Wajah familiar

"Terima kasih sudah menemani anak saya seharian ini. Dia sangat bahagia. Untuk pertamanya kalinya setelah sekian lama. Saya sangat berterima kasih."

"Tak apa. Saya juga suka sama anak-anak. Dari kecil saya tumbuh dengan banyak anak kecil. Jadi sudah terbiasa."

"Sekali lagi saya sangat berterima kasih. Saya janji akan membalas kebaikan kamu. Apa saja yang kamu inginkan, akan saya berikan. Saya janji!"

"Ha ha ha. Tidak harus seperti itu, Pak. Saya bukan habis menyelamatkan nyawa anak Bapak. Saya cuma menemani dia makan, main, dan beli pakaian. Itu pun Bapak yang bayar. Saya juga malah kebagian." Queena melirik papar bag miliknya di kursi belakang.

Mereka membicarakan banyak hal sambil menunggu anak kecil itulah tertidur pulas di pangkuan Queena.

Setelah di rasa nyenyak, Queena pelan-pelan menidurkan anak itu di kursi.

"Hati-hati di jalan, Pak. Selamat tidur, princess." Queena mengecup kening anak itu.

"Dia Rhanisa. Saya Mikdad. Kamu?"

Queena melirik sekilas, lalu kembali menatap Rhanisa dengan badan membungkuk.

"Queena. Kalau begitu selamat malam, Pak. Hati-hati di jalan." Queena pamit lalu menutup pintu mobilnya.

Mikdad melajukan kendaraannya perlahan, meninggalkan Queena yang masih berdiri. Queena masih meninggalkan senyuman manisnya saat mobil itu pergi. Dia tidak menyadari bahwa senyuman itu menghadirkan sebuah desiran aneh di dada seseorang.

Mikdad tertawa kecil saat dia menyadari bahwa ada sesuatu yang menggelitik di hatinya. Untuk pertama kali dalam beberapa tahun ini, dia merasakan panas di wajahnya karena memikirkan seorang wanita. Wanita yang baru saja dia kenal.

Sebuah harapan itu muncul. Keinginan untuk hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kebahagiaan yang masih samar tapi sudah jelas terasa dalam dada. Sebuah doa yang sepertinya sudah terkabul. Itulah pikir Mikdad.

"Tidak! ini terlalu cepat. Ah! dia bahkan masih sangat muda. Astagaaa. Ada apa dengan jantung ku?" Mikdad meremas dadanya kuat.

Dengan menggelengkan kepala dengan cepat berkali-kali, dia berharap bayangan Queena segera pergi, tapi sayang, wajah itu semakin jelaslah terlihat.

Manisnya dia saat tertawa bersama anaknya. Bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama dengan berceloteh ria sambil makan es krim. Tawa indah bidadari kecilnya saat mereka berdua bercermin dan mencoba berbagai macam bando.

"Tante. Boleh peluk?" rengek Rhanisa.

"Hm? tentu saja boleh. Ayo!" Bukan hanya pelukan. Queena menggendong Rhanisa. Setelah makan siang, mereka kembali berjalan menyusuri mall dan berhenti di sebuah toko mainan.

"Coba, sini. Dady lihat ada kotoran di rambut kamu." Mikdad berdiri di hadapan Queena yang sedang menggendong Rhanisa. Tubuhnya semakin mendekat saat dia mengambil sehelai benang dari rambut anaknya.

Tanpa di sadari. Wajah Queena memerah karena merasa malu sendiri. Ya, bagaimana pun juga, mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang bahagia. Rhanisa menyadari hal itu. Dengan polosnya dia bertanya, "Tante, kenapa wajahnya seperti tomat? Tante sakit? kata Daddy, kalau aku sedang sakit panas, wajahku akan memerah."

Queena salah tingkah dibuatnya. Takut Ayah sang anak salah paham padanya. Meski sebenarnya, si ayahlah yang sedari tadi kesulitan mengendalikan diri dan hatinya.

"Ah, mungkin karena di sini gerah." Queena asal menjawab.

"Tapi di sini ruangan ber AC. Aku kedinginan. Kenapa Tante kepanasan?"

Queena semakin salah tingkah karena anak itu. Wajahnya semakin merah. Matanya melihat tak tentu arah. Dia bahkan memperlakukan Rhanisa seperti bayi yang sedang didiamkan dari tangisannya. Mengayunkan anak itu ke atas ke bawah.

Lagi. Mikdad tertawa kecil mengingat kejadian itu.

****

"Perasaan, aku pernah melihat Bapak anak tadi, deh. Heussss, tapi di mana, ya? ck! dasar otak lemot!" Queena memukul kepalanya pelan.

Tangannya memijat pundaknya yang terasa kaku. Dia juga merentangkan tubuhnya dan menguap begitu lebar karena rasa kantuk dan lelah seharian jalan.

Matanya tertuju pada paper bag yang berjumlah lima buah. Isinya semua barang-barang mahal yang tidak pernah dia bayangkan akan memilikinya.

Matanya sudah dia tutup. Bantalnya sudah dia pukul-pukul agar terasa nyaman saat dipakai. Selimut sudah menutup tubuh sampai leher. Persiapan menuju tidur cantik sudah selesai.

Namun, semua itu kembali berantakan saat sebuah panggilan dari ponselnya mengganggu.

"Aduuuh. Siapa, sih? gak tau apa, inces mau tidur syantik! bikin kesel aja!" Queena melepas penutup matanya dan melempar ke sembarang arah. Kakinya kembali turun dari ranjang untuk mengambil ponsel yang ada di dekat TV.

"Nomor siapa lagi, ini." Queena bergerutu saat melihat nomor yang tidak dia kenal.

"Halo!" Queena menyapa dengan nada ketus.

"Gak ketemu, gak di telpon. Ternyata kamu itu galak."

Queena menjauhkan ponselnya dari telinganya. Dia menatap heran pada layar ponsel. Lalau segera mendekatkannya pada telinga.

"Ada apa malam-malam begini nelpon, Dok? Anda tidak tahu, kalau saya baru saja mau tidur."

"Mana saya tahu. Kita 'kan tidak tidur satu kamar."

"Ck!" Queena mulai kesal mendengar nada menggoda dari Fathur.

"Ada keperluan apa? apa tidak bisa besok saja? saya lelah banget saat ini."

"Bukannya kamu libur? kenapa lelah? kerja sampingan?"

"Bukan. Tadi di mall ketemua anak kecil. Eh, itu anak malah nempel terus sampai saya menemani dia makan, belanja juga. Di gendong pula."

"Emang gak ada orang tuanya?"

"Ada. Bapaknya aja.".

"Wah! jangan-jangan ...."

"Kenapa?"

"Modus itu. Itu, sih, bapaknya bocah yang mau deket sama kamu. Bukan anaknya."

"Yeee! sembarangan aja kalau ngomong."

"Mana ada laki-laki yang tidak ingin berdekatan sama kamu. Mereka akan betah lama-lama deket sama kamu. Melihat senyuman kamu yang manis. Mata kamu yang indah dan ...."

Hening.

Suara Fathur yang terdengar sangat serius saat itu, berhasil membuat napas Queena hampir berhenti. Wajahnya terlihat tegang menunggu kelanjutan dari ucapan Fathur.

"Kok, diem? kenapa jadi tegang begini?" tanya Fathur. Queena mengerjapkan mata berkali-kali dengan cepat.

"Hayoo, nungguin, ya?" goda Fathur.

"Nunggu apaan? udahlah, Dok. Saya ngantuk. Besok saya harus kerja lagi. Udah, ya."

"Eh, eh, tunggu dulu."

Queena mengurungkan niatnya yang hendak berbaring.

"Apa lagi?"

"Dan menatap wajah kamu yang cantik."

Queena terdiam. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Dia hanya merasa aliran panas dalam darahnya.

"Semoga mimpi indah. Nite!" Suara Fathur terdengar lembut tetapi sangat tegas.

Percakapan itu telah berakhir beberapa waktu yang lalu, tapi ponsel Queena masih menempel di telinganya.

Setelah lama, dia sadar. Ponselnya turun perlahan.

"Ada apa denganku?" Queena memukul pelan dadanya.

Malam begitu cerah dengan sinar bulan yang bulat sempurna. Angin bertiup sangat pelan, hingga dedaunan bergoyang begitu syahdu. Di tiga tempat berbeda, dengan orang yang berbeda, tapi memiliki satu rasa yang sama. CINTA.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!