3. Air Mata Kepalsuan

Beberapa hari berlalu. Kehidupan Nuna yang bak neraka dunia sudah berjalan satu bulan. Selama itu hanya makan hati yang ia rasa. Apalagi saat ditinggal oleh suaminya bekerja, bukan lagi ucapan yang menyakiti hatinya, tapi juga terkadang tindakan Bu Ningsih membuat ia ingin melawan, tapi terhalang rasa hormatnya terhadap orang yang lebih tua.

"Na, saya hanya diberi uang separuh dari gaji anak saya. Yang separuhnya pasti kamu bawa, kan? Berikan pada saya!" Bu Ningsih melancarkan aksinya setelah kepergian sang anak.

Kemarin adalah hari pertama Nuna menerima uang dari Arga. Itu pun ia menerimanya tidak utuh dan tidak terlalu banyak. Karena ia harus membaginya dengan Ibu mertuanya dan juga Arga untuk ongkos pulang pergi ke tempatnya mencari nafkah.

"Bu, uang yang dikasih Mas Arga itu nggak seberapa, itu juga untuk kebutuhan aku. Aku juga butuh uang untuk periksa kandungan, belum lagi nanti kalau kandungan aku makin besar. Pasti lebih banyak kebutuhan, kalau aku nggak nabung sedikit demi sedikit mulai sekarang, nanti kedepannya malah susah."

"Kamu melahirkan masih lama. Itu bisa dicari lagi nanti. Emang kamu makan setiap hari itu nggak butuh uang? Makanya, kalau belum siap finansial itu jangan mau di grayang-grayang. Kalau nggak mau kasih uangnya, ya udah sana beli makan sendiri. Jangan minta saya!" Bu Ningsih melipir pergi dari hadapan menantunya

"Emang dipikir uang segitu bisa untuk seluruh kebutuhan? Itu buat makan aja nggak ada sisa. Listrik bayarnya pakai apa? Kenapa dia tidak berpikir?" cerocos Bu Ningsih yang masih terdengar jelas dan sukses masuk ke telinga Nuna tanpa hambatan.

Tak bisa dipungkiri, semakin ke sini Bu Ningsih semakin menunjukkan intensitas kebenciannya. Apa pun yang Nuna katakan atau lakukan tidak ada benarnya. Bahkan beliau selalu menyalahkan hal yang seharusnya tidak dibebankan pada Nuna saja. Menyalahkan atas kehamilannya pada sang menantu seakan menjadi hal wajib yang harus diutarakan setiap harinya.

Nuna kembali ke kamar dan memandang beberapa lembar kertas berwarna merah yang baru saja ia terima dari suaminya. Itu adalah nafkah lahir pertama yang ia terima. Haruskah ia memberikan ini juga? Selama sebulan ini ia sudah mengorbankan mentalnya yang semula baik-baik saja menjadi berantakan. Haruskah yang lainya ia korbankan juga?

Merasa ada seseorang yang harus dihargai, akhirnya Nuna menghubungi suaminya. Entah ini pilihan yang benar atau tidak, yang ada dalam pikirannya saat itu hanya ia harus mengambil keputusan di bawah izin dari suaminya.

[Mas, kamu kasih uang Ibu berapa? Kenapa Ibu masih minta aku lagi? Apa selama ini gaji kamu selama sebulan dikasih semua ke Ibu?]

[Nggak semua, tapi kebanyakan aku kasih ke Ibu. Ya udah kamu kasih aja uangnya. Toh uang itu juga untuk kebutuhan kita, kan?]

[ Terus bagaimana dengan kebutuhan aku? Aku, kan juga butuh uang untuk periksa kandungan dan membeli kebutuhan anak kita. Kita perlu uang yang cukup untuk biaya melahirkan, kan. Kalau aku nggak nabung, bagaimana nanti pas kandungan aku makin besar?]

[Itu urusan aku, kamu sisain aja buat periksa.]

Hanya helaan nafas berat dan dalam sebagai jawaban atas pesan terakhir dari suaminya. Nuna merasa dirinya tak berdaya, sangat tidak berdaya, apa pun pilihan yang ia ambil terasa berat.

Kenapa kamu pikirkan ini, Nuna? Berikan saja, memikirkan keuangan bukan tanggung jawabmu.

Nuna bangkit dari duduknya, ia menyisakan beberapa lembar uang untuk memeriksakan kandungannya. Setelah uang itu tersimpan rapi, ia keluar kamar dengan lembaran kertas merah yang sejak tadi ia timang.

"Bu, ini uangnya. Aku tidak menyimpan uang lagi selain untuk memeriksakan kandungan."

Bu Ningsih mengambil uang tersebut dengan kasar dan bibir yang sedikit tertarik ke atas. Seakan beliau tidak peduli dengan keluhan dari menantunya.

Beberapa hari berikutnya, nampak Bu Ningsih yang memakai baju baru. Nuna teringat dengan beberapa hari yang lalu, hari di mana Ibu mertuanya meributkan uang yang tidak seberapa untuk memenuhi kebutuhan. Dan sekarang, wanita tua itu memakai baju baru? Apakah itu tidak termasuk pemborosan?

"Mas, Ibu beberapa hari yang lalu itu meributkan uang aku dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan. Dan aku kasih uang itu sesuai sama apa yang kamu bilang, tapi kenapa setelah aku kasih uangnya, Ibu malah beli baju baru. Daripada uangnya untuk beli baju, apa itu nggak lebih baik aku tabung untuk keperluan anak kita?" Nuna menyampaikan keluh kesahnya pada suaminya di suatu malam.

"Ya udahlah biarin aja Ibu beli baju baru. Udah lama juga nggak beli, kamu kenapa sih kok kayak setiap gerak-gerik Ibu kamu salahin? Kamu protes, kenapa?"

"Kok kamu masih tanya kenapa sih, Mas? Kamu yang kenapa? Kamu bisa mikir nggak sih? Ini tuh nggak adil buat aku. Aku paham kebutuhan rumah banyak, tapi aku juga punya kebutuhan. Aku mengalah dalam hal keuangan supaya Ibu nggak merasa kekurangan. Aku berikan hak aku ke Ibu, tapi apa yang aku kasih disalahgunakan, ya aku jelas marah dong Mas, aku protes. Aku berhak untuk itu. Kalau Ibu bisa beli baju itu artinya kebutuhannya sebenarnya sudah cukup lalu kenapa Ibu minta uang aku?"

"Nuna, ayolah. Jangan meributkan perkara kecil, jangan ribut hanya karena uang. Ini uang aku pas-pasan aja kamu ributkan, gimana kalau aku punya banyak uang?"

"Justru karena uang kamu pas-pasan itu harus digunakan dengan baik. Mana yang penting, mana yang harus didahulukan, dan mana yang tidak."

Dari luar kamar, Bu Ningsih mendengar  ocehan Nuna. Pada saat ini beliau sedang menggigit jarinya karena sedang memikirkan alasan apa yang akan beliau gunakan untuk kembali menyerang menantunya.

Bu Ningsih sedikit tersentak ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka. Beliau menelan ludahnya kasar ketika melihat siapa orang yang membuka benda persegi itu.

"Ibu, ngapain di sini?"

"Ibu tadi nggak sengaja dengar kalian bertengkar karena Ibu. Sepertinya Nuna salah paham. Baju ini memang baru, tapi Ibu belinya udah lama, jauh sebelum kalian menikah. Emang Ibu baru pakai sekarang karena baju ini ternyata nyelip di lemari. Ibu mana mungkin berani boros atau membeli sesuatu yang bukan kebutuhan pokok, Ibu juga tahu kalau kebutuhan kalian banyak. Ibu juga pernah hamil, Ibu pernah melahirkan, Ibu tahu kebutuhan-kebutuhan apa yang kalian butuhkan." Bu Ningsih mulai mengeluarkan air mata palsunya dan itu mengundang perhatian sang anak.

"Nuna, Ibu minta maaf jika memang Ibu salah ketika Ibu meminta kamu uang dari Arga. Ibu akan kembalikan uang itu." Bu Ningsih lalu beringsut menuju kamarnya. Namun, baru dua langkah kakinya pergi dari hadapan sepasang pengantin baru itu, kakinya berhenti melangkah karena cekalan dari anaknya.

"Nggak usah Bu. Ibu pakai aja uangnya."

"Istrimu juga punya kebutuhan, tidak seharusnya Ibu minta uangnya tadi."

"Udah, Bu. Jangan dengarkan Nuna. Lagipula uang buat pemeriksaan kandungan udah ada. Pakai aja uangnya." Arga pergi setelah  mengatakan itu.

Kini tinggalah dua wanita yang saling bersitatap. Bu Ningsih lalu menghapus air mata yang tersisa dengan gestur mengejek.

"Mau main-main sama saya, nggak semudah itu. Teruslah melawan, jangan diam saja. Supaya saya juga semakin tertantang." Bu Ningsih menunjukkan senyum liciknya dan berlalu dari sana.

Terpopuler

Comments

‼️n

‼️n

Ya Allah dah tua juga, ga inget umur. Mending dah ada yg bantuin, anak jg msh nyisihin uang yg ga seberapa utk ibunya...masih kurang juga????
Pamit ke Arga, mending ikut ibu sendiri, jgn makan hati palagi lg hamil....

2023-08-09

0

lihat semua
Episodes
1 1. Awal Neraka Dunia
2 2. Fitnah Keji
3 3. Air Mata Kepalsuan
4 4. Pria Ketus
5 5. Bekerja
6 6. Tidak Tenang
7 7. Dasar Bodoh
8 8. Salah Paham
9 9. Semakin Rumit
10 10. Meminta Bantuan
11 11. Ribut
12 12. Rencana Jahat
13 13. Calon Menantu
14 14. Bertemu Lagi
15 15. Suami Istri Bagaikan Pakaian
16 16. Kepikiran Nuna
17 17. Doa Bian
18 18. Kenyataan Baru
19 19. Pengusiran
20 20 Tak Sengaja Bersua
21 21. Keras Kepala
22 22. Debaran Jantung Bian
23 23. Bodoh Sekali Kau Bian
24 24. Ayah Yang Bijak
25 25. Situasi Yang Tidak Mudah
26 26. Obrolan Pria
27 27. Melahirkan
28 28. Sumpah Serapah Bian
29 29. Perhatian
30 30. Masih Berkilah
31 31. Terkuak
32 32. Sama Sakitnya
33 33. Pamit
34 34. Tanpa Nuna Dimulai Hari Ini
35 35. Debat
36 36. Kehilangan Kedua Kalinya
37 37. Rindu
38 38. Permainan Waktu
39 39. Sama Hampa
40 40. Kabur
41 41. Pulang
42 42. Pencerahan
43 43. Hati dan Keinginan Tidak Sejalan
44 44. Berada Di Tempat Yang Sama
45 45. Debat
46 46. Salah Paham
47 47. Penyesalan
48 48. Dejavu
49 49. Sentuhan Intim
50 50. Obrolan Dua Wanita
51 51. Runyam
52 52. Bicara Dari Hati Ke Hati
53 53. Momen Tak Terduga
54 54. Apakah Ini Pertemuan Terakhir?
55 55. Lampu Hijau
56 56. Awal Perjuangan Bian
57 57. Jalan Berdua
58 58. Kedekatan Yang Hangat
59 59. Pertemuan Yang Tak Disengaja
60 60. Sakit Yang Kembali Tersentuh
61 61. Romantis
62 62. Minta Restu Anak
63 63. Semua Laki-laki Sama Saja
64 64. Cemburu
65 65. Kecelakaan
66 66. Sweet
67 67. Pertemuan Yang Tak Disengaja
68 68. Karma Arga
69 69. Pelajaran Kehidupan
70 70.
71 71.
72 72.
73 73.
74 74.
75 pengumuman
76 75.
77 76
78 77
79 78
80 79.
81 80
82 81
83 82
84 83
85 84
86 85
87 86
88 87
89 88
90 89
91 90. Pintu Hati Yang Terketuk
92 91. Sisi Dewasa Nuna
93 92. Cashel Anakku
94 93. Selamat Pagi, Nyonya
95 94. I Love You
96 95. End
Episodes

Updated 96 Episodes

1
1. Awal Neraka Dunia
2
2. Fitnah Keji
3
3. Air Mata Kepalsuan
4
4. Pria Ketus
5
5. Bekerja
6
6. Tidak Tenang
7
7. Dasar Bodoh
8
8. Salah Paham
9
9. Semakin Rumit
10
10. Meminta Bantuan
11
11. Ribut
12
12. Rencana Jahat
13
13. Calon Menantu
14
14. Bertemu Lagi
15
15. Suami Istri Bagaikan Pakaian
16
16. Kepikiran Nuna
17
17. Doa Bian
18
18. Kenyataan Baru
19
19. Pengusiran
20
20 Tak Sengaja Bersua
21
21. Keras Kepala
22
22. Debaran Jantung Bian
23
23. Bodoh Sekali Kau Bian
24
24. Ayah Yang Bijak
25
25. Situasi Yang Tidak Mudah
26
26. Obrolan Pria
27
27. Melahirkan
28
28. Sumpah Serapah Bian
29
29. Perhatian
30
30. Masih Berkilah
31
31. Terkuak
32
32. Sama Sakitnya
33
33. Pamit
34
34. Tanpa Nuna Dimulai Hari Ini
35
35. Debat
36
36. Kehilangan Kedua Kalinya
37
37. Rindu
38
38. Permainan Waktu
39
39. Sama Hampa
40
40. Kabur
41
41. Pulang
42
42. Pencerahan
43
43. Hati dan Keinginan Tidak Sejalan
44
44. Berada Di Tempat Yang Sama
45
45. Debat
46
46. Salah Paham
47
47. Penyesalan
48
48. Dejavu
49
49. Sentuhan Intim
50
50. Obrolan Dua Wanita
51
51. Runyam
52
52. Bicara Dari Hati Ke Hati
53
53. Momen Tak Terduga
54
54. Apakah Ini Pertemuan Terakhir?
55
55. Lampu Hijau
56
56. Awal Perjuangan Bian
57
57. Jalan Berdua
58
58. Kedekatan Yang Hangat
59
59. Pertemuan Yang Tak Disengaja
60
60. Sakit Yang Kembali Tersentuh
61
61. Romantis
62
62. Minta Restu Anak
63
63. Semua Laki-laki Sama Saja
64
64. Cemburu
65
65. Kecelakaan
66
66. Sweet
67
67. Pertemuan Yang Tak Disengaja
68
68. Karma Arga
69
69. Pelajaran Kehidupan
70
70.
71
71.
72
72.
73
73.
74
74.
75
pengumuman
76
75.
77
76
78
77
79
78
80
79.
81
80
82
81
83
82
84
83
85
84
86
85
87
86
88
87
89
88
90
89
91
90. Pintu Hati Yang Terketuk
92
91. Sisi Dewasa Nuna
93
92. Cashel Anakku
94
93. Selamat Pagi, Nyonya
95
94. I Love You
96
95. End

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!