Episode 2

Gadis itu berjalan memasuki halaman sekolah dengan

langkah perlahan. Ia memperhatikan gedung sekolah berlantai tiga itu dengan lekat.

Gedung itu benar-benar menakutkan baginya.

Gedung berlantai tiga itu menyimpan sebuah misteri yang menyeramkan. Seperti ada guratan-guratan

tragedi zaman dulunya. Gedung sekolah

berlantai tiga itu terlihat kokoh dengan tiang-tiang yang kuat serta jendela-jendela yang

besar.

Gadis berusia

tujuh belas tahun itu bernama Hanna Pratiwi. Rambutnya sebahu dan dibiarkan tergerai. Parasnya cantik

dengan kulit yang putih bersih. Ia memiliki tahi lalat di pipi kanannya. Matanya

indah dengan bulu mata yang lentik. Beberapa aksesoris menghiasi pergelangan

tangannya.

Hanna baru saja pindah di

sekolah itu tiga minggu yang lalu. Ia dari Bandung. Pertengkaran kedua orang tuanya membuat Hanna dipindahkan dan dititipkan ke rumah neneknya yang berada di kota Medan. Hanna sangat terpukul dengan

perpisahan orang tuanya. Terlebih sang papa yang diam-diam punya istri baru di

Bogor. Hanna tidak bisa menerima semua itu.

Hanna berjalan

sambil memperhatikan ruang-ruang yang masih kosong. Ruang-ruang itu terlihat mengenaskan. Seperti meninggalkan

beberapa kejadian tragis yang mengerikan.

Masih terlalu pagi

ketika ia tiba di sekolah. Hanya beberapa

murid saja yang baru datang. Hanna tidak tahu menahu

mengenai sekolah itu yang konon ada sosok penunggu yang sangat menakutkan. Ia juga tak ingin terusik

dengan cerita-cerita misteri yang ada di sekolahnya. Cerita tentang penampakkan

sosok pelajar dengan wajah terbelah, juga penampakkan seorang perempuan Belanda

tanpa kepala dan sosok pelajar yang bunuh diri. Belum lagi penampakkan sosok

Jin yang membuat bulu kuduk merinding. Jin

bertubuh tinggi besar dan bertanduk sangat mengerikan. Tubuhnya seperti bara

api. Cerita-cerita

itu hampir saja membuatnya ketakutan. Beberapa hari lalu ada seorang pelajar

yang kesurupan dan mengucapkan kata-kata yang menakutkan. “AKU HAUS DARAH! AKU

INGIN DARAH!”

Hanna tercekat

mengingat kejadian itu. Seperti pagi itu tak

sengaja ia

mendengar percakapan seputar sekolah barunya dari dua orang murid yang bercengkrama di pinggir koridor.

Dua orang murid perempuan, yang satu berkulit

putih dan yang satu berkulit kecokelatan.

“Sekolah kita

semakin angker, Din. Kemarin kakak kelas kita ditemukan

tewas mengenaskan jatuh dari lantai tiga. Kepalanya pecah, otaknya berceceran. Iiii... menyeramkan sekali.” Kata seorang pelajar

berambut pendek kepada temannya.

“Aku jadi takut,

Fel...” Ucap gadis berkulit putih sambil

bergidik.

“Aku juga takut. Apalagi anak-anak yang lain sering melihat

penampakkan di kamar mandi. Bikin bulu kudukku merinding.”

“Makanya jangan sendirian di kamar mandi kalau nggak mau

ditakuti kuntilanak!”

“Ughh... aku makin

takut aja. Aku mau pindah ah dari sekolah ini. Aku nggak mau jadi korban

ketakutan, apalagi didatangi arwah gentayangan. Serem.”

“Husstt.... Jangan

keras-keras ah... Bulu

kudukku jadi merinding nih. Jangan-jangan dia ada di sekitar kita, Din. Udah

ah, kita masuk aja yuk...” Ajak Felisa.

Hanna memperlambat langkahnya sambil mendengarkan obrolan mereka

selanjutnya. Ia mengerutkan dahi ketika kedua murid itu berlalu dari koridor.

Hanna kembali melangkahkan kakinya dengan langkah normal. Suara sepatu ketsnya terdengar beradu

di lantai. Hanna berjalan pelan ketika melewati kamar mandi yang terletak di

ujung ruangan. Ia berhenti sejenak dan memperhatikan kamar mandi itu. Kamar

mandi itu terlihat menyeramkan dengan kondisi yang sangat suram. Konon kamar

mandi itu sangat angker kata sebagian murid-murid.

Pihak sekolah tidak membenarkan hal itu. Mereka menganggap para murid hanya

mengada-ada saja.

Di kamar mandi sering terlihat penampakkan sosok perempuan berambut

panjang. Sosok

perempuan berlumuran darah, sosok tanpa kepala dan suara-suara desisan yang

membuat bulu kuduk merinding. Banyak murid yang ketakutan bila ke kamar mandi. Hanna melihat ada bercak-bercak darah disana. Ia bergidik ngeri ketika

melangkahkan kakinya dengan perlahan. Tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka

sendiri dan menimbulkan suara berderit yang menakutkan.

Krieeeekkkkk....

Hanna terkejut dan tercekat. Ia menatap pintu itu dengan lekat. Jantung Hanna berdebuk kencang tidak teratur. Dari pintu

kamar mandi ia melihat helai-helai rambut yang tertiup angin. Rambut itu

berwarna keabuan sebatas pinggang. Perlahan bayangan putih keluar dari arah

pintu kamar mandi. Hanna membelalakan matanya ketakutan. Kemudian keluar

jari-jari tangan yang pucat serta terkelupas mengerikan. Kuku-kukunya berwarna

kehitaman, runcing dan tajam. Hanna mendegut ludahnya yang terasa nyangkut. Ia

ingin menjerit, namun bibirnya serasa terkatup.

“Hanna...!!!”

Tiba-tiba saja seseorang memanggilnya dari jauh.

Hanna tercekat dan

segera menoleh ke orang yang memanggilnya. Seorang pelajar cewek berambut ikal sebahu berlari kecil menghampirinya. Cewek itu bernama

Keyla. Kulitnya sawo matang dengan raut wajah yang manis. Bola matanya bulat

seperti mata india. Bulu matanya lentik dan alisnya tersusun rapi. Keyla memang

peranakan Pakistan dan Melayu. Gadis itu teman sebangku Hanna. Ia gadis yang penakut.

Hanna menarik

nafasnya dengan berat sambil melirik ke arah kamar mandi. Rambut-rambut itu

sudah menghilang dan pintu itu pun tertutup. Hanna menghela lega seraya menoleh

ke Keyla yang masih berlari-lari kecil menghampirinya. Ia mengenal Keyla

beberapa waktu lalu saat memasuki kelas barunya. Perkenalan mereka biasa saja

layaknya murid baru biasa.

“Kamu sedang apa,

Hann? Kok bengong disini?” Tanya Keyla heran. Raut wajah Hanna tampak berubah.

“Hmm... Nggak

apa-apa kok, Key.” Jawab Hanna singkat.

“Kamu jangan

banyak melamun, nanti kerasukan. Apa kamu belum tahu kalau sekolah kita ini

angker?” Ucap Keyla nyaris berbisik.

“Angker?” Gumam Hanna pelan sambil mengerutkan dahinya.

“Iya. Huusssttt...

Jangan keras-keras.” Kata Keyla sambil celingukan ke kanan dan kiri. Ia takut kalau sosok tak kasat mata itu menghampirinya.

“Hmm... Huh, kamu

jangan nakutin aku ah.” Ujar Hanna sambil melipat tangannya di dada.

“Beneran, Han.”

“Udah ah, kita

masuk yuk.” Ajak Hanna sambil menarik lengan Keyla.

Hanna menyelipkan

anak-anak rambutnya ke samping telinga. Kemudian ia melangkahkan kakinya

dibarengi dengan Keyla. Sesaat situasi hening. Pikiran Hanna masih terusik oleh

sosok di kamar mandi.

“Sebenarnya apa

sih yang terjadi di sekolah ini, Key?” Tanya Hanna ingin tahu di selah-selah

perjalanan mereka.

“Aku juga nggak

tahu banyak, Han. Yang jelas sekolah ini jadi terasa aneh dan menakutkan

buatku.” Kata Keyla.

“Memangnya kamu

pernah ngelihat langsung?” Hanna bertanya ingin tahu.

Keyla menggeleng.

“Enggak sih, tapi

aku takut.”

Hanna menaiki anak

tangga dan tiba-tiba saja ia mencium bauh bunga bercampur bauh yang aneh. Hanna

hampir saja muntah ketika wangi itu berubah amis seperti bau darah.

“Bau apa sih ini,

Key?” Tanya Hanna sambil menutup hidungnya.

“Memangnya bau

apa, Han?”

“Bau amis. Aku mau

muntah.”

“Hmm... udah ah,

Hann. Jangan macem-macem. Ayo cepat kita ke kelas. Tengkukku jadi

merinding nih...”

“Kamu nggak

mencium apa-apa?” Tanya Hanna penasaran.

Keyla menggeleng.

“Memangnya bauh

apa?” Keyla balik bertanya.

“Wangi bunga

bercampur bauh amis.” Jawab Hanna membuat Keyla bergidik.

Keyla menghentikan

langkah sejenak, kemudian pandangannya mengedar ke seluruh koridor sekolah. Koridor sekolah masih terlihat sepi.

“Sudah ah, ayo

cepetan.” Ajak Keyla yang semakin ketakutan.

Keyla melangkahkan

kakinya dengan tergesa diikuti Hanna yang merasa heran melihat Keyla. Di sudut koridor ada sosok seorang pelajar yang kepalanya

pecah berlumuran darah. Sosok itu berdiri dan bergeming.

Hanna dan Keyla terus saja menaiki anak tangga ke lantai

dua kemudian menuju ruangan mereka. Hanna segera saja duduk di kursinya dan

meletakkan tas sekolahnya di atas meja. Begitu juga dengan Keyla. Di ruangan

masih mereka berdua yang datang.

Ruangan kelas

mulai terasa mencekam. Suasana tiba-tiba saja hening. Mereka berdua hanya

berdiam diri dengan pikiran masing-masing. Keyla terlihat gelisah sambil melihat arlojinya beberapa kali. Satu per satu teman-teman mereka

pun mulai berdatangan. Keyla merasa lega dan bisa beraktifitas seperti biasa.

Bel tanda pelajaran

pertama pun sudah berkumandang. Tiba-tiba saja

Hanna merasa ingin BAB. Padahal tadi ia baik-baik saja. Hanna tak tahan lagi menahan perutnya yang

terus berontak. Ia permisi ke guru kelas

untuk ke kamar

kecil. Hanna takut sendirian, namun karena sudah tidak tahan, akhirnya ia nekat

ke kamar mandi sendiri. Keyla hanya melihat

kepergian Hanna keluar dari ruangan.

Hanna melangkahkan kakinya dengan tergesa. Di

depan kamar mandi ia berhenti sejenak sambil menatap lekat pintu di depannya.

Ia mendegut luda yang mulai getir. Perutnya terus saja memberontak. Tanpa pikir panjang, Hanna langsung saja membuka pintu kamar mandi. Di dalamnya ada tiga pintu toilet yang terbuka. Hanna

masuk di pintu tengah. Kemudian ia membuang kotorannya dengan pikiran kalud.

Hanna sedikit merasa lega karena mendengar ada

beberapa murid yang masuk ke kamar mandi juga. Ia sempat mendengar

obrolan-obrolan murid itu sambil tersenyum tipis. Setelah selesai, Hanna pun

keluar dari toilet berukuran kecil. Ia terkejut ketika melihat kamar mandi yang

sepi dan kosong. Hanna mengerutkan keningnya

sejenak. Matanya mengedar ke ruangan berukuran sedang itu.

“Tidak ada siapa-siapa.” Batinnya.

Hanna pun tercekat

dan merasa berada di tempat yang sangat asing. Kamar mandi terlihat begitu gersang. Lampunya redup. Sarang laba-laba menempel di

sudut-sudut dinding. Tiba-tiba saja ia mendengar bisikan-bisikan

aneh dari toilet tempat ia buang air tadi. Bisikan

yang membuat bulu kuduknya meremang.

Hanna melirik ke samping kiri di mana ada cermin

yang menempel di sana. Cermin itu terlihat buram. Seperti ada sosok seseorang

berada di belakangnya. Tiba-tiba saja pintu kamar mandi pertama

tertutup dan mengeluarkan suara berderit yang menakutkan.

Krieeeekkk….

Sekujur tubuh Hanna merinding seperti membesar. Keringat dingin keluar

dari keningnya. Sosok di belakangnya mengulurkan tangannya yang terkelupas di

pundaknya. Hanna terkejut dan berlari sekencang-kencangnya. Ia segera membuka

pintu dan keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat pasi. Langkahnya tergesa

memasuki ruangan kelasnya.  Ia segera duduk di bangkunya sambil

menunduk. Keringat dingin masih mengucur di keningnya.

“Kamu kenapa,

Han?” Tanya Keyla berbisik.

“Nggak apa-apa,

Key...”Jawab Hanna dengan bibir gemetar.

“Kenapa wajahmu

pucat?”

“Hmmm... Nanti aja

aku ceritain.”

Hanna kembali

memperhatikan guru matematika yang menjelaskan di depan kelas. Pikirannya tidak

tenang karena kejadian tadi. Keyla menangkap kegelisahan temannya itu. Ia tak sabar ingin tahu cerita dari Hanna.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!