Ish. Kenapa dia gampang sekali marah?"
Nuna dengan segera berjalan ke arah dapur mini yang nampaknya memang khusus dibuat minuman saja. Tas dan tentengan kresek berisi buah masih berada di tangannya.
"Kau bisa letakkan barang-barangmu itu di sana." Pria itu menunjuk lemari kecil di sudut ruangan dengan dagunya.
"Katakan apa yang harus aku lakukan." Nuna bertanya setelah meletakkan tas dan buahnya di sudut lemari yang sudah ditunjuk oleh pria tadi.
Pria itu lalu menjelaskan apa saja tugasnya yang sebenernya cukup mudah. Karena minuman yang tersedia di kedai itu tidak banyak dan semua orang bisa membuatnya tanpa resep khusus. Hal itu terbukti dari Nuna yang dengan cepat memahami dan mempraktekkan apa yang dijelaskan tadi.
Nuna terus sibuk sejak ia memasuki dapur. Hingga melewati jam makan siang, wanita itu baru bisa mendudukkan diri di lantai dapur dengan bersandar pada dinding. Mengerjakan pekerjaan rumah yang ringan saja ia sudah cukup kelelahan. Ditambah lagi ia sekarang harus melayani orang-orang dan berjalan ke sana kemari sungguh itu menguras tenaganya. Ini baru setengah hari ia bekerja, ia berharap kandungannya akan terus kuat hingga ia siap melahirkan.
"Kamu bantuin Ibu, ya. Kamu harus kuat di dalam perut Ibu. Ibu kerja buat kamu, buat Ibu juga. Biar kalau kamu mau sesuatu, Ibu bisa beli tanpa harus menunggu," gumam Nuna seraya mengelus perutnya yang masih rata di usia kandungan hampir tiga bulan.
"Kau lapar?" tanya pria itu saat memergoki Nuna yang mengelus perutnya.
Nuna hanya mengangguk pelan.
"Ya udah makan sana. Mau lauk apa aja terserah tinggal pilih yang di depan. Jatah makan kamu di sini cuman dua kali sehari, jam kerja dari jam delapan pagi sampai jam tiga sore. Kalau sebelum jam tiga sore makanan udah habis, ya udah bisa pulang," terang pria itu seraya mengangkut piring ke westafel.
"Tugasmu di sini buat minuman dan antar ke meja. Sama seperti tadi. Dan tugas lainnya, kamu cuci piring dan gelas. Membersihkan kedai sebelum kedai buka dan sebelum tutup. Untuk hari ini aku yang kerjain cuci piring dan gelas kotor ini. Besok kau yang kerjakan. Buruan makan!"
Pria itu bicara panjang lebar seraya mencuci piring. Menjelaskan keseluruhan tugas Nuna tanpa jeda dan tanpa menoleh pada wanita yang kini tak sengaja tertidur dengan posisi duduk. Tak mendengar sahutan dari Nuna membuat pria itu berhenti dari aktivitasnya dan menolehkan kepalanya ke belakang.
Melihat Nuna yang tertidur, ia membanting sponnya ke westafel dan mencuci tangannya lalu menyipratkan air yang membasahi tangannya itu ke wajah Nuna.
Nuna sedikit terkejut dari duduknya ketika mendapati pria itu berdiri dengan berkacak pinggang. Wanita itu refleks berdiri seraya memilin ujung kaosnya.
Ya Tuhan, apakah aku akan dipecat bahkan sebelum aku menerima gaji?
"Aku tadi sudah menjelaskan detail apa yang harus kau kerjakan di selama di sini. Kau tertidur? Kau tidak mendengar apa yang aku katakan?"
"Dengar. Aku mendengarnya samar-samar aku mendengar apa yang kau katakan. Aku tidak tidur sungguhan. Aku hanya memejamkan mata."
"Kalau begitu ulangi apa yang aku katakan tadi!"
Nuna dengan ragu dan sedikit terbata-bata mengulangi perkataan yang masuk ke telinganya tadi. Meskipun sangat samar ia mendengar dan tak yakin jawabannya benar, ia tetap mengucapkannya.
Nuna bernafas lega setelah mendapat anggukan dari pria itu. Ia bekerja di kedai sederhana, tapi terasa bekerja di perusahaan terbesar di dunia.
"Makan sana! Nanti pingsan, aku nggak mau ada yang merepotkan aku."
Nuna hanya mengangguk dan berjalan ke depan. Ia mengambil sedikit nasi dan lauk yang lebih banyak.
"Makanan ini untuk dijual, kenapa aku boleh ambil makanan di sini? Kau nggak takut rugi?" Nuna bertanya seraya memerhatikan lauk yang ia inginkan. Dari tampilan lauk-lauk yang berjajar di etalase ini sangat menggugah seleranya, namun entah perutnya bisa menerima atau tidak.
"Mau makan pake apa kalau nggak makan yang ada di etalase? Aku nggak bawa makanan lagi selain untuk diriku sendiri. Besok akan aku bawakan makanan lain. Lebih bagus lagi kalau kau bawa makanan sendiri. Ngomong-ngomong, siapa namamu?"
"Nuna."
"Aku Bian." Pria itu duduk di lantai sedikit jauh dari Nuna.
"Bagaimana aku memanggilmu? Maksudnya haruskah aku memanggilmu pak?"
"Apa aku tarlihat setua itu sampai kau panggil aku pak?"
"Aku hanya bertanya, kenapa kau selalu marah? Kendalikan emosimu. Kasihan wanita yang akan menjadi istrimu nanti. Makan hati setiap hari jika bertanya saja kau marah."
Bian hanya mendelik ke arah Nuna. Dan seperti yang ia harapkan, wanita itu seketika diam dan melanjutkan makan.
Selesai dengan makan siang yang tertunda. Mereka kembali melayani para customer, makanan yang tinggal sedikit membuat tak banyak orang yang duduk di kedai itu. Nuna sedikit lebih santai dari yang tadi.
Di waktu senggangnya ini, ia duduk diam di pantry dengan setengah melamun. Ia bimbang hendak jujur atau tidak pada suaminya. Ia takut jika dirinya izin, tidak akan mendapatkan restu untuk bekerja, tapi jika ia diam-diam bekerja, pasti lama-lama akan ketahuan juga dan itu pasti akan menimbulkan masalah baru dan besar.
Nuna menghembuskan nafas berat dan dalam ketika Bian melewatinya. Ia melewati Nuna dengan membawa nampan berisi piring dan gelas kotor.
"Aku mencari karyawan untuk membantu pekerjaan ku. Aku menggaji karyawan untuk bekerja. Bukan untuk duduk diam melamun tidak jelas. Pulang saja jika kau tidak niat untuk bekerja!"
Nuna seketika gelagapan. Entah kenapa omelan dari Bian membuatnya lebih takut dari omelan Ibu mertuanya. Mungkin karena ia butuh uang lebih, hal itu membuat ia takut kehilangan pekerjaan secepat ini.
"Maaf, kenapa kau tidak menyuruhku saja. Beritahu aku jika ada yang harus aku kerjakan. Aku lebih suka begitu daripada mendengar kau marah." Nuna merebut spon dari tangan Bian dan mulai mencuci piring.
"Aku kurang suka menjelaskan apa yang aku mau pada orang lain. Aku memberi tahu mereka dengan tindakan. Mulai sekarang pahami apa yang aku lakukan, lalu kerjakan." Bian berbalik badan hendak ke depan.
"Tapi aku bukan malaikat yang selalu mengerti dengan apa yang kau maksud. Bukankah bicara lebih baik?"
Ujaran dari Nuna membuat langkah Bian terhenti di tempat dan tangannya menggebrak meja di sampingnya. Hal itu membuat Nuna menelan ludah ketakutan.
"Sekali lagi kau melawanku, aku pastikan hari ini kau terakhir berada di sini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments