Berita Kehamilan

Memang kemudahan akan selalu datang pada orang-orang yang beruntung. Itulah yang dipikirkan Vania ketika melihat Dino, pria yang akan menjadi solusi untuknya di sebuah club malam, saat dirinya ingin bersenang-senang.

Laki-laki di mana-mana memang sama, apalagi jika sudah ada alkohol sebagai pencair suasana. Kucing kalau di tawarin ikan asin aja mau apalagi kalau Salmon? Malam ini mereka nikmati bersama bergelas-gelas alkohol pindah dari meja ke kerongkongan.

Puluhan pria mencoba mengajaknya malam itu, tapi Vania sudah punya target. Sempoyongan mereka berjalan ke kamar hotel Dino. Begitu pintu kamar terbuka hasrat mereka pun sudah tidak bisa dibendung lagi. Ciuman dan sentuhan penuh nafsu, pakaian yang tiba-tiba entah kemana mengikuti perjalanan mereka menuju ranjang. ******* mulai memenuhi kamar, Vania mengambil inisiatif untuk mendominasi. Ia merebahkan Dino ke ranjang. Pria itu hanya bisa mendesah dari setiap perlakuan Vania padanya. Tapi tak lama yang terdengar malah suara dengkuran.

Vania bangkit dan memandang pria yang kini tertidur dengan  dada terbuka dan celana melorot selutut.

Vania terbangun saat silaunya sinar matahari masuk menerobos kamar. Sejenak ia melihat sekeliling dan mencoba mengingat-ingat dimana ia berada. Apa yang terjadi semalam pikirnya. Kepalanya berat, saat akan bangkit ia merasa ada yang menarik selimut, saat itulah ia sadar masih ada sosok Dino disebelahnya. Semua ingatan semalam kembali masuk ke pikirannya. Kepalang basah pikirnya, saat Dino akan membuka mata, satu ciuman ia daratkan ke bibir Dino. Pria yang baru saja akan membuka mata kaget bukan main saat ada bibir yang menempel di bibirnya.

“Hai.. mimpi indah?”

Yang ditanya hanya bisa diam gelagapan.

“Kamu ... kita ... anu ... kita ....”

“Iya semalam kamu hebat banget. Pasti kamu capek banget ‘kan sekarang?”

“Yakin? Kita beneran melakukannya?”

“Maksud kamu aku bohong gitu? Gak liat itu di lantai?”

Dino mengedarkan pandangannya ke lantai kamar, tempat baju dan pakaian dalam mereka berserakan. Laki-laki itu baru sadar jika ia dan wanita ini sama-sama tanpa sehelai benang yang menempel di tubuh masing-masing. Sekejap kesadarannya berkata ‘wow wanita ini sempurna’.

Perlahan Vania bangkit dari kasur dan memakai pakaiannya. Kemudian naik ke kasur dengan pose sedikit merangkak lalu memberi ciuman di pipi kanan Dino.

“Aku duluan, ya, thanks untuk semalam. Oh ya, namaku Vania. Kamu gini Dino!” Vania mengacungkan dua jempolnya. Sedangkan Dino hanya melongo.

“Nanti aku hubungi lagi, ya, mmuach.”

Vania keluar dengan tersenyum, meninggalkan Dino yang masih melongo mencerna semua ini. Vania sudah merencanakan semua, termasuk tidur dengan Dino, pria lugu dan baik hati. Dino hanya kawan yang takk sengaja berkenalan, pria lugu yang pada akhirnya harus jatuh pada jebakan yang sengaja dipasang Vania

***

Vania bersama Barli menikmati museum di istana Topkapi berdua. Beberapa kali ia sengaja hendak menggandeng tangan Barli. Namun, lelaki ini tampak gugup. Entah mengapa sejak kejadian semalam, Barli sepertinya gugup berada di dekat Vania. Berkali-kali matanya menatap sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka.

Sambil berjalan, Vania tidak melepaskan tangannya dari gandengan Barli, walaupun beberapa kali Barli pura-pura tidak sengaja melepas tangan mereka. Sampai akhirnya Barli yang merasa keadaan aman mengajak Vania untuk membeli makan. Dua buah kebab mini rasa original sudah berada di tangan, mereka sambil melanjutkan berkeliling.

Barli membawa Vania ke luar museum untuk mencari tempat yang lebih aman. Vania yang manja memaksa Barli untuk menyuapinya, Barli yang kadung menikmati suasana menyuapinya layaknya orang pacaran. Sebuah pelukan berhasil ia dapatkan.

Pandangan mata Barli yang sedang menikmati pelukan beradu dengan seseorang yang baru saja keluar dari museum. Sontak pelukan itu pun dilepasnya. Vania yang sedang happy merasa diperlakukan sebagai perempuan seutuhnya, menjadi kaget saat tubuhnya didorong tiba-tiba.

“Kenapa Sayang? Kok gitu, sih?”

Vania melihat sekeliling dan dari sudut matanya ia bisa menyaksikan seorang pria misterius berlari masuk ke dalam museum. Siapa dia? Apakah Barli mengenalnya? Sepertinya Barli sedang menghindarinya.

“Ah gawat! Gawat Vania, sebaiknya kita hentikan ini.” Suara Barli tergagap.

“Kenapa sih ? Kamu malu kelihatan yang lain.”

“Bukan maksudku, ini ... ini salah , habis aku.  Ini, kita, kamu, aduh, ... mampus aku kalau mereka bilang kepada Papi,"  jawab Barli panik sambil mengacak rambutnya.

“Ha, apa? Coba ulang? Jadi ini salahku? Sampai, semalam sih kayanya kamu masih menikmati, ya. Terus sekarang tiba-tiba ini semua jadi salahku gitu?” Wajahnya memerah menahan marah.

Barli terdiam.

“Kamu cupu ya, Barli, cuma segini doang kamu ternyata.” Suara Vania bergetar. Barli ingin menjawab tapi kata itu tidak keluar dari mulutnya.

“Beberapa hari lalu, kita dekat, asyik, sampai semalam akhirnya kamu aku biarkan kamu memuaskan nafsumu, terus sekarang, karena takut dengan Papimu, kamu mau buang aku gitu aja, untuk nutupin kesalahan kamu? Kemana pikiran kamu semalam saat tangan kamu megang-megang tubuhku? Di mana pikiran kamu saat tunangan kamu nelpon kamu cuekin karena sedang asik menciumi tu ....”

“Cukup, Vania!”

“Gaya, lu!  Alim, patuh, sopan, anak kesayangan, tetapi sikap lu ga jauh ama playboy-playboy kacangan lainnya yang taunya cuma mainin cewek.”

“Maaf  Vania, aku tahu aku salah, dan khilaf!”

“Gila lu! Sekarang aja khilaf-khilaf, semalam kemana khilaf lu? ****!” Vania bangkit dan meninggalkan Barli yang tidak bisa berkata-kata. Air mata mengalir di pipinya.

Sebenarnya ini sudah menjadi rencananya jika Barli mulai goyah, ia akan menjebak Barli dalam guilty trap yang membuatnya merasa bersalah. Ia tahu Barli pria baik-baik dan sangat mementingkan keluarga. Maka menjebaknya dalam rasa bersalah yang besar akan membuatnya mudah dikendalikan.

Apalagi ia sudah merekam semua kegiatan bercinta mereka semalam. Walau air matanya palsu, tapi tetap saja rasanya sedih dicampakkan oleh seseorang.

Avan menelepon. Ia tidak bisa mengangkat sekarang. Ia hanya bisa mengirimkan pesan WA kepada kekasihnya.

[Barli tu munafik, rese! Sok alim gitu tapi aslinya mah busuk. Muak aku lama-lama di sini]

[Sudahlah, rencana kita sudah sampai sini, sedikit lagi kita bisa hancurkan mereka dari dalam. Sabar ya]

[Iya, Sayang. Aku udah ga sabar pengen cepat-cepat pulang dan ketemu kamu]

[Aku tahu, ok aku mau meeting dulu, kabari aku lagi progress berikutnya.]

Avan memutus panggilan telepon. Vania termenung. Salahkah ia membantu Avan. Ia tahu ia hanya dimanfaatkan. Namun ada banyak terjadi di kehidupannya yang membuatnya tidak bisa meninggalkan Avan sepenuhnya. Walaupun pria ini tidak mengakui anak di rahimnya waktu itu. Membuatnya melakukan hal rendah yang cukup disesalinya sampai saat ini.

Ingatannya Vania melayang pada satu peristiwa saat ia mengabarkan kehamilannya kepada Dino.

“Aku hamil Dino.” Ucapnya saat mereka bertemu di sebuah Cafe di kawasan Kemang.

“Aku ingin kamu tanggung jawab," imbuh Vania sambil mengaduk-aduk jus mangga murni. Sementara Avan menatapnya dengan pandangan nanar.

“Ka, kamu yakin?” Keringat dingin muncul di pelipisnya.

“Iya aku habis periksa dokter kemaren. Terakhir aku berhubungan, ya, sama kamu," ucapnya menatap ke luar jendela. Dirinya tak berani melihat reaksi pria ini.

Keheningan lama tercipta di antara mereka. Tidak ada yang mau buka suara duluan. Semua tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

“Kamu mau tanggung jawab, kan?” Vania menatap Dino dalam-dalam suaranya berat.

“Aku, aku bingung. Aku, aku,  kita melakukannya hanya sekali, kan? Apa kamu yakin? Lagi pula, aku sudah punya tunangan.”

“Aku tahu, aku tidak mau memaksa. Aku akan tetap melahirkan bayi ini. Kamu tinggal pilih anakmu atau tunanganmu.” Vania menunduk, air matanya mengalir.

Setengah hatinya meminta maaf pada Dino karena sudah menjebaknya seperti ini. Namun setengah lagi berharap Dino adalah jalan keluarnya untuk bisa pergi dari kehidupan bersama Avan. Ia tahu ia egois dan akan menghancurkan hati dua orang. Pilihannya sulit, anaknya lebih penting dan Avan sudah bukan pilihan. Dino adalah kesempatan kedua baginya.

“Ya ....” kata itu keluar perlahan, “aku akan bertanggung jawab.”

“Terima kasih.” Hanya itu kata yang keluar dari mulut Vania di sela-sela ia menyeka air matanya.

“Aku harus membereskan, beberapa hal dulu. Kita akan bertemu lagi untuk membahas pernikahan kita.” Dino berdiri. Vania ikut berdiri. Mereka berpelukan dengan canggung.

Dengan perginya Dino, Vania menatap keluar dengan mata berkaca-kaca. “Maafkan aku Dino.”

***

Setelah pernikahannya dengan Dino dilangsungkan, Vania berpikir hidupnya akan mulai lebih baik. Dino memang pria yang bertanggung jawab. Ia memberikan perhatian yang besar pada Vania pada masa-masa kehamilannya. Perhatian yang meneduhkan dan membuat nyaman.

Ia merasa diperlakukan layaknya wanita seutuhnya. Perlahan, ia mulai bisa melupakan Avan dan pria itupun tidak pernah menghubunginya. Vania sudah bermimpi rumah tangganya akan bahagia selamanya. But when you think everything in your life is perfect then life happens. It drag you down to the earth, hard!

Berumah tangga bukan perkara mudah. Pernikahan bukan sebatas komitmen, tetapi pikulan tanggung jawab yang mesti ditunaikan. Vania sudah berusaha menjadi istri yang baik untuk Dino. Tetapi kisah pernikahannya bak sinetron. Pernikahan yang dibangun atas dasar kebohongan menjadikan petaka yang terus menghantui pernikahannya dengan pria yang menikahinya karena terpaksa.

Saat anaknya lahir, tiba-tiba Dino mengajukan permohonan untuk tes DNA anak mereka. Vania sudah berusaha sekuat mungkin untuk menolak tapi akhirnya tak kuasa. DNA tes menunjukkan jika itu bukan anaknya Dino. Semua bayangan indah di kepala Vania buyar. Dino mulai bersikap dingin kepadanya. Gugatan cerai pun melayang.

Ketakutan untuk ditinggal lagi, ditambah nasib anak mereka, ketakutannya akan membesarkan anak ini sendirian, membuatnya melakukan hal-hal gila. Beberapa kali ia mencoba mengancam bunuh diri jika Dino menceraikannya. Kadang, ia menghubungi keluarga Dino untuk membuat alasan bahwa Dino melakukan kekerasan padanya.

Vania berusaha mati-matian agar perceraian itu tidak terjadi. Segala upaya dilakukan. Dari yang halus, memberi perhatian, melayani sebagai seorang suami, namun Dino menolaknya.

Vania memang tetap mendapat nafkah, anaknya tetap dibiayai. Tetapi selama tujuh tahun hingga mereka akhirnya cerai Dino tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Perhatiannya pada Aileen Mahagya, seperti kepada anaknya sendiri. Setelah tujuh tahun bertahan, dirinya dan Dino bercerai.

Vania menyerah pada pernikahannya bersama Dino. Dia juga lelah. Namun dia tak pernah menyerah agar Avan juga tidak bisa hidup bahagia. “Avan, kamu tak pernah mau mempertanggungjawabkan perbuatanmu, meskipun mulutmu selalu bilang mencintaiku. Kita lihat sampai mana kamu bisa bertahan dengan prinsip bodohmu itu,” bisik Vania lirih.  

 

 

 

Terpopuler

Comments

Nining Shuma

Nining Shuma

😭😭

2023-03-30

1

Ayesha Almira

Ayesha Almira

masing bingung ma jalan ceritanya,tp seru.d tunggu kelanjutanya..

2023-03-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!