Saya ingin berbicara dengannya."
Jonathan. Lelaki yang masih memasang wajah dinginnya itu dengan mudahnya berbicara hal demikian.
Sementara Reina, wanita muda yang kini masih berdiri di samping mereka justru membelalakkan matanya.
'Jo benar-benar kurang ajar,' ucapnya dalam hati
"Oh ya, ya, silahkan. Reina ini memang pegawai saya yang paling terkenal disini. Saya akan tinggal kedalam sebentar dulu kalau begitu."
Reina hanya berharap, Pak Hans mengurungkan niatnya dan kembali duduk disana. Menyuruhnya untuk membereskan dapur pun Reina tak apa, meski itu bukan tugasnya. Yang terpenting adalah ia harus lenyap dari sini secepatnya.
Tapi nihil. Keberuntungan belum berpihak padanya. Mungkin ini karena ia bangun terlambat pagi ini.
Hening. Reina masih terdiam di tempatnya. Ia hanya berpura-pura mengedarkan pandangannya pada pengunjung toko untuk mengatasi kegelisahannya.
Jo pun demikian. Meski ialah sang empunya ide, kali ini justru ia menjadi bingung. Ia hanya mengetukkan ujung kakinya pada lantai. Ia tidak tahu harus memulai darimana. Sial, mengapa ia menjadi selemah ini.
Ia berdeham pelan, "Duduk, Rei," ucapnya tanpa menatap.
Lama tidak menjawab. Ia langsung terduduk dan mengganti wajah cantiknya itu menjadi wajah serius yang siap menghajarnya. "Ada apa? Cepat bicara, masih banyak yang harus ku kerjakan."
"Kamu membenciku?" pertanyaan yang meluncur tiba-tiba.
Reina tertawa pelan. Pertanyaan macam apa itu astaga. Reina menggelengkan kepalanya dan menoleh pada jendela. Pemandangan lelaki di hadapannya sangat-sangat tidak menarik minatnya.
"Untuk apa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu? Kamu bahkan seharusnya sudah tahu apa jawabanku."
"Rei, kamu hanya cukup menjawab iya atau tidak."
"Kamu harus cari tahu sendiri jawabannya. Kalau kamu punya hati, kamu pasti tahu apa yang akan aku bilang buat jawabin pertanyaanmu yang tidak bermutu itu."
"Reina," suaranya meninggi, selalu seperti ini jika ia sudah mulai terpancing emosi, Reina sudah mengerti. "Kamu bisa tidak sih, tenangin pikiran kamu, dan jawab pertanyaanku. Udah, Rei, sesimple itu, dan jangan memancingku."
"Jonathan," suaranya mulai bergetar. "Kenapa sih, Jo, kamu harus datang sekarang, kamu sadar tidak sih, kamu bikin semuanya hancur tau tidak? Kamu-" suaranya terhenti. Reina merasa kalau ia lanjutkan, maka ia akan menangis.
Di hadapannya, Jo masih menatapnya tanpa bicara. Dan tentu saja, tanpa rasa bersalah sedikitpun
Jo menghela nafasnya. Mungkin ini memang terlalu dini untuk membahas semuanya.
"Oke, Rei, aku minta maaf. Mungkin ini memang bukan waktu yang pas buat kita bicarakan ini semua. Tapi-" kini giliran ucapan Jo yang terhenti.
Tatapan Jo tiba-tiba turun, tepat kepada jari jemari Reina yang saling tertaut di atas meja. Kosong, tidak ada cincin disana. Ini seperti bukan Reina yang biasanya. Semarah apapun ia kepada Jo, maka Reina tidak akan pernah melepaskan cincinnya.
"Reina, kamu tidak pakai cincin itu?"
Reina merasa sudah lelah dengan drama siang ini. Lelaki ini harus pergi dari hadapannya sekarang juga. "Jo, aku rasa kamu sudah kelewat batas. Ini masalah pribadi kita berdua, dan kamu malah pakai ini di waktu aku kerja. Sorry, Jo, aku ada keluargaku yang harus aku hidupi. Jadi tolong, jangan hancurkan hari dan pekerjaanku. Tolong pergi. Sekarang. Tolong, Jo."
Tidak ada emosi disana. Tidak ada penekanan disana. Jo mengucapkannya justru dengan nada yang sangat sangat lembut. Membuat Jo menautkan alisnya. Tapi seketika ia tersadar, ia masih memiliki hari esok untuk menyelesaikan ini semua.
"Oke, aku pergi. Tapi tolong jangan pernah anggap kita selesai. Masalah kita, aku dan kamu, belum pernah selesai sampai kita benar-benar membicarakan ini semua. Dan kamu, Reina, tolong dewasa, tolong jangan pikirkan rasa sakitmu saja, disini ada aku, yang jauh-jauh datang hanya untuk bertemu," Jo bangkit dan membenahi jasnya.
Reina berbisik pelan pada dirinya sendiri, "Tidak ada juga yang menyuruhmu datang kembali."
"Aku pulang," membalikkan badannya, lalu pergi menghilang.
Punggung itu semakin jauh. Jas birunya sudah mulai tidak terlihat. Reina termenung seketika, apa yang sudah terjadi pada harinya?
Apa yang harus ia lakukan kedepannya kalau lelaki itu belum juga pergi? Apakah ini sanggup menghadapi?
Memikirkannya saja sudah membuat Reina pusing. Dan ini tidak baik untuk pekerjaannya. Ini baru memasuki setengah hari. Reina bersiap untuk membenahi meja dan kembali ke dapur.
***
Hidupnya sulit. Benar-benar sulit. Bukan, bukan karena keadaan keluarganya. Tapi karena keadaan bertambahnya satu makhluk yang tidak pernah ia harapkan kedatangannya.
Sudah dua jam sedari tadi, Reina membolak balikan badannya di atas kasur. Rasanya sulit sekali untuk tidur.
Bayangan wajah Jo sialnya masih melintas setiap kali ia memejamkan mata. Dan ia takut itu akan sampai ke dalam mimpi. Karena itu akan menjadi mimpi buruknya.
Reina mencoba memejamkan matanya sekali lagi.
"Reina, kamu tidak pakai cincin itu?"
Suara itu berulang terus berputar di dalam pikirannya. Jika saja pikirannya adalah sebuah radio, maka kalau bisa, ia akan dengan cepat mengganti salurannya. Suara ini terlalu mengganggu dan merusak suasana hatinya.
Reina belum bisa menjadi pribadi yang tenang untuk sekarang ini. Dan Reina sangat tidak senang dengan hal itu. Sebelumnya ia sudah yakin, bahwa cepat atau lambat lelaki itu pasti akan kembali. Setidaknya, kalau bukan untuknya, pasti akan datang untuk keluarganya.
Tapi Reina masih menjadi gadis yang salah tingkah jika harus terus ditatap, atau menjadi gadis yang mudah tersulut emosi jika lelaki itu bicara. Perasaannya menjadi dapat berubah dengan sangat cepat, tanpa sampai hitungan detik sekalipun.
Ia tidak mempermasalahkan itu semua. Ia bahkan tidak mempermasalahkan masa lalunya. Ia hanya mempermasalahkan bagaimana ia menguasai dirinya, bagaimana dengan dewasa ia mengatur dirinya sendiri untuk tahu mana yang seharusnya dan mana yang tidak perlu ia lakukan dan pikirkan.
Reina bahkan tidak mengerti, mengapa lelaki itu, dengan mudahnya, berucap tanpa berpikir, ucapan yang keluar dari bibirnya yang sudah banyak membual janji. Jo layaknya seperti lelaki pada umumnya, yang dengan mudah tidak sadar akan kesalahannya.
Jo sepertinya memang sudah hilang ingatan,
Atau
Memang sudah lupa akan perasaan.
***
Di dalam kamarnya, Jo memutar musik keras-keras.
Ini sudah tegukan ketiga dari wine yang ia buka beberapa menit yang lalu.
Ia masih sadar. Masih sepenuhnya sadar. Ia masih mampu mengingat apa yang sudah terjadi pada dirinya sejak tadi pagi.
Belum genap dua hari ini disini, rasanya masalah yang datang seketika sudah bertubi-tubi menimpanya.
Jika masih menjadi anak kesayangan keluarga, Ibunya tidak akan membiarkannya seperti ini. Bahkan saat pertama kali ia merasakan menangis karena putus cinta, Ibunya akan datang ke kamarnya, duduk di sampingnya, dan memeluknya. Lalu hanya bertanya 'ada apa', dan bercerita seraya berkata 'semua akan baik-baik saja'.
Tapi untuk sekarang? Jangankan memeluknya, memikirkan sampai sana pun Jo tidak sanggup. Terlalu berkhayal, pikirnya. Tidak menamparnya saja Jo rasa sudah sangat bersyukur.
Jo masih menginap di hotel yang sama dengan hari sebelumnya. Entah sampai kapan ia akan menginap disini. Ia merasa belum siap untuk kembali ke rumah.
Ia duduk di sofa yang cukup luas. Lalu mengambil ponselnya. Di akun sosial medianya, Bella, kekasihnya itu justru sedang asyik menikmati malam indahnya di bar bersama teman-temannya. Wanita itu bahkan tidak membalas pesan Jo, atau bahkan memberi kabar sedikitpun.
"Wanita sialan," teriak Jo lepas dan membanting ponselnya.
Jo berjalan tergopoh menuju ranjangnya. Ia kemudian berbaring dan memeluk gulingnya.
Hentakan musik keras sudah berhenti, bersamaan dengan ponselnya yang mati setelah terpental cukup jauh. Jo tidak memusingkannya. Kepalanya terlalu berat hanya untuk membuka mata.
Jo terlelap. Ia pun tidak tahu mengapa ia bisa tidur secepat itu. Mungkin saja pengaruh alkohol, pikirnya.
***
Jika pertemuan ini menjadi pertemuan untuk mereka berakhir, maka jadikan pertemuan ini sebagai perdamaian diantara keduanya.
Mereka masih memiliki rasa. Semua yakin akan hal itu. Entah rasa yang sama atau rasa yang berbeda. Entah rasa untuk orang yang sama atau mungkin untuk orang yang berbeda.
Sikap dewasa tidak bisa dijadikan patokan sebagai dua insan menjalin hubungan. Mereka sudah saling dewasa, terlepas masalah diantara keduanya, mereka sudah bisa menjalani kehidupan sebagai manusia dewasa yang sadar akan tanggungan dan apa yang harus mereka lakukan.
Tapi apa yang salah dengan luka? Tidak semua orang mampu mengambil peran sebagai orang yang mampu menutupi luka dengan beraksi sebagai perempuan kuat yang terlihat seperti tidak terjadi apa-apa.
Banyak luka yang sulit sembuh. Banyak luka yang sulit lupa. Dan Reina salah satunya, salah satu dari wanita sedang merasakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments