Tidak punya apa-apa? Kenapa harus saling menghina jika kita ini sama?
Nuna menghembus nafas kasar lalu melanjutkan pekerjaan. Ia ingin segera istirahat dengan merebahkan badannya, pasti rasanya sangat nikmat setelah melakukan pekerjaan rumah yang sekarang terasa melelahkan ini.
Bu Ningsih keluar dapur saat Nuna hendak menyapu lantai teras. Beliau tak sengaja melihat menantunya itu hendak keluar rumah. Dan di saat bersamaan, mata elang wanita yang tak lagi muda itu menangkap beberapa tetangga yang sedang berbelanja di tukang sayur keliling depan rumahnya.
"Na, biar saya yang nyapu. Kamu nyuci sana!" Bu Ningsih merebut sapu itu tanpa menunggu jawaban dari menantunya.
Tanpa berpikir negatif atau berpikir yang tidak-tidak, Nuna segera melipir ke belakang untuk mencuci pakaiannya. Sebenarnya ia sedikit heran kenapa tiba-tiba wanita itu berubah dengan cepat. Baru saja beberapa jam yang lalu beliau mengatakan padanya untuk melakukan semua pekerjaan rumah sebagai imbalan karena dirinya tinggal di rumah itu tanpa membayar pakai uang.
Tak mau memikirkan hal yang tidak penting terlalu lama, ia segera melakukan pekerjaannya.
"Nyapu, Bu Ning?" Salah satu ibu yang sedang berbelanja di tukang sayur menyapa.
"Menantunya mana? Kok ibu yang nyapu?" Ibu yang lain menimpali sebelum Bu Ningsih menjawab pertanyaan sebelumnya.
Memang salah satu resiko tinggal di kampung adalah menghadapi tetangga yang suka julit.
"Masih tidur, mungkin masih kelelahan. Entahlah, anak zaman sekarang memang tidak pandai melakukan pekerjaan rumah. Maunya enak-enakan aja, maunya selonjoran, hamil mual dikit manjanya kayak bocah."
"Emang menantu Ibu hamil? Hamil duluan dong." Ketiga wanita yang sudah usai dengan urusan tukang sayur segera berjalan cepat menghampiri Bu Ningsih.
Hari masih pagi, para suami ketiga wanita tadi bahkan belum menyentuh nasi, tapi para istrinya sudah bergerombol di salah satu rumah tetangganya untuk membicarakan keburukan orang.
Seakan sudah menjadi tradisi bagi sebagian orang di sana. Membahas topik dengan mengumbar kelemahan, kesalahan, atau dosa manusia lainnya sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Bahkan bagi Bu Ningsih dan beberapa orang yang akrab dengan beliau membicarakan orang lain seakan sudah menjadi kebutuhan wajib. Tiada hari tanpa berkumpul untuk membicarakan keburukan orang lain. Bahkan kini, menantunya menjadi topik utama di pagi yang baru saja menyapa.
"Saya sendiri sebenarnya tidak yakin kalau anak yang dikandung oleh Nuna itu anak dari Arga. Kalian, kan tahu anak saya itu pendiam, baik, tidak pernah neko-neko, nggak pernah macam-macam. Mana mungkin dia hamilin anak orang. Lagi pula jadi perempuan kok nggak bisa jaga martabatnya. Saya kurang suka sama istrinya Arga itu, berlagak kayak orang kaya, padahal biasa-biasa aja, tapi nggak mau hidup susah. Nggak mau bantuin saya, dari kemarin juga saya apa-apa sendiri."
Berbagai pertanyaan dari ketiga tetangga Bu Ningsih ternyata terus berlanjut. Dan tanpa mereka sadari, keempat pembicaraan wanita itu didengar oleh Nuna.
Wanita yang sedang mengandung satu bulan itu tidak sanggup untuk tidak mengeluarkan air matanya. Pembicaraan yang dibicarakan Ibu mertuanya kepada para tetangga sungguh sangat menyakitkan. Bagaimana bisa ada seorang perempuan yang begitu jahatnya pada perempuan lain? Apalagi perempuan itu adalah menantunya sendiri, perempuan yang seharusnya dianggap anak olehnya.
Nuna menghapus air matanya kasar lalu pergi ke kamar. Ia mendapati suaminya yang baru saja bangun tidur dan masih terduduk di tempat tidur. Pria itu hanya memperhatikannya dalam diam.
"Ada apa, Dik? Kenapa mukanya kok kayak sedih gitu?"
"Mas, kenapa sih Ibu kamu nggak suka banget sama aku? Emang aku ini pernah salah apa sama Ibu? Sampai Ibu menjelek-jelekkan aku di depan tetangga."
"Kan aku udah pernah bilang sama kamu kalau ini soal waktu. Kamu harus sabar. Udah, nggak usah didengerin apa omongan Ibu. Aku mandi dulu, ya."
Nuna semakin dibuat kesal karena respon suaminya yang nampak biasa saja. Sama sekali tidak ada kalimat pembelaan, kalimat penenang, atau setidaknya ia mengambil tindakan untuk memberitahu ibunya atau melakukan sesuatu yang membuat hatinya tenang.
Dan akhirnya ia hanya memilih diam seraya mengatur nafasnya agar ia lebih tenang. Sejurus kemudian, ia teringat kalau ia harus meninggalkan mesin cuci yang menyala.
Dengan langkah gontai dan memaksa dirinya untuk semangat, ia kembali ke belakang untuk melanjutkan mencuci pakaian. Namun, niatnya itu berubah menjadi menyakitkan ketika ia mendengar bahwa lagi-lagi Ibu mertuanya sedang membicarakannya dengan tetangganya yang lain seraya menjemur seluruh pakaian yang ia cuci.
"Saya juga tidak tahu apa yang membuat perempuan zaman sekarang kalau hamil itu manja. Hanya perkara mual dan pusing saja istrinya Arga sudah tidak ingin melakukan apa pun. Dia dari tadi hanya tiduran saja. Saya melakukan apa-apa sendirian, sama seperti sebelumnya saat saya belum punya menantu. Itu mah masih mending saya nyuciin baju saya sama Arga aja. Lah ini bajunya menantu juga saya yang nyuci."
"Ya ampun, bu Ning yang sabar, ya. Ibu harus ngasih tahu Arga supaya diberitahu istrinya itu."
"Ih nanti saya malah dimusuhin sama menantu. Saya cuman berharap, nanti Nuna bisa berubah dan menyesuaikan bagaimana harus bersikap saat tinggal di rumah mertuanya."
Nuna yang sejak tadi berada di ujung pintu akhirnya di sadari kehadirannya oleh salah satu diantara mereka.
"Tuh, Nuna dengerin. Punya Ibu mertua yang baik hati jangan dimanfaatin. Bu Ning rela ngerjain pekerjaan rumah dan nggak mau negur kamu karena menghargai kamu. Kamu seharusnya juga menghargai dia. Ibu mertua kamu, juga Ibu kamu."
Nuna hanya bisa bungkam dengan semua tuduhan itu. Mau bicara atau membela diri sekeras apa pun, mereka tidak akan percaya dengan pembelaannya karena tidak ada satu pun diantara mereka yang melihat bahwa sejak tadi Nuna juga tidak duduk diam. Tidak bersuara untuk tidak memperpanjang masalah adalah pilihannya saat ini.
Setelah puas menasehati Nuna dengan cara yang menyakitkan, para tetangga Bu Ningsih melipir ke rumah masing-masing. Tak berselang lama Bu Ningsih juga ikut masuk ke dalam rumah.
"Ibu kenapa sih? Kalau Ibu nggak suka sama aku nggak apa-apa Bu, tapi jangan ajak orang lain untuk nggak suka sama aku juga."
"Nggak usah banyak keinginan, nggak usah banyak tingkah masih bagus saya menerima kamu di rumah ini, ya." Bu Ningsih hendak pergi, sudah melangkah dua langkah dari hadapan Nuna. Namun, kehadiran Arga membuat langkahnya terhenti.
"Arga, kamu nasehati istri kamu ini suruh mengerjakan pekerjaan rumah. Hanya dengan nyapu atau bantu Ibu masak nggak akan buat dia keguguran juga." Beliau menatap tajam menantunya sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka di belakang.
"Apa Mas? Kamu mau nyalahin aku juga? Kamu baru bangun tidur, kamu nggak tahu apa yang aku lakukan dan aku kerjakan sebelum kamu bangun. Kamu nggak berhak nyalahin aku karena kamu juga nggak punya bukti atas apa yang Ibu kamu tuduhkan sama aku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments