"Masih semangat untuk bergoyang...?!"
"Masih..!" Sahut penonton dengan kompak.
Suara musik kembali terdengar.
"Malam ini, saya ucapkan selamat, sekali lagi untuk pasangan pengantin baru Mas Ari dan Mbak Hana. Semoga langgeng selalu, sampai maut memisahkan."
Ucap sang biduan sambil tersenyum ke arah pasangan pengantin.
"Saya akan mempersembahkan lagu Sayang untuk pasangan pengantin."
Sang biduan memberi isyarat pada pemain musiknya untuk memainkan lagu Sayang dari Nella kharisma.
Sang biduan menyanyi sambil bergoyang penuh semangat, sambil mengajak penonton untuk maju ke dekat panggung untuk ikut berjoget.
Kali ini, sang biduan membawa lagu Nyidam Sari, yang membuat tamu bergoyang dan mengikuti liriknya. Termasuk dua mempelai.
Beberapa tamu lalu maju dan ikut bergoyang dengan gembira.
Bahkan ada yang naik ke panggung, dan menyelipkan selembar uang pada ikat pinggang sang biduan.
Tak hanya satu, kadang ada yang iseng menyelipkan uang di dada biduan itu, namun lalu ditepisnya, dan uangnya langsung masuk ke kantongnya.
Malam kian larut, dan pengantin sudah masuk ke dalam kamarnya.
Sang biduan masih terus menghibur tamu yang ada, hingga acara selesai.
"Kak, itu Pak Lurah." Hendi, yang sedang membereskan peralatan musiknya memberi isyarat pada kakaknya yang masih sibuk mengumpulkan uang hasil saweran.
Sang biduan yang bernama panggung Monica, dan memiliki nama asli Gendis, adalah yatim piatu, yang memiliki seorang adik bernama Hendi.
Mereka tinggal di kampung, pinggir kota, yang bekerja sebagai biduan dari panggung ke panggung.
Gendis sebagi sang penyanyi, sedang Hendi yang bertugas memainkan musiknya, dengan keyboard yang mereka beli seken dengan cara mencicil pada Mas Bayu, pemilik orkes besar di kampung itu.
Awalnya Gendis adalah penyanyi di orkes Mas Bayu, namun, lama kelamaan, banyak permintaan untuk berbagai acara, hingga Gendis memberanikan diri untuk bersolo karir, dengan bantuan Hendi, adiknya.
Hendi masih sekolah di SMK, jurusan mesin.
Dengan berbekal motor butut peninggalan bapak, dan gerobak untuk mengangkut alat musik mereka untuk keliling dari kampung ke kampung.
Hari ini mereka mendapat pekerjaan dari Pak Lurah kampung tetangga untuk menghibur para tamu dalam acara pernikahan anak sulung Pak Lurah, Mas Ari.
"Terima kasih sudah mengundang kami untuk menghibur para tamu." Ucap Gendis sambil merapikan pakaian menghampiri Pak Lurah.
"Saya yang terima kasih, Mbak Monica. Ini ada rejeki sekedarnya, dari kami. Mohon diterima." Ucap Pak Lurah sambil menyerahkan sebuah amplop tertutup.
"Terima kasih, Pak Lurah." Gendis menerima amplop tersebut sambil tersenyum mengangguk hormat.
"Pak, apakah kami boleh pamit dengan Bu Lurah?" Tanya Gendis lirih.
"Oh, silahkan." Pak Lurah lalu bergegas ke dalam rumah dan memanggil istrinya.
Bu lurah tersenyum sambil menghampiri Gendis. Gendis dan Hendi menyalami dan mencium punggung tangan Bu Lurah dengan sopan.
"Kami memang nggak salah panggil biduan. Kamu anaknya sopan. Ibu senang."
"Terima kasih, Bu. Kami yang berterima kasih mendapat rejeki pekerjaan." Sahut Gendis dengan sopan.
"Sama sama." Bu lurah tersenyum pada Gendis dan Hendi.
"Yakin, kalian akan pulang malam ini? Nggak nunggu besok pagi saja, abis subuh." Bu lurah terlihat sedikit khawatir.
"Tenang, Bu. Kami sudah biasa pulang larut malam. Besok Hendi harus sekolah juga. Lagian rumah kami hanya sekitar lima belas menit dari sini. Kami pamit dulu, Bu."
"Tunggu! Ini ada makanan untuk kalian. Bisa untuk sarapan besok pagi."
Bu Lurah menyerahkan plastik berisi makanan sisa hajatan.
Gendis menerima pemberian Bu lurah dengan senang hati, lalu bergegas untuk pulang.
"Kayaknya sawerannya lumayan, kak?" Tanya Hendi saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah.
"Alhamdulillah, Hen. Rejeki anak soleha." Sahut Gendis.
"Di saat banyak biduan biduan baru yang seksi, kita masih saja diberi rejeki." Sambung Gendis.
"Amin, kak."
"Nanti kalau sawerannya banyak, besok aku lunasi saja keyboard ke Mas Bayu. Nggak enak ngutang lama lama." Celetuk Gendis sambil merapatkan sisi jaketnya, karena udara berhembus makin dingin.
"Iya, Kak. Biar hasil manggung jadi utuh milik kita semua."
"Iya."
Kedua kakak beradik yang melaju dengan sepeda motor butut dengan gerobak di belakangnya, menembus udara malam menuju rumah peninggalan orang tua mereka.
Saat melewati area yang sedikit terjal, dengan semak semak di kanan kirinya, tiba tiba terdengar suara ledakan keras.
DUAR! DUAR!
Percikan api terbang sesaat setelah terdengar ledakan.
Hendi mengerem motornya dan menatap ke arah suara ledakan keras di atas bukit.
Gendis dan Hendi secara refleks melindungi kepala mereka dari percikan api yang terbang ke arah mereka.
"Apa itu, Hen?" Tanya Gendis sambil memegang erat ujung kemeja Hendi dengan rasa takut.
Kepulan asap dari atas bukit masih terlihat dan bau terbakar tercium menyengat.
"Aku takut, Hen. Kita pulang saja yuk!" Gendis makin mencengkram erat baju adiknya, bahkan menariknya.
"Sepertinya ada mobil meledak di jalan atas bukit." Gumam Hendi.
"Sudahlah, itu kan jalan raya, ramai kendaraan. Jika ada kejadian seperti itu pasti akan cepat tertangani." Sahut Gendis cepat.
"Sudah, yuk, kita pulang saja. Sudah larut malam juga ini, besok kamu juga harus sekolah." Kini Gendis menepuk bahu Hendi, untuk segera pulang, dan tak ingin terkena masalah.
Hendi yang semula ingin memeriksa keadaan, mengurungkan niatnya, karena ingat besok harus sekolah. Hendi membenarkan ucapan kakak perempuannya itu, dan mulai menghidupkan motor butut peninggalan ayahnya itu.
Sekitar lima menit perjalanan mereka menyusuri jalan setapak, yang kanan kirinya bukit dan semak belukar. Namun, terasa lama bagi Gendis setelah kejadian tadi. Berkali-kali dia menengok ke kanan dan kiri dengan waspada, sambil terus fokus memeriksa gerobak dan isinya masih ada di belakangnya.
Sebenarnya mereka sudah biasa melalui jalan itu, tapi, sejak kejadian barusan, menimbulkan kekhawatiran bagi Gendis.
"To...to..tolong...tolong...too..long!" Terdengar suara meminta tolong dan merintih kesakitan.
"Hen, kamu dengar itu?" Gendis menarik ujung kemeja adiknya.
"Dengar apa, Kak?"
"Suara itu?"
"Suara apa, Kak?" Hendi mengerutkan keningnya.
"Tolong...tolong..."
Suara itu terdengar lagi, kali ini Hendi menghentikan kembali motornya dan menajamkan pendengarannya.
"Sepertinya dari arah sana, Kak." Hendi menunjuk arah semak semak di bawah bukit.
Hendi turun dari motornya, disusul Gendis yang masih memegangi baju adiknya.
"Jangan, Hen! Aku takut. Jangan jangan perampok." Gendis mengencangkan pegangan tangannya pada lengan adiknya.
"Tenang Kak, aku akan berhati-hati."
Hendi perlahan menghampiri semak yang bergerak gerak.
"Tolong." Rintihnya pelan, saat melihat ada yang mendekat.
Hendi bergegas menghampiri saat melihat ada seseorang di sana meminta tolong.
"Tunggu!" Cegah Gendis.
Hendi menoleh ke arah kakaknya.
"Hei, kamu orang atau setan? Beneran minta tolong atau mau merampok kami?" Tanya Gendis dengan suara agak keras.
"Tolong aku." Sosok itu kembali merintih dengan suara lirih.
Hendi menyalakan senter pada ponselnya, dan menuju ke arah sosok yang meminta tolong tanpa memedulikan kakaknya yang berkali kali meneriakkan hati hati dan awas.
Hendi sangat terkejut saat melihat dengan jelas sosok yang merintih minta tolong itu. Seorang lelaki, berlumur darah, dan agak kehitaman gosong.
"Astaga!" Pekik Hendi, mempercepat langkahnya dan menghampiri sosok itu, lalu memapah tubuh lelaki itu.
"Pak, apakah anda bisa mendengar saya?" Tanya Hendi.
"Tolong aku." Ucapnya lirih.
"Kak, sini, bantu aku!" Teriak Hendi dari arah semak tadi.
Gendis berlari kecil menghampiri Hendi, dan melihat sendiri sosok lelaki berlumur darah dan agak gosong.
"Astaga, Hen! Apa ini?" Gendis menutup mulutnya dengan tangannya karena terkejut.
"Kita harus menolongnya, Kak! Ayo bantu aku bawa ke gerobak." Sahut Hendi.
Gendis bergegas membantu Hendi, memapah lelaki yang terluka itu, dan m membawa ke gerobak.
Hendi menata kembali peralatan musiknya, dan memberi ruang kosong pada lelaki itu supaya dapat diletakkan di atas gerobak.
"Hen, kayaknya susah kalo ditaruh di situ. Sudah, bonceng saja. Aku yang duduk di gerobak." Gendis memberi saran.
Hendi menghela napas, sambil menatap kakaknya lalu manggut-manggut setuju.
"Pak, bapak bisa dengar saya?" Tanya Hendi pada lelaki yang kini dipapah oleh Gendis.
Lelaki itu mengangguk lemah.
Hendi telah naik ke motornya, Gendis memapah dan membantu lelaki yang terluka itu naik ke motornya dengan baik. Gendis memastikan, lelaki itu untuk berpegang pada Hendi. Lalu naik ke gerobak.
"Sudah, Kak?"
"Sudah. Ayo jalan!"
Motor butut dengan banyak muatan itu akhirnya melaju dengan kecepatan maksimalnya menembus kegelapan malam dan dinginnya udara saat itu.
"Hen, bisa lebih cepat lagi nggak? Sepertinya mau hujan." Teriak Gendis sambil membuka tangannya.
"Ini sudah kecepatan maksimal, kak." Sahut Hendi dengan suara kencang.
Akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang semi permanen. Rumah kecil terlihat asri, dengan penerangan lampu 5 Watt.
Hendi langsung menghentikan motornya di teras rumah, Gendis dengan cekatan langsung memegangi lelaki yang terluka itu.
Hendi membuka pintu rumah, dan langsung membantu kakaknya memapah, membawa masuk lelaki itu ke dalam rumah.
Gendis dan Hendi meletakkan lelaki itu di kursi ruang tamu, yang terbuat dari kayu.
Gendis segera mengambil bantal dan kain untuk sandaran lelaki itu.
Lelaki yang terluka itu hanya memperhatikan Gendis dan adiknya yang lalu lalang di depannya.
Gendis membawa baskom dan perlengkapan p3k dan menaruh di meja. Sedangkan adiknya sibuk memasukkan barang yang ada di luar.
Lalu tak lama hujan turun dengan derasnya. Angin berhembus kencang, membuat Gendis menutup pintu rumahnya.
"Kamu bersihkan diri dulu, istirahat, besok kamu harus sekolah." Ucap Gendis pada adiknya.
Lalu dia menghampiri lelaki itu dan membersihkan tubuh lelaki itu.
Gendis membuka kemeja lelaki itu yang menghitam karena terbakar.
Berkali-kali gendis mengucapkan kata ya ampun, astaga, aduh, saat membersihkan luka pada tubuh lelaki itu.
Saat membersihkan luka di wajah lelaki itu, Gendis menatapnya dengan rasa iba.
Saat membersihkan bagian punggung, terlihat sebuah tato dengan gambar naga pada punggung sebelah kanan.
Gendis menghela napas dalam-dalam, berdoa semoga lelaki ini adalah orang baik, dan tidak bermaksud jahat padanya dan adiknya. Gendis selalu beranggapan, jika lelaki bertato adalah preman.
Gendis lalu meneruskan membersihkan luka dan memberi obat pada luka bakarnya.
Lelaki itu menatap wajah Gendis yang masih memakai riasan sedikit menor, dengan lipstik merah cabe. Aroma wangi parfum murahan, dan pakaian seksi. Sebenarnya bukan seksi. Saat itu Gendis mengenakan celana jeans agak ketat, dan kemeja dengan belahan dada agak sedikit terbuka.
Lelaki itu mengira Gendis adalah wanita panggilan.
Tapi, saat melihat sekilas benda dalam gerobak, adalah alat musik, dan mic speaker, lelaki itu tersenyum.
"Mungkin dia seorang penyanyi kampung." Tebak lelaki itu dalam hati.
"Kamu ganti bajumu dengan pakaian ini, supaya nyaman."
Gendis menyodorkan kaos dan celana panjang pada lelaki itu.
Lelaki itu mengangguk, lalu gendis membantunya menuju kamar, untuk berganti pakaian.
Setelah itu, Gendis menaruh pakaian yang penuh dengan darah dan terbakar, dimasukkan dalam kantong plastik.
Gendis membiarkan lelaki itu merebahkan tubuhnya ke atas kasur kamar itu dan beristirahat.
*
"Kamu sarapan dulu, nanti sebelum berangkat sekolah kamu bawa orang itu ke Puskesmas. Nanti aku susul jalan kaki." Gendis meletakkan makanan pemberian Bu Lurah dari hajatan semalam.
"Iya, Kak." Hendi keluar dari kamarnya sambil merapikan pakaian seragamnya.
"Alhamdulillah, hasil saweran banyak. Kita bisa lunasi hutang kita ke Mas Bayu." Ucap Gendis sambil tersenyum.
"Alhamdulillah, ya, Kak." Sahut Hendi sambil duduk di kursi makan.
"Aku mandi dulu, ya. Kalau orang itu sudah bangun, tolong bantu sebentar." Pesan Gendis, dan dijawab anggukan kepala oleh Hendi.
Usai membersihkan tubuhnya, Gendis kembali ke ruang tengah.
Di sana lelaki yang terluka itu telah duduk di kursi makan bersama Hendi.
Menikmati makanan yang ada di sana.
Gendis tersenyum.
"Kamu sudah bangun. Bagaimana lukamu?" Gendis menghampiri sambil memeriksa beberapa luka bakar yang sedikit parah di bagian punggung dan wajah.
Gendis tertegun saat menatap wajah lelaki itu.
Ternyata wajah tampan, tidak seperti orang biasa.
Gendis menundukkan kepalanya tak enak dan malu, lalu mundur dan berlalu ke dapur.
"Mau kopi atau teh?" Tanya Gendis dari dapur.
"Kopi, jangan terlalu manis." Sahut lelaki itu dengan suara bariton nya.
Tak lama Gendis keluar dari dapur sambil membawa secangkir kopi dan meletakkan di depan lelaki itu.
"Terima kasih."
Gendis mengangguk.
"Nanti Hendi akan mengantar kamu ke puskesmas, supaya lukamu dapat ditangani dengan baik. Nanti aku akan susul ke sana sambil jalan kaki."
Lelaki itu mengangguk sambil menyesap kopinya.
Wajah Gendis yang tanpa make up terlihat lebih cantik. Cantik natural, dengan kulit kuning Langsat. Membuat lelaki itu sedikit terpana menatap Gendis.
"Ayo Hen, buruan makannya! Ini bekalnya, jangan lupa! Lalu ini uang sakumu." Gendis menaruh kotak makan dan botol minum di atas meja, dan selembar uang sepuluh ribu.
Si adik, memasukkan kotak makan dalam tas, dan botol minum di sela tas.
*
Lelaki itu kini tengah dalam perawatan dokter di puskesmas kampung Gendis.
"Bagaimana Dokter lukanya?" Tanya Gendis dengan raut khawatir.
"Tenang saja Mbak. Untung lukanya segera dibersihkan, jika tidak mungkin akan lebih parah. Untuk wajahnya, mungkin perlu ke dokter kulit." Terang Sang dokter.
Gendis memeriksa ponselnya yang ternyata dari Mas Bayu yang memberi pekerjaan padanya untuk menghibur di hajatan.
Tanpa berpamitan, Gendis buru buru pergi meninggalkan puskesmas itu dan menuju ke tempat Mas Bayu untuk bersiap-siap bekerja.
*
Beberapa orang berpakaian rapi menuju ke puskesmas, dan dengan mudah menemukan lelaki itu, lalu setelah membayar biaya pengobatan, langsung membawa pergi sang lelaki misterius korban mobil meledak itu.
Tak selang lama mobil yang membawa lelaki misterius itu pergi, datanglah polisi menuju ke puskesmas.
Lelaki misterius itu hanya melirik sekilas pada mobil polisi yang berpapasan dengannya.
Lelaki itu, sekilas menoleh kembali ke desa kecil itu, saat mobil melintasi gapura keluar dari sana. Lalu mengenakan kacamata hitamnya.
Tiga Bulan Kemudian....
"Apakah sudah siap, Tuan? Sebentar lagi kita akan mendarat di Indonesia."
Lelaki itu mengangguk sambil memberi isyarat untuk meninggalkan dirinya sendiri.
Lelaki itu menatap bayangan wajahnya pada cermin yang ada di dekat sandaran bangku.
Lelaki itu adalah Rama Herlambang, CEO Herlambang Corp yang bergerak di bidang otomotif.
Rama saat ini membantu tugas kakeknya yang sudah tua untuk mengurus perusahaan.
Namun, saat dalam perjalanan kembali dari meninjau pabrik, mobil Rama kecelakaan dan meledak. Beruntung Rama selamat, hanya wajahnya saja yang harus sedikit mendapatkan perawatan supaya dapat kembali seperti semula.
Setelah tiga bulan menjalani perawatan, Rama telah sembuh dan siap bekerja kembali dan mencari tahu siapa yang hendak mencelakai dirinya.
*
*
"Kakek, mau pesan apa?" Tanya Gendis dengan sopan saat melihat seorang kakek berdiri di depan etalase rumah makan tempatnya bekerja.
Kakek itu terlihat bingung.
Gendis meladeni pembeli yang lain, lalu setelah itu dia mengambil nasi lengkap dengan sayur dan lauk serta teh manis hangat. Lalu menepuk bahu si kakek pelan.
"Ayo, Kek. Duduk!"
Gendis membimbing si kakek untuk duduk, lalu menaruh piring berisi nasi lengkap dengan sayur dan lauknya, lalu meletakkan segelas teh hangat dan air putih di depannya.
"Silahkan makan, Kek." Ucap Gendis sambil tersenyum.
Kakek itu tersenyum, lalu perlahan menikmati makanan yang diberikan padanya itu.
Dua bulan yang lalu Gendis pergi merantau ke Jakarta, kota metropolitan untuk menjadi penyanyi di kafe bersama kelompok band.
Saat itu secara tak sengaja, saat Gendis manggung, dia mendengar keponakan dari pemilik hajatan sedang mengeluh mencari vocalis pengganti untuk bandnya sementara waktu, karena vocalisnya sedang hamil.
Gendis langsung mengajukan menawarkan diri menjadi vokalis. Hal itu karena Hendi sedang training di sebuah pabrik otomotif selama enam bulan di kota metropolitan itu.
Itulah yang menyebabkan akhirnya Gendis nekad meninggalkan kampungnya untuk mengadu nasib sambil bisa dekat dengan adiknya.
Setiap akhir pekan, Gendis menyempatkan diri mengunjungi adiknya di mess tempat tinggalnya di dekat pabrik, membawakan makanan dan sedikit penghasilannya untuk uang saku adiknya.
Tak jarang, jika libur, Hendi juga datang ke kafe menonton kakaknya yang manggung, sambil mengunjunginya.
Jika siang hari, Gendis bekerja di warung makan dari pagi hingga menjelang sore.
Ketika menjelang malam, Gendis bekerja menjadi penyanyi di kafe. Bukan hanya satu kafe, tapi ada empat kafe, yang secara rutin menggunakan jasa band tempat Gendis bekerja sebagai penghibur.
"Berapa?" Tanya Kakek menghampiri Gendis yang sedang mengelap piring yang sudah bersih.
"Nggak usah, Kek. Kebetulan ini hampir tutup. Jadi gratis. Tapi,bitu bukan sisa ya, Kek. Saya juga melanda itu juga ini." Gendis menunjukkan kotak bekalnya yang telah berisi makanan dari rumah makan itu juga.
"Terima kasih." Ucap sang kakek.
Lalu kakek itu berlalu dari rumah makan kecil itu..
"Kek..!" Panggil Gendis sambil berlari memanggil sang kakek.
Kakek itu menoleh.
"Ini ada mendoan goreng. Masih hangat. Saya yang membuat. Silahkan dibawa, buat dimakan di rumah."
Gendis menyodorkan plastik berisi mendoan.
Kakek itu, menatap pada Gendis penuh haru.
"Terima kasih, cu. Kamu baik sekali." Kakek itu menerima bungkusan pemberian Gendis.
"Sama sama, Kek. Hati hati di jalan, ya."
Gendis melambaikan tangannya, lalu berbalik kembali ke rumah makan tempat ya bekerja.
*
Gendis tak menyadari bahwa kakek itu adalah orang yang sangat kaya raya. Pemilik perusahaan otomotif dan perkebunan karet, sawit, dan kopi.
Kakek itu bernama Hartawan Herlambang. Pemilik Herlambang Corp yang sedang bosan berada di rumah saja.
Hartawan sangat terkesan dengan Gendis. Gadis yang Ayu, tutur katanya sopan, bahkan melayani pembeli dengan ramah, tanpa membeda-bedakan mau itu muda atau tua, dandanan rapi atau kumel, ganteng atau tidak, laki laki atau perempuan. Gendis selalu tersenyum ramah saat meladeni pembeli.
Bahkan saat ada yang merayunya, gadis itu hanya tersenyum, dan tak menanggapinya, namun tetap melanjutkan pekerjaannya.
Hartawan, beberapa kali menikmati makanan di warung itu.
Mulanya, dia bosan di rumah. Karena kelaparan, dia mampir ke warung makan yang menjajakan masakan rumahan ala warteg.
"Yah, aku lupa nama gadis itu." Hartawan menepuk keningnya, lalu berjalan menuju sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman sebuah hotel.
Setelah duduk di bangku belakang, Lelaki tua itu meminta sopirnya untuk segera pulang. Karena hari ini adalah kepulangan dari Rama, cucu kesayangannya.
*
"Kakek..!" Rama memeluk Hartawan Herlambang dengan rasa sayang saat mereka berjumpa.
Hartawan memiliki dua anak, yaitu Restu dan Dimas.
Restu menikah dengan sahabatnya, bernama Silvi. Yang telah dikaruniai dua anak Karina dan Rama.
Dimas juga telah menikah dengan Mayang, dan mereka belum dikaruniai anak.
Keluarga Herlambang telah membangun bisnis mereka turun temurun.
Restu, ayah Rama merupakan pemimpin yang handal dan pekerja keras serta disiplin. Namun, sayang kecelakaan membuatnya kehilangan nyawa, dan membuat kesedihan tersendiri pada keluarga Herlambang, terutama bagi Rama dan Hartawan.
Karina memilih cita citanya menjadi dokter bedah, dan menolak meneruskan tampuk kekuasaan perusahaan.
Dimas telah memiliki bagiannya sendiri dalam perusahaan, namun, sang istri Mayang ternyata memiliki niat berbeda.
Mayang sengaja masuk ke keluarga Herlambang untuk mengeruk keuntungan sendiri.
Mayang memiliki niat tersendiri, bahkan secara berani melakukan hal yang tidak baik bagi keluarga itu.
Kecelakaan Rama tempo hari adalah ulah dari suruhan Mayang, yang menginginkan seluruh kekayaan keluarga Herlambang jatuh ke tangannya. Bahkan kecelakaan Restu, juga merupakan ulahnya juga.
Silvi, istri Restu menyadari hal itu, namun, dia belum ada buktinya. Namun, dia telah curiga, bahwa saudara iparnya itu yang telah berbuat jahat pada keluarganya.
"Wow... Lihatlah, cucuku terlihat sangat tampan sekali, sudah seperti artis Korea!" Seru Hartawan sambil memegang pipi Rama, cucunya.
Silvi yang menyaksikan hal itu terkekeh.
"Kakek, aku operasinya di Amerika, bukan di Korea." Sahut Rama sambil tersenyum lebar.
"Mau operasi di mana saja, kamu tetap cucu tampannya kakek. Wajahmu itu mengingatkan akan papamu."
Rama terdiam menatap kakeknya. Keduanya tenggelam dalam rasa sedih selama ini.
"Bagaimana, jika kita makan dulu! Tadi Mama sudah memasak soto ayam kampung kesukaan kamu." Silvi mengalihkan pembicaraan sambil mendekati putranya.
"Ayo, ayah juga harus makan. Aku tidak mau, sakit ayah akan kambuh, jika tidak teratur makannya! Karina sampai kesal dibuat oleh Kakek, karena bandel makannya." Silvi menggelengkan kepalanya.
Rama terkekeh.
Silvi menggandeng dua lelaki beda jaman itu menuju ke meja makan, lalu menyiapkan piring dan menaruhnya tepat di depan dua lelaki itu.
Hartawan menatap menantunya dengan rasa sayang.
"Aku ingin punya cucu mantu yang seperti kamu, Vi!" Celetuk Hartawan.
Silvi hanya tersenyum sambil melirik ke arah Rama.
Rama pura pura tak mendengar ucapan kakeknya itu.
Usai kekasihnya yang seorang artis itu meninggalkan Rama, berpaling dengan bodyguardnya lima tahun silam, membuat Rama tak percaya namanya cinta.
Menganggap wanita hanyalah pemuas dan hiburan saja baginya selama ini.
"Jadi, kamu harus banyak belajar setelah ini." Ucapan kakek bagai titah, seketika mendapat perhatian dari Rama.
"Aku janji akan membantu kakek." Sahut Rama dengan raut wajah serius.
"Kakek tahu. Tapi kakek tidak ingin kamu melakukan sendiri. Kakek sudah tua, kakek ingin sekali menimang cicit darimu sebelum kakek meninggal."
"Tapi, Kek."
"Sudahlah Ram, mau sampai kapan lagi, kamu akan menutup hatimu. Perempuan itu bukan hanya pemain sinetron itu saja. Masih banyak perempuan yang lain. Kamu harus mencari yang seperti mamamu. Seorang perempuan yang setia dan kuat secara mental." Pesan sang kakek.
Rama hanya bisa menghela napas. Silvi tersenyum sambil menepuk bahu putranya dengan sayang.
"Kamu adalah penerus Kakek, setelah papamu tiada."
"Kan ada Om Dimas?"
Kakek menggelengkan kepalanya.
"Bagian Dimas sudah ada. Kau tahu, kakek tidak bisa membandingkan kinerja kamu dan om kamu. Tapi, jujur, kakek lebih sreg denganmu. Kamu itu gesit dan lincah seperti papamu. Lagi pula, kamu tahu istri Dimas itu seperti apa gaya hidupnya. Kakek tidak mau perusahaan yang telah susah payah dirintis, lalu papamu telah berjuang dengan segenap hidupnya mengabdikan pada perusahaan, hancur karena ulah iparnya yang bergaya sosialita."
"Tapi, Kek.."
"Ssttt.... Tidak ada tapi tapian. Jika dalam satu bulan kamu tak punya kandidat, biar kakek yang mencarikan untukmu, dan kamu tidak boleh menolaknya." Kakek telah mengangkat telunjuknya, memberi isyarat tak dapat dibantah.
"Atau kamu ingin perusahaan ini hancur ditangan om kamu!" Ancam kakek kemudian.
Silvi menepuk bahu Rama dengan lembut.
Rama hanya bisa menghela napas dalam-dalam.
Ucapan kakek membuat selera makannya langsung hilang, padahal soto ayam kampung buatan mamanya adalah makanan favoritnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!