Mengubah Strategi

Sesampainya di hotel setelah seharian berada di cuaca dingin sangatlah menyenangkan. Berendam di air hangat menjadi tujuan utama Vania saat ini. Semua lelah, penat dan rasa kesal yang menumpuk di dadanya seharian ini, sirna saat tubuh polosnya bersentuhan dengan air hangat dan wewangian aromatherapy. Tugas ini mulai merasa melelahkan. Ia jarang bisa bercakap-cakap dengan Barli, tidak se-intens biasanya.

Ada sebab yang membuat pria ini mulai sedikit menjaga jarak, entah apa. Jika benar yang dikatakan Barli bahwa ada orang suruhan papinya yang mengikuti mereka, artinya memang ia harus menjauhi Barli untuk sementara waktu. Lelah dengan semua pemikirannya, ia tertidur di bathtub.

Menjelang tengah malam ia lapar dan turun ke bawah untuk memesan makanan. Sebuah restoran internasional masih buka di lobby hotel. Saat sedang duduk menunggu makanan. Matanya terpaku ke lobby hotel, sebuah mobil berhenti dan seseorang keluar. Pria misterius itu!

“Sedang apa dia di sini? Kalau dia sampai melihatku habislah semua. Rencanaku bisa-bisa tak berjalan seperti seharusnya!” Vania panik. Ia segera menyelinap kembali menuju kamarnya. Di dalam kamar, Vania mulai berpikir ulang. Jika pria itu ada di dalam hotel ini, maka benar mereka sedang dimata-matai. Ia dan Barli sedang diawasi. Tapi untuk apa? Perlahan otaknya mulai berputar mencari tahu.

Barli bukan lagi anak kemarin sore. Ia sudah dipercaya oleh papinya untuk memegang Perusahaan besar. Itu berarti papinya menaruh kepercayaan yang sangat tinggi. Apakah Barli pernah berbuat kesalahan? Ataukah ada orang lain yang mengintai mereka?

Tak mau berlarut-larut dengan pikirannya yang tak tentu arah, Vania memilih untuk menemui Barli. Suara musik pelan terdengar saat Vania mengetuk pintu kamar hotel Bosnya. Tidak lama pemilik kamar keluar. Tanpa suara, ia membiarkan Vania masuk. Barli menggosok rambutnya yang masih basah sehabis mandi.

“Wine?” ia menawarkan.

Vania hanya mengangguk. Barli menuangkan dua gelas wine untuk mereka.

“Aku pikir kamu udah tidur. Aku hubungi tapi tak ada jawaban,” kata Vania manja.  Entah mendapatkan ide dari mana, melihat Barli sendirian di dalam kamar seperti ini, bisa saja mereka sedang diawasi. Jika pria misterius itu ada di hotel ini, maka rencananya akan berjalan lebih mudah. Ya, semua akan berakhir lebih cepat jika Papi Barli tahu, anak kesayangannya sedang menjalin hubungan dengan sekretarisnya . Selarik senyum menghias wajah Vania.

 

“Tadi habis keluar sama Richard, temanku juga lagi ada di Turki jadi ketemuan bentar. Maaf, ya, HP aku silent jadi enggak dengar.” Barli mengangkat gelasnya. Mereka duduk berhadapan di sofa.

 

“Barli sebenarnya kenapa kamu begitu takut sama Papimu? Bukannya kamu sudah cukup dewasa, bahkan terlalu dewasa untuk membuat keputusan sendiri?” Vania mulai mengumpulkan informasi. Semua informasi yang ia dapatkan, bisa menjadi bahan untuk melangkah pada rencana selanjutnya.

 

“Ya itu menurutmu, bukan menurut Papiku.” Barli menenggak wine seteguk lagi. Kali ini wajahnya terlihat lebih rileks.

 

“ Aku jadi enggak nyaman, Bar. Aku ke Turki jauh-jauh, kan, buat nemenin kamu, juga menghabiskan waktu bersama kamu. Bukan hanya sebagai sekretaris dan Bos, tapi juga ….”

Vania menghentikan ucapannya, saat Barli menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya yang seksi. Itu pertanda Vania harus berhenti berbicara.

 

“Kita tetap bisa bersama seperti sekarang jika di dalam kamar. Kalau di luar, kita tetap harus bersikap formal, seperti di kantor.”

Barli berusaha memberikan pengertian. Tidak mungkin Vania tak paham dengan maksud perkataannya. Selain cantik, Vania juga perempuan yang cerdas. Karena itulah Barli merasa cukup aman bermain api. Karena kecantikan Vania yang sangat memukau, laki-laki manapun tak akan menolak jika didekati wanita secantik Vania. Kulitnya putih bersih, tubuhnya proporsional. Meskipun sudah mempunyai anak, tubuh Vania masih terlihat langsing dan seksi.

 

Vania tak punya pilihan. Mau tak mau dirinya memang harus memenuhi permintaan Barli. Bersikap profesional saat berada di kantor. Ah tapi ini Turki, terlalu indah untuk disia-siakan. Yang terpenting tidak menghambat rencananya, apa pun akan ia lakukan. Lebih cepat lebih baik.

“Sebenarnya apa yang tidak boleh kamu lakukan, Sayang ? Bercinta dengan sekretarismu?” Vania memajukan wajahnya, menatap Barli dengan pandangan menggoda.

Hasrat Barli bangkit seketika. Berada di dekat Vania selalu membuatnya tak mampu menahan diri. Bahkan di kantornya , Barli membuat ruangannya tertutup, hanya untuk melampiaskan hasrat yang sering datang tiba-tiba saat melihat rok pendek Vania, atau blouse yang dipakai sekretarisnya itu berpotongan rendah. Sekarang ia mendekatkan wajahnya dan mencium pipi Vania, lalu menarik perempuan cantik itu ke dalam pangkuannya. Vania tersenyum geli merasakan napas Barli mulai meniup telinganya.

“Papi sudah mengatur semuanya. Hidupku ada dalam genggamannya. Termasuk jodohku, Papi sudah menyiapkan. Dan semua yang sudah Papi siapkan, tidak boleh aku rusak. Semua rencana Papi harus berjalan sempurna. Iya sih, kemajuan Perusahaan kami sekarang ini juga berkat tangan dingin Papi. Jika Papi tak ikut memantau, mungkin aku tidak bisa menang melawan Perusahaan Avan.” 

Vania mundur mendengar Barli menyebut nama Avan. Pelukan Barli terlepas dari pinggangnya.

“Avan siapa?” Vania berpura-pura untuk membuat Barli makin mempercayainya.

“Biasa, saingan bisnis. Avan terlalu berambisi untuk membuat Perusahaannya untung besar. Seandainya Avan mendengarkan Papanya, mungkin nasipnya tidak seperti sekarang.” Barli kembali menuang wine ke dalam gelasnya. Hanya sedikit, kemudian meneguknya habis.

“Memangnya sekarang Avan kenapa?” tanya Vania masih bersikap biasa, meskipun jantungnya berdetak lebih kencang.

“Aku dengar sekarang dia membuka perusahaan baru, bukan sainganku lagi. Perusahaan publishing yang baru saja start up. Ya begitulah, Papi yang menyelamatkan perusahaan kami waktu itu, jadi mau tak mau sampai sekarang, aku masih yakin, Papi punya rencana yang bagus buatku.”

Satu tenggakan terakhir dari gelas wine yang sekarang kosong. Saat akan menuangnya lagi, tangan Vania mencegahnya dengan menarik tangan Barli, lalu perlahan memasukkan tangan itu ke dalam piyamanya. Tangan Barli segera bergerilya meremas dua bukit indah Vania yang matanya mulai terpejam.

“Sepertinya kamu sudah cukup minum, Sayang. Malam ini jatah kita bersenang-senang bukan? Kita hanya berdua sekarang,” Vania membuka satu persatu kancing piyama Barli. Pikirannya sebenarnya berkecamuk dengan perkataan Barli barusan. Jika Barli masih mendapat dukungan penuh dari Papinya, mungkin rencananya dan Avan akan terhambat.

Perlahan bibir mereka saling *******. Namun otak Vania terus berputar mencari cara supaya posisi Barli tidak sekuat sekarang. Perusahaan ini harus hancur. Hanya dengan cara itu dendam Avan bisa terbalaskan.

Bagaimanapun, Vania tak bisa memungkiri perasaannya, bahwa cintanya kepada Dino tak sebesar cintanya kepada Avan. Hanya dengan Avan, Vania merasakan kebahagiaan yang utuh. Malam itu di tengah hujan salju kota Istanbul, Vania menghabiskan malam dingin dengan saling menuntaskan hasrat bersama Barli. Sepertinya ia harus merubah strategi.

 

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!