Istriku Bukan Pembawa Sial!
Happy reading....
Aku gadis desa yang bernama Andini Amalia. Gadis yang baru berusia 18 tahun. Terlahir dari keluarga sederhana. Akan tetapi, sepertinya kehadiranku dalam keluargaku tak pernah diharapkan oleh ibuku.
"Aku menyesal telah membiarkanmu hidup sampai saat ini. Karena kau, ayahmu meninggalkanku selamanya, dan takkan pernah bisa bersama kita lagi!" ucap ibu, hampir setiap hari kata-kata itu pasti keluar dari bibirnya.
"Apa kesalahanku, Bu? Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan padaku sejujurnya, Bu! Aku sebenarnya siapa Bu? Apakah aku bukan anak kandung, Ibu?'' tanyaku sambil tersedu-sedu.
PLAK!
"Berani kau sekarang membantah ucapanku, ya! Kau ini hanya anak pembawa sial untukku. Karenamu, aku kehilangan suami yang sangat aku cinta." hardik ibu sambil melototiku.
"Begitu bencikah Ibu padaku? Apakah tak ada sedikitpun rasa sayang Ibu padaku?"
Sambil mengusap kasar air mataku, aku selalu menjawab ucapan ibu.
Jujur aku sudah tau apa yang sebenarnya telah terjadi 18 tahun yang lalu. Nenek yang diam-diam menceritakan semua kejadian yang menimpaku dan orang tuaku. Ya, nenek bercerita bahwa dulu waktu aku masih bayi yang hampir saja di bawa pergi oleh seseorang. Entah nenek pun juga tak tau siapa sebenarnya.
Di saat orang itu tertangkap basah telah membawa pergi, ayah kemudian mengejarnya sampai di tepi jalan. Tetapi hal tak terduga pun terjadi, seseorang itu meninggalkan ku di tengah jalan yang sebelumnya sepi kendaraan yang melintas.
Naasnya saat ayah ingin mengambilku dari tengah jalan, tiba-tiba ada sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi.
Mungkin mobil itu ingin berhenti secara mendadak. Namun tidak bisa terelekan, kecelakaan itupun akhirnya terjadi. Aku yang sudah berada di dalam pelukan ayah ikut terpental beberapa meter. Entah itu sebuah mukjizat untuk atau apa, saat ayah berlumuran darah, akan tetapi aku masih berada dalam dekapan ayah dengan begitu erat.
Hingga ibu yang baru saja mengikutiku dan ayah berteriak histeris. Pada waktu kejadian, ayah masih bernafas oleh karena itu beliau masih bisa mendekap erat tubuhku.
Tapi tak lama setelah itu, aku terjatuh dan bergulir secara perlahan di samping ayahku. Dan saat itulah ibu mulai membenciku.
Itulah yang pernah nenek ceritakan padaku. Dan sejak saat itulah nenek yang merawat ku. Bahkan ibuku sendiri enggan untuk menyusuiku. Bagaimana ingin menyusui, menyentuhku pun beliau enggan sekali.
"Cukup Trisya! Hentikan semua kata-kata mu itu! Apakah kamu tidak bosan dan merasa kasihan kepada anak kandungmu sendiri? Setega itukah hingga kau mengatan itu padanya?!'' bentak nenek saat membelaku.
"Tidak bisa Bu! Apakah saat aku berhenti mengatakan itu, mas Ridwan akan kembali hidup lagi?'' bantah ibu tak terima, karena nenek yang selalu membelaku.
"Bela saja terus anak itu. Tak Sudi aku menganggap dia sebagai anakku!''
"Kamu akan menyesal memperlakukan putrimu sendiri seperti ini Trisya! Suatu saat, kamu akan sangat menyesali nya, camkan itu!"
Kemudian ibu berlalu begitu saja, tanpa menghiraukan ucapan nenek padanya.
Jujur saja, meskipun setiap hari ibu berkata kasar padaku. Aku masih tetap menyayangi ibuku. Ya, meski ku sadari dalam hatiku yang terdalam, ada sebuah sayatan luka yang semakin mendalam.
Anak mana yang mau di perlakukan seperti aku saat ini? Di saat anak-anak mendapatkan rasa cinta dan kasih sayang dari orang tua mereka, tapi kini berbanding terbalik dengan takdirku saat ini.
Ibuku sendiri enggan untuk menganggap ku sebagai anaknya.
Ingin sekali aku merasakan kehangatan dan kasih sayang dari seorang ibu. Sebenarnya aku sangat iri dengan teman-teman ku, setiap kali bercerita membahas orang tua mereka. Terbesit berjuta-juta kerinduan kepada sosok ibuku. Berharap suatu saat nanti ibu akan sayang padaku dan menciumku meskipun hanya sekali.
"Nek, apakah aku tak pantas untuk di cintai dan di sayangi?" tanyaku pada nenek setiap kali mengingat kata-kata ibu yang menusuk hatiku.
"Kenapa kamu berbicara seperti itu, sayang? Kamu sangat pantas untuk mendapatkan semua itu. Katakan pada Nenek, kamu ingin apa sayang?"
Akupun sebenarnya ingin meminta hal yang sangat sederhana pada nenek, akan tetapi itu sangat mustahil untuk kudapatkan.
Lalu ku jawab dengan keraguan, "Aku hanya ingin ibu bisa menerima dan menyayangiku, Nek! Aku hanya ingin beliau menciumiku meski hanya sekali."
Nenek pun terkejut mendengar tentang permintaan ku.
"Kamu yang sabar ya sayang! Percayalah, suatu saat nanti, entah kapan itu waktunya, pasti ibumu akan menyadari bahwa kamu sangat berharga untuknya. Dan pantas untuk mendapatkan kasih sayangnya."
Nenek lalu memelukku. Menumpahkan air matanya,. Mungkin beliau juga bisa merasakan bagaimana menjadi aku saat ini. Anak yang keberadaannya tak dianggap olehnya, bahkan tak pernah di akui bahwa aku anaknya.
Sakit. sungguh sangat sakit hatiku saat ini. Luka yang ibu torehkan padaku semakin hari semakin dalam. Tapi semua itu juga tak menutup kemungkinan. Aku selalu menganggap beliau ibu terbaik dan terhebat untukku.
Dianggap ataupun tidak olehnya. InsyaALLAH aku harus sabar dan menerima semua ini. Dalam hati ku selalu berdo'a.
'Semoga suatu saat nanti ibu bisa menyayangiku dengan sepenuh hatinya. Menjadikan aku anak yang selalu dia dambakan. Aku juga selalu berharap semoga ibu dan nenekku selalu sehat dan panjang umur. Dan aku juga berharap semoga ibu segera menyadari dan itu tak akan lama lagi.'
( Dan selalu ku Aamiinkan. Agar Tuhan segera menjawab setiap do'aku. )
Tak terasa hari sudah mulai gelap. Aku yang duduk di teras di kejutkan oleh nenekku.
"Jangan melamun di saat senja, tak baik sayang. Lebih baik kita masuk dan beribadah dulu ya, ayo!" Kemudian nenek menuntunku untuk masuk ke dalam rumah.
"Iya Nek. Andin mau membersihkan diri dulu ya Nek."
Kemudian aku berlalu ke dalam kamar dan melaksanakan apa yang tadi nenek perintahkan ( beribadah kepada Tuhan ).
Setelah selesai, nenek mengetuk pintu kamarku.
"Andin sayang? Ayo keluar makan dulu!" ajak nenek padaku sambil menunggu di depan pintu.
"Baik Nek, tunggu sebentar!''
Kemudian aku bergegas untuk keluar. Tak mungkin aku membiarkan nenek menungguku terlalu lama.
Seperti biasa, kami hanya makan berdua. Karena ibu sangat enggan makan satu meja denganku.
'Sebenci itukah bu, engkau pada darah dagingmu sendiri? Apakah tak ada setitik pun kasih sayang untukku?'
Aku yang melamun kini di kejutkan kembali oleh nenek, saat perlahan memegang tanganku. Mungkin beliau juga paham apa yang ada dalam pikiranku saat ini.
"Sayang, kalau makan jangan melamun begitu ya! Tak baik Nak, nanti makanannya di ambil Nenek kamu tidak tau lho?" goda nenek padaku.
"Hehhe ... Iya Nenekku sayang. Aku tidak melamun kok Nek,'' jawabku mengelak.
BERSAMBUNG......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Sartini Cilacap
Hallo author ijin baca cerita nya
2023-08-24
0
Eva Rubani
lanjut
2023-04-01
0
🌈Rainbow🪂
Mampir
2023-03-24
0