Pukul 21.30, dengan terpaksa Shasa pulang sendirian. Queena–sahabatnya–harus melanjutkan dinasnya. Pekan kemarin dia minta tolong Rani untuk menggantikan shift nya, dan sekarang Queena harus gantian. Mengganti shift Rani.
Semakin larut, suasana di rumah sakit semakin sepi. Ingar-bingar siang hari sudah hilang bersama dengan lelahnya mata setiap insan. Tubuh yang selalu bergerak, meminta untuk beristirahat. Namun, tidak dengan Queena yang harus melanjutkan shift siangnya berlanjut shift malam.
Bagi beberapa pasien lain, malam hari digunakan untuk tidur, tapi tidak untuk para bayi di ruang perinatologi. Tidak ada siang ataupun malam untuk para makhluk kecil itu. Bagi mereka, semuanya sama.
Malam sudah mendekati puncaknya saat Queena keluar dari ruang nifas. Wanita mungil itu membawa beberapa botol dengan nama masing-masing bayi. Botol itu berisi ASI dari masing-masing bayi yang sedang dalam pantauan Queena.
Langkah Queena sedikit melambat saat dia mencium aroma yang sangat dia kenal. Aroma maskulin yang membuat dia kesal belakangan ini. Semakin lama, wangi itu semakin menusuk hidungnya. Itu artinya seseorang yang tidak ingin dia temui berada semakin dekat dengannya.
"Gak usah buru-buru. Meski aku hantu, aku itu tampan."
"Tampan endas mu!" Queena berbisik.
"Jika bisa barengan, kenapa harus masing-masing?"
"Jika bisa sendiri-sendiri, kenapa harus berdua?"
"Kita itu manusia. Makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri."
"Memang benar, tapi bukan berarti saya tidak bisa hidup tanpa Anda. Dokter!"
"Yakin?"
"Iyalah! Sejak kapan juga saya bergantung hidup sama orang? ngadi-ngadi."
"Kalau begitu, mulailah bergantung padaku mulai malam ini."
"Ish. Jangan ngarep!"
"Ya sudah, urus sendiri, ya, bayi-bayinya. Jangan panggil saya kalau ada keadaan darurat."
"Loh?" Queena menghentikan langkahnya. Dia memutar badan untuk bisa menatap Fathur yang berada di belakangnya. "Ya gak bisa gitu, Dok. Saya mana ngerti kalau ada pasien gawat."
"Katanya tidak ingin bergantung pada saya?"
"Bukan masalah itu maksudnya."
"Lalu?" tanya Fathur penuh intimidasi. Matanya menatap tajam membuat Queena terpaku. "Apa kamu mengharapkan hal lain?"
"Ti-tidak. Bukan itu maksud saya." Queena gelagapan. Tubuhnya semakin salah tingkah saat Fathur berjalan mendekat. Queena mundur mengikuti irama kaki Fathur yang semakin maju mendekat.
"Ini rumah sakit, Dok. Anda mau apa?"
"Kamu pikir?" tanya Fathur sembari mengambil botol susu dari tangan Queena. "Bayi-bayi itu kelaparan dan kamu sudah melewati pintu ruang perinatologi," bisiknya tepat di hadapan Queena. Fathur yang memang jauh lebih tinggi dari Queena, membungkukkan badan.
Fathur kembali berdiri tegak dengan senyum jenaka menghias wajahnya. Dia terlihat begitu puas karena telah membuat Queena tersipu.
"Sialan! Hupf!"
Queena segera masuk begitu dia sadar dan mendengar suara tangisan dari beberapa bayi.
"Tolong pantau terus bayi ini. Tanda-tanda vitalnya tidak bisa dibilang bagus. Kita harus bersiap untuk hal terburuknya," ucap Fathur pada Aida. Queena hanya sedikit melirik pada mereka yang ada di belakangnya.
"Baik, Dok. Sebaiknya dokter kembali saja keruangan. Hanya ada satu bayi yang gawat, yang lainnya sehat semua. Nanti saya panggil kalau ada apa-apa."
"Tidak perlu. Saya merasa senang ada di sini. Kita bisa ngobrol bareng. Kalau di ruangan saya, saya hanya sendirian."
"Kenapa gak bawa istrinya aja ke sini, Dok?"
"Pacar saja saya tidak punya."
"Masa? saya gak percaya, loh."
"Dia tidak mau saya dekati." Fathur melirik Queena.
"Dia siapa?" tanya Aida memastikan. Dia sedikit penasaran saat mata Fathur melihat Queena yang sedang sibuk memberi susu pada bayi.
"Ada lah. Nanti juga tau sendiri pas saya menyebar surat undangan."
"Baiklah. O, iya. Saya mau ke kantin, mau beli minuman. Mau nitip apa, Dok? barang kali haus."
"Tidak. Saya tidak ingin apa-apa."
"Mba Aida, aku titip minum rasa jeruk, ya. Yang dingin. Ruangan ini ada AC nya tapi panas banget," tandas Queena.
Fathur hanya tersenyum mendengar ocehan Queena yang dia tahu bahwa itu sindiran untuk dirinya.
"Ya udah, aku ke kantin dulu. Gak apa-apa, ya, aku agak lama. Pengen makan mie rebus dulu."
"Jangan lama-lama, Mba."
"Tidak apa-apa. Nanti saya yang jagain bayi-bayi ini. Makanlah dengan tenang," timpal Fathur.
Aida hanya tersenyum canggung melihat perbedaan sikap Queena dan Fathur.
Queena kembali memberi ASI pada bayi yang lainnya. Sementara Fathur hanya berdiri di tempat yang sama. Matanya tidak teralihkan dari punggung Queena. Hingga dia memutuskan untuk mendekat.
"Kamu itu kenapa bisa begitu lembut pada mereka, tidak pada saya."
"Jadilah bayi dulu."
"Kalau begitu, bersikaplah lembut pada bayi kita."
Uhuk! Queena tersedak meski dia sedang tidak memakan atau meminum apa-apa. Suaranya yang keras membuat salah satu bayi terbangun dan menangis. Bayi yang sedang diberi ASI tampak tertidur. Setelan meletakkan botol susu, Queena segera mendekat pada box bayi yang menangis tadi. Namun, bayi itu sudah berada di gendongan Fathur.
Dengan lembut Fathur mengayunkan tubuh bayi yang sedang dia dekap. Bayi itu berhenti menangis dengan mulut yang masih terbuka. Sesekali lidahnya keluar. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri.
"Dia lapar. Saya ambil botol susunya dulu." Queena segera berlari menuju tempat penyimpanan susu. Lalu dia segera kembali. Queena memberikan susu itu pada bayi yang sedang Fathur gendong. Masih dengan gerakan mengayun.
"Ya ampun! kalian terlihat seperti pasangan orang tua baru," ucap Aida yang tiba-tiba datang.
Queena dan Fathur menoleh bersamaan.
"Baiklah. Lanjutkan saja, saya kembali ke kantin." Aida kembali keluar ruangan.
Hening.
Fathur tidak hentinya menatap Queena. Gadis yang selama ini dia perhatikan diam-diam, ada tepat di depannya. Hanya dengan jarak satu sikut tangan saja. Jantungnya berdegup kencang. Semakin lama dia menatap, semakin tidak karuan ritme jantungnya.
Queena menyadari hal itu. Namun, dia tidak memiliki rasa apapun pada sosok Dokter yang kini tengah menatapnya tanpa jeda. Dia merasa risih tapi tidak membuatnya canggung atau salah tingkah. Masih fokus dengan kegiatannya memberi susu pada bayi yang ada di dekapan Fathur.
"Sudah selesai. Susunya sudah habis dan bayinya sudah terlelap. Anda mau tetap menggendong atau menidurkan bayi ini, Dok?" tanya Queena. Membuat Fathur tersadar dari hipnotis wajah cantik Queena.
"Ya. Saya akan segera menaruhnya kembali." Fathur berusaha bersikap biasa saja.
Malam semakin larut. Jam tangan Queena menunjukkan pukul tiga dini hari. Menyusun laporan dan mengisi rekam medis sudah selesai semua. Satu orang dari tiga teman yang berjaga sudah terlelap. Dia meminta ijin untuk istirahat karena rasa sakit akibat haid hari pertama. Yang lainnya ada yang masih memeriksa bayi satu per satu. Ada juga yang sibuk dengan ponselnya sambil rebahan.
"Mba Aida, aku izin ke kantin, ya. Mau beli kopi dulu. Ngantuk banget."
"Iya. Mau di temenin gak? ini udah hampir pagi, gak banyak orang di luar."
"Gak usah, aku bisa sendiri."
"Ya sudah. Hati-hati."
"Ish. Kaya aku mau ke mana aja. Cuma kantin doang."
"Siapa tau mau ke hati dia."
"Dia siapa? jangan ngaco, deh."
"Dia dokter ...." Aida mengehentikan ucapannya setelah melihat seseorang masuk. Queena refleks ikut menoleh mengikuti arah pandang Aida.
"Kalian pasti mengantuk. Ini saya bawakan kopi dan cemilan."
"Makasih, Dok." Aida menimpali. "Dokter gak pulang? gak biasanya ada dokter spesialis jaga malam. Betah yaaa ...." Aida menggoda.
"Mungkin." Fathur tersenyum genit. "Nah, ini kopi dan cemilannya." Fathur menyimpan dua kantong keresek di meja. Tepat di hadapan Queena.
"Saya pamit pulang," ucapnya sambil menatap Queena.
Aida dan yang lainnya hanya cengengesan sambil saling pandang.
"Saya pamit semuanya. Selamat bertugas." Fathur kembali berucap sambil menyapu pandang pada semua orang.
"Gak cipika cipiki dulu, Dok?" Aida kembali menggoda.
"Tar kalian mau, gimana? ya sudah. Saya pamit. Selamat malam."
Fathur berlalu meninggalkan semua orang di dalam ruangan ini termasuk Queena dengan wajah kesalnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments