Ketika Hamzah Bertemu Alifa
"Jadi, kapan mau bayar kontrakan?"
Sebelum pertanyaan bernada menyentak membuat Hamzah, seorang pemuda dua puluh satu tahun, terlonjak dan gelagapan. Bola matanya bergerak tak menentu selagi benaknya menyusun kata untuk menjawab.
Namun, diamnya Hamzah membuat Wati, sang pemilik milik kontrakan tahu bahwasanya Hamzah belum memiliki uang untuk membayar kontrakan.
Maka Wati pun menyeringai sambil memalingkan muka. "Jangan bilang, mau nunggak lagi bulan ini!"
Hamzah tertunduk lemas. Dia menarik nafas panjang untuk menetralkan perasaannya.
"Maaf, Bu Wati. Kasih saya waktu dua minggu lagi ya? Saya mohon. Saya pasti akan berusaha membayar kontrakan ini kok."
Wati menghela nafas jengah. Terpaksa dia pun menjawab, "Ya sudah. Tapi janji ya? Dua minggu lagi. Awas saja, kalau nunggak lagi, terpaksa saya usir kamu!"
"Iya, insyaAllah akan saya usahakan," ucap Hamzah pada perempuan paruh baya yang memakai perhiasan gelang gemerincing di lengan.
Kemudian Wati pun memutar badan, meninggalkan rumah kontrakan yang sudah dia sewakan pada Hamzah, seorang mahasiswa dari desa.
Setelah kepergian Wati, Hamzah pun menutup pintu karena sudah waktunya dia berangkat kuliah.
Sebenarnya mata kuliah Hamzah akan dimulai dua jam lagi. Namun, karena Hamzah tidak memiliki uang untuk membayar transport, terpaksa dia harus jalan kaki, meski memakan waktu yang cukup lama.
Sepanjang jalan, Hamzah menundukan kepala sambil berpikir keras bagaimana caranya dia membayar kontrakan. Pasalnya, baru saja tadi malam Hamzah mendapat pesan dari kampung kalau ayahnya gagal panen.
Alhasil, kedua orang tua Hamzah tidak bisa mentransfer uang kuliah untuk bulan ini.
Hamzah menarik nafas panjang, udara panas perkotaan membuat keringat di dahinya bercucuran. Dia menyeka peluh dengan peunggung tangannya.
Lalu tak jauh dari Hamzah berdiri, dia melihat masjid di seberang jalan. Lantas Hamzah pun tersenyum memandang masjid besar itu.
"Kenapa aku mengeluh sih? Kalau nggak punya uang ya tinggal minta ke Alloh," gumam Hamzah sambil memandang masjid di seberang jalan.
Seketika ingatan Hamzah terbang ke masa dia masih kecil dan mengaji di surau milik kakeknya. Kakek Hamzah adalah seorang kyai di desa.
Hamzah masih ingat betul, sang kakek pernah berkata padanya ketika Hamzah berumur tujuh tahun.
"Siapa yang membaca surat Al Waqiah setiap malam maka Alloh tidak akan menimpakan kemiskinan."
Ucapan sang kakek saat ini seperti menggaung di telinga Hamzah. Terus menggaung sampai Hamzah tersenyum lebar dan kakinya pun melangkah menyeberangi jalan.
Hamzah masuk ke dalam masjid, mengambil wudhu dan melihat ke jam dinding yang terpasang di salah satu dinding masjid.
Masih ada waktu untuk sholat dhuha, pikir Hamzah.
Maka Hamzah pun melakukan sholat dhuha terlebih dahulu empat rakaat, setelah itu dia mengambil mushaf Alquran dan membaca surat Al Waqiah seperti yang pernah diajarkan kakeknya dulu.
Setelah selesai, Hamzah pun bergegas untuk melanjutkan kembali perjalanannya ke kampus. Tepat ketika Hamzah memakai sepatu di depan masjid, seorang wanita lanjut usia berjalan menghampirinya.
"Permisi, Mas. Bisa minta waktunya sebentar."
Hamzah tersentak dan langsung menolah pada wanita lanjut usia tersebut.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Hamzah sopan.
Nenek itu tampak mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lalu ditunjuknya sebuah tempat duduk yang tak jauh dari halaman masjid.
"Bisa kita duduk dulu di sana, Mas. Biar enak bicaranya."
Meski ragu dan belum tahu hajat dari sang nenek, tapi Hamzah tetap menurut. Dia mengikuti sang nenek duduk di bangku yang terbuat dari besi itu.
Sang nenek tampak tersenyum sambil mengamati penampilan Hamzah dari atas hingga ke bawah.
"Maaf, Bu. Ada apa ya?" tanya Hamzah sekali lagi.
Akan tetapi sang nenek tetap memandang Hamzah selama beberapa saat. Kentara sekali jika sang nenek seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.
Setelah ekspresi sang nenek tampak mantap, barulah dia berkata, "Perkenalkan, Mas, saya Haida. Panggil saja Oma Haida. Kalau Mas nama siapa?"
"Saya Hamzah, Bu."
"Oh, Hamzah," kata Oma Haida menganggukan kepala. "Begini, Mas Hamzah, saya itu lagi cari guru mengaji untuk dua cucu saya. Dan kebetulan saya tadi nggak sengaja denger Mas Hamzah baca Al Qurannya itu bagus banget. Jadi, Mas Hamzah mau nggak jadi guru ngaji cucu saya?"
Sesaat Hamzah terdiam. Dia masih belum percaya dengan perkataan Oma Haida yang baru saja dia kenal.
Lalu Hamzah pun terkekeh yang mana membuat Haida nengerutkan dahi bingung.
"Kenapa kok ketawa?" tanya Haida pada Hamzah.
Hamzah pun menggelengkan kepala lalu berkata, "Nggak apa-apa, Oma Haida. Cuma saya heran saja. Oma Haida kan belum mengenal saya. Tapi kok sudah mempercayai saya sebagai guru ngaji."
Mendengar hal itu, Haida pun ikut tertawa lepas bahkan sampai menepuk pahanya.
"Saya percaya kok kalau Mas Hamzah itu orang baik. Sudah kelihatan dari mukanya dan Mas Hamzah ini mahasiswa kan?"
"Kok Oma Haida bisa tahu?" Hamzah bertanya balik.
"Lah itu jaket almamaternya dipakai sama Mas Hamzah," kata Haida menunjuk jaket almamater yang tidak disadari Hamzah sedang dipakainya.
Hamzah menepuk jidatnya dan tertawa. "Iya juga ya?"
"Jadi gimana, Mas Hamzah? Mau kan jadi guru ngaji cucu saya? Kita coba dulu sebulan, kalau ternyata Mas Hamzah nggak mau, atau merasa nggak cocok sama cucu saya, Mas Hamzah bisa berhenti. Saya nggak akan maksa kok."
Haida menarik nafasnya dan melepaskan pandangan matanya ke jalanan. "Masalahnya Mas Hamzah, cucu saya itu bandel banget. Apalagi yang cucu pertama. Jadi saya tuh kesusahan cari guru ngaji yang cocok untuk cucu saya."
Tak butuh waktu lama dan tak perlu pertimbangan yang panjang, Hamzah menganggukan kepala menyetujui permintaan Oma Haida.
Tentu saja Hamzah mau. Siapa yang tidak mau menunaikan amalan yang bisa mendatangkan pahala jariah yang satu itu.
"Saya mau, Oma Haida. Tapi paling saya ada waktu sore hari. Karena kalau siang, saya sibuk kuliah."
Haida pun memalingkan wajahnya pada Hamzah dan bibirnya merekahkan senyuman lebar. Tampak jelas dari pancaran mata Haida bahwa wanita itu sangatlah bahagia mendapati Hamzah menerima tawarannya.
"Oke, nggak masalah. Nanti Mas Hamzah yang datang ke rumah saya ya? Ini saya kasih alamatnya."
Haida langsung merogoh tas yang ditentengnya. Dia mengambil secarik kertas dan pensil. Lalu menuliskan sebuah alamat rumah.
Hamzah memabaca alamat itu sekilas dan dia menganggukkan kepala karena ternyata alamat ruamg tersebut tidak terlalu jauh dari kampusnya.
"Kita mulai dari hari ini bisa kan, Mas Hamzah?"
Hamzah mengangguk, "Bisa, Oma Haida."
Kemudian, tak disangka Haida juga mengeluarkan sbeberapa lembar uang dari dompetnya. Dia serahkan uang itu kepada Hamzah yang mengernyitkan dahi kebingungan.
"Ini apa, Oma Haida?"
"Ini uang untuk transport Mas Hamzah ke rumah saya nanti," kata Haida seraya menjejalkan lemabaran uang itu ke telepak tangan Hamzah.
Hamzah menghitung sekilas uang lembaran merah itu. Lalu mendongak dengan ekspresi wajah terkejut.
"Tapi, Oma Haida, ini lima ratus ribu banyak banget."
"Terima saja. Anggap saja itu sedekah dari saya."
Hamzah tersenyum lebar pada Haida. Sungguh dia sangat bahagia dan merasa beruntung bisa bertemu dengan Haida.
Setelah berbasa-basi sebentar, Hamzah pun berpamitan untuk pergi, sebab dia takut terlambat masuk kuliah.
Hamzah berjalan dengan langkah yang riangan dan senyum tak pudar dati wajahnya. Karena kini dia telah memiliki uang, Hamzah berniat untuk naik bus saja.
Sudah tidak memungkinkan jika Hamzah memaksakan diri berjalan kaki. Sebab waktunya sudah terjeda banyak berbincang dengan Haida.
Namun, sebelum itu, Hamzah terlebih dahulu membeli minuman kaleng untuk melepas dahaganya. Barulah Hamzah duduk di halte untuk menanti kedatangan bus menuju kampusnya.
Di halte itu ada banyak orang, dan Hamzah duduk bersebelahan dengan seorang wanita yang sejak tadi asyik bermain gadet. Hamzah tak memperdulikan wanita tersebut, dia hanya ingin minum minuman kaleng yang baru saja dia beli.
Akan tetapi wanita yang duduk di samping Hamzah malah melirik dengan tatapan yang tidak suka.
Merasa ditatap dengan aneh, maka Hamzah pun bertanya, "Ada apa, Mba?"
"Kamu bilang, ada apa?" wanita itu balik bertanya dengan ketus. "Itu minuman saya, Mas. Jangan asal minum dong."
Lalu tiba-tiba wanita itu merebut minuman kaleng yang ada di tangan Hamzah. Secara bersamaan pula, sebuah bus datang dan wanita itu lansung melesat masuk ke dalam bus.
Sementara Hamzah hanya terheran di tempat sambil memandang perginya wanita tadi. "Perempuan aneh."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Zey ✨️
Aku hadir Thor, semangat 💪
2023-03-19
1