“Jangan Paman, tolong jangan!” Vania memohon ketika tangan kekar pamannya membekap mulutnya. Tentu saja kalimat itu tak sempat terdengar. Semakin ia melawan, pamannya semakin bernafsu menindih tubuhnya. Akhirnya gadis yang baru mekar itu harus merelakan mahkotanya dirampas manusia biadab seperti pamannya.
Tanpa sadar tangannya menutupi bagian sensitifnya saat mengingat kejadian naas itu.
Tangannya turun dari wajah ke arah sebuah bekas luka samar di bagian leher bawah. Ingatannya pun melayang ke dua puluh lima tahun lalu saat ia masih berusia sepuluh tahun.
Saat itu keluarga Vania datang dari Balikpapan untuk hidup di Jakarta dengan harapan penghasilan yang lebih baik. Perkawinan papa dan mamanya yang tidak direstui membuat mereka tidak dibantu oleh sanak famili. Hidup di keluarga kurang mampu, Vania yang merupakan anak pertama harus ikut keluarganya untuk banting tulang mencari nafkah buat keluarga.
“Mulai besok, bawa kue-kue ini ke sekolah. Biar bisa untuk uang tambahan beli beras,” perintah mamanya. Vania kecil hanya bisa menganggukkan kepalanya.
Gadis kecil itu berjualan kue di saat belajar sekolah. Ketika hari mulai siang sepulang sekolah, ia harus menjaga adik-adiknya karena mama dan papanya sibuk berjualan ke kios di seberang rel kereta api. Papa dan mamanya sangat ulet berupaya meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga perhatian pada anak-anaknya menjadi terabaikan.
Di rumah susah, di sekolah ia sering kali jadi bahan ejekan karena bajunya yang kusut tak sempat disetrika. Pernah sekali ia lepas kendali dan berkelahi namun goresan pisau anak orang kaya itu membekas cukup dalam di lehernya. Berjuang untuk bisa lulus adalah memory pahit dalam hidupnya.
Setelah lulus SD, Vania nekat untuk pergi dari rumah, ia menuju rumah pamannya di Bandung untuk melanjutkan sekolah di sana. Walau tidak berlebih, keluarga pamannya masih bisa hidup dengan normal.
“Vania janji enggak akan merepotkan dan akan mencari uang sendiri, Paman.” Tentu saja Helmy sang paman sangat senang, karena ada yang membantu pekerjaan rumah tangga. Namun masa SLTP tidak lebih baik dari SD, penyebabnya adalah pubertas. Tubuhnya berubah menjadi lebih berisi dari teman-teman ceweknya, lekuk-lekuk tubuhnya membuatnya banyak digandrungi teman dan kakak kelas.
“Masih kecil udah ganjen, besarnya mau jadi cewek enggak bener?” teriak kakak kelasnya yang iri dan dengki padanya.
Bukan hanya kakak kelas, teman sendiri malah jadi musuh abadi hanya gara-gara pria idaman yang salah jatuh hati. Vania tidak meminta ini semua, namun ia juga tidak bisa tidak bahagia melihat perhatian orang-orang yang sebelumnya tidak pernah ia terima.
Namun di usianya tahu apa ia tentang cinta? Bagi pria-pria ini cinta dan nafsu adalah satu. Vania mulai merasa jadi trophy bergilir dari pria-pria yang ternyata hanya mengincar sesuatu dari tubuhnya. Untungnya tiga tahun di SLTP ia masih bisa jaga diri. Namun sebaik-baiknya tupai melompat akhirnya jatuh juga, apalagi jatuhnya di pagar makan tanaman.
Rumah sepi, istri TKI, pekerjaan tidak pasti, membuat Helmy dan Vania sering berada dalam satu ruangan bersama. Anak masih TK, gairah masih membara tapi pelampiasan tidak ada, apa yang ada di kepala? Yang muda saja tergila-gila, apalagi paman yang bisa liat setiap hari. Jika mengingat kejadian itu, Vania sering merasa trauma.
Masa SMA Vania kembali ke Jakarta, namun ia memilih kos dengan uang tutup mulut dari pamannya, karena bibinya akan segera pulang setelah lima tahun menjadi TKI.
“Apa salahku?” pikirnya. “Aku tidak meminta wajah dan tubuh ini tapi kenapa orang memperlakukanku seolah hanya untuk memuaskan nafsu mereka?”
SMU membawa perubahan besar bagi Vania yang lugu. Berteman dengan anak orang kaya saat MOS ia memasuki dunia yang tidak pernah ia tahu. Dengan sedikit riasan dan senyum manis pria manapun bertekuk lutut dihadapannya.
Vania dan Sheila dua sejoli yang tidak ada lawannya saat SMU. Sexy, classy, berprestasi. Duit Sheila diimbangi dengan otak Vania. Keduanya sukses menjadi rebutan semua cowok-cowok di SMU 31, bahkan mereka terkenal hingga ke SMU 67 yang biasanya tawuran. Kalau mereka ada, kedua SMU malah berdamai.
Pada masa inilah Vania sadar kalau kecantikan dan tubuhnya bukanlah kutukan, ini adalah senjata. Ia bisa membuat pria manapun yang ia mau untuk bertekuk lutut dan memenuhi semua kebutuhannya. “Semua pria cuma mengincar hal yang sama,” pikirnya.
Menjelang akhir masa SMU levelnya sudah naik, saban hari sekarang Vania diantar dan dijemput oleh sopir pribadi. Miliknya? Tentu bukan. Untuk apa pacaran dengan anak SMU yang jajan aja masih minta orang tua jika ia bisa langsung akses ke Papa-papa mapan yang telat nakal karena mudanya cupu.
Masa kecilnya yang miskin hanya dalam beberapa tahun sudah dilupakannya.
“Tragedi memang membawa berkah,” gumam Vania sambil tersenyum.
Walau pergaulannya sudah bebas tapi Vania menganut sistem ekslusif, dia hanya mau dengan satu orang dalam satu waktu.
‘If you want me, beat the one that with me now’ itulah falsafah hidupnya. Inilah yang membuat para pria yang menyukainya atau hanya ingin memiliki tubuhnya rela melakukan apa pun untuknya.
Otaknya yang encer membawanya diterima disalah satu perguruan tinggi negeri elit di Depok. Ia lulus di jurusan Fikom kampus dengan jas almamater kuning ini. Inilah tempat ia pertama kali benar-benar mengenal yang namanya cinta.
Pria itu satu kelompok dengannya saat Ospek, namanya Avan Julian. Keturunan campuran Tionghoa dan Sunda. Kulitnya putih, postur tubuhnya tinggi, wajahnya tampan dan sangat ramah, tapi tidak tertarik pada Vania.
Bukankah itu yang membuat wanita tergila-gila, mengejar pria yang tidak tertarik padanya? Saat itu Vania sadar, menjadi seseorang yang tak diinginkan, ternyata memunculkan kesenangan baru. Avan Julian adalah mangsa baru. Vania tersenyum tipis mengingat masa-masa itu.
Vania duduk di depan kaca rias memandangi dirinya sendiri. Tubuhnya sempurna. Muka bulat lonjong dengan dagu runcing, mata bulat besar dengan alis tebal, bibir yang melengkung indah, rambut hitam tebal yang di potong bob membuat kecantikannya elegan. Siapa pun prianya asal normal pasti tidak akan bisa menampik pesona Vania. Dara cantik itu sadar dan tahu bahwa dirinya teramat cantik. Ia sudah belajar sejak lama jika kecantikanya bisa dijadikan senjata untuk mendapatkan apa pun yang ia mau.
Vania melihat pantulan di kaca. Ia menoleh ke belakang, di ranjang terbaring sosok Barli Saguna, CEO muda dari perusahaan tempatnya bekerja sekarang, sekaligus atasannya saat ini. Cara paling cepat untuk naik jabatan atau mendapatkan posisi lebih bagus adalah dengan menawarkan kenikmatan ranjang. Vania sangat paham itu. Barli yang terkenal alim juga bertekuk lutut dalam godaannya.
Vania menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menepis kenangan buruk itu dan berdiri menuju kamar mandi. Tubuh indahnya melewati Barli yang masih lelap dalam tidurnya. Wajahnya semringah saat tidur. “Mungkin baru kali ini dia merasakan yang namanya surga dunia,” pikir Vania tersenyum. Salah satu tujuannya terlaksana sekarang Barli tidak akan bisa macam-macam. Dia sudah pegang kartu As pria ini.
Air hangat membasahi tubuhnya dini hari ini. Salah satu rencananya sudah berjalan. Awalnya ia agak khawatir karena Barli terkenal bos yang alim, apalagi ia sudah punya tunangan dan akan segera menikah. Tapi semua pria sama saja, lemah dengan lekukan wanita. Berbaring di bathtub kamar mandi mewah, membuat Vania rileks.
Masih terngiang kalimat Barli saat memintanya ikut dalam pertemuan dengan beberapa relasi di Bogor.
“Kamu ikut ya, Vania. Nanti kamu tunggu di villa, selepas meeting aku butuh kamu,” ucap Barli sambil mengedipkan matanya penuh arti. Sungguh rasanya Vania ingin melonjak kegirangan. Upayanya menarik perhatian bosnya tak sia-sia. Umpan sudah masuk jaring. Saatnya mengendalikan permainan.
“Kamu enggak takut sama tunangan kamu, Sayang?”
Tangan Vania bergerak merangkul leher pria tegap dengan alis tebal menaungi sepasang mata tajam. Vania sudah tahu jawabannya. Pria yang sedang haus belaian, akan bertindak tak rasional.
“Jangan bawa-bawa Elsa, ini tentang kamu dan aku,” tepis Barli saat jemari lincah Vania mulai mengelus pipinya.
“Yah, gitu aja marah. Emangnya apa yang bakal aku dapetin kalau ikut kamu ke Puncak?”
“Kamu mau apa? Tas branded? Pindah ke apartemen yang lebih mahal? Apa pun yang kamu mau, bakal aku kasih asal aman.” Barli mengangkat tubuhnya dari atas kursi. Vania memberinya sensasi petualangan yang lain. Meskipun Barli bukan pria yang senang berpetualang, bahkan nyaris tak pernah menduakan Elsa, bersama Vania segala hal yang tak mungkin menjadi mungkin.
Kalau ada pria paling dingin yang pernah ia kenal mungkin Avan Julian orangnya. Awalnya Vania tidak begitu peduli dengan membangun relasi dan pertemanan selama di kampus. Ia kuliah hanya untuk membuktikan bahwa ia yang terbaik di keluarganya. Tujuannya hanya lulus dengan cepat lalu membuka usaha sendiri dengan modal yang sudah ia punya. Namun manusia hanya bisa berencana, kakak tingkatlah yang memutuskan ia satu grup dengan Avan.
Pria ini secara fisik memang sempurna seperti pria-pria di drama korea, namun soal kepribadian sangat menyebalkan. Jarang bicara, suka maunya sendiri, enggak bisa bekerjasama dalam tim, sekalinya bicara pedes. Di jurusan yang jumlah perempuannya lebih banyak dari mahasiswa cowoknya ini, Avan dengan cepat menjadi bahan perbincangan. Mulai dari angkatan atas sampai sesama mahasiswa baru, cewe-cewe norak itu berebut perhatian Avan. Sayangnya mereka belum kenal Vania.
Mereka berdua sangat populer untuk masing-masing jenis kelamin. Avan dan Vania menjadi rebutan, dan keduanya tidak suka kepopuleran. Dua-duanya sama-sama dingin, sama-sama anti sosial, sama-sama bodo amat, anehnya mereka selalu sama-sama.
Berkali-kali mereka masuk di kelompok yang sama, mengerjakan tugas yang sama. Dan selalu berakhir mengerjakan tugas berdua, bukan karena suka tapi mereka lebih percaya mengerjakan sendiri dibanding melibatkan orang lain yang tidak kompeten.
Malam itu mereka mengerjakan tugas di perpustakaan sampai lupa waktu. Saat pulang hujan deras mengguyur kampus luas ini. Ke duanya berpandangan satu sama lain.
“Kamu pulang naik apa?” Avan membuka obrolan.
“Biasanya, sih, dijemput, tapi tadi aku bilang mau pulang sendiri,” jawab Vania.
“Rumahmu di mana?” tanya Avan menyadari ia tak tahu apa pun tentang gadis itu.
“Gak jauh, kok, aku ngekost di Margonda.”
“Aku anterin kalo gitu,” ujar Avan.
Vania hanya mengangguk, lalu mengikuti Avan ke parkiran.
“Aku cuma bawa satu jas hujan, kamu yang pakai ya.” Avan mengulurkan satu jas hujan.
“Enggak usah kamu aja.” Vania menyorongkan jas hujan kepada Evan.
“Udah kamu aja, aku gapapa kok.”
“Ini ‘kan motor kamu, kamu aja.”
“Pake atau aku tinggalin kamu di sini, lagian kalo kamu sakit ntar yang presentasi siapa?”
Vania menatap Avan panjang, yang ditatap hanya cuek sambil menyiapkan motor. Ia melihat sekeliling parkiran yang memang sudah sepi, waktu menunjukkan jam sebelas malam. Dengan sungkan ia memakai jas hujan dan helm.
Hujan deras tapi tidak terlalu besar menyambut mereka saat melalui jalan Margonda. Cahaya lampu-lampu ruko dan toko yang terkena hujan berkilau. Indah seperti menyambut mereka di jalanan malam yang kosong. Menikmati malam dan hujan membuat Vania refleks melingkarkan tangannya ke pinggang Avan. Tidak ada penolakan. Vania baru tersadar saat motor berhenti, ternyata dari tadi Avan bertanya padanya.
“Eh kosan kamu lewat mana?”
“Ha? Eh … itu di depan ada gang belok kiri”
“Ok, kirain tidur.”
“Gak kok, siapa yang tidur. Hehe.”
Hehe pertama sepanjang mereka bicara, dan Vania pun sadar tangannya dari tadi melingkar di pinggang Avan. Mukanya merah karena gagap dan malu. Tangannya mau dilepas tapi canggung. Avan juga sepertinya cuek saja.
Tak lama mereka sampai di kost mewah tiga lantai ini. Setelah melepas jas hujannya, Vania basa basi mengucapkan terima kasih. Hanya dibalas anggukan oleh Avan. Pria itupun menghilang di pekatnya malam.
Keesokan harinya Avan tidak datang kuliah. Namun presentasi bisa diselesaikan Vania dengan baik. Awalnya ia tidak peduli namun jadi terpikir juga. Lama-lama ia mulai cari tahu tentang pria ini. Untungnya koneksi di luar kampus lebih bisa diandalkan untuk hal-hal seperti ini.
“Om-om pengusaha itu memang jaringannya luar biasa,” gumam Vania senang saat mendapatkan informasi yang ia inginkan.
Tidak butuh waktu lama untuk ia tahu jika Avan adalah anak pertama dari pemilik salah satu pabrik minuman penyegar di Indonesia. Pewaris tahta yang menolak menerima tanggung jawab. Sekarang tinggal sendiri dan berusaha dengan keringat sendiri untuk biaya kuliah.
“Oke juga, nih, bocah. Saat anak pengusaha lain pada flexing pamer kekayaan bapaknya, dia malah sibuk ngumpet.” Vania tersenyum sendiri mengingat bagaimana cueknya Avan saat mengantarkannya pulang dulu.
‘Witing tresno jalaran soko kuliner, cinta bisa datang karena sering kulineran bareng’.
Pepatah ini memang benar. Sejak malam itu mereka mulai bisa ngobrol satu sama lain. Tembok es itu perlahan mencair. Vania ternyata tidak pernah tahu jika dirinya bisa se-bucin ini. Pria ini perlahan namun pasti membuatnya tergila-gila. Walau butuh lebih dari enam semester tapi akhirnya mereka pacaran.
Baginya yang selama ini menganggap cinta itu hanya main-main dan hanya nafsu sekarang merasakan sendiri karmanya. Hampir setiap hari hanya ada Avan di kepalanya. Bayang-bayang, mimpi-mimpi, apa yang akan dia lakukan untuk membuat pria itu tertawa, melihat ekspresi terkejutnya saat diberi surprise, mengganggunya saat bikin tugas hingga jengkel. Membayangkan apalagi yang akan dia lakukan pada pria tampan ini dan melihat reaksinya. Benar-benar membuatnya tersenyum lebar sebelum tidur.
“Happy Birthday My Love,” ucap Vania saat kekasihnya itu berulang tahun ke tiga puluh. Avan hanya tersenyum tipis, dan malu-malu saat Vania menghadiahinya dengan ciuman di pipi.
“I Love You,” ujar Vania lagi sambil membentuk tanda sarangheo dengan ibu jari yang ditautkan dengan jari telunjuknya.
Avan pria yang dingin, sulit untuk mengerkspresikan perasaannya lewat kata-kata. Jangankan I Love You memanggil sayang pada pacar sendiri saja sulitnya bukan main. Tetapi dia melakukan lebih dari sekedar kata-kata. Gesture-gesture kecilnya yang membuat Vania merasa sangat diperhatikan. Avan selalu memegang tangan mereka saat jalan bareng, menjadi pendengar yang baik saat mood Vania sedang tidak bagus, suka mengacak-ngacak rambut hanya untuk bikin Vania cemberut manja. Rasanya hangat.
***
Bunyi ponsel membuyarkan lamunan Vania di bathtub. Ia melihat pesan yang masuk. Dari Avan. Ah, things we do for love. Baru saja ia memikirkan kekasihnya, mengenang kembali kisah manis mereka di masa lalu, pria itu sekarang mengiriminya pesan. Senyum manis terangkat dari bibir Vania yang seksi.
[Hai, Love. Bagaimana Turki?]
{Hai, Hun. Turki atau aku? Kangen aku?}
[Vania, kamu tahu, kan, apa yang aku maksud?]
{Iya tau kok, kamu dingin banget sih. Aku punya berita bagus nih.} Vania berharap kabar yang dibawanya akan membuat Evan senang.
[Kabar apa?]
{Bilang sayang dulu, dong}
[Apa, sih, kamu kaya anak kecil aja.]
{This is big, you won’t be sorry. Say it ....}
[This is silly.]
[Ok your lost]
[Ok Vania sayang, my darling, what’s you got for me love?]
[Oooh that’s cute ]
[Still waiting]
[Sorry. The news is I finally got Barli in my hand.]
[Oh Babe this is good. I knew I can count on you.]
{Of course you are, but thank you though.}
[Ok kabari aku lagi ya jika rencana selanjutnya sudah berhasil.]
{Iya sayang kamu baik-baik ya di sana. I love you..}
[I know]
Vania keluar kamar mandi dan mengenakan kembali pakaiannya yang berserakan di lantai. Jam menunjukkan pukul tiga pagi. Ia menatap ke arah Barli.
“Thanks to me, ya, ntar calon istri lu dapat suami yang udah pengalaman.”
Diam-diam ia keluar dan kembali ke kamarnya.
Wanita cantik itu berganti pakaian dengan piyama yang nyaman, Vania duduk bersandar di kasurnya. Mandi membuat badannya segar, kantuknya jadi hilang. Ia kembali membuka ponselnya dan membaca kembali chattingannya dengan sambil senyum-senyum sendiri. Lalu ia membuka galeri foto di ponselnya dan membuka folder rahasia yang ia simpan. Isinya semua foto kemesraannya bersama Avan. Pria dari masa lalu yang membuatnya mau melakukan segalanya.
Vania turun dan mengambil sebotol wine yang disediakan hotel, menuangkan satu gelas untuk dirinya. Ia mengambil gelas dan membawanya ke pinggir jendela. Melihat bagaimana Turki di waktu malam. Lampu-lampu kota mengingatkannya suasana Depok di malam hari saat ia dan Avan pulang mengerjakan tugas hingga larut malam.
Sesaat kemudian lamunan itu terhenti. Sekarang ingatannya melayang pada Dino, suaminya.
Iya, untuk memenangkan dunia, kau harus rela mengorbankan semuanya. Cinta, harga diri, terkadang juga uang. Avan memang mengisi relung hatinya sampai kapan pun. Namun logika kehidupan harus tetap berjalan. Dino yang bisa membuatnya seperti sekarang.
Dia mencintai dan memperjuangkannya selayaknya seorang perempuan yang pantas dihormati. Dino pria yang usianya berbeda delapan tahun adalah sosok dewasa yang sangat tahu cara menghandle wanita seperti dirinya. Wanita yang telah kehilangan kehormatan. Dino mengembalikan semuanya. Rumah yang nyaman, ayah bagi anaknya, karier yang mapan, serta kehidupan bermartabat.
Vania menguap, jam setengah empat pagi, wine membuat tubuhnya rileks, bayangan akan kenangannya bertemu Dino membangkitkan rasa hangat dalam tubuhnya. Perlahan ia tenggelam ke dalam mimpi dengan senyum lebar tersungging di bibir tebalnya yang indah.
Memang kemudahan akan selalu datang pada orang-orang yang beruntung. Itulah yang dipikirkan Vania ketika melihat Dino, pria yang akan menjadi solusi untuknya di sebuah club malam, saat dirinya ingin bersenang-senang.
Laki-laki di mana-mana memang sama, apalagi jika sudah ada alkohol sebagai pencair suasana. Kucing kalau di tawarin ikan asin aja mau apalagi kalau Salmon? Malam ini mereka nikmati bersama bergelas-gelas alkohol pindah dari meja ke kerongkongan.
Puluhan pria mencoba mengajaknya malam itu, tapi Vania sudah punya target. Sempoyongan mereka berjalan ke kamar hotel Dino. Begitu pintu kamar terbuka hasrat mereka pun sudah tidak bisa dibendung lagi. Ciuman dan sentuhan penuh nafsu, pakaian yang tiba-tiba entah kemana mengikuti perjalanan mereka menuju ranjang. ******* mulai memenuhi kamar, Vania mengambil inisiatif untuk mendominasi. Ia merebahkan Dino ke ranjang. Pria itu hanya bisa mendesah dari setiap perlakuan Vania padanya. Tapi tak lama yang terdengar malah suara dengkuran.
Vania bangkit dan memandang pria yang kini tertidur dengan dada terbuka dan celana melorot selutut.
Vania terbangun saat silaunya sinar matahari masuk menerobos kamar. Sejenak ia melihat sekeliling dan mencoba mengingat-ingat dimana ia berada. Apa yang terjadi semalam pikirnya. Kepalanya berat, saat akan bangkit ia merasa ada yang menarik selimut, saat itulah ia sadar masih ada sosok Dino disebelahnya. Semua ingatan semalam kembali masuk ke pikirannya. Kepalang basah pikirnya, saat Dino akan membuka mata, satu ciuman ia daratkan ke bibir Dino. Pria yang baru saja akan membuka mata kaget bukan main saat ada bibir yang menempel di bibirnya.
“Hai.. mimpi indah?”
Yang ditanya hanya bisa diam gelagapan.
“Kamu ... kita ... anu ... kita ....”
“Iya semalam kamu hebat banget. Pasti kamu capek banget ‘kan sekarang?”
“Yakin? Kita beneran melakukannya?”
“Maksud kamu aku bohong gitu? Gak liat itu di lantai?”
Dino mengedarkan pandangannya ke lantai kamar, tempat baju dan pakaian dalam mereka berserakan. Laki-laki itu baru sadar jika ia dan wanita ini sama-sama tanpa sehelai benang yang menempel di tubuh masing-masing. Sekejap kesadarannya berkata ‘wow wanita ini sempurna’.
Perlahan Vania bangkit dari kasur dan memakai pakaiannya. Kemudian naik ke kasur dengan pose sedikit merangkak lalu memberi ciuman di pipi kanan Dino.
“Aku duluan, ya, thanks untuk semalam. Oh ya, namaku Vania. Kamu gini Dino!” Vania mengacungkan dua jempolnya. Sedangkan Dino hanya melongo.
“Nanti aku hubungi lagi, ya, mmuach.”
Vania keluar dengan tersenyum, meninggalkan Dino yang masih melongo mencerna semua ini. Vania sudah merencanakan semua, termasuk tidur dengan Dino, pria lugu dan baik hati. Dino hanya kawan yang takk sengaja berkenalan, pria lugu yang pada akhirnya harus jatuh pada jebakan yang sengaja dipasang Vania
***
Vania bersama Barli menikmati museum di istana Topkapi berdua. Beberapa kali ia sengaja hendak menggandeng tangan Barli. Namun, lelaki ini tampak gugup. Entah mengapa sejak kejadian semalam, Barli sepertinya gugup berada di dekat Vania. Berkali-kali matanya menatap sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka.
Sambil berjalan, Vania tidak melepaskan tangannya dari gandengan Barli, walaupun beberapa kali Barli pura-pura tidak sengaja melepas tangan mereka. Sampai akhirnya Barli yang merasa keadaan aman mengajak Vania untuk membeli makan. Dua buah kebab mini rasa original sudah berada di tangan, mereka sambil melanjutkan berkeliling.
Barli membawa Vania ke luar museum untuk mencari tempat yang lebih aman. Vania yang manja memaksa Barli untuk menyuapinya, Barli yang kadung menikmati suasana menyuapinya layaknya orang pacaran. Sebuah pelukan berhasil ia dapatkan.
Pandangan mata Barli yang sedang menikmati pelukan beradu dengan seseorang yang baru saja keluar dari museum. Sontak pelukan itu pun dilepasnya. Vania yang sedang happy merasa diperlakukan sebagai perempuan seutuhnya, menjadi kaget saat tubuhnya didorong tiba-tiba.
“Kenapa Sayang? Kok gitu, sih?”
Vania melihat sekeliling dan dari sudut matanya ia bisa menyaksikan seorang pria misterius berlari masuk ke dalam museum. Siapa dia? Apakah Barli mengenalnya? Sepertinya Barli sedang menghindarinya.
“Ah gawat! Gawat Vania, sebaiknya kita hentikan ini.” Suara Barli tergagap.
“Kenapa sih ? Kamu malu kelihatan yang lain.”
“Bukan maksudku, ini ... ini salah , habis aku. Ini, kita, kamu, aduh, ... mampus aku kalau mereka bilang kepada Papi," jawab Barli panik sambil mengacak rambutnya.
“Ha, apa? Coba ulang? Jadi ini salahku? Sampai, semalam sih kayanya kamu masih menikmati, ya. Terus sekarang tiba-tiba ini semua jadi salahku gitu?” Wajahnya memerah menahan marah.
Barli terdiam.
“Kamu cupu ya, Barli, cuma segini doang kamu ternyata.” Suara Vania bergetar. Barli ingin menjawab tapi kata itu tidak keluar dari mulutnya.
“Beberapa hari lalu, kita dekat, asyik, sampai semalam akhirnya kamu aku biarkan kamu memuaskan nafsumu, terus sekarang, karena takut dengan Papimu, kamu mau buang aku gitu aja, untuk nutupin kesalahan kamu? Kemana pikiran kamu semalam saat tangan kamu megang-megang tubuhku? Di mana pikiran kamu saat tunangan kamu nelpon kamu cuekin karena sedang asik menciumi tu ....”
“Cukup, Vania!”
“Gaya, lu! Alim, patuh, sopan, anak kesayangan, tetapi sikap lu ga jauh ama playboy-playboy kacangan lainnya yang taunya cuma mainin cewek.”
“Maaf Vania, aku tahu aku salah, dan khilaf!”
“Gila lu! Sekarang aja khilaf-khilaf, semalam kemana khilaf lu? ****!” Vania bangkit dan meninggalkan Barli yang tidak bisa berkata-kata. Air mata mengalir di pipinya.
Sebenarnya ini sudah menjadi rencananya jika Barli mulai goyah, ia akan menjebak Barli dalam guilty trap yang membuatnya merasa bersalah. Ia tahu Barli pria baik-baik dan sangat mementingkan keluarga. Maka menjebaknya dalam rasa bersalah yang besar akan membuatnya mudah dikendalikan.
Apalagi ia sudah merekam semua kegiatan bercinta mereka semalam. Walau air matanya palsu, tapi tetap saja rasanya sedih dicampakkan oleh seseorang.
Avan menelepon. Ia tidak bisa mengangkat sekarang. Ia hanya bisa mengirimkan pesan WA kepada kekasihnya.
[Barli tu munafik, rese! Sok alim gitu tapi aslinya mah busuk. Muak aku lama-lama di sini]
[Sudahlah, rencana kita sudah sampai sini, sedikit lagi kita bisa hancurkan mereka dari dalam. Sabar ya]
[Iya, Sayang. Aku udah ga sabar pengen cepat-cepat pulang dan ketemu kamu]
[Aku tahu, ok aku mau meeting dulu, kabari aku lagi progress berikutnya.]
Avan memutus panggilan telepon. Vania termenung. Salahkah ia membantu Avan. Ia tahu ia hanya dimanfaatkan. Namun ada banyak terjadi di kehidupannya yang membuatnya tidak bisa meninggalkan Avan sepenuhnya. Walaupun pria ini tidak mengakui anak di rahimnya waktu itu. Membuatnya melakukan hal rendah yang cukup disesalinya sampai saat ini.
Ingatannya Vania melayang pada satu peristiwa saat ia mengabarkan kehamilannya kepada Dino.
“Aku hamil Dino.” Ucapnya saat mereka bertemu di sebuah Cafe di kawasan Kemang.
“Aku ingin kamu tanggung jawab," imbuh Vania sambil mengaduk-aduk jus mangga murni. Sementara Avan menatapnya dengan pandangan nanar.
“Ka, kamu yakin?” Keringat dingin muncul di pelipisnya.
“Iya aku habis periksa dokter kemaren. Terakhir aku berhubungan, ya, sama kamu," ucapnya menatap ke luar jendela. Dirinya tak berani melihat reaksi pria ini.
Keheningan lama tercipta di antara mereka. Tidak ada yang mau buka suara duluan. Semua tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
“Kamu mau tanggung jawab, kan?” Vania menatap Dino dalam-dalam suaranya berat.
“Aku, aku bingung. Aku, aku, kita melakukannya hanya sekali, kan? Apa kamu yakin? Lagi pula, aku sudah punya tunangan.”
“Aku tahu, aku tidak mau memaksa. Aku akan tetap melahirkan bayi ini. Kamu tinggal pilih anakmu atau tunanganmu.” Vania menunduk, air matanya mengalir.
Setengah hatinya meminta maaf pada Dino karena sudah menjebaknya seperti ini. Namun setengah lagi berharap Dino adalah jalan keluarnya untuk bisa pergi dari kehidupan bersama Avan. Ia tahu ia egois dan akan menghancurkan hati dua orang. Pilihannya sulit, anaknya lebih penting dan Avan sudah bukan pilihan. Dino adalah kesempatan kedua baginya.
“Ya ....” kata itu keluar perlahan, “aku akan bertanggung jawab.”
“Terima kasih.” Hanya itu kata yang keluar dari mulut Vania di sela-sela ia menyeka air matanya.
“Aku harus membereskan, beberapa hal dulu. Kita akan bertemu lagi untuk membahas pernikahan kita.” Dino berdiri. Vania ikut berdiri. Mereka berpelukan dengan canggung.
Dengan perginya Dino, Vania menatap keluar dengan mata berkaca-kaca. “Maafkan aku Dino.”
***
Setelah pernikahannya dengan Dino dilangsungkan, Vania berpikir hidupnya akan mulai lebih baik. Dino memang pria yang bertanggung jawab. Ia memberikan perhatian yang besar pada Vania pada masa-masa kehamilannya. Perhatian yang meneduhkan dan membuat nyaman.
Ia merasa diperlakukan layaknya wanita seutuhnya. Perlahan, ia mulai bisa melupakan Avan dan pria itupun tidak pernah menghubunginya. Vania sudah bermimpi rumah tangganya akan bahagia selamanya. But when you think everything in your life is perfect then life happens. It drag you down to the earth, hard!
Berumah tangga bukan perkara mudah. Pernikahan bukan sebatas komitmen, tetapi pikulan tanggung jawab yang mesti ditunaikan. Vania sudah berusaha menjadi istri yang baik untuk Dino. Tetapi kisah pernikahannya bak sinetron. Pernikahan yang dibangun atas dasar kebohongan menjadikan petaka yang terus menghantui pernikahannya dengan pria yang menikahinya karena terpaksa.
Saat anaknya lahir, tiba-tiba Dino mengajukan permohonan untuk tes DNA anak mereka. Vania sudah berusaha sekuat mungkin untuk menolak tapi akhirnya tak kuasa. DNA tes menunjukkan jika itu bukan anaknya Dino. Semua bayangan indah di kepala Vania buyar. Dino mulai bersikap dingin kepadanya. Gugatan cerai pun melayang.
Ketakutan untuk ditinggal lagi, ditambah nasib anak mereka, ketakutannya akan membesarkan anak ini sendirian, membuatnya melakukan hal-hal gila. Beberapa kali ia mencoba mengancam bunuh diri jika Dino menceraikannya. Kadang, ia menghubungi keluarga Dino untuk membuat alasan bahwa Dino melakukan kekerasan padanya.
Vania berusaha mati-matian agar perceraian itu tidak terjadi. Segala upaya dilakukan. Dari yang halus, memberi perhatian, melayani sebagai seorang suami, namun Dino menolaknya.
Vania memang tetap mendapat nafkah, anaknya tetap dibiayai. Tetapi selama tujuh tahun hingga mereka akhirnya cerai Dino tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Perhatiannya pada Aileen Mahagya, seperti kepada anaknya sendiri. Setelah tujuh tahun bertahan, dirinya dan Dino bercerai.
Vania menyerah pada pernikahannya bersama Dino. Dia juga lelah. Namun dia tak pernah menyerah agar Avan juga tidak bisa hidup bahagia. “Avan, kamu tak pernah mau mempertanggungjawabkan perbuatanmu, meskipun mulutmu selalu bilang mencintaiku. Kita lihat sampai mana kamu bisa bertahan dengan prinsip bodohmu itu,” bisik Vania lirih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!