Gadis itu berjalan memasuki halaman sekolah dengan
langkah perlahan. Ia memperhatikan gedung sekolah berlantai tiga itu dengan lekat.
Gedung itu benar-benar menakutkan baginya.
Gedung berlantai tiga itu menyimpan sebuah misteri yang menyeramkan. Seperti ada guratan-guratan
tragedi zaman dulunya. Gedung sekolah
berlantai tiga itu terlihat kokoh dengan tiang-tiang yang kuat serta jendela-jendela yang
besar.
Gadis berusia
tujuh belas tahun itu bernama Hanna Pratiwi. Rambutnya sebahu dan dibiarkan tergerai. Parasnya cantik
dengan kulit yang putih bersih. Ia memiliki tahi lalat di pipi kanannya. Matanya
indah dengan bulu mata yang lentik. Beberapa aksesoris menghiasi pergelangan
tangannya.
Hanna baru saja pindah di
sekolah itu tiga minggu yang lalu. Ia dari Bandung. Pertengkaran kedua orang tuanya membuat Hanna dipindahkan dan dititipkan ke rumah neneknya yang berada di kota Medan. Hanna sangat terpukul dengan
perpisahan orang tuanya. Terlebih sang papa yang diam-diam punya istri baru di
Bogor. Hanna tidak bisa menerima semua itu.
Hanna berjalan
sambil memperhatikan ruang-ruang yang masih kosong. Ruang-ruang itu terlihat mengenaskan. Seperti meninggalkan
beberapa kejadian tragis yang mengerikan.
Masih terlalu pagi
ketika ia tiba di sekolah. Hanya beberapa
murid saja yang baru datang. Hanna tidak tahu menahu
mengenai sekolah itu yang konon ada sosok penunggu yang sangat menakutkan. Ia juga tak ingin terusik
dengan cerita-cerita misteri yang ada di sekolahnya. Cerita tentang penampakkan
sosok pelajar dengan wajah terbelah, juga penampakkan seorang perempuan Belanda
tanpa kepala dan sosok pelajar yang bunuh diri. Belum lagi penampakkan sosok
Jin yang membuat bulu kuduk merinding. Jin
bertubuh tinggi besar dan bertanduk sangat mengerikan. Tubuhnya seperti bara
api. Cerita-cerita
itu hampir saja membuatnya ketakutan. Beberapa hari lalu ada seorang pelajar
yang kesurupan dan mengucapkan kata-kata yang menakutkan. “AKU HAUS DARAH! AKU
INGIN DARAH!”
Hanna tercekat
mengingat kejadian itu. Seperti pagi itu tak
sengaja ia
mendengar percakapan seputar sekolah barunya dari dua orang murid yang bercengkrama di pinggir koridor.
Dua orang murid perempuan, yang satu berkulit
putih dan yang satu berkulit kecokelatan.
“Sekolah kita
semakin angker, Din. Kemarin kakak kelas kita ditemukan
tewas mengenaskan jatuh dari lantai tiga. Kepalanya pecah, otaknya berceceran. Iiii... menyeramkan sekali.” Kata seorang pelajar
berambut pendek kepada temannya.
“Aku jadi takut,
Fel...” Ucap gadis berkulit putih sambil
bergidik.
“Aku juga takut. Apalagi anak-anak yang lain sering melihat
penampakkan di kamar mandi. Bikin bulu kudukku merinding.”
“Makanya jangan sendirian di kamar mandi kalau nggak mau
ditakuti kuntilanak!”
“Ughh... aku makin
takut aja. Aku mau pindah ah dari sekolah ini. Aku nggak mau jadi korban
ketakutan, apalagi didatangi arwah gentayangan. Serem.”
“Husstt.... Jangan
keras-keras ah... Bulu
kudukku jadi merinding nih. Jangan-jangan dia ada di sekitar kita, Din. Udah
ah, kita masuk aja yuk...” Ajak Felisa.
Hanna memperlambat langkahnya sambil mendengarkan obrolan mereka
selanjutnya. Ia mengerutkan dahi ketika kedua murid itu berlalu dari koridor.
Hanna kembali melangkahkan kakinya dengan langkah normal. Suara sepatu ketsnya terdengar beradu
di lantai. Hanna berjalan pelan ketika melewati kamar mandi yang terletak di
ujung ruangan. Ia berhenti sejenak dan memperhatikan kamar mandi itu. Kamar
mandi itu terlihat menyeramkan dengan kondisi yang sangat suram. Konon kamar
mandi itu sangat angker kata sebagian murid-murid.
Pihak sekolah tidak membenarkan hal itu. Mereka menganggap para murid hanya
mengada-ada saja.
Di kamar mandi sering terlihat penampakkan sosok perempuan berambut
panjang. Sosok
perempuan berlumuran darah, sosok tanpa kepala dan suara-suara desisan yang
membuat bulu kuduk merinding. Banyak murid yang ketakutan bila ke kamar mandi. Hanna melihat ada bercak-bercak darah disana. Ia bergidik ngeri ketika
melangkahkan kakinya dengan perlahan. Tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka
sendiri dan menimbulkan suara berderit yang menakutkan.
Krieeeekkkkk....
Hanna terkejut dan tercekat. Ia menatap pintu itu dengan lekat. Jantung Hanna berdebuk kencang tidak teratur. Dari pintu
kamar mandi ia melihat helai-helai rambut yang tertiup angin. Rambut itu
berwarna keabuan sebatas pinggang. Perlahan bayangan putih keluar dari arah
pintu kamar mandi. Hanna membelalakan matanya ketakutan. Kemudian keluar
jari-jari tangan yang pucat serta terkelupas mengerikan. Kuku-kukunya berwarna
kehitaman, runcing dan tajam. Hanna mendegut ludahnya yang terasa nyangkut. Ia
ingin menjerit, namun bibirnya serasa terkatup.
“Hanna...!!!”
Tiba-tiba saja seseorang memanggilnya dari jauh.
Hanna tercekat dan
segera menoleh ke orang yang memanggilnya. Seorang pelajar cewek berambut ikal sebahu berlari kecil menghampirinya. Cewek itu bernama
Keyla. Kulitnya sawo matang dengan raut wajah yang manis. Bola matanya bulat
seperti mata india. Bulu matanya lentik dan alisnya tersusun rapi. Keyla memang
peranakan Pakistan dan Melayu. Gadis itu teman sebangku Hanna. Ia gadis yang penakut.
Hanna menarik
nafasnya dengan berat sambil melirik ke arah kamar mandi. Rambut-rambut itu
sudah menghilang dan pintu itu pun tertutup. Hanna menghela lega seraya menoleh
ke Keyla yang masih berlari-lari kecil menghampirinya. Ia mengenal Keyla
beberapa waktu lalu saat memasuki kelas barunya. Perkenalan mereka biasa saja
layaknya murid baru biasa.
“Kamu sedang apa,
Hann? Kok bengong disini?” Tanya Keyla heran. Raut wajah Hanna tampak berubah.
“Hmm... Nggak
apa-apa kok, Key.” Jawab Hanna singkat.
“Kamu jangan
banyak melamun, nanti kerasukan. Apa kamu belum tahu kalau sekolah kita ini
angker?” Ucap Keyla nyaris berbisik.
“Angker?” Gumam Hanna pelan sambil mengerutkan dahinya.
“Iya. Huusssttt...
Jangan keras-keras.” Kata Keyla sambil celingukan ke kanan dan kiri. Ia takut kalau sosok tak kasat mata itu menghampirinya.
“Hmm... Huh, kamu
jangan nakutin aku ah.” Ujar Hanna sambil melipat tangannya di dada.
“Beneran, Han.”
“Udah ah, kita
masuk yuk.” Ajak Hanna sambil menarik lengan Keyla.
Hanna menyelipkan
anak-anak rambutnya ke samping telinga. Kemudian ia melangkahkan kakinya
dibarengi dengan Keyla. Sesaat situasi hening. Pikiran Hanna masih terusik oleh
sosok di kamar mandi.
“Sebenarnya apa
sih yang terjadi di sekolah ini, Key?” Tanya Hanna ingin tahu di selah-selah
perjalanan mereka.
“Aku juga nggak
tahu banyak, Han. Yang jelas sekolah ini jadi terasa aneh dan menakutkan
buatku.” Kata Keyla.
“Memangnya kamu
pernah ngelihat langsung?” Hanna bertanya ingin tahu.
Keyla menggeleng.
“Enggak sih, tapi
aku takut.”
Hanna menaiki anak
tangga dan tiba-tiba saja ia mencium bauh bunga bercampur bauh yang aneh. Hanna
hampir saja muntah ketika wangi itu berubah amis seperti bau darah.
“Bau apa sih ini,
Key?” Tanya Hanna sambil menutup hidungnya.
“Memangnya bau
apa, Han?”
“Bau amis. Aku mau
muntah.”
“Hmm... udah ah,
Hann. Jangan macem-macem. Ayo cepat kita ke kelas. Tengkukku jadi
merinding nih...”
“Kamu nggak
mencium apa-apa?” Tanya Hanna penasaran.
Keyla menggeleng.
“Memangnya bauh
apa?” Keyla balik bertanya.
“Wangi bunga
bercampur bauh amis.” Jawab Hanna membuat Keyla bergidik.
Keyla menghentikan
langkah sejenak, kemudian pandangannya mengedar ke seluruh koridor sekolah. Koridor sekolah masih terlihat sepi.
“Sudah ah, ayo
cepetan.” Ajak Keyla yang semakin ketakutan.
Keyla melangkahkan
kakinya dengan tergesa diikuti Hanna yang merasa heran melihat Keyla. Di sudut koridor ada sosok seorang pelajar yang kepalanya
pecah berlumuran darah. Sosok itu berdiri dan bergeming.
Hanna dan Keyla terus saja menaiki anak tangga ke lantai
dua kemudian menuju ruangan mereka. Hanna segera saja duduk di kursinya dan
meletakkan tas sekolahnya di atas meja. Begitu juga dengan Keyla. Di ruangan
masih mereka berdua yang datang.
Ruangan kelas
mulai terasa mencekam. Suasana tiba-tiba saja hening. Mereka berdua hanya
berdiam diri dengan pikiran masing-masing. Keyla terlihat gelisah sambil melihat arlojinya beberapa kali. Satu per satu teman-teman mereka
pun mulai berdatangan. Keyla merasa lega dan bisa beraktifitas seperti biasa.
Bel tanda pelajaran
pertama pun sudah berkumandang. Tiba-tiba saja
Hanna merasa ingin BAB. Padahal tadi ia baik-baik saja. Hanna tak tahan lagi menahan perutnya yang
terus berontak. Ia permisi ke guru kelas
untuk ke kamar
kecil. Hanna takut sendirian, namun karena sudah tidak tahan, akhirnya ia nekat
ke kamar mandi sendiri. Keyla hanya melihat
kepergian Hanna keluar dari ruangan.
Hanna melangkahkan kakinya dengan tergesa. Di
depan kamar mandi ia berhenti sejenak sambil menatap lekat pintu di depannya.
Ia mendegut luda yang mulai getir. Perutnya terus saja memberontak. Tanpa pikir panjang, Hanna langsung saja membuka pintu kamar mandi. Di dalamnya ada tiga pintu toilet yang terbuka. Hanna
masuk di pintu tengah. Kemudian ia membuang kotorannya dengan pikiran kalud.
Hanna sedikit merasa lega karena mendengar ada
beberapa murid yang masuk ke kamar mandi juga. Ia sempat mendengar
obrolan-obrolan murid itu sambil tersenyum tipis. Setelah selesai, Hanna pun
keluar dari toilet berukuran kecil. Ia terkejut ketika melihat kamar mandi yang
sepi dan kosong. Hanna mengerutkan keningnya
sejenak. Matanya mengedar ke ruangan berukuran sedang itu.
“Tidak ada siapa-siapa.” Batinnya.
Hanna pun tercekat
dan merasa berada di tempat yang sangat asing. Kamar mandi terlihat begitu gersang. Lampunya redup. Sarang laba-laba menempel di
sudut-sudut dinding. Tiba-tiba saja ia mendengar bisikan-bisikan
aneh dari toilet tempat ia buang air tadi. Bisikan
yang membuat bulu kuduknya meremang.
Hanna melirik ke samping kiri di mana ada cermin
yang menempel di sana. Cermin itu terlihat buram. Seperti ada sosok seseorang
berada di belakangnya. Tiba-tiba saja pintu kamar mandi pertama
tertutup dan mengeluarkan suara berderit yang menakutkan.
Krieeeekkk….
Sekujur tubuh Hanna merinding seperti membesar. Keringat dingin keluar
dari keningnya. Sosok di belakangnya mengulurkan tangannya yang terkelupas di
pundaknya. Hanna terkejut dan berlari sekencang-kencangnya. Ia segera membuka
pintu dan keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat pasi. Langkahnya tergesa
memasuki ruangan kelasnya. Ia segera duduk di bangkunya sambil
menunduk. Keringat dingin masih mengucur di keningnya.
“Kamu kenapa,
Han?” Tanya Keyla berbisik.
“Nggak apa-apa,
Key...”Jawab Hanna dengan bibir gemetar.
“Kenapa wajahmu
pucat?”
“Hmmm... Nanti aja
aku ceritain.”
Hanna kembali
memperhatikan guru matematika yang menjelaskan di depan kelas. Pikirannya tidak
tenang karena kejadian tadi. Keyla menangkap kegelisahan temannya itu. Ia tak sabar ingin tahu cerita dari Hanna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments