NovelToon NovelToon

Ketika Hamzah Bertemu Alifa

Tawaran

"Jadi, kapan mau bayar kontrakan?"

Sebelum pertanyaan bernada menyentak membuat Hamzah, seorang pemuda dua puluh satu tahun, terlonjak dan gelagapan. Bola matanya bergerak tak menentu selagi benaknya menyusun kata untuk menjawab.

Namun, diamnya Hamzah membuat Wati, sang pemilik milik kontrakan tahu bahwasanya Hamzah belum memiliki uang untuk membayar kontrakan. 

Maka Wati pun menyeringai sambil memalingkan muka. "Jangan bilang, mau nunggak lagi bulan ini!"

Hamzah tertunduk lemas. Dia menarik nafas panjang untuk menetralkan perasaannya.

"Maaf, Bu Wati. Kasih saya waktu dua minggu lagi ya? Saya mohon. Saya pasti akan berusaha membayar kontrakan ini kok."

Wati menghela nafas jengah. Terpaksa dia pun menjawab, "Ya sudah. Tapi janji ya? Dua minggu lagi. Awas saja, kalau nunggak lagi, terpaksa saya usir kamu!"

"Iya, insyaAllah akan saya usahakan," ucap Hamzah pada perempuan paruh baya yang memakai perhiasan gelang gemerincing di lengan.

Kemudian Wati pun memutar badan, meninggalkan rumah kontrakan yang sudah dia sewakan pada Hamzah, seorang mahasiswa dari desa.

Setelah kepergian Wati, Hamzah pun menutup pintu karena sudah waktunya dia berangkat kuliah. 

Sebenarnya mata kuliah Hamzah akan dimulai dua jam lagi. Namun, karena Hamzah tidak memiliki uang untuk membayar transport, terpaksa dia harus jalan kaki, meski memakan waktu yang cukup lama.

Sepanjang jalan, Hamzah menundukan kepala sambil berpikir keras bagaimana caranya dia membayar kontrakan. Pasalnya, baru saja tadi malam Hamzah mendapat pesan dari kampung kalau ayahnya gagal panen.

Alhasil, kedua orang tua Hamzah tidak bisa mentransfer uang kuliah untuk bulan ini. 

Hamzah menarik nafas panjang, udara panas perkotaan membuat keringat di dahinya bercucuran. Dia menyeka peluh dengan peunggung tangannya.

Lalu tak jauh dari Hamzah berdiri, dia melihat masjid di seberang jalan. Lantas Hamzah pun tersenyum memandang masjid besar itu.

"Kenapa aku mengeluh sih? Kalau nggak punya uang ya tinggal minta ke Alloh," gumam Hamzah sambil memandang masjid di seberang jalan.

Seketika ingatan Hamzah terbang ke masa dia masih kecil dan mengaji di surau milik kakeknya. Kakek Hamzah adalah seorang kyai di desa.

Hamzah masih ingat betul, sang kakek pernah berkata padanya ketika Hamzah berumur tujuh tahun.

"Siapa yang membaca surat Al Waqiah setiap malam maka Alloh tidak akan menimpakan kemiskinan."

Ucapan sang kakek saat ini seperti menggaung di telinga Hamzah. Terus menggaung sampai Hamzah tersenyum lebar dan kakinya pun melangkah menyeberangi jalan.

Hamzah masuk ke dalam masjid, mengambil wudhu dan melihat ke jam dinding yang terpasang di salah satu dinding masjid.

Masih ada waktu untuk sholat dhuha, pikir Hamzah.

Maka Hamzah pun melakukan sholat dhuha terlebih dahulu empat rakaat, setelah itu dia mengambil mushaf Alquran dan membaca surat Al Waqiah seperti yang pernah diajarkan kakeknya dulu.

Setelah selesai, Hamzah pun bergegas untuk melanjutkan kembali perjalanannya ke kampus. Tepat ketika Hamzah memakai sepatu di depan masjid, seorang wanita lanjut usia berjalan menghampirinya.

"Permisi, Mas. Bisa minta waktunya sebentar."

Hamzah tersentak dan langsung menolah pada wanita lanjut usia tersebut. 

"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Hamzah sopan.

Nenek itu tampak mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lalu ditunjuknya sebuah tempat duduk yang tak jauh dari halaman masjid.

"Bisa kita duduk dulu di sana, Mas. Biar enak bicaranya."

Meski ragu dan belum tahu hajat dari sang nenek, tapi Hamzah tetap menurut. Dia mengikuti sang nenek duduk di bangku yang terbuat dari besi itu.

Sang nenek tampak tersenyum sambil mengamati penampilan Hamzah dari atas hingga ke bawah. 

"Maaf, Bu. Ada apa ya?" tanya Hamzah sekali lagi. 

Akan tetapi sang nenek tetap memandang Hamzah selama beberapa saat. Kentara sekali jika sang nenek seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.

Setelah ekspresi sang nenek tampak mantap, barulah dia berkata, "Perkenalkan, Mas, saya Haida. Panggil saja Oma Haida. Kalau Mas nama siapa?"

"Saya Hamzah, Bu."

"Oh, Hamzah," kata Oma Haida menganggukan kepala. "Begini, Mas Hamzah, saya itu lagi cari guru mengaji untuk dua cucu saya. Dan kebetulan saya tadi nggak sengaja denger Mas Hamzah baca Al Qurannya itu bagus banget. Jadi, Mas Hamzah mau nggak jadi guru ngaji cucu saya?"

Sesaat Hamzah terdiam. Dia masih belum percaya dengan perkataan Oma Haida yang baru saja dia kenal.

Lalu Hamzah pun terkekeh yang mana membuat Haida nengerutkan dahi bingung.

"Kenapa kok ketawa?" tanya Haida pada Hamzah.

Hamzah pun menggelengkan kepala lalu berkata, "Nggak apa-apa, Oma Haida. Cuma saya heran saja. Oma Haida kan belum mengenal saya. Tapi kok sudah mempercayai saya sebagai guru ngaji."

Mendengar hal itu, Haida pun ikut tertawa lepas bahkan sampai menepuk pahanya.

"Saya percaya kok kalau Mas Hamzah itu orang baik. Sudah kelihatan dari mukanya dan Mas Hamzah ini mahasiswa kan?"

"Kok Oma Haida bisa tahu?" Hamzah bertanya balik.

"Lah itu jaket almamaternya dipakai sama Mas Hamzah," kata Haida menunjuk jaket almamater yang tidak disadari Hamzah sedang dipakainya.

Hamzah menepuk jidatnya dan tertawa. "Iya juga ya?"

"Jadi gimana, Mas Hamzah? Mau kan jadi guru ngaji cucu saya? Kita coba dulu sebulan, kalau ternyata Mas Hamzah nggak mau, atau merasa nggak cocok sama cucu saya, Mas Hamzah bisa berhenti. Saya nggak akan maksa kok." 

Haida menarik nafasnya dan melepaskan pandangan matanya ke jalanan. "Masalahnya Mas Hamzah, cucu saya itu bandel banget. Apalagi yang cucu pertama. Jadi saya tuh kesusahan cari guru ngaji yang cocok untuk cucu saya."

Tak butuh waktu lama dan tak perlu pertimbangan yang panjang, Hamzah menganggukan kepala menyetujui permintaan Oma Haida.

Tentu saja Hamzah mau. Siapa yang tidak mau menunaikan amalan yang bisa mendatangkan pahala jariah yang satu itu.

"Saya mau, Oma Haida. Tapi paling saya ada waktu sore hari. Karena kalau siang, saya sibuk kuliah."

Haida pun memalingkan wajahnya pada Hamzah dan bibirnya merekahkan senyuman lebar. Tampak jelas dari pancaran mata Haida bahwa wanita itu sangatlah bahagia mendapati Hamzah menerima tawarannya.

"Oke, nggak masalah. Nanti Mas Hamzah yang datang ke rumah saya ya? Ini saya kasih alamatnya."

Haida langsung merogoh tas yang ditentengnya. Dia mengambil secarik kertas dan pensil. Lalu menuliskan sebuah alamat rumah.

Hamzah memabaca alamat itu sekilas dan dia menganggukkan kepala karena ternyata alamat ruamg tersebut tidak terlalu jauh dari kampusnya.

"Kita mulai dari hari ini bisa kan, Mas Hamzah?"

Hamzah mengangguk, "Bisa, Oma Haida."

Kemudian, tak disangka Haida juga mengeluarkan sbeberapa lembar uang dari dompetnya. Dia serahkan uang itu kepada Hamzah yang mengernyitkan dahi kebingungan.

"Ini apa, Oma Haida?"

"Ini uang untuk transport Mas Hamzah ke rumah saya nanti," kata Haida seraya menjejalkan lemabaran uang itu ke telepak tangan Hamzah.

Hamzah menghitung sekilas uang lembaran merah itu. Lalu mendongak dengan ekspresi wajah terkejut.

"Tapi, Oma Haida, ini lima ratus ribu banyak banget."

"Terima saja. Anggap saja itu sedekah dari saya."

Hamzah tersenyum lebar pada Haida. Sungguh dia sangat bahagia dan merasa beruntung bisa bertemu dengan Haida.

Setelah berbasa-basi sebentar, Hamzah pun berpamitan untuk pergi, sebab dia takut terlambat masuk kuliah.

Hamzah berjalan dengan langkah yang riangan dan senyum tak pudar dati wajahnya. Karena kini dia telah memiliki uang, Hamzah berniat untuk naik bus saja. 

Sudah tidak memungkinkan jika Hamzah memaksakan diri berjalan kaki. Sebab waktunya sudah terjeda banyak berbincang dengan Haida.

Namun, sebelum itu, Hamzah terlebih dahulu membeli minuman kaleng untuk melepas dahaganya. Barulah Hamzah duduk di halte untuk menanti kedatangan bus menuju kampusnya.

Di halte itu ada banyak orang, dan Hamzah duduk bersebelahan dengan seorang wanita yang sejak tadi asyik bermain gadet. Hamzah tak memperdulikan wanita tersebut, dia hanya ingin minum minuman kaleng yang baru saja dia beli.

Akan tetapi wanita yang duduk di samping Hamzah malah melirik dengan tatapan yang tidak suka. 

Merasa ditatap dengan aneh, maka Hamzah pun bertanya, "Ada apa, Mba?"

"Kamu bilang, ada apa?" wanita itu balik bertanya dengan ketus. "Itu minuman saya, Mas. Jangan asal minum dong."

Lalu tiba-tiba wanita itu merebut minuman kaleng yang ada di tangan Hamzah. Secara bersamaan pula, sebuah bus datang dan wanita itu lansung melesat masuk ke dalam bus.

Sementara Hamzah hanya terheran di tempat sambil memandang perginya wanita tadi. "Perempuan aneh."

Guru Ngaji Alifa

Alifa naik bus sambil memasang earphone di telinganya. Tas jinjing menggantung di bahu kirinya sedang tangan yang lain menggenggam sekaleng minuman soda.

Alifa mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang menurutnya nyaman. Lalu dia tersenyum manakala melihat salah seorang temannya bernama Caca melambaikan tangan dan menepuk bangku kosong di sebelahnya.

Alifa pun berjalan mendekat lalu duduk di samping Caca, teman yang sudah dia kenal sejak di bangku SMA.

"Tumben. Kamu naik bus. Biasanya dianter sama supir," kata Caca begitu Alifa duduk di sampingnya.

"Iya, nih. Aku lagi dihukum sama Oma. Gara-gara aku males ngaji," kata Alifa dengan memanyunkan bibirnya. 

Kemudian dia meneguk minuman kaleng yang ada di tangannya dan berkata, "Tahu nggak, tadi tuh ada cowok nggak sopan banget. Dia duduk di halte sebelahan sama aku terus seenaknya aja minum minuman aku coba."

Caca terkekeh mendengar keluhan Alifa sambil menggelengkan kepala. "Kenapa kamu nggak ikhlasin aja sih, Fa. Hitung-hitung sedekah."

"Yeee. Enak aja. Orang uang jajan aku juga lagi dipotong sama Oma."

Caca kembali terkekeh melihat tingkah temannya yang memang bisa dibilang perhitungan. Lalu Caca teringat akan bukunya yang pernah dipinjam Alifa sehingga dia pun menanyakannya.

"Eh, Fa. Buku aku yang minggu kemarin kamu pinjam sudah beres belum?"

"Oh ya. Ada ini di tas," kata Alifa yang langsung membuka tas jinjingnya.

Dan di saat itu pula, Alifa tertegun begitu melihat satu benda yang tersimpan di dalam tas. Beberapa detik Alifa bahkan tidak bisa berkutik menatap benda itu.

Caca yang melihat keanehan pada diri sahabatnya pun ikut mengintip ke dalam tas. "Ada apa, Fa?"

"Astagfirullahaladzim," pekik Alifa dengan mata membulat.

Pasalnya Alifa baru saja teringat bahwa minuman kaleng dibelinya, dia taruh ke dalam tas. Lalu Alifa bermain ponsel sampai datanglah pria yang duduk dan minum minuman kaleng yang sama dengan Alifa beli.

Alifa baru sadar kalau dia telah salah paham pada si pria tadi. Dia mengira pria tadi merebut minumannya. Padahal Alifa sendiri yang merebut minuman si pria tadi. 

Lantas Alifa menceritakan kesalahpahamannya itu pada Caca. Bukannya memberikan solusi, justru Caca malah tertawa lepas. 

Hal itu membuat Alifa mengerutkan alis sebab kebingungan dan dia pun bertanya, "Kok kamu malah ketawa sih? Apanya yang lucu?"

"Nggak ada yang lucu sih, Fa. Cuma kalian romantis banget tuh romantis banget tahu."

Kerutan Alifa di dahi semakin terlihat jelas. Dia semakin dibuat bingung akan ucapan Caca yang belum bisa dia pahami.

"Romantis bagaimana?"

"Ya romantis. Sebab kamu minum di bekas bibirnya pemuda tadi. Cieee. Seperti rasulullah sama siti Aisyah tahu. Cie cie cie."

Alifa hanya bisa mengembik dan menyikut keras Caca yang semakin tertawa keras. "Apaan sih. Kalau aku beda kasusnya. Ini tuh kan nggak sengaja."

"Ya kan tetap saja, Fa. Namanya tuh ciuman dengan alat perantara," kata Caca terus saja menggoda Alifa.

Hingga tak sadar pipi Alifa bersemu merah karena terus saja digoda oleh Caca. Seketika itu benak Alifa menjadi terbayang akan wajah pemuda tadi.

Pemuda yang umurnya mungkin satu atau dua tahun lebih dewasa dari Alifa. Meski secara sekilas pemuda itu tampan namun tetap terlihat masih polos dan sederhana.

Alifa menggelengkan kepala agar bebaknya berhenti membayangkan wajah pemuda itu. Tepat saat itu, ponsel milik Alifa berdering yang menandakan ada satu pesan masuk.

Pesan itu dari Oma Haida. Nenek dari pihak ibu kandung Alifa.

"Nanti jangan pulang terlalu sore! Oma sudah ada guru ngaji baru buat kamu sama Yusuf."

Alifa berdecak kesal saat membaca pesan dari Oma Hida. Wajahnya semakin terlihat kusut manakala sang nenek memberitahu dirinya akan guru ngaji yang baru.

Benak Alifa kembali membayangkan sosok guru ngajinya yang baru. Pastilah seorang bapak-bapak tua yang suka marah-marah dan kalau ceramah pasti membuat Alifa mengantuk.

Membayangkan saja sudah membuat Alifa malas. Apalagi berhadapan langsung.

"Apa lagi sih, Fa? Kok kamu tuh cemberut mulu?" Caca kembali bertanya setelah melihat ekspresi temannya yang tampak murung belakangan ini.

Mereka berdua sedang turun dari bus dan berjalan menapaki gerbang kampus ketika Alifa bercerita tentang neneknya yang sudah menemukan guru ngaji.

"Ya, kamu berdoa aja, Fa. Supaya guru ngaji yang kali ini ganteng, muda, dan masih jomblo," celetuk Caca sambil terkekeh riang. "Lumayan kan, bisa dijadikan calon suami."

Seketika Alifa mendelikkan mata seraya melayangkan tatapan sorot mata tajam ke arah Caca. Dia mencubit lengan Caca dengan sangat keras sampai temannya itu mengaduh kesakitan.

"Kamu tuh ya? Kalau bisa nggak disaring pakai saringan santan."

Caca meringis sambil mengusap lengannya yang memerah bekas cubitan Alifa.

"Ya maaf, Fa," kata Caca dengan bibir manyun. "Tapi saran aku ada benernya deh. Kamu itu harus cari pasangan hidup, Fa. Biar nggak diganggu terus sama Kevin."

"Alifa," teriak sebuah suara laki-laki yang tak asing di telinga Alifa. Membuat Alifa dan Caca menghentikan langkah seketika.

Laki-laki itu berada di belakang Alifa. Namun tanpa perlu Alifa menoleh pun dia sudah tahu siapa yang berteriak memanggilnya.

"Panjang umur tuh orang," gumam Alifa pada Caca.

"Alifa," sapa Kevin yang berlari mendekati Alifa. Pria itu tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih.

Sementara Alifa tetap tak bergeming. Bahkan dia memalingkan muka saat Kevin berada persis di hadapannya. 

"Ada urusan apa?" tanya Alifa ketus.

"Alifa, nanti sore kamu ada waktu? Kita nonton ke bioskop yuk? Ada film baru yang seru lho," ucap Kevin masih memasang senyum penuh mempesona kendati Alifa bermuka masam.

"Aku boleh ikut?" Caca yang berada di tengah-tengah Alifa dan Kevin bertanya dengan penuh harap.

"Boleh dong," jawab Kevin. "Tapi jangan jadi obat nyamuk ya?"

Alifa berdecak kesal. Tanpa memandang wajah Kevin, dia menjawab, "Sorry. Nanti sore aku disuruh Oma untuk ngaji."

"Ngaji?" tanya Kevin tak percaya. Lantas dia pun terkekeh kecil seolah sedang mengejek Alifa. "Ya elah, Fa. Kamu tinggal bilang ke Oma kamu, ngajinya diundur besok. Kamu pakai alasan tugas kuliah atau apa kek."

"Iya, Fa. Katanya kamu males ngaji," celetuk Caca.

Maka seketika itu, Alifa pun langsung menginjak kaki Caca tanpa rasa ampun. Dia juga mendelikan mata sebagai isyarat agar temannya itu untuk diam.

Lalu Alifa melempar pandangan lurus ke arah Kevin. "Nggak bisa. Aku sudah janji sama Oma, aku bakal ngaji sore ini."

Dan detik berikutnya, Alifa pun berjalan terlebih dahulu meninggalkan Caca dan kevin. Dia sengaja mempercepat langkah agar Kevin tidak bisa menyusulnya.

Bukan tanpa alasan Alifa menghindari Kevin. Sejak pertama masuk kuliah pria yang terkenal gonta-ganti pacar itu memang selalu mengincar Alifa agar bisa menjadi kekasihnya.

Alifa menoleh ke belakang dan tidak melihat keberadaan Kevin. Sehingga Alifa pun menghela nafas lega.

Lalu batin Alifa berucap, "Semoga guru ngaji kali ini nggak nyebelin seperti biasanya."

Perjodohan

"Silahkan masuk, Mas!" ucap seorang wanita bertubuh gemuk yang menjadi asisten ruamh tangga di ruamh Haida. "Sislahkan duduk dulu. Biar saya panggilkan Oma Haida dulu."

Hamzah hanya mengangguk dan menurut. Dia duduk di sofa yang super empuk sambil pandangannya tak lepas dari mengamati sekeliling.

Ternyata Oma Haida, wanita yang memintanya untuk menjadi guru ngaji cucunya seorang yang berada, pikir Hamzah. 

Semua itu terlihat dari rumah Haida yang besar dengan halaman yang juga luas. Begitu pula perabotan yang ada di dalam rumah. 

Namun, begitu tak membuat Hamzah terpana. Meski baru pertama kali ini dia masuk ke sebuah rumah yang layak disebutbsebagai istana.

Tak lama terdengar suara derap langkah dari arah tangga. Tampak sepasang kaki yang memakai sandal bulu menuruni anak tangga.

Dialah Haida yang tersenyum menyambut kedatangan Hamzah. Di belakang Haida, ada seorang remaja laki-laki yang mengekor dengan wajah tampak antusias.

"Mas Hamzah, perkenalkan ini Yusuf, cucu saya," Haida menunjuk remaja laki-laki di belakangnya. "Nah, Yusuf, ini Mas Hamzah. Guru ngaji kamu sekarang."

Remaja laki-laki itu mengulurkan tangan pada Hamzah dan memberikan salam penuh takzim. Membuat Hamzah tersenyum kecil akan sikap sopan santun yang ditunjukan oleh Yusuf.

"Sebenarnya ada lagi cucu saya yang bernama Alifa. Tapi sepertinya dia bakal terlambat sedikit. Jadi, Yusuf saja yang mulai ngaji ya?"

Yusuf mengangguk dam berkata, "Baik, Oma."

Kemudian Hamzah dan Yusuf ditunjukan sebuah gazebo yang ada di tepi kolam renang. Gazebo itu juga berada di sisi taman dengan tanaman bunga mawar putih yang bermekaran.

Sehingga siapapun yang duduk di sana pasti akan merasakan tenangan. 

Yusuf membuka mushaf Al Qurannya dan mulailah dia belajar mengaji bersama Hamzah. Sementara itu, di pintu depan, Alifa tampak terburu-buru berjalan melintasi menuju ruang tengah

Alifa berpapasan dengan Haida yang memang sudah menunghu kepulangannya sejak tadi. Haida langsung melipat tangan di depan dada serta memasang wajah galak.

"Alifa," tegur Haida yang membaut Alifa seketika menghentikan langkah kakinya. "Oma sudah bilang kan, sore ini kamu harus ngaji. Kenapa kamu pulang terlambat?"

Alifa berdecak kesal. Dia memang merasa sebal jika sang nenek selalu bertanya-tanya hal yang tidak penting.

"Tadi macet, Oma," jawab Alifa singkat.

Haida mengamati raut wajah Alifa yang memang kali ini sepertinya berkata jujur. Lantas Haida pun meminta Alifa untuk cepat-cepat mengganti pakaiannya.

Terpaksa Alifa menuruti perintah dari neneknya. Dia masuk ke dalam kamar dan hanya berselang lima menit, Alifa sudah keluar dengan gamis berwarna hijau muda.

"Alifa," panggil Oma Haida dari arah dapur.

Alifa memutar badannya sambil berdecak kesal. Bibirnya manyun dengan sorot mata jengah.

"Apa sih, Oma?"

"Ini nih tolong sekalian bawa minuman buat Mas Hamzah," kata Haida sambil menodongkan nampan berisi segelas jus mangga. "Oma lupa harus telepon Mama kamu, ada keperluan penting."

Dengan terpaksa Alifa pun menerima nampan itu. Lalu kembali berjalan ke gazebo di dekat kolam renang.

Sampai di dekat gazebo, Alifa melihat seorang pemuda yang sedang mengajari adiknya membaca Al Quran. Alifa berada persis di belakang pemuda itu sehingga dia tidak bisa melihat wajah seorang yang menjadi guru ngajinya.

Namun, jika dilihat dari punggungnya yang tegap, Alifa bisa menebak jika pemuda itu tidak jauh usianya dengan Alifa.

"Ehem."

Alifa sengaja berdehem dengan keras agar pemuda itu berpaling ke arahnya.

Dan benar saja. Si pemuda itu menolah begitu mendengar Alifa berdeham. Saat itu Alifa sedang dalam posisi menunduk menatap nampan yang dia pegang.

"Permisi, Pak Ustadz, ini minumannya saya taruh di sini saja ya?" ucap Alifa yang menaruh nampan di meja kayu di samping gazebo.

Kemudian Alifa menoleh pada guru ngajinya dan seketika itu kedua bola mata Alifa membulat sempurna. Dia terpenjat kala melihat wajah Hamzah.

Alifa langsung teringat akan kejadian tadi pagi di mana dia merebut minuman kaleng yang dia pikir adalah miliknya.

"Lho? Kamu?" tanya Alifa menunjuk wajah Hamzah yang juga tampak terkejut. "Kamu kan yang tadi pagi…"

Alifa tidak bisa melanjutkan perkataannya karena dia sendiri malu mengakui kesalahannya yang telah merebut minuman milik Hamzah.

"Lho, Kak Alifa sama Mas Hamzah sudah kenal?" celetuk Yusuf yang melihat sang kakak tampak terkejut bertemu dengan Hamzah.

Lalu Hamzah pun menoleh pada Yusuf sambil tersenyum. "Engga. Kita nggak saling kenal. Cuma pernah ketemu. Yuk, lanjutin lagi bacaannya."

Yusuf mengangguk dan menuruti perintah Hamzah untuk melanjutkan lagi bacaannya. Sementara Alifa berdecak kesal seraya melipat tangan di depan dada.

Dia masih berdiam diri di tempatnya dengan dada yang menahan rasa malu atas kejadian tadi pagi. Akan tetapi Hamzah tidak merespon apapun. Seperti tidak terjadi sesuatu antara mereka.

Beberapa saat berlalu, Hamzah kembali menoleh pada Alifa dan melirik tajam menggunakan ujung matanya.

"Kamu kamu berdiri di sana terus, atau mau ngaji?" tanya Hamzah.

"Ck, iya iya ini juga mau ngaji kok."

Alifa pun duduk di sebelah adiknya. Membuka Al Quran dan langsung membaca basmallah.

"Alifa," tegur Hamzah lembut. Membuat Alifa berhenti dan mendongakan kepala.

"Apa?" 

"Sebelum membaca Al Quran, baca ta'awudz dulu," kata Hamzah dengan nada yang lembut agar tidak membuat Alifa tersinggung.

Dahi Alifa mengerut kala mendengar satu kata yang jarang dia dengar. "Ta'awudz itu apa?"

"Audzubillahi minas syaiton nirojim, Kak Alifa. Masa gitu aja nggak ngerti," cibir Yusuf.

Lalu Alifa yang semakin bertambah malu, pun mencubit perut Yusuf penuh geram. Membuat sang adik menjerit kesakitan namun saat itu juga Yusuf pun mencubit lengan Alifa.

Terjadilah perang saudara antara Alifa dan Yusuf. Sedangkan Hamzah hanya menghela nafas, menggelengkan kepala, dan berusaha untuk tetap sabar.

"Hai, hai, sudah, sudah," lerai Hamzah seraya menarik lengan Yusuf agarvterpisah dari baku hantam bersama kakaknya.

"Mas Hamzah, tolong aku. Kak Alifa tuh yang mulai duluan," Yusuf mengadu layaknya seorang adik pada kakak laki-lakinya.

Yusuf juga bersembunyi di balik punggung Hamzah, meminta agar Hamzah berpihak padanya.

Maka Hamzah pun menatap Alifa yang masih melototkan mata penuh ancaman.

"Kamu juga nggak ada akhlak sama kakak sendiri," seru Alifa membela diri.

"Alifa, sudah! Kita di sini mau ngaji, bukan mau berantem. Apa kalian mau aku adukan ke Oma kalian?"

"Jangan!" jawab Alifa dan Yusuf serempak. Wajah keduanya pun langsung berubah tegang kala nama Oma disebut-sebut.

Setelah itu, Hamzah pun meminta kepada kakak beradik itu untuk mulai fokus mengaji dan untuk mengantisipasi hal yang serupa terulang lagi, Hamzah memutuskan untuk memisahkan Alifa dan Yusuf agak berjauhan.

Setelah beberapa saat berlalu, Yusuf lebih dulu selesai. Maka dia pun masuk ke dalam rumah berniat mencari air minum.

Kemudian Yusuf bertemu dengan Oma yang juga barus selesai menerima telepon.

"Yusuf, sudah selesai mengajinya? Bagaimana menurut kamu tentang Mas Hamzah?" tanya Oma sambil menatap Hamzah yang masih mengajari Alifa melalui jendela rumah.

"Menurut aku, Mas Hamzah orangnya baik, Oma. Malah aku jadi pengen punya kakak laki-laki kayak Mas Hamzah."

Yusuf pun menceritakan tentang pertengkaran kecil yang tadi sempat muncul saat bersama Alifa dan bagaimana tindakan Hamzah bisa menjadi pembela Yusuf dari amukan Alifa.

Sementara Haida hanya menganggukkan kepala selama menyimak cerita cucunya.

Saat itu pula, ada sebuah niatan yang entah kenapa sangat mantap sekali di hati Haida. Lantas Haida berkata, "Begitu ya? Yusuf mau punya kakak laki-laki seperti Mas Hamzah?"

"Iya, Oma," jawab Yusuf yang kemudian meneguk minumannya.

"Kalau begitu Oma mau jodohin Alifa sama Hamzah saja deh."

Bbbbyyurr.

Yusur menyumbur minumannya yang baru saja dia teguk. Dia terbatuk-batuk sambil menepuk dadanya untuk menghilangkan rasa perih.

"Apa, Oma? Oma serius?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!