Rama melepas kacamata hitamnya dan menatap rumah kecil semi permanen di depannya meyakinkan dirinya.
Rumah itu tampak sepi, seolah tak berpenghuni. Pintu tertutup rapat, bahkan jendelanya pun tertutup. Seolah tak ada tanda kehidupan di dalamnya.
"Yang ini Tuan?" Tanya Joko ajudannya.
Rama terdiam, ada keraguan dalam hatinya. Namun, dia sangat yakin ini rumahnya. Rumah kakak beradik yang menolongnya malam itu.
Rama menghela napas dalam dalam.
"Maaf, Tuan mencari siapa?" Tanya seorang warga desa itu yang kebetulan melintas di sana.
"Apakah penghuninya ada?" Tanya Rama.
"Oh, sepertinya penghuninya pergi. Coba tanya Mas Bayu. Soalnya Monica sering ke tempat Mas Bayu, salah satu artisnya." Sahut warga desa itu.
"Mas Bayu?" Rama mengerutkan keningnya.
"Iya, orkes Mas Bayu yang di dekat rumah Pak lurah desa. Mungkin dia tahu di mana Monica sekarang tinggal. Kalau adiknya sedang training di pabrik dekat kota." Terang warga itu kemudian.
Rama manggut-manggut mengerti. Dia ingat, wanita yang menolongnya itu memanggil adiknya dengan nama Hendi.
"Maaf, Tuan ini siapa ya?" Tanya warga itu penuh selidik.
"Oh, saya temannya. Teman lamanya. Apakah sudah lama Hendi pergi dari rumah?"
"Sekitar dua bulan yang lalu, terus Monica kakaknya selang berapa hari menyusul. Jadi rumahnya kosong. Coba tanya saja sama Mas Bayu. Mereka sering pergi ke sana."
"Baik, Pak. Terima kasih." Sahut Rama dengan sopan sambil tersenyum.
Setelah warga itu pergi. Rama segera masuk mobil diikuti oleh Joko.
"Jok, kita ke rumah Mas Bayu. Dekat rumah pak Lurah, katanya. Coba nanti kamu tanya warga lain jika tidak tahu."
"Baik, Tuan."
Mobil berhenti tepat di sebuah rumah yang besar untuk ukuran di desa. Di depan rumah tertulis papan nama 'Orkes Mas Bayu'.
"Ini tempatnya." Gumam Rama.
Rama bergegas turun dan menuju ke tempat itu.
Terdengar suara orang menyanyi, dan tertawa tawa.
"Cari siapa, Mas?" Tanya seorang wanita dengan pakaian seksi, kaos ketat dan rok pendek sepaha, dengan suara centil menggoda.
"Mas Bayu ada?"
"Sebentar."
Wanita itu segera masuk ke dalam, dan tak lama seorang lelaki, mungkin seusia Rama keluar dari arah dalam.
"Mencari saya?" Tanyanya.
"Mas Bayu?"
"Ya, saya sendiri."
"Saya Rama, teman Hendi dan Monica. Saya mencari mereka, namun rumahnya kosong. Kebetulan tadi ada warga yang lewat, dan katanya mungkin Mas Bayu tahu di mana mereka tinggal saat ini atau nomor yang bisa saya hubungi."
Mas Bayu menatap Rama penuh selidik.
"Teman apa? Teman siapa, Hendi atau Monica?"
Rama ragu hendak menjawab apa. Dia yakin Mas Bayu mengenal mereka lebih baik dibandingkan dirinya.
"Oohhh...ya... Di acara hajatan kampung sebelah. Waktu itu saya melihat mereka manggung. Saya mencari mereka untuk menawarkan pekerjaan mengisi acara di kantor." Tiba tiba terlintas pikiran seperti itu di kepala Rama.
Dan Rama menjawab dengan tenang dan penuh percaya diri.
Raut keraguan di wajah Mas Bayu perlahan memudar.
"Oh, hajatannya pasti sudah lama ya, Mas?"
"Iya, lumayan lah. Bener bulan yang lalu."
"Pantas!"
"Pantas, kenapa?" Tanya Rama bingung.
"Mereka sudah pindah ke kota dua bulan yang lalu. Nggak tahu untuk seterusnya, atau bakal balik ke sini." Sahut Mas Bayu.
"Ohh.." Rama menghela napas panjang, ada kekecewaan semburat di wajahnya.
"Masnya tinggal di mana?" Tanya Mas Bayu.
"Saya tinggal di Jakarta, Mas."
"Nah, kebetulan. Monica ke Jakarta. Dia ikut band dari Jakarta, kemarin sedang mencari vokalis pengganti sementara, katanya. Ini nomor ponselnya, Monica."
Seketika Rama berbinar. Mas Bayu mengambil secarik kertas dan pena, lalu menuliskan nomornya di kertas itu.
Rama menerima dengan senyum yang lebar secarik kertas itu dari sodoran Mas Bayu.
Setelah mengucapkan terima kasih. Rama berpamitan dan langsung masuk ke mobil untuk pulang.
"Kenapa cari biduan sih, Tuan? Kenapa nggak artis atau penyanyi, atau model saja yang sudah jelas cantiknya." Celetuk Joko saat dalam perjalanan.
Rama terkekeh.
"Dia yang terpikir di otakku. Semalaman aku mikir bakal cari calon istri di mana lagi. Kamu kan tahu, aku punya pengalaman buruk sama artis yang sudah tenar dan sudah terendus infotainment. Aku kapok, Jok." Sahut Rama, pada ajudan plus sopir pribadinya itu.
"Memangnya cantik?"
"Ya, lumayanlah. Tinggal poles dikit saja di make up artis atau salon, pasti beres." Tukas Rama.
*
Gendis berjalan menuju kost, setelah bekerja dari warung makan.
Matanya menangkap sosok kakek langganan warung sedang duduk termenung di pinggir jalan.
Gendis menghampiri.
"Loh, Kakek, kok di sini?"
"Saya bingung, Cu. Lupa jalan pulang ini." Tuan Hartawan tersenyum dalam hati saat Gendis menghampirinya.
Dia memang sengaja ingin bertemu dengan gadis itu, ingin mencari tahu lebih tentang gadis itu untuk Rama.
"Loh, rumahnya di mana?"
Tuan Hartawan menggeleng pelan dengan memasang wajah bingung.
"Haduh! Ya sudah, ayo ke kost saya saja dulu."
Gendis mengandeng lengan Tuan Hartawan menuju kost nya yang terletak tidak jauh dari sana.
Gendis mempersilakan, Tuan Hartawan duduk sebentar di ruang tamu. Lalu masuk ke dalam kamarnya, meletakkan tas. Tak lama Gendis kembali dengan membawa plastik bungkusan makanan dan sebotol air mineral.
Gendis meletakkan piring dan sendok di meja. Menata makanannya, lalu menyodorkan pada kakek itu.
"Makan dulu, Kek. Pasti tadi belum makan." Tebak Gendis asal saja.
Tuan Hartawan tersenyum. Dia melahap makanan itu hingga habis.
"Huah... Kenyang sekali! Terima kasih, Cu. Rasanya enak sekali."
"Minum dulu, Kek. Pelan pelan saja, sambil nurunin makanannya tadi."
Tuan Hartawan melakukan ucapan Gendis.
"Sekarang kakek mulai ingat jalan ke rumah." Ujar Tuan Hartawan sambil terkekeh.
Gendis tertawa mendengar ucapan kakek itu.
"Rupanya kakek lapar. Tapi pakai alasan lupa jalan pulang." Gendis membatin saja.
"Oya, terima kasih, Cu. Jika boleh tahu, namamu siapa?"
"Saya Gendis, Kek."
Ucap Gendis sambil tersenyum.
"Baiklah. Sekali lagi terima kasih. Kakek pulang dulu.
*
Gendis sedang berlatih beberapa lagu dengan iringan keyboard.
"Gimana Mas?"
"Oke. Kuncinya mau segitu atau mau naik atau turun?"
"Naikin dikit saja, Mas."
"Coba refrain nya ya."
Gendis mencoba sekali lagi menyanyikan dengan nada yang dimintanya sendiri. Lalu dengan iringan musik, Gendis mulai menyanyi.
"Keren! Dua bulan manggung, cengkok dangdutmu mulai bisa dikendalikan." Ujar Satya terkekeh.
Satya adalah pemain gitar sekaligus keponakan pak RT kampung Gendis.
"Gak sia sia, belajar nyanyi tiap hari, Mas." Sahut Gendis ikut tertawa.
"Kemajuan Mon!" Seru Akbar dan di sahut setuju oleh Eka, anggota band mereka yang lain.
"Teman teman, apakah aku boleh bergabung lagi?" Tiba tiba seorang wanita dengan perut agak membuncit bertanya di depan mereka.
Semua menoleh ke arah wanita hamil itu.
"Risma?" Ucap Satya, Akbar dan Eka bersamaan.
Gendis terdiam, merasa canggung. Karena setahunya, Risma adalah vokalis band ini dulunya. Meminta ijin cuti beberapa bulan hingga lahiran secara mendadak, yang membuat anggota band lain bingung mencari penggantinya.
Sekarang, tiba tiba berdiri di depan mereka bertanya ingin bergabung lagi.
Harusnya setelah melahirkan, bukan seperti ini! Rutuk Gendis dalam hati.
Gendis menatap wajah wanita hamil itu dengan seksama. Lalu mengerutkan keningnya.
Wajahnya tertutup kacamata besar dan memakai masker.
"Aku akan jadi backing vokal saja." Ucapnya sambil mengambil tempat di belakang dengan membawa mic.
Mereka berlatih kembali beberapa lagu, sebelum kafe itu makin ramai pengunjung.
Gendis yang semula merasa tak enak dan keder, kini mulai terbiasa.
Suaranya dan Risma dapat saling mengisi.
Saat istirahat, Risma telah berlalu ke toilet karena bawaan hamil.
Lalu Gendis juga ke toilet.
Saat keluar dari toilet, dia menoleh ke bagian wastafel yang ada kaca lebar.
Pantulan kaca memperlihatkan dengan jelas seorang wanita dengan wajah lebam, sedang menyeka air yang membasahi wajahnya.
Gendis terkejut saat mengenali sosok itu, pakaian dan perut yang membesar. Kacamata hitam lebar diletakkan di dekat wastafel, bersama dengan maskernya.
"Kak Risma?!" Pekik Gendis tertahan, sambil menutup mulutnya menatap Risma.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments