Peristiwa di Kafe

"Ya, Tuhan. Kak? Kakak baik baik saja?" Gendis menghampiri dan memeriksa wajah Risma yang lebam.

"Aku baik baik saja, Mon. Nggak usah risau." Risma mencoba tersenyum.

Namun, Gendis tahu, suara Risma bergetar menahan tangis dan sakit.

"Baiklah, Kak. Aku permisi dulu. Jika ada apa apa, tolong bilang. Aku pasti akan membantu Kak Risma."

"Terima kasih, Mon."

Gendis menepuk bahu Risma, lalu keluar dari toilet kafe itu menuju panggung tempat band nya berada.

Saat itu, seorang pengunjung sedang menyumbangkan suaranya untuk menghibur penonton di sana. Gendis duduk di sudut panggung, sesekali mengisi suara menjadi backing vokal sang penonton yang menyanyi itu.

Tepuk tangan menggema usai penonton tadi selesai menyanyikan lagu Can't Take My Eyes Off You dengan merdunya.

Lalu Gendis mendekati Satya.

"Kita menyanyi lagu barat atau Indonesia?" Bisik Gendis.

"Terserah kamu."

"Aku mau menyanyi Mahadaya Cinta nya KD ya?" Pinta Gendis pada Satya.

Satya memberi isyarat pada bandnya untuk memainkan musiknya.

Suara merdu Gendis mulai mengalun menyanyikan sebuah lagu dari diva Indonesia favoritnya.

Gendis tak menyadari sepasang mata tengah menatap padanya. Memperhatikan dirinya seakan tak akan melepaskannya.

"Ternyata kamu di sini!" Gumam Rama sambil tersenyum.

Rama menghisap rokoknya perlahan sambil terus menatap Gendis yang sedang bernyanyi di atas panggung menghibur pengunjung di kafe itu.

"Sorry, Ram. Aku terlambat."

Dimas, pamannya yang hanya terpaut beberapa tahun di atasnya menghampirinya dan segera menghempaskan tubuhnya di kursi.

"Nggak masalah. Tumben mengajakku ketemuan di kafe pinggiran seperti ini?"

Dimas mengatur napasnya kembali perlahan.

"Aku tidak ingin Mayang curiga pertemuan kita."

Rama mengerutkan keningnya dan menatap pamannya dengan heran.

"Nggak salah? Ada apa?" Rama mulai penasaran.

"Gue nemuin kejanggalan pada kecelakaan Mas Restu. Beberapa penemuan sudah gue kirim ke Mbak Silvi. Kami curiga, otaknya adalah Mayang."

Rama terhenyak.

"Coba gue lihat!"

Dimas menyerahkan sebuah amplop coklat berisi foto-foto kejadian saat kecelakaan mobil papanya beberapa tahun silam.

Rama melihat lihat sekilas foto foto dalam amplop itu.

Lalu dia berhenti pada gambar mobil papanya yang telah hangus terbakar.

"Brengsek!" Rama seolah teringat akan sesuatu. Tangannya mengepal dan giginya gemertak geram.

"Jangan jangan, dia juga otak kecelakaan gue beberapa bulan yang lalu!" Tebak Rama dengan penuh amarah.

"Ya. Itu juga kecurigaan gue dan mama lo. Yang pasti kakek, jangan tahu hal ini dulu. Kita harus merahasiakan ini darinya sementara waktu. Mengumpulkan bukti sebanyak banyaknya untuk mendepaknya!" Tukas Dimas.

"Mengapa nggak Lo ceraikan saja? Takut?"

"Kalo gue ceraikan tanpa alasan, gue yang rugi! Usaha dan uang yang gue raih dengan kerja keras, nantinya terbagi dengannya, yang kerjanya hanya pesta, arisan sana sini, belanja ini itu, menghabiskan uang." Keluh Dimas sambil meneguk gelas minumannya.

Rama terkekeh mendengar ocehan pamannya itu.

"Ngapain Lo nikah sama dia dulu? Nggak dipikirkan!" Sindir Rama.

Dimas mengambil sebatang rokok dan menyulutnya, menikmati sejenak sambil mendengarkan suara merdu Gendis yang mengalun menenangkan telinga.

"Dia hamil, gue harus bertanggung jawab. Lalu dia keguguran, sudah. Selesai!"

"Kisah satu malam?" Cecar Rama.

"Ya. Kita ketemu di klub malam, hang out bareng, senang senang, dan itu selanjutnya."

Rama terkekeh puas menertawakan pamannya itu lagi.

"Puas Lo!" Dimas mendengus kesal.

"Gue bingung. Kok bisa om gue yang lulusan S2 luar negeri, mau maunya sama cewe gituan." Rama menggelengkan kepala.

Mata Rama menyipit, memperhatikan Dimas yang menatap ke arah panggung, seolah mencari cari seseorang di sana.

Rama mengikuti pandangan mata Dimas.

Tatapannya tertuju pada sosok perempuan yang sedang bernyanyi di atas panggung. Gendis, yang nama panggungnya Monica.

Rama mengira Dimas tengah memperhatikan Gendis. Ada rasa tak suka saat itu. Karena dia memiliki sebuah rencana untuk Gendis, supaya dapat melancarkan permintaan kakeknya untuk menikah.

"Demen biduan?" Sindir Rama sambil menjebik ke arah Dimas.

"Sudah lama gue tak melihatnya. Akhirnya dia muncul lagi." Gumam Dimas sambil tersenyum ala ala remaja yang lagi jatuh cinta.

"Sudah lama kenal?" Tanya Rama.

"Ya, lumayanlah, hampir setahun lah."

"Wow..."

"Bukannya Monica itu dari kampung? Kalo Om Dimas sudah kenal lama, berarti dia sudah sering manggung ke sini. Bohong banget wajah lugunya itu dulu!" Ucap Rama dalam hati.

"Kok bisa ketemu dan kenalan?" Selidik Rama.

"Nggak sengaja." Dimas tersenyum tipis, menerawang, seakan mengenang pertemuan mereka.

"Dia berbeda dengan biduan lain, atau bahkan penyanyi sekali pun."

"Hah? Maksudnya Lo suka dia? Biduan itu?"

Dimas hanya tersenyum sambil menatap ke arah panggung tanpa menjawab pertanyaan Rama.

"Rese nih, Om Dimas! Jangan sampe Monica duluan sama dia! Gue harus cepat cepat dapetin biduan itu."

*

Malam semakin larut dan pengunjung akhirnya mulai berkurang sedikit demi sedikit.

Tinggal beberapa orang yang masih mengobrol di kafe. Termasuk Dimas dan Rama.

Risma, tak sengaja mencengkram lengan Gendis, sambil menatap ke arah depan.

Gendis menoleh, mengikuti tatapan mata Risma, dan melihat sosok lelaki berperawakan sedang, tubuh penuh tato, dengan rambut gondrong diikat. Raut wajah sadis dan penuh amarah.

Gendis melirik ke arah Risma yang berkali-kali mengatur napasnya, Solah takut, dan duduknya semakin membelakanginya, supaya tak terlihat oleh lelaki itu.

Pagawai kafe mulai membereskan ruangan itu, dan membersihkan kafe.

Dimas dan Rama masih tak beranjak dari tempat duduk mereka hingga salah satu pegawai menghampiri mereka.

"Maaf, Pak, kafe sudah tutup, silahkan pulang."

"Oh, ya. Saya menunggu teman." Ucap Rama sambil menunjuk ke arah panggung tempat band masih berkumpul membereskan perlengkapan mereka.

"Baiklah, maaf, jika tidak keberatan gelas dan piringnya saya bawa ke belakang?"

"Silahkan."

*

"Hei, Risma ayo pulang! Jangan bersembunyi!" Teriak lelaki bertampang preman itu.

Kini, lelaki itu berdiri tepat di depan panggung.

"Ayo, pulang." Lelaki itu naik ke panggung, namun, segera dihalangi oleh Satya, Akbar, dan Eka.

"Heh, kalian ini siapa? Gue itu lakinya Risma! Suaminya! Harusnya dia di rumah melayani suaminya itu, bukan kelayapan menggoda cecunguk kecil macam kalian ini!" Ucap lelaki itu dengan suara keras.

"Tenang, Kak. Tetap di belakang aku. Mas Satya dan teman teman akan melindungi kita."

"Tapi, dia nggak selemah itu, Mon. Suami gue itu preman." Terdengar suara Risma bergetar ketakutan.

SLET!

Lelaki suami Risma mengeluarkan sebuah belati, dan mengacungkan pada teman band Gendis.

Menyerang mereka membabi buta.

Gendis membawa turun Risma dari panggung, menuju ke arah pintu keluar, tempat Rama dan Dimas duduk.

Suami Risma langsung mengejar, dan menarik lengan Gendis dan menyabetkan belati itu.

TES!

Darah segar mengucur dari lengan Gendis.

Sambil meringis, dia menahan sakit.

Gendis menoleh ke arah suami Risma itu, dan menatap tajam padanya.

"Heh, dasar banci! Beraninya hanya sama perempuan! Nggak elit!" Sindir Gendis sambil mendengus kesal.

"Berani, Lo, sama gue! Gue Ali, preman area sini! Lo harus hormat sama gue!"

"Siapa elu! Ngapain gue harus hormat segala?"

Ali, menyeringai sambil menggerakkan belati di depan Gendis.

"Lo nggak sayang wajah Lo yang cantik itu, heh?"

Risma hendak maju, namun, segera di tahan oleh Dimas

Risma melongo sambil membulatkan matanya saat mengetahui siapa lelaki yang menahannya itu.

Ali bersiap hendak menyabetkan belati pada Gendis, dan tiba tiba lengan kokoh menahan tangan Ali dan memuntirnya.

"Dasar pengecut, beraninya hanya dengan orang yang lemah!" Ucapnya dengan suara penuh penekanan, membuat nyali Ali menciut seketika mendengar suara itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!