Beberapa hari berlalu. Kehidupan Nuna yang bak neraka dunia sudah berjalan satu bulan. Selama itu hanya makan hati yang ia rasa. Apalagi saat ditinggal oleh suaminya bekerja, bukan lagi ucapan yang menyakiti hatinya, tapi juga terkadang tindakan Bu Ningsih membuat ia ingin melawan, tapi terhalang rasa hormatnya terhadap orang yang lebih tua.
"Na, saya hanya diberi uang separuh dari gaji anak saya. Yang separuhnya pasti kamu bawa, kan? Berikan pada saya!" Bu Ningsih melancarkan aksinya setelah kepergian sang anak.
Kemarin adalah hari pertama Nuna menerima uang dari Arga. Itu pun ia menerimanya tidak utuh dan tidak terlalu banyak. Karena ia harus membaginya dengan Ibu mertuanya dan juga Arga untuk ongkos pulang pergi ke tempatnya mencari nafkah.
"Bu, uang yang dikasih Mas Arga itu nggak seberapa, itu juga untuk kebutuhan aku. Aku juga butuh uang untuk periksa kandungan, belum lagi nanti kalau kandungan aku makin besar. Pasti lebih banyak kebutuhan, kalau aku nggak nabung sedikit demi sedikit mulai sekarang, nanti kedepannya malah susah."
"Kamu melahirkan masih lama. Itu bisa dicari lagi nanti. Emang kamu makan setiap hari itu nggak butuh uang? Makanya, kalau belum siap finansial itu jangan mau di grayang-grayang. Kalau nggak mau kasih uangnya, ya udah sana beli makan sendiri. Jangan minta saya!" Bu Ningsih melipir pergi dari hadapan menantunya
"Emang dipikir uang segitu bisa untuk seluruh kebutuhan? Itu buat makan aja nggak ada sisa. Listrik bayarnya pakai apa? Kenapa dia tidak berpikir?" cerocos Bu Ningsih yang masih terdengar jelas dan sukses masuk ke telinga Nuna tanpa hambatan.
Tak bisa dipungkiri, semakin ke sini Bu Ningsih semakin menunjukkan intensitas kebenciannya. Apa pun yang Nuna katakan atau lakukan tidak ada benarnya. Bahkan beliau selalu menyalahkan hal yang seharusnya tidak dibebankan pada Nuna saja. Menyalahkan atas kehamilannya pada sang menantu seakan menjadi hal wajib yang harus diutarakan setiap harinya.
Nuna kembali ke kamar dan memandang beberapa lembar kertas berwarna merah yang baru saja ia terima dari suaminya. Itu adalah nafkah lahir pertama yang ia terima. Haruskah ia memberikan ini juga? Selama sebulan ini ia sudah mengorbankan mentalnya yang semula baik-baik saja menjadi berantakan. Haruskah yang lainya ia korbankan juga?
Merasa ada seseorang yang harus dihargai, akhirnya Nuna menghubungi suaminya. Entah ini pilihan yang benar atau tidak, yang ada dalam pikirannya saat itu hanya ia harus mengambil keputusan di bawah izin dari suaminya.
[Mas, kamu kasih uang Ibu berapa? Kenapa Ibu masih minta aku lagi? Apa selama ini gaji kamu selama sebulan dikasih semua ke Ibu?]
[Nggak semua, tapi kebanyakan aku kasih ke Ibu. Ya udah kamu kasih aja uangnya. Toh uang itu juga untuk kebutuhan kita, kan?]
[ Terus bagaimana dengan kebutuhan aku? Aku, kan juga butuh uang untuk periksa kandungan dan membeli kebutuhan anak kita. Kita perlu uang yang cukup untuk biaya melahirkan, kan. Kalau aku nggak nabung, bagaimana nanti pas kandungan aku makin besar?]
[Itu urusan aku, kamu sisain aja buat periksa.]
Hanya helaan nafas berat dan dalam sebagai jawaban atas pesan terakhir dari suaminya. Nuna merasa dirinya tak berdaya, sangat tidak berdaya, apa pun pilihan yang ia ambil terasa berat.
Kenapa kamu pikirkan ini, Nuna? Berikan saja, memikirkan keuangan bukan tanggung jawabmu.
Nuna bangkit dari duduknya, ia menyisakan beberapa lembar uang untuk memeriksakan kandungannya. Setelah uang itu tersimpan rapi, ia keluar kamar dengan lembaran kertas merah yang sejak tadi ia timang.
"Bu, ini uangnya. Aku tidak menyimpan uang lagi selain untuk memeriksakan kandungan."
Bu Ningsih mengambil uang tersebut dengan kasar dan bibir yang sedikit tertarik ke atas. Seakan beliau tidak peduli dengan keluhan dari menantunya.
Beberapa hari berikutnya, nampak Bu Ningsih yang memakai baju baru. Nuna teringat dengan beberapa hari yang lalu, hari di mana Ibu mertuanya meributkan uang yang tidak seberapa untuk memenuhi kebutuhan. Dan sekarang, wanita tua itu memakai baju baru? Apakah itu tidak termasuk pemborosan?
"Mas, Ibu beberapa hari yang lalu itu meributkan uang aku dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan. Dan aku kasih uang itu sesuai sama apa yang kamu bilang, tapi kenapa setelah aku kasih uangnya, Ibu malah beli baju baru. Daripada uangnya untuk beli baju, apa itu nggak lebih baik aku tabung untuk keperluan anak kita?" Nuna menyampaikan keluh kesahnya pada suaminya di suatu malam.
"Ya udahlah biarin aja Ibu beli baju baru. Udah lama juga nggak beli, kamu kenapa sih kok kayak setiap gerak-gerik Ibu kamu salahin? Kamu protes, kenapa?"
"Kok kamu masih tanya kenapa sih, Mas? Kamu yang kenapa? Kamu bisa mikir nggak sih? Ini tuh nggak adil buat aku. Aku paham kebutuhan rumah banyak, tapi aku juga punya kebutuhan. Aku mengalah dalam hal keuangan supaya Ibu nggak merasa kekurangan. Aku berikan hak aku ke Ibu, tapi apa yang aku kasih disalahgunakan, ya aku jelas marah dong Mas, aku protes. Aku berhak untuk itu. Kalau Ibu bisa beli baju itu artinya kebutuhannya sebenarnya sudah cukup lalu kenapa Ibu minta uang aku?"
"Nuna, ayolah. Jangan meributkan perkara kecil, jangan ribut hanya karena uang. Ini uang aku pas-pasan aja kamu ributkan, gimana kalau aku punya banyak uang?"
"Justru karena uang kamu pas-pasan itu harus digunakan dengan baik. Mana yang penting, mana yang harus didahulukan, dan mana yang tidak."
Dari luar kamar, Bu Ningsih mendengar ocehan Nuna. Pada saat ini beliau sedang menggigit jarinya karena sedang memikirkan alasan apa yang akan beliau gunakan untuk kembali menyerang menantunya.
Bu Ningsih sedikit tersentak ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka. Beliau menelan ludahnya kasar ketika melihat siapa orang yang membuka benda persegi itu.
"Ibu, ngapain di sini?"
"Ibu tadi nggak sengaja dengar kalian bertengkar karena Ibu. Sepertinya Nuna salah paham. Baju ini memang baru, tapi Ibu belinya udah lama, jauh sebelum kalian menikah. Emang Ibu baru pakai sekarang karena baju ini ternyata nyelip di lemari. Ibu mana mungkin berani boros atau membeli sesuatu yang bukan kebutuhan pokok, Ibu juga tahu kalau kebutuhan kalian banyak. Ibu juga pernah hamil, Ibu pernah melahirkan, Ibu tahu kebutuhan-kebutuhan apa yang kalian butuhkan." Bu Ningsih mulai mengeluarkan air mata palsunya dan itu mengundang perhatian sang anak.
"Nuna, Ibu minta maaf jika memang Ibu salah ketika Ibu meminta kamu uang dari Arga. Ibu akan kembalikan uang itu." Bu Ningsih lalu beringsut menuju kamarnya. Namun, baru dua langkah kakinya pergi dari hadapan sepasang pengantin baru itu, kakinya berhenti melangkah karena cekalan dari anaknya.
"Nggak usah Bu. Ibu pakai aja uangnya."
"Istrimu juga punya kebutuhan, tidak seharusnya Ibu minta uangnya tadi."
"Udah, Bu. Jangan dengarkan Nuna. Lagipula uang buat pemeriksaan kandungan udah ada. Pakai aja uangnya." Arga pergi setelah mengatakan itu.
Kini tinggalah dua wanita yang saling bersitatap. Bu Ningsih lalu menghapus air mata yang tersisa dengan gestur mengejek.
"Mau main-main sama saya, nggak semudah itu. Teruslah melawan, jangan diam saja. Supaya saya juga semakin tertantang." Bu Ningsih menunjukkan senyum liciknya dan berlalu dari sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
‼️n
Ya Allah dah tua juga, ga inget umur. Mending dah ada yg bantuin, anak jg msh nyisihin uang yg ga seberapa utk ibunya...masih kurang juga????
Pamit ke Arga, mending ikut ibu sendiri, jgn makan hati palagi lg hamil....
2023-08-09
0