"Jangan bercanda kamu, Ar! Ibu nggak akan pernah kasih izin kamu nikah sama dia. Apa jaminannya kalau anak yang dikandung sama perempuan ini anak kamu?"
Pagi itu, Bu Ningsih dibuat emosi oleh anak semata wayangnya. Bagaimana tidak? Di hari yang masih pagi, Arga sudah membawa seorang perempuan yang beberapa bulan lalu juga pernah ia bawa ke rumah.
Bu Ningsih tidak menyukai kekasih anaknya itu, karena jika dilihat dari penampilannya saja, perempuan itu nampak sederhana. Ditambah lagi kekasih anaknya itu berasal dari kampung.
"Astaga, Bu. Nuna hanya melakukan ini sama aku. Dan aku akui memang aku sering melakukan itu dengan Nuna. Mau Ibu merestui atau nggak, aku tetap akan menikahi Nuna, Bu. Ada anakku di perutnya. Ibu juga perempuan. Aku yakin Ibu pasti lebih paham sama apa yang dirasakan Nuna."
"Nggak. Ibu bukan dia, Ibu punya kamu karena menikah, bukan pacaran."
Bu Ningsih berlalu dari ruang tamu dengan rasa kesal. Sementara Nuna hanya bisa mengeluarkan air matanya setelah mendapat penolakan yang kedua kalinya dari Bu Ningsih.
Sungguh terasa lengkap penderitaannya. Hidup jauh dari orang tua, hamil di luar nikah, dan sekarang belum apa-apa sudah mendapatkan perlakuan tidak baik dari Ibu kekasihnya. Bagimana ia akan menjalani hidup yang terasa berat ini? Pertanyaan akan kelanjutan hidup dan nasibnya kini ia sendiri yang mempertanyakannya.
Arga menatap nanar kekasihnya. Hatinya terasa teriris ketika melihat air mata yang berjalan jatuh membasahi pipi wanitanya. Tidak terdengar isakan atau sesenggukan, tapi cairan bening itu terus saja keluar dari kedua kelopak matanya dan itu menyakiti hati Arga.
"Maafin Ibu, ya. Mungkin Ibu belum bisa menerima kenyataan. Aku yakin suatu saat nanti, pasti Ibu juga akan menerima kamu kok. Ibu masih syok, yakinlah semuanya akan baik-baik saja. Ini hanya soal waktu."
Arga meraih tangan kekasihnya lalu ia genggam dengan erat. Mungkin genggaman di tangannya tidak bisa merubah keadaan, tapi setidaknya sentuhan itu bisa membuat wanita 22 tahun itu lebih tenang.
Dan nyatanya, sentuhan penenang dari Arga itu terus ia lakukan hingga hari di mana mereka menikah. Pernikahan mereka hari itu berjalan lancar tanpa hambatan meski di laksanakan dengan sederhana.
Ketidakteriman Bu Ningsih ternyata tidak hanya berlaku untuk Nuna saja, tapi juga untuk kedua orang tuanya. Bu Ningsih tidak menyambut baik kedua besannya itu hanya karena mereka dari kalangan orang sederhana yang sebenarnya sama seperti dirinya.
"Na, gimana kalau kamu dan suamimu tinggal di rumah kami saja? Menantu perempuan tinggal di rumah Ibu mertuanya itu tidak mudah. Apalagi ibu mertuamu seperti itu, ya kami paham kalian itu salah sudah melakukan hubungan seperti itu sebelum menikah, tapi mau bagaimana lagi? Mau semarah apa pun atau sekecewa apa pun tidak akan merubah keadaan."
"Mas Arga kerjanya di sini, Bu. Lagi pula nanti ibunya sendirian kalau kita tinggal di kampung. Nggak apa-apa, itu cuman masalah waktu aja kok. Aku yakin suatu saat nanti Ibu pasti akan menerima aku jadi menantu, apalagi nanti kalau cucunya sudah lahir. Biasanya seorang bayi bisa meluluhkan kerasnya hati seseorang." Setidaknya kalimat itulah yang sering Arga perdengarkan pada dirinya dan kini, ia menggunakan kalimat penenang yang sama pada kedua orang tuanya.
Meskipun masih tidak yakin dan tidak tega meninggalkan anaknya satu rumah dengan mertuanya, kedua orang tua Nuna akhirnya berusaha untuk melepas anaknya tinggal bersama dengan keluarga barunya.
"Ya sudah kalau gitu. Kalau ada apa-apa bisa cerita ke Ibu atau kalian bisa tinggal di rumah Ibu dan Ayah. Pintu kami akan selalu terbuka untuk kalian. Kami langsung pulang aja, ya. Nanti keburu malam sampai rumah."
"Jaga kesehatan, kami pulang." Hanya kalimat itu yang dikeluarkan oleh ayah Nuna.
Setelah kalimat pelepasan itu mereka berpelukan bergantian dan akhirnya mereka benar-benar terpisah sore itu.
Dan satu hari setelah hari perayaan itu, adalah pembukaan bab baru di kehidupan Nuna yang menjadi seorang istri dan menantu dalam satu waktu. Dan pembukaan itu, diawali dengan ocehan bu Ningsih dari dapur.
"Dasar, punya menantu satu nggak ada rajin-rajinnya. Bisa-bisanya dia jam segini belum bangun. Emang di kiranya aku ini pembantu apa? Yang suka rela masakin buat dia. Dasar menantu tidak tahu diri!"
Bu Ningsih meracau seraya memotong bawang untuk memasak. Di hari yang masih pagi buta beliau mengawali hari dengan amukan. Memang sudah menjadi kebiasaan beliau pukul lima pagi sudah berkutat di dapur. Dan di hari pertama beliau menerima menantu malah dibuat kesal karena punya menantu atau tidak, tidak ada bedanya di mata beliau.
"Maaf Bu, aku terlambat. Aku bukannya belum bangun, tapi memang aku tadi sedikit mual dan pusing. Jadi setelah salat subuh tadi aku tiduran lagi. Apa yang bisa aku bantu, Bu?"
"Makanya, kalau belum siap hamil jangan pacaran sambil tiduran. Yang namanya hamil, ya pasti mual, pusing, lemas. Itu sudah pasti, kalau kamu pakai tiduran terus yang ada anak kamu nanti nggak tumbuh dengan sehat. Nih kamu yang masak, saya mau istirahat. Nanti setelah masak, jangan lupa bersih-bersih rumah sekalian dicuci baju saya, ya! Kamu tinggal di sini nggak bayar pakai uang, jadi setidaknya tenaga kamu harus digunakan biar nggak cuma numpang."
Nuna hanya bisa beristighfar dalam hati seraya mengelus dadanya dengan pelan setelah kepergian sang Ibu mertua. Ini hari pertama ia tinggal di rumah itu, tapi ucapan ibunya sudah semenyakitkan itu.
Nuna yang rapuh hatinya dan gampang menangis ingin mengeluarkan air matanya saat itu juga. Namun, ia teringat bahwa ia tidak menjaga nyawanya saja, tapi ada nyawa lain yang harus ia jaga di dalam tubuhnya.
"Nggak boleh nangis, Nuna. Nggak boleh nangis, nggak boleh sedih, harus tetap bahagia. Jangan masukkan hati apa pun ucapan yang menyakitkan. Jangan pikirkan itu, ada anak kamu di dalamnya tubuhmu."
Wanita itu menggunakan seluruh tenaganya dan juga pemikirannya untuk tidak memikirkan ucapan ibunya. Sebelum melakukan aktivitas di dapur itu, ia mengambil ponsel dan menyalakan musik agar sedikit rileks dan lupa dengan kalimat pembukaan di hari pertama ia menjadi menantu.
Tidak sulit bagi Nuna untuk mengerjakan pekerjaan rumah karena memang ia terbiasa dari kecil sudah membantu ibunya di dapur. Membersihkan rumah, mencuci baju, semuanya sudah ia lakukan dan ia pelajari dari kecil.
Selesai dengan memasak, Nuna membersihkan rumah terlebih dahulu sebelum mencuci. Di saat tengah fokus dengan pekerjaannya Bu Ningsih keluar dari kamar dan
"Na, kamu itu tidak tinggal di rumahmu sendiri. Kenapa sih harus menyalakan musik? Berisik!"
Padahal Nuna menyalakan musik itu dengan pelan. Suaminya saja yang masih tertidur di kamar tidak terbangun karena suara musiknya. Tapi wanita yang melahirkan suaminya itu selalu saja mencari kesalahan untuk melampiaskan kebenciannya pada menantunya.
"Kalau Ibu terganggu aku akan matikan, Bu."
"Tidak hanya suara musikmu yang mengganggu, tapi kehadiran kamu di sini juga sangat mengganggu. Arga memang terlalu bodoh untuk mencari istri. Bagaimana bisa dia menghamili wanita yang tidak punya apa-apa seperti kamu ini." Bu Ningsih berucap dengan kesal lalu membawa kakinya melangkah ke dapur.
Tidak punya apa-apa? Kenapa harus saling menghina jika kita ini sama?
Nuna menghembus nafas kasar lalu melanjutkan pekerjaan. Ia ingin segera istirahat dengan merebahkan badannya, pasti rasanya sangat nikmat setelah melakukan pekerjaan rumah yang sekarang terasa melelahkan ini.
Bu Ningsih keluar dapur saat Nuna hendak menyapu lantai teras. Beliau tak sengaja melihat menantunya itu hendak keluar rumah. Dan di saat bersamaan, mata elang wanita yang tak lagi muda itu menangkap beberapa tetangga yang sedang berbelanja di tukang sayur keliling depan rumahnya.
"Na, biar saya yang nyapu. Kamu nyuci sana!" Bu Ningsih merebut sapu itu tanpa menunggu jawaban dari menantunya.
Tanpa berpikir negatif atau berpikir yang tidak-tidak, Nuna segera melipir ke belakang untuk mencuci pakaiannya. Sebenarnya ia sedikit heran kenapa tiba-tiba wanita itu berubah dengan cepat. Baru saja beberapa jam yang lalu beliau mengatakan padanya untuk melakukan semua pekerjaan rumah sebagai imbalan karena dirinya tinggal di rumah itu tanpa membayar pakai uang.
Tak mau memikirkan hal yang tidak penting terlalu lama, ia segera melakukan pekerjaannya.
"Nyapu, Bu Ning?" Salah satu ibu yang sedang berbelanja di tukang sayur menyapa.
"Menantunya mana? Kok ibu yang nyapu?" Ibu yang lain menimpali sebelum Bu Ningsih menjawab pertanyaan sebelumnya.
Memang salah satu resiko tinggal di kampung adalah menghadapi tetangga yang suka julit.
"Masih tidur, mungkin masih kelelahan. Entahlah, anak zaman sekarang memang tidak pandai melakukan pekerjaan rumah. Maunya enak-enakan aja, maunya selonjoran, hamil mual dikit manjanya kayak bocah."
"Emang menantu Ibu hamil? Hamil duluan dong." Ketiga wanita yang sudah usai dengan urusan tukang sayur segera berjalan cepat menghampiri Bu Ningsih.
Hari masih pagi, para suami ketiga wanita tadi bahkan belum menyentuh nasi, tapi para istrinya sudah bergerombol di salah satu rumah tetangganya untuk membicarakan keburukan orang.
Seakan sudah menjadi tradisi bagi sebagian orang di sana. Membahas topik dengan mengumbar kelemahan, kesalahan, atau dosa manusia lainnya sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Bahkan bagi Bu Ningsih dan beberapa orang yang akrab dengan beliau membicarakan orang lain seakan sudah menjadi kebutuhan wajib. Tiada hari tanpa berkumpul untuk membicarakan keburukan orang lain. Bahkan kini, menantunya menjadi topik utama di pagi yang baru saja menyapa.
"Saya sendiri sebenarnya tidak yakin kalau anak yang dikandung oleh Nuna itu anak dari Arga. Kalian, kan tahu anak saya itu pendiam, baik, tidak pernah neko-neko, nggak pernah macam-macam. Mana mungkin dia hamilin anak orang. Lagi pula jadi perempuan kok nggak bisa jaga martabatnya. Saya kurang suka sama istrinya Arga itu, berlagak kayak orang kaya, padahal biasa-biasa aja, tapi nggak mau hidup susah. Nggak mau bantuin saya, dari kemarin juga saya apa-apa sendiri."
Berbagai pertanyaan dari ketiga tetangga Bu Ningsih ternyata terus berlanjut. Dan tanpa mereka sadari, keempat pembicaraan wanita itu didengar oleh Nuna.
Wanita yang sedang mengandung satu bulan itu tidak sanggup untuk tidak mengeluarkan air matanya. Pembicaraan yang dibicarakan Ibu mertuanya kepada para tetangga sungguh sangat menyakitkan. Bagaimana bisa ada seorang perempuan yang begitu jahatnya pada perempuan lain? Apalagi perempuan itu adalah menantunya sendiri, perempuan yang seharusnya dianggap anak olehnya.
Nuna menghapus air matanya kasar lalu pergi ke kamar. Ia mendapati suaminya yang baru saja bangun tidur dan masih terduduk di tempat tidur. Pria itu hanya memperhatikannya dalam diam.
"Ada apa, Dik? Kenapa mukanya kok kayak sedih gitu?"
"Mas, kenapa sih Ibu kamu nggak suka banget sama aku? Emang aku ini pernah salah apa sama Ibu? Sampai Ibu menjelek-jelekkan aku di depan tetangga."
"Kan aku udah pernah bilang sama kamu kalau ini soal waktu. Kamu harus sabar. Udah, nggak usah didengerin apa omongan Ibu. Aku mandi dulu, ya."
Nuna semakin dibuat kesal karena respon suaminya yang nampak biasa saja. Sama sekali tidak ada kalimat pembelaan, kalimat penenang, atau setidaknya ia mengambil tindakan untuk memberitahu ibunya atau melakukan sesuatu yang membuat hatinya tenang.
Dan akhirnya ia hanya memilih diam seraya mengatur nafasnya agar ia lebih tenang. Sejurus kemudian, ia teringat kalau ia harus meninggalkan mesin cuci yang menyala.
Dengan langkah gontai dan memaksa dirinya untuk semangat, ia kembali ke belakang untuk melanjutkan mencuci pakaian. Namun, niatnya itu berubah menjadi menyakitkan ketika ia mendengar bahwa lagi-lagi Ibu mertuanya sedang membicarakannya dengan tetangganya yang lain seraya menjemur seluruh pakaian yang ia cuci.
"Saya juga tidak tahu apa yang membuat perempuan zaman sekarang kalau hamil itu manja. Hanya perkara mual dan pusing saja istrinya Arga sudah tidak ingin melakukan apa pun. Dia dari tadi hanya tiduran saja. Saya melakukan apa-apa sendirian, sama seperti sebelumnya saat saya belum punya menantu. Itu mah masih mending saya nyuciin baju saya sama Arga aja. Lah ini bajunya menantu juga saya yang nyuci."
"Ya ampun, bu Ning yang sabar, ya. Ibu harus ngasih tahu Arga supaya diberitahu istrinya itu."
"Ih nanti saya malah dimusuhin sama menantu. Saya cuman berharap, nanti Nuna bisa berubah dan menyesuaikan bagaimana harus bersikap saat tinggal di rumah mertuanya."
Nuna yang sejak tadi berada di ujung pintu akhirnya di sadari kehadirannya oleh salah satu diantara mereka.
"Tuh, Nuna dengerin. Punya Ibu mertua yang baik hati jangan dimanfaatin. Bu Ning rela ngerjain pekerjaan rumah dan nggak mau negur kamu karena menghargai kamu. Kamu seharusnya juga menghargai dia. Ibu mertua kamu, juga Ibu kamu."
Nuna hanya bisa bungkam dengan semua tuduhan itu. Mau bicara atau membela diri sekeras apa pun, mereka tidak akan percaya dengan pembelaannya karena tidak ada satu pun diantara mereka yang melihat bahwa sejak tadi Nuna juga tidak duduk diam. Tidak bersuara untuk tidak memperpanjang masalah adalah pilihannya saat ini.
Setelah puas menasehati Nuna dengan cara yang menyakitkan, para tetangga Bu Ningsih melipir ke rumah masing-masing. Tak berselang lama Bu Ningsih juga ikut masuk ke dalam rumah.
"Ibu kenapa sih? Kalau Ibu nggak suka sama aku nggak apa-apa Bu, tapi jangan ajak orang lain untuk nggak suka sama aku juga."
"Nggak usah banyak keinginan, nggak usah banyak tingkah masih bagus saya menerima kamu di rumah ini, ya." Bu Ningsih hendak pergi, sudah melangkah dua langkah dari hadapan Nuna. Namun, kehadiran Arga membuat langkahnya terhenti.
"Arga, kamu nasehati istri kamu ini suruh mengerjakan pekerjaan rumah. Hanya dengan nyapu atau bantu Ibu masak nggak akan buat dia keguguran juga." Beliau menatap tajam menantunya sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka di belakang.
"Apa Mas? Kamu mau nyalahin aku juga? Kamu baru bangun tidur, kamu nggak tahu apa yang aku lakukan dan aku kerjakan sebelum kamu bangun. Kamu nggak berhak nyalahin aku karena kamu juga nggak punya bukti atas apa yang Ibu kamu tuduhkan sama aku."
Beberapa hari berlalu. Kehidupan Nuna yang bak neraka dunia sudah berjalan satu bulan. Selama itu hanya makan hati yang ia rasa. Apalagi saat ditinggal oleh suaminya bekerja, bukan lagi ucapan yang menyakiti hatinya, tapi juga terkadang tindakan Bu Ningsih membuat ia ingin melawan, tapi terhalang rasa hormatnya terhadap orang yang lebih tua.
"Na, saya hanya diberi uang separuh dari gaji anak saya. Yang separuhnya pasti kamu bawa, kan? Berikan pada saya!" Bu Ningsih melancarkan aksinya setelah kepergian sang anak.
Kemarin adalah hari pertama Nuna menerima uang dari Arga. Itu pun ia menerimanya tidak utuh dan tidak terlalu banyak. Karena ia harus membaginya dengan Ibu mertuanya dan juga Arga untuk ongkos pulang pergi ke tempatnya mencari nafkah.
"Bu, uang yang dikasih Mas Arga itu nggak seberapa, itu juga untuk kebutuhan aku. Aku juga butuh uang untuk periksa kandungan, belum lagi nanti kalau kandungan aku makin besar. Pasti lebih banyak kebutuhan, kalau aku nggak nabung sedikit demi sedikit mulai sekarang, nanti kedepannya malah susah."
"Kamu melahirkan masih lama. Itu bisa dicari lagi nanti. Emang kamu makan setiap hari itu nggak butuh uang? Makanya, kalau belum siap finansial itu jangan mau di grayang-grayang. Kalau nggak mau kasih uangnya, ya udah sana beli makan sendiri. Jangan minta saya!" Bu Ningsih melipir pergi dari hadapan menantunya
"Emang dipikir uang segitu bisa untuk seluruh kebutuhan? Itu buat makan aja nggak ada sisa. Listrik bayarnya pakai apa? Kenapa dia tidak berpikir?" cerocos Bu Ningsih yang masih terdengar jelas dan sukses masuk ke telinga Nuna tanpa hambatan.
Tak bisa dipungkiri, semakin ke sini Bu Ningsih semakin menunjukkan intensitas kebenciannya. Apa pun yang Nuna katakan atau lakukan tidak ada benarnya. Bahkan beliau selalu menyalahkan hal yang seharusnya tidak dibebankan pada Nuna saja. Menyalahkan atas kehamilannya pada sang menantu seakan menjadi hal wajib yang harus diutarakan setiap harinya.
Nuna kembali ke kamar dan memandang beberapa lembar kertas berwarna merah yang baru saja ia terima dari suaminya. Itu adalah nafkah lahir pertama yang ia terima. Haruskah ia memberikan ini juga? Selama sebulan ini ia sudah mengorbankan mentalnya yang semula baik-baik saja menjadi berantakan. Haruskah yang lainya ia korbankan juga?
Merasa ada seseorang yang harus dihargai, akhirnya Nuna menghubungi suaminya. Entah ini pilihan yang benar atau tidak, yang ada dalam pikirannya saat itu hanya ia harus mengambil keputusan di bawah izin dari suaminya.
[Mas, kamu kasih uang Ibu berapa? Kenapa Ibu masih minta aku lagi? Apa selama ini gaji kamu selama sebulan dikasih semua ke Ibu?]
[Nggak semua, tapi kebanyakan aku kasih ke Ibu. Ya udah kamu kasih aja uangnya. Toh uang itu juga untuk kebutuhan kita, kan?]
[ Terus bagaimana dengan kebutuhan aku? Aku, kan juga butuh uang untuk periksa kandungan dan membeli kebutuhan anak kita. Kita perlu uang yang cukup untuk biaya melahirkan, kan. Kalau aku nggak nabung, bagaimana nanti pas kandungan aku makin besar?]
[Itu urusan aku, kamu sisain aja buat periksa.]
Hanya helaan nafas berat dan dalam sebagai jawaban atas pesan terakhir dari suaminya. Nuna merasa dirinya tak berdaya, sangat tidak berdaya, apa pun pilihan yang ia ambil terasa berat.
Kenapa kamu pikirkan ini, Nuna? Berikan saja, memikirkan keuangan bukan tanggung jawabmu.
Nuna bangkit dari duduknya, ia menyisakan beberapa lembar uang untuk memeriksakan kandungannya. Setelah uang itu tersimpan rapi, ia keluar kamar dengan lembaran kertas merah yang sejak tadi ia timang.
"Bu, ini uangnya. Aku tidak menyimpan uang lagi selain untuk memeriksakan kandungan."
Bu Ningsih mengambil uang tersebut dengan kasar dan bibir yang sedikit tertarik ke atas. Seakan beliau tidak peduli dengan keluhan dari menantunya.
Beberapa hari berikutnya, nampak Bu Ningsih yang memakai baju baru. Nuna teringat dengan beberapa hari yang lalu, hari di mana Ibu mertuanya meributkan uang yang tidak seberapa untuk memenuhi kebutuhan. Dan sekarang, wanita tua itu memakai baju baru? Apakah itu tidak termasuk pemborosan?
"Mas, Ibu beberapa hari yang lalu itu meributkan uang aku dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan. Dan aku kasih uang itu sesuai sama apa yang kamu bilang, tapi kenapa setelah aku kasih uangnya, Ibu malah beli baju baru. Daripada uangnya untuk beli baju, apa itu nggak lebih baik aku tabung untuk keperluan anak kita?" Nuna menyampaikan keluh kesahnya pada suaminya di suatu malam.
"Ya udahlah biarin aja Ibu beli baju baru. Udah lama juga nggak beli, kamu kenapa sih kok kayak setiap gerak-gerik Ibu kamu salahin? Kamu protes, kenapa?"
"Kok kamu masih tanya kenapa sih, Mas? Kamu yang kenapa? Kamu bisa mikir nggak sih? Ini tuh nggak adil buat aku. Aku paham kebutuhan rumah banyak, tapi aku juga punya kebutuhan. Aku mengalah dalam hal keuangan supaya Ibu nggak merasa kekurangan. Aku berikan hak aku ke Ibu, tapi apa yang aku kasih disalahgunakan, ya aku jelas marah dong Mas, aku protes. Aku berhak untuk itu. Kalau Ibu bisa beli baju itu artinya kebutuhannya sebenarnya sudah cukup lalu kenapa Ibu minta uang aku?"
"Nuna, ayolah. Jangan meributkan perkara kecil, jangan ribut hanya karena uang. Ini uang aku pas-pasan aja kamu ributkan, gimana kalau aku punya banyak uang?"
"Justru karena uang kamu pas-pasan itu harus digunakan dengan baik. Mana yang penting, mana yang harus didahulukan, dan mana yang tidak."
Dari luar kamar, Bu Ningsih mendengar ocehan Nuna. Pada saat ini beliau sedang menggigit jarinya karena sedang memikirkan alasan apa yang akan beliau gunakan untuk kembali menyerang menantunya.
Bu Ningsih sedikit tersentak ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka. Beliau menelan ludahnya kasar ketika melihat siapa orang yang membuka benda persegi itu.
"Ibu, ngapain di sini?"
"Ibu tadi nggak sengaja dengar kalian bertengkar karena Ibu. Sepertinya Nuna salah paham. Baju ini memang baru, tapi Ibu belinya udah lama, jauh sebelum kalian menikah. Emang Ibu baru pakai sekarang karena baju ini ternyata nyelip di lemari. Ibu mana mungkin berani boros atau membeli sesuatu yang bukan kebutuhan pokok, Ibu juga tahu kalau kebutuhan kalian banyak. Ibu juga pernah hamil, Ibu pernah melahirkan, Ibu tahu kebutuhan-kebutuhan apa yang kalian butuhkan." Bu Ningsih mulai mengeluarkan air mata palsunya dan itu mengundang perhatian sang anak.
"Nuna, Ibu minta maaf jika memang Ibu salah ketika Ibu meminta kamu uang dari Arga. Ibu akan kembalikan uang itu." Bu Ningsih lalu beringsut menuju kamarnya. Namun, baru dua langkah kakinya pergi dari hadapan sepasang pengantin baru itu, kakinya berhenti melangkah karena cekalan dari anaknya.
"Nggak usah Bu. Ibu pakai aja uangnya."
"Istrimu juga punya kebutuhan, tidak seharusnya Ibu minta uangnya tadi."
"Udah, Bu. Jangan dengarkan Nuna. Lagipula uang buat pemeriksaan kandungan udah ada. Pakai aja uangnya." Arga pergi setelah mengatakan itu.
Kini tinggalah dua wanita yang saling bersitatap. Bu Ningsih lalu menghapus air mata yang tersisa dengan gestur mengejek.
"Mau main-main sama saya, nggak semudah itu. Teruslah melawan, jangan diam saja. Supaya saya juga semakin tertantang." Bu Ningsih menunjukkan senyum liciknya dan berlalu dari sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!