Warisan Sugar Daddy
“Jangan Paman, tolong jangan!” Vania memohon ketika tangan kekar pamannya membekap mulutnya. Tentu saja kalimat itu tak sempat terdengar. Semakin ia melawan, pamannya semakin bernafsu menindih tubuhnya. Akhirnya gadis yang baru mekar itu harus merelakan mahkotanya dirampas manusia biadab seperti pamannya.
Tanpa sadar tangannya menutupi bagian sensitifnya saat mengingat kejadian naas itu.
Tangannya turun dari wajah ke arah sebuah bekas luka samar di bagian leher bawah. Ingatannya pun melayang ke dua puluh lima tahun lalu saat ia masih berusia sepuluh tahun.
Saat itu keluarga Vania datang dari Balikpapan untuk hidup di Jakarta dengan harapan penghasilan yang lebih baik. Perkawinan papa dan mamanya yang tidak direstui membuat mereka tidak dibantu oleh sanak famili. Hidup di keluarga kurang mampu, Vania yang merupakan anak pertama harus ikut keluarganya untuk banting tulang mencari nafkah buat keluarga.
“Mulai besok, bawa kue-kue ini ke sekolah. Biar bisa untuk uang tambahan beli beras,” perintah mamanya. Vania kecil hanya bisa menganggukkan kepalanya.
Gadis kecil itu berjualan kue di saat belajar sekolah. Ketika hari mulai siang sepulang sekolah, ia harus menjaga adik-adiknya karena mama dan papanya sibuk berjualan ke kios di seberang rel kereta api. Papa dan mamanya sangat ulet berupaya meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga perhatian pada anak-anaknya menjadi terabaikan.
Di rumah susah, di sekolah ia sering kali jadi bahan ejekan karena bajunya yang kusut tak sempat disetrika. Pernah sekali ia lepas kendali dan berkelahi namun goresan pisau anak orang kaya itu membekas cukup dalam di lehernya. Berjuang untuk bisa lulus adalah memory pahit dalam hidupnya.
Setelah lulus SD, Vania nekat untuk pergi dari rumah, ia menuju rumah pamannya di Bandung untuk melanjutkan sekolah di sana. Walau tidak berlebih, keluarga pamannya masih bisa hidup dengan normal.
“Vania janji enggak akan merepotkan dan akan mencari uang sendiri, Paman.” Tentu saja Helmy sang paman sangat senang, karena ada yang membantu pekerjaan rumah tangga. Namun masa SLTP tidak lebih baik dari SD, penyebabnya adalah pubertas. Tubuhnya berubah menjadi lebih berisi dari teman-teman ceweknya, lekuk-lekuk tubuhnya membuatnya banyak digandrungi teman dan kakak kelas.
“Masih kecil udah ganjen, besarnya mau jadi cewek enggak bener?” teriak kakak kelasnya yang iri dan dengki padanya.
Bukan hanya kakak kelas, teman sendiri malah jadi musuh abadi hanya gara-gara pria idaman yang salah jatuh hati. Vania tidak meminta ini semua, namun ia juga tidak bisa tidak bahagia melihat perhatian orang-orang yang sebelumnya tidak pernah ia terima.
Namun di usianya tahu apa ia tentang cinta? Bagi pria-pria ini cinta dan nafsu adalah satu. Vania mulai merasa jadi trophy bergilir dari pria-pria yang ternyata hanya mengincar sesuatu dari tubuhnya. Untungnya tiga tahun di SLTP ia masih bisa jaga diri. Namun sebaik-baiknya tupai melompat akhirnya jatuh juga, apalagi jatuhnya di pagar makan tanaman.
Rumah sepi, istri TKI, pekerjaan tidak pasti, membuat Helmy dan Vania sering berada dalam satu ruangan bersama. Anak masih TK, gairah masih membara tapi pelampiasan tidak ada, apa yang ada di kepala? Yang muda saja tergila-gila, apalagi paman yang bisa liat setiap hari. Jika mengingat kejadian itu, Vania sering merasa trauma.
Masa SMA Vania kembali ke Jakarta, namun ia memilih kos dengan uang tutup mulut dari pamannya, karena bibinya akan segera pulang setelah lima tahun menjadi TKI.
“Apa salahku?” pikirnya. “Aku tidak meminta wajah dan tubuh ini tapi kenapa orang memperlakukanku seolah hanya untuk memuaskan nafsu mereka?”
SMU membawa perubahan besar bagi Vania yang lugu. Berteman dengan anak orang kaya saat MOS ia memasuki dunia yang tidak pernah ia tahu. Dengan sedikit riasan dan senyum manis pria manapun bertekuk lutut dihadapannya.
Vania dan Sheila dua sejoli yang tidak ada lawannya saat SMU. Sexy, classy, berprestasi. Duit Sheila diimbangi dengan otak Vania. Keduanya sukses menjadi rebutan semua cowok-cowok di SMU 31, bahkan mereka terkenal hingga ke SMU 67 yang biasanya tawuran. Kalau mereka ada, kedua SMU malah berdamai.
Pada masa inilah Vania sadar kalau kecantikan dan tubuhnya bukanlah kutukan, ini adalah senjata. Ia bisa membuat pria manapun yang ia mau untuk bertekuk lutut dan memenuhi semua kebutuhannya. “Semua pria cuma mengincar hal yang sama,” pikirnya.
Menjelang akhir masa SMU levelnya sudah naik, saban hari sekarang Vania diantar dan dijemput oleh sopir pribadi. Miliknya? Tentu bukan. Untuk apa pacaran dengan anak SMU yang jajan aja masih minta orang tua jika ia bisa langsung akses ke Papa-papa mapan yang telat nakal karena mudanya cupu.
Masa kecilnya yang miskin hanya dalam beberapa tahun sudah dilupakannya.
“Tragedi memang membawa berkah,” gumam Vania sambil tersenyum.
Walau pergaulannya sudah bebas tapi Vania menganut sistem ekslusif, dia hanya mau dengan satu orang dalam satu waktu.
‘If you want me, beat the one that with me now’ itulah falsafah hidupnya. Inilah yang membuat para pria yang menyukainya atau hanya ingin memiliki tubuhnya rela melakukan apa pun untuknya.
Otaknya yang encer membawanya diterima disalah satu perguruan tinggi negeri elit di Depok. Ia lulus di jurusan Fikom kampus dengan jas almamater kuning ini. Inilah tempat ia pertama kali benar-benar mengenal yang namanya cinta.
Pria itu satu kelompok dengannya saat Ospek, namanya Avan Julian. Keturunan campuran Tionghoa dan Sunda. Kulitnya putih, postur tubuhnya tinggi, wajahnya tampan dan sangat ramah, tapi tidak tertarik pada Vania.
Bukankah itu yang membuat wanita tergila-gila, mengejar pria yang tidak tertarik padanya? Saat itu Vania sadar, menjadi seseorang yang tak diinginkan, ternyata memunculkan kesenangan baru. Avan Julian adalah mangsa baru. Vania tersenyum tipis mengingat masa-masa itu.
Vania duduk di depan kaca rias memandangi dirinya sendiri. Tubuhnya sempurna. Muka bulat lonjong dengan dagu runcing, mata bulat besar dengan alis tebal, bibir yang melengkung indah, rambut hitam tebal yang di potong bob membuat kecantikannya elegan. Siapa pun prianya asal normal pasti tidak akan bisa menampik pesona Vania. Dara cantik itu sadar dan tahu bahwa dirinya teramat cantik. Ia sudah belajar sejak lama jika kecantikanya bisa dijadikan senjata untuk mendapatkan apa pun yang ia mau.
Vania melihat pantulan di kaca. Ia menoleh ke belakang, di ranjang terbaring sosok Barli Saguna, CEO muda dari perusahaan tempatnya bekerja sekarang, sekaligus atasannya saat ini. Cara paling cepat untuk naik jabatan atau mendapatkan posisi lebih bagus adalah dengan menawarkan kenikmatan ranjang. Vania sangat paham itu. Barli yang terkenal alim juga bertekuk lutut dalam godaannya.
Vania menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menepis kenangan buruk itu dan berdiri menuju kamar mandi. Tubuh indahnya melewati Barli yang masih lelap dalam tidurnya. Wajahnya semringah saat tidur. “Mungkin baru kali ini dia merasakan yang namanya surga dunia,” pikir Vania tersenyum. Salah satu tujuannya terlaksana sekarang Barli tidak akan bisa macam-macam. Dia sudah pegang kartu As pria ini.
Air hangat membasahi tubuhnya dini hari ini. Salah satu rencananya sudah berjalan. Awalnya ia agak khawatir karena Barli terkenal bos yang alim, apalagi ia sudah punya tunangan dan akan segera menikah. Tapi semua pria sama saja, lemah dengan lekukan wanita. Berbaring di bathtub kamar mandi mewah, membuat Vania rileks.
Masih terngiang kalimat Barli saat memintanya ikut dalam pertemuan dengan beberapa relasi di Bogor.
“Kamu ikut ya, Vania. Nanti kamu tunggu di villa, selepas meeting aku butuh kamu,” ucap Barli sambil mengedipkan matanya penuh arti. Sungguh rasanya Vania ingin melonjak kegirangan. Upayanya menarik perhatian bosnya tak sia-sia. Umpan sudah masuk jaring. Saatnya mengendalikan permainan.
“Kamu enggak takut sama tunangan kamu, Sayang?”
Tangan Vania bergerak merangkul leher pria tegap dengan alis tebal menaungi sepasang mata tajam. Vania sudah tahu jawabannya. Pria yang sedang haus belaian, akan bertindak tak rasional.
“Jangan bawa-bawa Elsa, ini tentang kamu dan aku,” tepis Barli saat jemari lincah Vania mulai mengelus pipinya.
“Yah, gitu aja marah. Emangnya apa yang bakal aku dapetin kalau ikut kamu ke Puncak?”
“Kamu mau apa? Tas branded? Pindah ke apartemen yang lebih mahal? Apa pun yang kamu mau, bakal aku kasih asal aman.” Barli mengangkat tubuhnya dari atas kursi. Vania memberinya sensasi petualangan yang lain. Meskipun Barli bukan pria yang senang berpetualang, bahkan nyaris tak pernah menduakan Elsa, bersama Vania segala hal yang tak mungkin menjadi mungkin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Dian Laia
wah
2023-04-27
0
Nining Shuma
Hai kak aku mmpir
2023-03-30
1