Queena berdiri seperti anak yang sedang di marahi oleh ibunya. Menautkan kedua jari telunjuk dan memainkannya. Bibir tipisnya maju beberapa senti. Sangat lucu.
"Queena! saya tuh kesel dan sangat marah sama kamu."
"Saya tau, Bu."
"Gak usah jawab!"
"Iya, Bu."
"Aduuhh, kamu itu kenapa harus muntah kaya tadi sih? kamu masuk angin? apa hamil?"
"Etttt ... si Ibu."
"Eh, iya. Saya lupa kalau kamu jomlo. Maaf, ya mblo."
"Gak usah di perjelas, Bu. Kain kasa, stetoskop, tampon tang, pinset, betadine, alkohol di ruangan ini tau, kalau saya itu jomlo."
"Ya sudah, saya gak jadi marah. Kasian kalau nangis gak ada sandaran." Lalu Bu Hani berlalu.
"Dasar kepala ruangan akhlakless."
"Sebenarnya kita itu harus bersyukur apa gimana ya karena punya kepala ruangan seperti itu?"
"Dia itu baik. Meski rada kurang satu sendok."
"Queen, ke kantin yuk. Aku mau beli minum dingin."
"Itu bayi ada yang urus gak?"
"Ada Mba Mika sama Mba Yuyun."
"Ya udah. Yuk!"
Queena dan Shasa pergi ke kantin. Diperjalanan mereka bertemu dengan direktur baru yang sedang berjalan sendirian. Queena dan Shasa berjalan lebih ke pinggir untuk memberi direktur baru itu jalan. Mereka berdua mengangguk saat berpapasan. Namun, baru beberapa langkah, mereka mendengar suara panggilan.
"Kamu yang di ruangan peri itu bukan?" tanyanya saat kedua sahabat itu membalikkan badan.
"Iya, Pak." jawab Shasa.
"Sudah tidak mual lagi?"
Queena dan Shasa saling pandang. "Tidak, Pak." kali ini Queena yang menjawab, karena pertanyaan itu ditujukan untuk dirinya.
"Lain kali, sarapan dulu sebelum kerja."
"I-iya, Pak."
"Halo, Pak." Sapa seseorang yang datang dari arah belakang Shasa dan Queena.
"Eh, Dokter Fathur."
Fathur melirik Queena lalu tersenyum mengejek. Queena mendelik kesal.
"Kami duluan, Pak." ucap Queena.
"Saya enggak di sapa?" tanya Fathur yang jelas menggoda Queena.
"Duluan ya ... Dok."
Lalu Queena segera berlalu meninggalkan Shasa sendirian. Shasa berpamitan pada Fathur dan direktur baru itu. Tentu saja lebih sopan dari yang Queena lakukan.
"Heh, heh, tunggu dulu. Kamu itu kenapa sih?" tanya Shasa sambil mengejar langkah Queena.
"Aku berharap gak ketemu dokter itu lagi hari ini."
"Queena, kamu kenapa?"
"Sha, bagaimanapun juga aku tidak ingin bertemu dia lagi hari ini."
"Ya udah, tapi kita udah melewati kantin, loh."
Queena menghentikan langkahnya. Lalu dia celingukan.
"He he he. Maaf."
Mereka berjalan kembali memutar arah, membeli beberapa minuman lalu segera kembali ke ruangan.
"Astaaaa ...."
"Kenapa, Queen?" tanya Shasa pada sahabatnya saat mereka membuka pintu ruang perinatologi.
"Bau ini. Apa jangan-jangan dia ada di sini? doaku tidak terkabul ternyata."
"Jelas gak dikabulin, kamu itu hamba paling malam ibadah. Lagian bau apa sih? maksudnya siapa yang ada di sini?"
"Tiang listrik, Sha."
"Hah? apa sih Queen? gak ngerti deh!" Shasa yang bingung dengan sikap sahabatnya memilih segera masuk dan meninggalkan Queena yang masih berdiri ambang pintu.
Tidak lama kemudian, Shasa segera kembali dengan sedikit berlari.
"Queen, di dalam a-a-ada dokter Fathur."
"Tauuu!"
Kali ini Queena berjalan meninggalkan Shasa yang masih berdiri melongo.
"Kenapa jadi aku yang ditinggal?"
Queena meletakkan minumannya di meja dengan wajah kesal.
"Nah, itu Queena, Dok. Dia yang akan menemani anda visit hari ini."
Queena menelan ludah sendiri seperti orang yang menelan biji salak. Seret dan susah. Kata-kata yang keluar dari mulut kepala ruangan tempat dia bekerja membuatnya kesal dan kaget bersamaan. Ditambah dengan seringai penuh kelicikan dari dr.Fathur–menurut Queena. Meski jika orang lain melihat senyuman Fathur, maka akan menilai lain. Manis.
"Oh, begitu. Baiklah. Hey! kemarilah." Fathur menggerakkan jarinya untuk Queena segera mendekat.
Mau tidak mau, gadis cantik itu menurut. Ya, bagaimanapun juga, kedudukan mereka memang mengharuskan Queena menuruti apa yang diperintahkan Fathur sebagai dokter.
"Silakan, Dok." Queena mempersilakan Fathur untuk mengikuti langkahnya. Tidak lupa Queena mengambil buku besar. Buku catatan laporan kondisi tiap pasien.
Dengan detail, Queena menjelaskan kondisi para bayi mungil itu. Sementara Fathur, dia hanya fokus memperhatikan Queena dari atas sampai bawah.
"Ck! kenapa kamu sangat pendek?"
"Ya?"
"Tubuh kamu."
"Kenapa dengan tubuh saya?" Queena celingukan melihat tubuhnya sendiri.
"Pendek."
Queena melongo. "Hey, Dok. Antara saya yang terlalu tinggi dan Anda yang menjulang terlalu tinggi itu, hampir tidak ada bedanya. Kepentok pintu, baru nyaho!"
"Yang penting tampan!"
"Saya juga cantik! kenapa?"
"Pas dong, ya."
"Apanya?" Queena masih ngotot.
"Serasi."
"Ganti huruf S-nya dengan T. Permisi."
Selesai memberi resep pada beberapa bayi yang memerlukan obat, Fathur pergi. Queena menghela nafas, lega.
*****
Masuk ke dalam ruangan, Fathur tersenyum sendiri saat membayangkan wajah Queena. Gadis yang selama ini selalu dia perhatikan diam-diam.
Kesan pertama saat melihat Queena, membuat Fathur tidak bisa lupa. Meskipun dia lama belajar di luar negeri.
Saat itu. Siang hari dengan sangat panasnya membuat semua orang tidak ingin berlama-lama di bawah langit tanpa atap. Semua mencari tempat berteduh jika bisa. Fathur dan ibunya mengunjungi kakaknya yang sedang bekerja di rumah sakit yang sekarang.
Queena, gadis manis yang galak itu tengah bertengkar dengan seorang laki-laki, keluarga pasien yang ngeyel karena bayinya yang membutuhkan penanganan khusus untuk segera dibawa pulang.
"Pak, ini rumah sakit milik pribadi. Milik seseorang yang sudah tidak lagi membutuhkan uang. Kalau Bapak merasa sangat miskin, Bapak ajukan surat permohonan keringanan biaya atau gratis sekalian. Jika itu masalahnya."
"Tapi saya tidak ingin mengemis belas kasih orang dengan menyatakan bahwa saya adalah orang miskin."
"Kalau Bapak merasa orang kaya, ya sudah, bayar!"
"Saya tidak mau."
"Kenapa? gak ada uangnya? ya ampuuun ... kenapa ada orang tua macam ini. Enak bikinnya doang tapi gak mau tanggung jawab."
"Queen. Tau dari mana kalau bikin anak itu enak? udah pernah?" tanya Shasa.
"Astaga! tepat, ya nanya kaya gitu?"
"Ya ... habisnya."
"Heh! Anda. Ambil sendiri gih, bawa sana anaknya. Lepas sendiri alat yang menempel di tubuh anak Bapak!"
"Ya mana saya bisa, saya bukan dokter."
"Karena dokter di sini pada gak mau."
Bapak-bapak yang sedari tadi emosi itu, tiba-tiba menangis. Dia histeris dan tampak putus asa. Shasa dan Queena kaget dibuatnya. Terlebih ini adalah rumah sakit. Banyak orang yang memperhatikan.
"Saya harus bagaimana, suster? setiap saya melihat anak itu, saya selalu emosi. Dia yang bahkan bukan darah daging saya harus saya urus. Bagaimana bisa, saya menghabiskan harta saya hanya untuk bayi hasil dari perselingkuhan istri saya sendiri."
Semua diam. Hanya suara Isak tangis Bapak itu yang terdengar. Penuh emosi dan menyayat hati. Dia berlutut dengan memgang erat kepalanya. Perlahan menjambak rambutnya sendiri.
"Kalau begitu, Bapak seharusnya menghajar istri Bapak. Bagaimana bisa seorang istri berani berselingkuh sampai menghasilkan anak."
"Kemarin, setelah dia pulang dari rumah sakit. Dia kabur bersama selingkuhannya. Penanggung jawab perawatan atas nama saya, jadi saya yang ketempuan."
"Hey, Pak. Waktu nikah, Bapak gak sadar bahwa yang Bapak nikahi itu seorang iblis betina?"
"Quuena." Shasa menyenggol pinggang sahabatnya. Dia hanya melirik kesal.
"Begini, Pak. Sekarang, Bapak tenang saja dulu. Nanti kami akan bantu supaya biayan ank itu gratis. Jika Bapak tidak ingin merawat bayinya, masukan saja ke panti asuhan yang masih satu naungan dengan rumah sakit ini. Gimana?"
Bapak itu mendongak. Matanya seperti memiliki harapan.
"Tapi Bapak harus mengurus semua berkasnya. Gimana? nanti saya akan bantu, Kok," bujuk Shasa. Bapak itu mengangguk.
Fokus Fathur hanya pada Queena yang terus saja bergumam. Merutuki wanita yang merupakan Ibu dari bayi tak berdosa itu.
Ketukan pintu membuatnya kembali tersadar dari nostalgia masa lalunya. Masa pertama dia melihat Queena.
"Masuk."
"Maaf, Dok. Pasien di poliklinik sudah menunggu."
"Ya, baiklah. Kita ke sana sekarang."
🌺🌺🌺🌺🌺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Zes
lnjut baca
2020-07-04
1