Hari ini Vania sedang merasa tidak mood untuk berkegiatan. Sepanjang perjalanan ia hanya duduk sendiri di bus. Saat tiba di Bursa, semua orang ingin naik kereta gantung ke puncak gunung Uludag, namun dirinya memilih untuk tetap tinggal dan mencari cafe untuk bersantai.
Ia memesan segelas kopi turki panas dan sepotong Baklava. Matanya memandang salju dari dekat jendela yang kosong. Mata-mata pria asing sesekali menatapnya dengan pandangan takjub. Tidak di Indonesia tidak di luar negeri pandangan seperti ini selalu ia dapatkan.
Vania membuka ponselnya. Pesan dari anaknya Aileen hari ini baru saja mendapat juara pertama lomba cerita dengan Bahasa Inggris. Putri kecilnya itu sedang memamerkan piala yang ia dapat. Senyumnya yang sumringah membuat Vania merasa bersalah meninggalkan anak lucu itu bersama mamanya.
Ingatannya mengembara pada pertemuannya dengan Avan, pasca dirinya melahirkan Aileen.
Sejak ia bercerai dari Dino, Vania fokus pada kerjaannya. Ia berjuang untuk bisa hidup normal. Jabatannya perlahan sudah mulai mapan. Ia sekarang dipercaya sebagai Direktur Marketing dan Public Relation di perusahaan Javamas.
Beberapa bulan setelah bercerai, ia secara tidak sengaja melihat Avan muncul di TV dalam sebuah talkshow mengenai entepreneur. Penasaran ia mencari lebih jauh tentang Avan Publishing saat ini. Hanya dalam tujuh tahun Avan bisa bangkit dari perusahaan publishing independen dengan sekarang punya banyak kontrak dengan penulis ternama. Banyak karya penulis Avan Publishing yang sudah difilmkan.
Ia teringat jika Avan belum pernah bertemu Aileen. Apakah ini saat yang tepat untuk mempertemukan anak dan ayahnya? Apakah Avan sudah berubah? Bagaimana reaksinya melihat darah dagingnya sendiri? Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya. Bagaimanapun, Aileen adalah anaknya Avan dan dia berhak tahu. Tentang sikapnya, itu urusan nanti. Yang jelas Vania tidak akan pernah menyerahkan Aileen kepada siapa pun.
Sengaja ia tidak memberi tahu kedatangannya pada Avan. Setelah memberitahukan pada resepsionis. Vania duduk di lobby kantor yang terlihat mewah ini. Jauh dari ruko tiga lantai yang pernah disewa Avan untuk jadi kantornya dulu. Tidak lama pria tampan itu turun. Perawakannya lebih dewasa. Tetapi ia tetap terlihat sama tampannya bahkan lebih dari saat kuliah dulu. Sedikit getaran masa lalu mengalun lembut di hatinya. Vania merindukan rasa ini. Senyum Avan mengembang saat melihat siapa yang datang. Ia langsung berlari dan memeluk. Beberapa karyawan terlihat kaget dengan reaksi bos mereka.
“You look amazing. I’m so happy to see you.” Ada ketulusan dalam aliran suara Avan.
“Bagaimana kabarmu?” Vania merasakan hatinya menjadi lebih hangat. Ia tahu posisi Avan di hatinya belum terganti, meski oleh Avan.
“Baik, baik. Seperti yang kamu lihat aku sudah banyak berubah. Kamu gimana?” Avan bersikap agak canggung, wajar karena mereka berpisah cukup lama.
“Aku juga baik. Kamu free nggak? Aku mau bicara.” Vania melihat sekeliling. Mencari tempat yang nyaman untuk ngobrol.
“Sebentar aku kosongin jadwal dulu.”
Avan menelepon seseorang, meminta semua jadwal hari ini dipending.
“Kita ngobrol sambil makan aja, yuk.” Vania berjalan ke pintu lobby.
“Baik, di mana?” Avan mengikuti dari belakang.
“Terserah kamu aja yang pilih.”
Tidak lama mobil Mercedes itu melaju di jalanan sibuk Ibukota. Beberapa kali Avan mencoba membuka pembicaraan, tetapi Vania selalu mengelak. Tidak lama kemudian, keduanya naik ke sebuah Restoran Private di sebuah gedung perkantoran yang bersatu dengan mall. Restorannya berada di lantai lima puluh dua dengan view ibukota yang megah.
“Jadi kamu mau ngobrol apa?” tanya Avan setelah waitress membawa menu pesanan mereka.
“Kenapa kamu tidak pernah mencariku?” Vania mulai mengurai rasa.
Avan terdiam, wajahnya menunduk, jarinya mengetuk-ngetuk meja. Ia terdiam lama untuk mencari jawaban yang tepat. Vania menunggu sambil meminum Flavoured Tea.
“Aku ...“ suara Avan pelan, “ehmm aku, malu sama diriku sendiri.” Kepalanya masih menunduk.
“Saat itu aku kacau. Pikiranku buruk, aku tidak peduli dengan apa pun. Saat kamu pergi, aku merasa semua orang seperti menjauh dariku. Semua hal yang berharga bagiku hilang. Perusahaanku, kamu, rekan-rekan kerja. Apalagi kamu bilang kamu sedang hamil, aku benar-benar takut, aku belum siap. Aku tidak punya apa-apa, tetapi aku juga tidak mau kembali dan mengemis-ngemis pada keluarga. Aku panik, aku takut kamu akan menganggap aku pria tidak mampu dan pergi meninggalkan diriku. Aku ingin bersama kamu, aku ingin membesarkan bayi itu tapi aku takut.”
“Terus..”
“Aku, aku berlaku kasar padamu, karena aku panik. Melihatmu seperti mengingatkanku pada diriku yang gagal dan aku akan menjadi ayah yang buruk. Lalu kamu pergi, sebagian diriku jujur saja merasa lega akan semua itu. Aku tahu ini tidak adil tapi bebanku sedikit terangkat saat tahu aku tidak harus bertanggung jawab. Apalagi begitu tahu kamu menikah dengan pria yang aku yakin lebih baik dariku.”
“Kamu tahu, tapi tetap membiarkanku pergi?”
“Aku masih muda, Vania. Aku tidak tahu bagaimana masa depanku jika aku menikahimu. Pengecut memang, tapi aku jadi bisa fokus pada perusahaan. Perusahaan ini adalah pembuktian pada semua orang. Aku bertekad akan membuatnya jadi nomor satu dengan cara apa pun!”
“Jadi perusahaan lebih penting dari darah dagingmu sendiri?”
“Untuk saat itu iya, aku yakin kamu wanita hebat, kamu bisa membesarkannya sendiri. Namun aku bersyukur ternyata kamu bisa menikah.” Avan menundukkan wajahnya.
“Ternyata kamu sampai saat ini masih egois, ya.” Vania geram melihat wajah Avan yang lebih terlihat seperti seorang pengecut.
“Aku tidak bisa sampai seperti saat ini jika tidak egois. Persaingan sangat keras, kamu tahu sendiri kan?”
“Kamu masih dendam dengan Barli?”
“Sampai kapan pun selama Perusahaan Barli masih berdiri aku tetap tidak akan puas.”
“Kamu mau bertemu?”
“Siapa?”
“Anakmu. Kamu mau melihatnya?”
“Ya.”
Vania mengeluarkan ponselnya ia memperlihatkan foto seorang anak kecil yang tampak ceria sekali dengan seragam sekolahnya.
“Cantik sekali, mirip ibunya.”
“Aileen.”
“Apa?”
“Namanya Aileen Mahagya Avan.”
“Nama yang bagus!’ gumam Avan, entah kenapa kemudian matanya dipenuhi cairan hangat.
Sejak ia mengenalkan Aileen pada Avan, mereka menjadi akrab. Namun sampai saat ini, ia belum memberi tahu Aileen jika Avan adalah ayahnya. Aileen hanya tahu, ayahnya adalah Reymond dan mereka masih sering bertemu. Kedekatan Avan dan Aileen juga membuat Vania kembali dekat dengannya. Apalagi saat ini ia sedang tidak dekat dengan pria mana pun. Rasa cinta itu kembali tumbuh. Hasrat mereka yang sudah lama tidak terpuaskan kembali.
Seiring semakin masuknya ia ke dalam hidup Avan, ada satu fakta yang membuatnya takut untuk berkomitmen lebih dengan Avan walau justru kali ini pria inilah yang meminta untuk hidup bersamanya. Pria ini masih menyimpan dendam lama, ambisinya semakin besar sebanding dengan semakin besarnya perusahaan. Tentu saja waktunya akan habis tersita untuk perusahaan. Seperti yang Avan bilang, perusahaannya adalah yang nomor satu.
Akan sulit untuk membuat Aileen yang semakin besar dan berkembang memiliki sosok ayah yang hampir tidak pernah hadir di sisinya. Selamanya mereka akan selalu menjadi prioritas ke dua dibanding perusahaan. Karena itu Vania lebih memilih Avan sebagai pacar dan tidak lebih. Saat ini tampaknya semuanya senang dengan status ini.
Beberapa kali saat mereka akan berkencan, Avan sudah lelah setelah meeting panjang. Suatu hari Avan memberinya tawaran mengagetkan.
“Aku akan menikahimu jika perusahaan Barli sudah hancur. Kamu cari cara untuk menyusup ke sana.”
Jantung Vania seolah berhenti berdetak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments