Harta, Tahta, Biduanita
"Masih semangat untuk bergoyang...?!"
"Masih..!" Sahut penonton dengan kompak.
Suara musik kembali terdengar.
"Malam ini, saya ucapkan selamat, sekali lagi untuk pasangan pengantin baru Mas Ari dan Mbak Hana. Semoga langgeng selalu, sampai maut memisahkan."
Ucap sang biduan sambil tersenyum ke arah pasangan pengantin.
"Saya akan mempersembahkan lagu Sayang untuk pasangan pengantin."
Sang biduan memberi isyarat pada pemain musiknya untuk memainkan lagu Sayang dari Nella kharisma.
Sang biduan menyanyi sambil bergoyang penuh semangat, sambil mengajak penonton untuk maju ke dekat panggung untuk ikut berjoget.
Kali ini, sang biduan membawa lagu Nyidam Sari, yang membuat tamu bergoyang dan mengikuti liriknya. Termasuk dua mempelai.
Beberapa tamu lalu maju dan ikut bergoyang dengan gembira.
Bahkan ada yang naik ke panggung, dan menyelipkan selembar uang pada ikat pinggang sang biduan.
Tak hanya satu, kadang ada yang iseng menyelipkan uang di dada biduan itu, namun lalu ditepisnya, dan uangnya langsung masuk ke kantongnya.
Malam kian larut, dan pengantin sudah masuk ke dalam kamarnya.
Sang biduan masih terus menghibur tamu yang ada, hingga acara selesai.
"Kak, itu Pak Lurah." Hendi, yang sedang membereskan peralatan musiknya memberi isyarat pada kakaknya yang masih sibuk mengumpulkan uang hasil saweran.
Sang biduan yang bernama panggung Monica, dan memiliki nama asli Gendis, adalah yatim piatu, yang memiliki seorang adik bernama Hendi.
Mereka tinggal di kampung, pinggir kota, yang bekerja sebagai biduan dari panggung ke panggung.
Gendis sebagi sang penyanyi, sedang Hendi yang bertugas memainkan musiknya, dengan keyboard yang mereka beli seken dengan cara mencicil pada Mas Bayu, pemilik orkes besar di kampung itu.
Awalnya Gendis adalah penyanyi di orkes Mas Bayu, namun, lama kelamaan, banyak permintaan untuk berbagai acara, hingga Gendis memberanikan diri untuk bersolo karir, dengan bantuan Hendi, adiknya.
Hendi masih sekolah di SMK, jurusan mesin.
Dengan berbekal motor butut peninggalan bapak, dan gerobak untuk mengangkut alat musik mereka untuk keliling dari kampung ke kampung.
Hari ini mereka mendapat pekerjaan dari Pak Lurah kampung tetangga untuk menghibur para tamu dalam acara pernikahan anak sulung Pak Lurah, Mas Ari.
"Terima kasih sudah mengundang kami untuk menghibur para tamu." Ucap Gendis sambil merapikan pakaian menghampiri Pak Lurah.
"Saya yang terima kasih, Mbak Monica. Ini ada rejeki sekedarnya, dari kami. Mohon diterima." Ucap Pak Lurah sambil menyerahkan sebuah amplop tertutup.
"Terima kasih, Pak Lurah." Gendis menerima amplop tersebut sambil tersenyum mengangguk hormat.
"Pak, apakah kami boleh pamit dengan Bu Lurah?" Tanya Gendis lirih.
"Oh, silahkan." Pak Lurah lalu bergegas ke dalam rumah dan memanggil istrinya.
Bu lurah tersenyum sambil menghampiri Gendis. Gendis dan Hendi menyalami dan mencium punggung tangan Bu Lurah dengan sopan.
"Kami memang nggak salah panggil biduan. Kamu anaknya sopan. Ibu senang."
"Terima kasih, Bu. Kami yang berterima kasih mendapat rejeki pekerjaan." Sahut Gendis dengan sopan.
"Sama sama." Bu lurah tersenyum pada Gendis dan Hendi.
"Yakin, kalian akan pulang malam ini? Nggak nunggu besok pagi saja, abis subuh." Bu lurah terlihat sedikit khawatir.
"Tenang, Bu. Kami sudah biasa pulang larut malam. Besok Hendi harus sekolah juga. Lagian rumah kami hanya sekitar lima belas menit dari sini. Kami pamit dulu, Bu."
"Tunggu! Ini ada makanan untuk kalian. Bisa untuk sarapan besok pagi."
Bu Lurah menyerahkan plastik berisi makanan sisa hajatan.
Gendis menerima pemberian Bu lurah dengan senang hati, lalu bergegas untuk pulang.
"Kayaknya sawerannya lumayan, kak?" Tanya Hendi saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah.
"Alhamdulillah, Hen. Rejeki anak soleha." Sahut Gendis.
"Di saat banyak biduan biduan baru yang seksi, kita masih saja diberi rejeki." Sambung Gendis.
"Amin, kak."
"Nanti kalau sawerannya banyak, besok aku lunasi saja keyboard ke Mas Bayu. Nggak enak ngutang lama lama." Celetuk Gendis sambil merapatkan sisi jaketnya, karena udara berhembus makin dingin.
"Iya, Kak. Biar hasil manggung jadi utuh milik kita semua."
"Iya."
Kedua kakak beradik yang melaju dengan sepeda motor butut dengan gerobak di belakangnya, menembus udara malam menuju rumah peninggalan orang tua mereka.
Saat melewati area yang sedikit terjal, dengan semak semak di kanan kirinya, tiba tiba terdengar suara ledakan keras.
DUAR! DUAR!
Percikan api terbang sesaat setelah terdengar ledakan.
Hendi mengerem motornya dan menatap ke arah suara ledakan keras di atas bukit.
Gendis dan Hendi secara refleks melindungi kepala mereka dari percikan api yang terbang ke arah mereka.
"Apa itu, Hen?" Tanya Gendis sambil memegang erat ujung kemeja Hendi dengan rasa takut.
Kepulan asap dari atas bukit masih terlihat dan bau terbakar tercium menyengat.
"Aku takut, Hen. Kita pulang saja yuk!" Gendis makin mencengkram erat baju adiknya, bahkan menariknya.
"Sepertinya ada mobil meledak di jalan atas bukit." Gumam Hendi.
"Sudahlah, itu kan jalan raya, ramai kendaraan. Jika ada kejadian seperti itu pasti akan cepat tertangani." Sahut Gendis cepat.
"Sudah, yuk, kita pulang saja. Sudah larut malam juga ini, besok kamu juga harus sekolah." Kini Gendis menepuk bahu Hendi, untuk segera pulang, dan tak ingin terkena masalah.
Hendi yang semula ingin memeriksa keadaan, mengurungkan niatnya, karena ingat besok harus sekolah. Hendi membenarkan ucapan kakak perempuannya itu, dan mulai menghidupkan motor butut peninggalan ayahnya itu.
Sekitar lima menit perjalanan mereka menyusuri jalan setapak, yang kanan kirinya bukit dan semak belukar. Namun, terasa lama bagi Gendis setelah kejadian tadi. Berkali-kali dia menengok ke kanan dan kiri dengan waspada, sambil terus fokus memeriksa gerobak dan isinya masih ada di belakangnya.
Sebenarnya mereka sudah biasa melalui jalan itu, tapi, sejak kejadian barusan, menimbulkan kekhawatiran bagi Gendis.
"To...to..tolong...tolong...too..long!" Terdengar suara meminta tolong dan merintih kesakitan.
"Hen, kamu dengar itu?" Gendis menarik ujung kemeja adiknya.
"Dengar apa, Kak?"
"Suara itu?"
"Suara apa, Kak?" Hendi mengerutkan keningnya.
"Tolong...tolong..."
Suara itu terdengar lagi, kali ini Hendi menghentikan kembali motornya dan menajamkan pendengarannya.
"Sepertinya dari arah sana, Kak." Hendi menunjuk arah semak semak di bawah bukit.
Hendi turun dari motornya, disusul Gendis yang masih memegangi baju adiknya.
"Jangan, Hen! Aku takut. Jangan jangan perampok." Gendis mengencangkan pegangan tangannya pada lengan adiknya.
"Tenang Kak, aku akan berhati-hati."
Hendi perlahan menghampiri semak yang bergerak gerak.
"Tolong." Rintihnya pelan, saat melihat ada yang mendekat.
Hendi bergegas menghampiri saat melihat ada seseorang di sana meminta tolong.
"Tunggu!" Cegah Gendis.
Hendi menoleh ke arah kakaknya.
"Hei, kamu orang atau setan? Beneran minta tolong atau mau merampok kami?" Tanya Gendis dengan suara agak keras.
"Tolong aku." Sosok itu kembali merintih dengan suara lirih.
Hendi menyalakan senter pada ponselnya, dan menuju ke arah sosok yang meminta tolong tanpa memedulikan kakaknya yang berkali kali meneriakkan hati hati dan awas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments