Kembali Ke Masa Lalu

Kalau ada pria paling dingin yang pernah ia kenal mungkin Avan Julian orangnya. Awalnya Vania tidak begitu peduli dengan membangun relasi dan pertemanan selama di kampus. Ia kuliah hanya untuk membuktikan bahwa ia yang terbaik di keluarganya. Tujuannya hanya lulus dengan cepat lalu membuka usaha sendiri dengan modal yang sudah ia punya. Namun manusia hanya bisa berencana, kakak tingkatlah yang memutuskan ia satu grup dengan Avan.

Pria ini secara fisik memang sempurna seperti pria-pria di drama korea, namun soal kepribadian sangat menyebalkan. Jarang bicara, suka maunya sendiri, enggak bisa bekerjasama dalam tim, sekalinya bicara pedes. Di jurusan yang jumlah perempuannya lebih banyak dari mahasiswa cowoknya ini, Avan dengan cepat menjadi bahan perbincangan. Mulai dari angkatan atas sampai sesama mahasiswa baru, cewe-cewe norak itu berebut perhatian Avan. Sayangnya mereka belum kenal Vania.

Mereka berdua sangat populer untuk masing-masing jenis kelamin. Avan dan Vania menjadi rebutan, dan keduanya tidak suka kepopuleran. Dua-duanya sama-sama dingin, sama-sama anti sosial, sama-sama bodo amat, anehnya mereka selalu sama-sama.

Berkali-kali mereka masuk di kelompok yang sama, mengerjakan tugas yang sama. Dan selalu berakhir mengerjakan tugas berdua, bukan karena suka tapi mereka lebih percaya mengerjakan sendiri dibanding melibatkan orang lain yang tidak kompeten.

Malam itu mereka mengerjakan tugas di perpustakaan sampai lupa waktu. Saat pulang hujan deras mengguyur kampus luas ini. Ke duanya berpandangan satu sama lain.

“Kamu pulang naik apa?” Avan membuka obrolan.

“Biasanya, sih, dijemput, tapi tadi aku bilang mau pulang sendiri,” jawab Vania.

“Rumahmu di mana?” tanya Avan menyadari ia tak tahu apa pun tentang gadis itu.

“Gak jauh, kok, aku ngekost di Margonda.”

“Aku anterin kalo gitu,” ujar Avan.

Vania hanya mengangguk, lalu mengikuti Avan ke parkiran.

“Aku cuma bawa satu jas hujan, kamu yang pakai ya.” Avan mengulurkan satu jas hujan.

“Enggak usah kamu aja.” Vania menyorongkan jas hujan kepada Evan.

“Udah kamu aja, aku gapapa kok.”

“Ini ‘kan motor kamu, kamu aja.”

“Pake atau aku tinggalin kamu di sini, lagian kalo kamu sakit ntar yang presentasi siapa?”

Vania menatap Avan panjang, yang ditatap hanya cuek sambil menyiapkan motor. Ia melihat sekeliling parkiran yang memang sudah sepi, waktu menunjukkan jam sebelas malam. Dengan sungkan ia memakai jas hujan dan helm.

Hujan deras tapi tidak terlalu besar menyambut mereka saat melalui jalan Margonda. Cahaya lampu-lampu ruko dan toko yang terkena hujan berkilau. Indah seperti menyambut mereka di jalanan malam yang kosong. Menikmati malam dan hujan membuat Vania refleks melingkarkan tangannya ke pinggang Avan. Tidak ada penolakan. Vania baru tersadar saat motor berhenti, ternyata dari tadi Avan bertanya padanya.

“Eh kosan kamu lewat mana?”

“Ha? Eh … itu di depan ada gang belok kiri”

“Ok, kirain tidur.”

“Gak kok, siapa yang tidur. Hehe.”

Hehe pertama sepanjang mereka bicara, dan Vania pun sadar tangannya dari tadi melingkar di pinggang Avan. Mukanya merah karena gagap dan malu. Tangannya mau dilepas tapi canggung. Avan juga sepertinya cuek saja.

Tak lama mereka sampai di kost mewah tiga lantai ini. Setelah melepas jas hujannya, Vania basa basi mengucapkan terima kasih. Hanya dibalas anggukan oleh Avan. Pria itupun menghilang di pekatnya malam.

Keesokan harinya Avan tidak datang kuliah. Namun presentasi bisa diselesaikan Vania dengan baik. Awalnya ia tidak peduli namun jadi terpikir juga. Lama-lama ia mulai cari tahu tentang pria ini. Untungnya koneksi di luar kampus lebih bisa diandalkan untuk hal-hal seperti ini.

“Om-om pengusaha itu memang jaringannya luar biasa,” gumam Vania senang saat mendapatkan informasi yang ia inginkan.

Tidak butuh waktu lama untuk ia tahu jika Avan adalah anak pertama dari pemilik salah satu pabrik minuman penyegar di Indonesia. Pewaris tahta yang menolak menerima tanggung jawab. Sekarang tinggal sendiri dan berusaha dengan keringat sendiri untuk biaya kuliah.

“Oke juga, nih, bocah. Saat anak pengusaha lain pada flexing pamer kekayaan bapaknya, dia malah sibuk ngumpet.” Vania tersenyum sendiri mengingat bagaimana cueknya Avan saat mengantarkannya pulang dulu.  

‘Witing tresno jalaran soko kuliner, cinta bisa datang karena sering kulineran bareng’.

Pepatah ini memang benar. Sejak malam itu mereka mulai bisa ngobrol satu sama lain. Tembok es itu perlahan mencair. Vania ternyata tidak pernah tahu jika dirinya bisa se-bucin ini. Pria ini perlahan namun pasti membuatnya tergila-gila. Walau butuh lebih dari enam semester tapi akhirnya mereka pacaran.

Baginya yang selama ini menganggap cinta itu hanya main-main dan hanya nafsu sekarang merasakan sendiri karmanya. Hampir setiap hari hanya ada Avan di kepalanya. Bayang-bayang, mimpi-mimpi, apa yang akan dia lakukan untuk membuat pria itu tertawa, melihat ekspresi terkejutnya saat diberi surprise, mengganggunya saat bikin tugas hingga jengkel. Membayangkan apalagi yang akan dia lakukan pada pria tampan ini dan melihat reaksinya. Benar-benar membuatnya tersenyum lebar sebelum tidur.

“Happy Birthday My Love,” ucap Vania saat kekasihnya itu berulang tahun ke tiga puluh. Avan hanya tersenyum tipis, dan malu-malu saat Vania menghadiahinya dengan ciuman di pipi.

“I Love You,” ujar Vania lagi sambil membentuk tanda sarangheo dengan ibu jari yang ditautkan dengan jari telunjuknya. 

Avan pria yang dingin, sulit untuk mengerkspresikan perasaannya lewat kata-kata. Jangankan I Love You memanggil sayang pada pacar sendiri saja sulitnya bukan main. Tetapi dia melakukan lebih dari sekedar kata-kata. Gesture-gesture kecilnya yang membuat Vania merasa sangat diperhatikan. Avan selalu memegang tangan mereka saat jalan bareng, menjadi pendengar yang baik saat mood Vania sedang tidak bagus, suka mengacak-ngacak rambut hanya untuk bikin Vania cemberut manja. Rasanya hangat.

***

Bunyi ponsel membuyarkan lamunan Vania di bathtub. Ia melihat pesan yang masuk. Dari Avan. Ah, things we do for love. Baru saja ia memikirkan kekasihnya, mengenang kembali kisah manis mereka di masa lalu, pria itu sekarang mengiriminya pesan. Senyum manis terangkat dari bibir Vania yang seksi.

[Hai, Love. Bagaimana Turki?]

{Hai, Hun. Turki atau aku? Kangen aku?}

[Vania, kamu tahu, kan, apa yang aku maksud?]

{Iya tau kok, kamu dingin banget sih. Aku punya berita bagus nih.}  Vania berharap kabar yang dibawanya akan membuat Evan senang.

[Kabar apa?]

{Bilang sayang dulu, dong}

[Apa, sih, kamu kaya anak kecil aja.]

{This is big, you won’t be sorry. Say it ....}

[This is silly.]

[Ok your lost]

[Ok Vania sayang, my darling, what’s you got for me love?]

[Oooh that’s cute ]

[Still waiting]

[Sorry. The news is I finally got Barli in my hand.]

[Oh Babe this is good. I knew I can count on you.]

{Of course you are, but thank you though.}

[Ok kabari aku lagi ya jika rencana selanjutnya sudah berhasil.]

{Iya sayang kamu baik-baik ya di sana. I love you..}

[I know]

Vania keluar kamar mandi dan mengenakan kembali pakaiannya yang berserakan di lantai. Jam menunjukkan pukul tiga pagi. Ia menatap ke arah Barli.

“Thanks to me, ya, ntar calon istri lu dapat suami yang udah pengalaman.”

Diam-diam ia keluar dan kembali ke kamarnya.

Wanita cantik itu berganti pakaian dengan piyama yang nyaman, Vania duduk bersandar di kasurnya. Mandi membuat badannya segar, kantuknya jadi hilang. Ia kembali membuka ponselnya dan membaca kembali chattingannya dengan  sambil senyum-senyum sendiri. Lalu ia membuka galeri foto di ponselnya dan membuka folder rahasia yang ia simpan. Isinya semua foto kemesraannya bersama Avan. Pria dari masa lalu yang membuatnya mau melakukan segalanya.

Vania turun dan mengambil sebotol wine yang disediakan hotel, menuangkan satu gelas untuk dirinya. Ia mengambil gelas dan membawanya ke pinggir jendela. Melihat bagaimana Turki di waktu malam. Lampu-lampu kota mengingatkannya suasana Depok di malam hari saat ia dan Avan pulang mengerjakan tugas hingga larut malam.

Sesaat kemudian lamunan itu terhenti. Sekarang ingatannya melayang pada Dino, suaminya.

Iya, untuk memenangkan dunia, kau harus rela mengorbankan semuanya. Cinta, harga diri, terkadang juga uang. Avan memang mengisi relung hatinya sampai kapan pun. Namun logika kehidupan harus tetap berjalan. Dino yang bisa membuatnya seperti sekarang.

Dia mencintai dan memperjuangkannya selayaknya seorang perempuan yang pantas dihormati. Dino pria yang usianya berbeda delapan tahun adalah sosok dewasa yang sangat tahu cara menghandle wanita seperti dirinya. Wanita yang telah kehilangan kehormatan. Dino mengembalikan semuanya. Rumah yang nyaman, ayah bagi anaknya, karier yang mapan, serta kehidupan bermartabat.

Vania menguap, jam setengah empat pagi, wine membuat tubuhnya rileks, bayangan akan kenangannya bertemu Dino membangkitkan rasa hangat dalam tubuhnya. Perlahan ia tenggelam ke dalam mimpi dengan senyum lebar tersungging di bibir tebalnya yang indah.

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!