*CHAPTER 4*
***
Suhu tubuhnya meningkat. Rasanya tidak karuan. Ia mencoba untuk mengangkat tangannya menuju dahi, setidaknya mengetahui seberapa hangat dirinya. Tapi telapak kakinya terasa dingin. Ia bahkan mengeratkan tubuhnya pada selimut tebal yang membungkus dirinya.
Sepertinya meriang.
Sial. Ini pasti karena semalam ia terlalu banyak pikiran.
Tangan Reina merogoh ke atas nakas, mencari ponselnya. Ia sudah menimbang-nimbang apakah ia harus masuk kerja atau tidak.
Kepalanya terasa berat. Tubuhnya juga seperti melemas.
Reina mencari kontak Elsa, setidaknya menitip pesan kepada toko kalau ia absen hari ini karena sakit.
Ia mengangkat sedikit tubuhnya, berniat untuk menyandarkan punggungnya pada kepala dipan kasurnya. Tapi sayang, urung ia lakukan, ia bahkan tidak kuat untuk melakukannya.
Reina tidak mengerti, mengapa ia tiba-tiba jadi sakit begini. Bahkan jadi selemah ini.
Tidak, Reina bukan anak yang manja, ia bisa melakukan semuanya sendiri. Reina sempat berpikir untuk mengajak Elsa datang dan sedikit membantunya. Tapi Reina berpikir itu hanya menambah beban sahabatnya saja.
Ia menghela nafasnya. Setidaknya berdiam diri sekitar tiga menit tanpa berbuat apa-apa. Ruby sudah mulai protes meminta makan dan susu.
Dan sampai detik ini, Elsa masih belum bisa dihubungi. Astaga kemana anak ini. Reina memutuskan untuk mencobanya sekali lagi.
["Halo, Rei, kenapa kenapa? Sorry aku baru bangun haha,"] jawabnya dengan tawa yang renyah.
"Iya, selamat pagi juga Elsa sahabatku sayang."
["Kalau kamu menghubungiku hanya untuk diucapkan selamat pagi saja, lebih baik kamu pergi ke minimarket dan menjadi pelanggan pertama mereka disana. Dijamin hidupmu menyenangkan dan disambut dengan meriah."]
Reina tertawa. Kelakuan Elsa memang selalu ada-ada saja. "Oke oke, thanks buat rekomendasinya. Tapi untuk sekarang aku mau minta tolong ya, El, tolong izinin aku tidak masuk hari ini, badanku meriang dan lemas banget, kayaknya malah bakalan susah kalau aku paksain buat masuk kerja hari ini."
["Reina, kamu kenapa? Serius cuma meriang aja? Atau mau aku antar ke dokter buat periksa? Rei, kamu sendirian kan disana, nanti siapa yang-"]
Lagi-lagi Reina tertawa. Ia selalu tertawa dengan perhatian kecil Elsa. "El sudah sudah, santai saja. Aku gapapa, ya cuma meriang biasalah, penyakit lebay, nanti juga sembuh sendiri. Pokoknya kamu fokus kerja saja ya, dan jangan lupa aku titip absen, okay?"
Elsa menghela nafasnya. ["Okay, jangan lupa sarapan ya, Rei. Dan ingat, jangan lupa kabarin aku kalau kamu butuh sesuatu"]
"Iya yaudah, sekarang kamu bersiap untuk bekerja. Bye Elsa, have a great day."
["Thanks, Reina, hope you have a great well soon."]
***
Kepalanya terasa berat. Sangat pusing. Padahal seingatnya, ia tidak terlalu banyak minum malam tadi.
Sial. Ia baru ingat ini hanya di kamar hotel, ia bahkan tidak terpikirkan untuk menyiapkan aspirin untuk keesokan harinya.
Matanya terbuka. Jo menatap sekelilingnya yang berantakan. Sama seperti dirinya. Ia memegang kepalanya dan memijatnya pelan. Terlalu pagi hanya untuk merasakan pusing seberat ini.
Ketukan dari pintu terdengar. Biasanya petugas yang mengantar sarapan sudah diletakan didepan pintu. Jo tidak peduli. Bagaimana ia bisa memikirkan sarapan, kalau kepalanya saja sulit ia angkat.
Ponselnya berdering. Sial. Siapa yang sudah menghubunginya sepagi ini. Tidak mungkin jika manajer tim sepak bola tempatnya bermain, Jo sudah mengambil izin untuk keluarganya dalam beberapa minggu.
"Halo," jawabnya lemah tanpa melihat siapa sang pemanggil.
["Oi, Bro, hey ada apa? Lu baik-baik aja kan?"]
Jo memicingkan matanya untuk melihat layar. Devan.
"Gue gapapa, semalam gue cuma minum beberapa teguk dan ya, paginya kepala gue berat, pusing, dan kamar gue yang berantakan."
["Lu udah dirumah?"]
Jo mendecak. Pertanyaan macam apa itu, "No no, i mean, kamar hotel."
Sial, Devan justru tertawa, ["sesuai dugaan gue, lu pasti belum berani buat masang muka lu didepan keluarga. Yaudah, gue cuma pastiin keberadaan lu aja disana, gue harus berangkat ke studio sekarang."]
"Thanks, Dev, sorry semalam tidak sempat balas pesan lu. Anyway, apa lu disana bertemu Bella?"
Sekesal apapun ia dengan kekasihnya, Jo pasti merindukannya.
["Ah ya, gue lupa bilang, kemarin dia minta gue sampaikan kalau ponselnya hilang di bar, so dia tidak bisa kasih kabar. Anyway, dia selalu bermalam di kamar lu."]
Senyum Jo terangkat. Bella pasti akan selalu ke kamarnya setiap kali gadis itu merindukannya. "Okay, Thanks, Dev, sorry bikin lu telat ke studio."
["No problem, Jo. Anyway, minum aspirin yang gue taruh di saku koper lu, ziplock kecil warna putih."]
"What- Dev-" Jo tertawa kencang. Devan sudah menyiapkannya tanpa ia ketahui.
["Shut up, gue tahu kebiasaan minum lu dan gimana after effectnya. Okay i wanna hang up, see you."]
***
Siang ini tidak seterik biasanya. Mungkin sedikit mendung. Reina masih terbaring lemah disana. Masih mengenakan piyama putih persis seperti yang ia kenakan sejak semalam. Ia masih menggulung badannya, di sampingnya Ruby sudah berhenti berisik, kucing itu tidur di ujung kasur.
Pusingnya sudah mereda. Tapi panas di dahinya belum juga turun. Kali ini ia mencoba sekali lagi mengangkat badannya. Ah ya, berhasil, setidaknya hanya untuk bersandar, ia sudah cukup lelah hanya untuk berbaring saja.
Suara pintu terbuka. Dari kamar, Reina sudah menerka pasti Elsa yang datang. Hanya sahabatnya itu yang punya akses dengan seenaknya masuk kesana.
Tapi seketika Reina menoleh ke arah jam di nakasnya, ini baru pukul setengah satu siang, berarti belum saatnya Elsa untuk pulang. Tapi siapa lagi yang masuk ke dalam kamarnya.
Terdengar suara langkah kaki, tapi seketika menjauh. Mungkin ke arah dapur. Reina masih mengira itu adalah Elsa, ya semoga saja memang benar
Tidak lama suara ketukan pada pintu kamarnya terdengar, Reina sudah siap untuk menjawab kalau saja seseorang disana berbicara sesuatu.
"Reina, boleh aku masuk? Aku bawakan jeruk panas untukmu."
Yap, benar saja, Elsa. Reina tidak mengerti mengapa Elsa datang secepat ini.
"Masuk aja, Jess, tidak dikunci kok."
Elsa masuk kedalam kamar yang masih diterangi oleh lampu tidur. Sahabatnya itu tersenyum lebar. "Wait ya, ini aku taruh disini," katanya sambil menaruh segelas jeruk hangat di atas nakas.
Ia kemudian membuka tirai kamar Reina, agar sinar matahari masuk katanya. Ia juga mematikan lampu tidur Reina dan kembali duduk di sisi dipan.
"Loh, El, kok kamu sudah selesai kerja? Ini baru setengah hari loh."
"Aku izin duluan tadi, Rei," jawabnya sambil mengambil sesuatu dari dalam tasnya, "Nih, roti matcha kesukaanmu."
Reina tertawa, "Ini pasti kamu ambil diam-diam dari etalase kan?"
Elsa memanyunkan bibirnya, "Aku tidak sepayah itu, Rei. Aku hanya diam-diam memasaknya di oven, setelah hangat, baru aku masukan kedalam tas."
Mereka tertawa renyah. Elsa memang selalu ada untuknya.
***
Hari ini mereka tidak bertemu satu sama lain. Tidak berjumpa dan tidak bertatap.
Harusnya biasa saja. Mereka sudah melalui hari-hari seperti saat ini dalam lima tahun kebelakang.
Harusnya biasa saja. Wajah Jo sudah absen dalam kehidupan Reina dalam jangka waktu yang sangat lama. Begitu juga dengan Jo. Ia bahkan sudah memiliki kekasih lain yang seharusnya mampu menghapus jejak wajah Reina yang baru saja ditemuinya kemarin pagi.
Tapi disinilah mereka. Berada di dua tempat berbeda namun dengan pikiran yang sama.
Jika pikiran adalah jari jemari, maka pikiran mereka akan saling bertaut.
Bukan karena rindu, tapi hanya berpikir bagaimana dan apa yang harus mereka lakukan.
Reina, hanya berharap rasa sakitnya ini tidak terbuka lebar. Ia hanya berharap Jo segera kembali kemana ia harus kembali.
Jo, hanya berharap permasalahan ini akan segera selesai. Ini akan cepat jika Reina mampu bekerja sama dengan baik. Namun sepertinya, luka yang ditinggalkan Jo terlalu besar. Jo hanya memikirkan apa yang sudah ia lakukan.
Jo dengan egonya. Dan Reina dengan kesedihannya.
Mereka masih sama dengan masa lalunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments