Hari yang terus berlalu membawa Nuna dalam perubahan yang sedikit lebih kuat. Meskipun belum sepenuhnya berani untuk melawan apa pun yang di lontarkan Ibu mertuanya, setidaknya ia sudah jarang mengeluarkan air mata untuk menangisi ucapan beliau.
Meski semakin hari Nuna semakin dipandang buruk oleh sebagian besar para tetangga, ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak memikirkannya. Karena menurutnya, ada yang lebih penting dan harus ia jaga dari pada omongan orang di sekitarnya.
"Mas, aku masih mual kalau makan nasi terlalu banyak dan bidan menyarankan aku untuk menggantinya dengan susu ataupun buah."
"Halah, Na. Nanti lama-lama juga akan masuk sendiri itu nasi ke perut. Udahlah makan apa adanya aja. Nggak usah aneh-aneh. Udah tahu yang kerja cuman Arga, uang juga dari dia aja untuk semua kebutuhan. Nggak usah minta yang mahal-mahal. Susu hamil kamu pikir murah apa?"
"Itukan memang tanggung jawab Mas Arga, Bu. Udah resiko jadi suami dan calon Ayah."
"Ya anggap saja mual kamu juga resiko. Semua wanita akan merasakan itu. Ada beberapa makanan yang sampai beberapa bulan nggak bisa diterima di perutnya. Tapi nanti lama-lama juga akan masuk sendiri. Jangan dimanjain. Masih pagi bikin selera makan orang hilang aja."
Bu Ningsih dengan wajah kesal dan bibir yang mengerucut pergi meninggalkan meja makan. Nasi yang sempat beliau pindahkan ke dalam piring urung ia makan. Permintaan Nuna yang dirasa sangat berlebihan membuat Bu Ningsih geram dan merasa was-was jika perhatian anaknya akan berpindah pada sang menantu. Sungguh ia tidak bisa terima jika itu terjadi.
"Sementata beli buahnya aja dulu. Uang sisa periksa masih ada?"
Nuna hanya mengangguk.
"Ya udah pakai itu buat beli buah. Susunya bisa ditunda dulu. Lain kali kalau bilang mau apa-apa jangan ada Ibu. Kasihan dia, udah mikirin gimana uang biar cukup sampai aku gajian lagi. Kamu malah nambahin ingin ini itu. Gaji aku nggak banyak, Dik."
"Suruh dia kerja sendiri kalau banyak maunya, Ar. Cape Ibu lama-lama," sahut Bu Ningsih dari kejauhan.
"Udah, jangan didengar, Ibu memang gitu orangnya. Nanti juga luluh sendiri. Aku berangkat dulu, ya."
Rasanya sudah bosan Nuna mendengar pembelaan dari suaminya untuk sang Ibu. Mau salah atau tidak, suaminya itu tetap saja berpihak pada ibunya. Di tengah rasa kesalnya karena keadaan yang terus menghimpitnya, terlintas dalam pikirannya untuk bekerja saja. Rasanya sangat mustahil jika ia bergantung pada suaminya saja. Ini ia baru meminta untuk dibelikan buah dan susu. Bagaimana jika di bulan-bulan berikutnya perutnya makin membesar dan ia tak ada pakaian yang cukup untuk tubuhnya?
"Tapi aku kerja apa? Siapa yang nerima orang hamil muda bekerja?"
Satu menit, dua menit, Nuna masih tak beranjak dari meja makan. Pikirannya sedang terfokus bagaimana cara ia mendapatkan uang untuk kebutuhan dirinya sendiri.
Merasa tidak akan ada perubahan jika ia hanya memikirkan saja, akhirnya Nuna memutuskan untuk keluar rumah. Ia akan membeli buah yang segar untuk menyegarkan mulutnya. Baru membayangkan saja ia sudah ingin mengeluarkan air liurnya.
Baru beberapa langkah keluar dari pekarangan rumahnya. Beberapa tetangga yang sedang membentuk kelompok ghibah mulai berbisik seraya melihat ke arahnya. Tindakan itu membuat Nuna berpikir adakah yang salah dengan penampilannya? Namun, sesaat kemudian ia teringat bahwa ia adalah artis desa yang menjadi bahan perbincangan para tetangga dan Ibu mertuanya.
Haruskah ia membungkam mulut mereka? Ah tapi rasanya tidak akan ada habisnya jika meladeni omongan setiap orang. Lebih baik tutup telinga dan terus berjalan. Selagi ia masih bisa menahan amarahnya, ia akan melakukannya, begitu pikirnya.
Nuna terus membawa kakinya pergi dari sana. Semakin lama semakin ia bawa dengan cepat karena tak ingin membiarkan telinganya mendengar kata-kata yang mungkin saja bisa menyakiti hatinya. Ia sesungguhnya kenyang, setiap detik harus menghadapi Ibu mertuanya yang tak punya hati dan perasaan itu. Kedua hal itu adalah rasa yang dominan dan harusnya dimiliki lebih besar dari laki-laki, namun yang terjadi di Ibu mertuanya itu kedua hal itu seperti tidak ada. Bahkan logikanya saja ia tak tau diletakkan di mana. Bagaimana bisa Bu Ningsih hanya menyalahkan dirinya saja akan kehamilan yang terjadi sekarang? Memangnya dirinya bisa hamil tanpa ada yang membuahi? Pikir Nuna ketika ia ingat olokan Ibu mertuanya yang nyaris setiap hari menyalahkannya.
Beberapa lama berjalan, ia menemukan pedagang buah di pinggir jalan. Ia memutuskan untuk berhenti di sana. Tak masalah beli di mana pun asal buah-buahan tersebut masih layak untuk di makan.
Tidak lama ia berdiri dan memilih buah di pedagang kaki lima itu. Hanya dua macam buah saja yang ia beli. Selama menikah baru kali ini ia keluar rumah sedikit jauh. Ia memanfaatkan momen ini untuk berjalan-jalan lagi, ia rasa hal ini cukup untuk merefresh otaknya yang setelah menikah justru banyak terkontaminasi oleh keburukan.
Dari kejauhan, Nuna menangkap kedai yang begitu ramai. Namun, bukan itu yang menjadi perhatian Nuna. Tapi spanduk berukuran sedang yang teronggok di sana. Ia tak tahu apa yang membuatnya ingin ke sana. Apakah itu menu? Jika itu menu, kenapa tidak ada orang yang membaca spanduk itu jika ingin memesan? Menu apakah sebesar itu? Ia berpikir seraya mengayunkan kakinya untuk lebih dekat ke kedai itu.
Matanya berbinar begitu melihat dengan huruf yang berada di sana. Nuna membaca kalimat itu berulang-ulang untuk memastikan ia tak salah baca.
"Mau pesan apa, Mbak?" Pertanyaan seorang pria dari belakang etalase mengagetkannya.
"Ha? Ah tidak, aku membaca ini. Apakah masih butuh orang?"
Pria itu meneliti Nuna dari atas hingga bawah. Hal itu membuat Nuna juga mengikuti gerak mata pria itu. Apakah laki-laki ini juga mengenal ibu mertuanya dan mendengar gosip tentangnya? Menjelek-jelekkan seperti kepada para tetangga lainnya. Kenapa ia menatap seperti itu?
"Kau masih muda. Yakin mau bekerja di tempat kedai sederhana seperti ini?"
"Apa salahnya? Kau juga masih cukup muda untuk berdagang di tempat sesederhana ini. Aku akan membuat surat lamaran jika kau membutuhkannya."
"Kau pikir ini perusahaan atau rumah makan besar? Kau sedang mengejekku?"
"Ah tidak. Bukan itu maksudnya. Aku hanya bertanya, kenapa kau semarah itu?"
Pria itu belum sempat menjawab ucapan dari Nuna, tapi beberapa pelanggan sudah memanggil dirinya dan meminta ini itu untuk melengkapi sarapan mereka yang cukup terlambat. Karena sekarang sudah jam sepuluh. Bukankah terlalu siang untuk sebuah sarapan? Tapi masih terlalu pagi juga untuk makan siang.
Pria itu kembali kerepotan dengan beberapa minuman yang diminta oleh para pelanggan. Cuaca yang cukup panas membuat orang-orang ingin minum sesuatu yang segar lebih banyak.
"Kenapa diam saja? Kau ke sini pasti mencari pekerjaan, kan? Ayo lalukan! Cepat ke sini dan bantu aku!"
"Aku?" Nuna menunjuk dirinya sendiri.
"Bukan! Arwahmu!" jawab pria itu ketus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments