Lidah Pahit Mertua
"Jangan bercanda kamu, Ar! Ibu nggak akan pernah kasih izin kamu nikah sama dia. Apa jaminannya kalau anak yang dikandung sama perempuan ini anak kamu?"
Pagi itu, Bu Ningsih dibuat emosi oleh anak semata wayangnya. Bagaimana tidak? Di hari yang masih pagi, Arga sudah membawa seorang perempuan yang beberapa bulan lalu juga pernah ia bawa ke rumah.
Bu Ningsih tidak menyukai kekasih anaknya itu, karena jika dilihat dari penampilannya saja, perempuan itu nampak sederhana. Ditambah lagi kekasih anaknya itu berasal dari kampung.
"Astaga, Bu. Nuna hanya melakukan ini sama aku. Dan aku akui memang aku sering melakukan itu dengan Nuna. Mau Ibu merestui atau nggak, aku tetap akan menikahi Nuna, Bu. Ada anakku di perutnya. Ibu juga perempuan. Aku yakin Ibu pasti lebih paham sama apa yang dirasakan Nuna."
"Nggak. Ibu bukan dia, Ibu punya kamu karena menikah, bukan pacaran."
Bu Ningsih berlalu dari ruang tamu dengan rasa kesal. Sementara Nuna hanya bisa mengeluarkan air matanya setelah mendapat penolakan yang kedua kalinya dari Bu Ningsih.
Sungguh terasa lengkap penderitaannya. Hidup jauh dari orang tua, hamil di luar nikah, dan sekarang belum apa-apa sudah mendapatkan perlakuan tidak baik dari Ibu kekasihnya. Bagimana ia akan menjalani hidup yang terasa berat ini? Pertanyaan akan kelanjutan hidup dan nasibnya kini ia sendiri yang mempertanyakannya.
Arga menatap nanar kekasihnya. Hatinya terasa teriris ketika melihat air mata yang berjalan jatuh membasahi pipi wanitanya. Tidak terdengar isakan atau sesenggukan, tapi cairan bening itu terus saja keluar dari kedua kelopak matanya dan itu menyakiti hati Arga.
"Maafin Ibu, ya. Mungkin Ibu belum bisa menerima kenyataan. Aku yakin suatu saat nanti, pasti Ibu juga akan menerima kamu kok. Ibu masih syok, yakinlah semuanya akan baik-baik saja. Ini hanya soal waktu."
Arga meraih tangan kekasihnya lalu ia genggam dengan erat. Mungkin genggaman di tangannya tidak bisa merubah keadaan, tapi setidaknya sentuhan itu bisa membuat wanita 22 tahun itu lebih tenang.
Dan nyatanya, sentuhan penenang dari Arga itu terus ia lakukan hingga hari di mana mereka menikah. Pernikahan mereka hari itu berjalan lancar tanpa hambatan meski di laksanakan dengan sederhana.
Ketidakteriman Bu Ningsih ternyata tidak hanya berlaku untuk Nuna saja, tapi juga untuk kedua orang tuanya. Bu Ningsih tidak menyambut baik kedua besannya itu hanya karena mereka dari kalangan orang sederhana yang sebenarnya sama seperti dirinya.
"Na, gimana kalau kamu dan suamimu tinggal di rumah kami saja? Menantu perempuan tinggal di rumah Ibu mertuanya itu tidak mudah. Apalagi ibu mertuamu seperti itu, ya kami paham kalian itu salah sudah melakukan hubungan seperti itu sebelum menikah, tapi mau bagaimana lagi? Mau semarah apa pun atau sekecewa apa pun tidak akan merubah keadaan."
"Mas Arga kerjanya di sini, Bu. Lagi pula nanti ibunya sendirian kalau kita tinggal di kampung. Nggak apa-apa, itu cuman masalah waktu aja kok. Aku yakin suatu saat nanti Ibu pasti akan menerima aku jadi menantu, apalagi nanti kalau cucunya sudah lahir. Biasanya seorang bayi bisa meluluhkan kerasnya hati seseorang." Setidaknya kalimat itulah yang sering Arga perdengarkan pada dirinya dan kini, ia menggunakan kalimat penenang yang sama pada kedua orang tuanya.
Meskipun masih tidak yakin dan tidak tega meninggalkan anaknya satu rumah dengan mertuanya, kedua orang tua Nuna akhirnya berusaha untuk melepas anaknya tinggal bersama dengan keluarga barunya.
"Ya sudah kalau gitu. Kalau ada apa-apa bisa cerita ke Ibu atau kalian bisa tinggal di rumah Ibu dan Ayah. Pintu kami akan selalu terbuka untuk kalian. Kami langsung pulang aja, ya. Nanti keburu malam sampai rumah."
"Jaga kesehatan, kami pulang." Hanya kalimat itu yang dikeluarkan oleh ayah Nuna.
Setelah kalimat pelepasan itu mereka berpelukan bergantian dan akhirnya mereka benar-benar terpisah sore itu.
Dan satu hari setelah hari perayaan itu, adalah pembukaan bab baru di kehidupan Nuna yang menjadi seorang istri dan menantu dalam satu waktu. Dan pembukaan itu, diawali dengan ocehan bu Ningsih dari dapur.
"Dasar, punya menantu satu nggak ada rajin-rajinnya. Bisa-bisanya dia jam segini belum bangun. Emang di kiranya aku ini pembantu apa? Yang suka rela masakin buat dia. Dasar menantu tidak tahu diri!"
Bu Ningsih meracau seraya memotong bawang untuk memasak. Di hari yang masih pagi buta beliau mengawali hari dengan amukan. Memang sudah menjadi kebiasaan beliau pukul lima pagi sudah berkutat di dapur. Dan di hari pertama beliau menerima menantu malah dibuat kesal karena punya menantu atau tidak, tidak ada bedanya di mata beliau.
"Maaf Bu, aku terlambat. Aku bukannya belum bangun, tapi memang aku tadi sedikit mual dan pusing. Jadi setelah salat subuh tadi aku tiduran lagi. Apa yang bisa aku bantu, Bu?"
"Makanya, kalau belum siap hamil jangan pacaran sambil tiduran. Yang namanya hamil, ya pasti mual, pusing, lemas. Itu sudah pasti, kalau kamu pakai tiduran terus yang ada anak kamu nanti nggak tumbuh dengan sehat. Nih kamu yang masak, saya mau istirahat. Nanti setelah masak, jangan lupa bersih-bersih rumah sekalian dicuci baju saya, ya! Kamu tinggal di sini nggak bayar pakai uang, jadi setidaknya tenaga kamu harus digunakan biar nggak cuma numpang."
Nuna hanya bisa beristighfar dalam hati seraya mengelus dadanya dengan pelan setelah kepergian sang Ibu mertua. Ini hari pertama ia tinggal di rumah itu, tapi ucapan ibunya sudah semenyakitkan itu.
Nuna yang rapuh hatinya dan gampang menangis ingin mengeluarkan air matanya saat itu juga. Namun, ia teringat bahwa ia tidak menjaga nyawanya saja, tapi ada nyawa lain yang harus ia jaga di dalam tubuhnya.
"Nggak boleh nangis, Nuna. Nggak boleh nangis, nggak boleh sedih, harus tetap bahagia. Jangan masukkan hati apa pun ucapan yang menyakitkan. Jangan pikirkan itu, ada anak kamu di dalamnya tubuhmu."
Wanita itu menggunakan seluruh tenaganya dan juga pemikirannya untuk tidak memikirkan ucapan ibunya. Sebelum melakukan aktivitas di dapur itu, ia mengambil ponsel dan menyalakan musik agar sedikit rileks dan lupa dengan kalimat pembukaan di hari pertama ia menjadi menantu.
Tidak sulit bagi Nuna untuk mengerjakan pekerjaan rumah karena memang ia terbiasa dari kecil sudah membantu ibunya di dapur. Membersihkan rumah, mencuci baju, semuanya sudah ia lakukan dan ia pelajari dari kecil.
Selesai dengan memasak, Nuna membersihkan rumah terlebih dahulu sebelum mencuci. Di saat tengah fokus dengan pekerjaannya Bu Ningsih keluar dari kamar dan
"Na, kamu itu tidak tinggal di rumahmu sendiri. Kenapa sih harus menyalakan musik? Berisik!"
Padahal Nuna menyalakan musik itu dengan pelan. Suaminya saja yang masih tertidur di kamar tidak terbangun karena suara musiknya. Tapi wanita yang melahirkan suaminya itu selalu saja mencari kesalahan untuk melampiaskan kebenciannya pada menantunya.
"Kalau Ibu terganggu aku akan matikan, Bu."
"Tidak hanya suara musikmu yang mengganggu, tapi kehadiran kamu di sini juga sangat mengganggu. Arga memang terlalu bodoh untuk mencari istri. Bagaimana bisa dia menghamili wanita yang tidak punya apa-apa seperti kamu ini." Bu Ningsih berucap dengan kesal lalu membawa kakinya melangkah ke dapur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Tiana
hadeh.. yg baru baca udh mewek aja
2023-09-09
0
Rahma Hayati
❤
2023-08-15
0
RAYI🎐ᵇᵃˢᵉ
mulut mertua setajam parangg🗡️🗡️🗡️
2023-07-11
0