Di Balik Sang Protagonis

Di Balik Sang Protagonis

1. Akhir Romansa Sempurna

Iri ini tidak bisa dibendung oleh Siska sedikit pun. Setelah kepergian pemuda yang menjadi kekasih kakaknya, segera saja ia mengutarakan pada Bella saat itu juga.

"Apa aku boleh memiliki kekasihmu, Kak?" tanya Siska dengan nada polos. Gadis itu baru berusia 12 tahun, sehingga bagi Bella, itu terdengar seperti pujian pada sang kekasih.

"Nanti, kamu juga akan punya kekasih seperti Erik. Kakak akan carikan pemuda seperti Erik untukmu, tetapi nanti. Sekarang, kamu fokus belajar! Karena Ibu tidak akan memberikanmu kebebasan keluar apalagi berpacaran jika nilaimu tidak meningkat!" ucap Bella dengan nada setengah mengancam.

Siska hanya bisa memajukan bibir cemberut, kemudian mengikuti arahan sang kakak. Langkahnya begitu pelan dan juga berat ketika meninggalkan ruang tengah, tempat di mana Erik dan Bella saling bermesraan ala kekasih, sementara Siska hanya menonton sembari menikmati kue yang dibawa pria baik itu.

"Menurut kakak, apa masih ada orang yang seperti Erik? Aku tidak masalah jika harus tua, asalkan benar-benar manis seperti Erik. Semua teman-teman sekelasku menyebalkan! Mereka tidak ada satu pun yang memiliki karakter kekasih kakak itu, dan membuatku ragu jika masih ada pria yang memiliki karakter seperti Erik," kata Siska ketika sudah berdiri di depan pintu kamarnya,

Bella yang membawa kue dari ruang tengah hendak ke dapur, menghentikan langkah di depan kamar sang adik.

"Hai, kenapa kamu memikirkan itu sekarang? Kamu tahu? Terlalu awal untuk anak kecil memikirkan pasangan! Kakak bahkan baru kenal Erik dua tahun lalu, Siska. Kamu masih punya banyak waktu untuk memiliki kekasih nanti. Fokus ke sekolah lebih dulu! Kamu harus bisa sukses supaya ibu dan ayah bangga padamu!"

"Tapi aku sudah tidak sabar, Kak! Aku mau kekasih seperti Erik supaya dibawakan kue setiap hari!"

"Kamu ini!" keluh Bella dengan nada geli. "Baiklah jika demikian, ini kue untukmu. Habiskan, oke?"

"Bukannya ini kue untuk kakak? Untuk meredakan mual kakak?" Kata Siska, keberatan mengambil semua kotak kue itu, mengingat bahwa ia sudah memakannya dua potong.

"Tidak masalah. Kakak hanya mau mencicipinya tadi. Sekarang sudah tidak lagi. Sana, masuk ke kamarmu. Kakak mau ke dapur dulu." Bella menambahkan sedikit pemaksaan kali ini, ketika menyerahkan kotak kue tadi pada sang adik.

Tanpa menunggu ucapan terima kasih dikatakan oleh Siska, Bella sudah bergegas pergi meninggalkan tempatnya berbincang dengan sang adik. Sembari berjalan, ia juga membekap mulut dan hidungnya. Meski demikian, Siska masih melihat dengan jelas gurat tidak nyaman di wajah sang kakak.

Merasa khawatir sekaligus bersalah, Siska mengikuti dari belakang. Ia memperlambat langkahnya ketika sudah berada di belakang punggung Bella yang kini berada di kamar mandi dengan pintu terbuka menampilkan dirinya sibuk memuntahkan cairan bening di kloset.

Siska menatap ngeri pada kondisi sang kakak. Terhitung sudah beberapa hari Bella mengalami muak tanpa alasan. Hal itu memicu kekhawatiran Siska, dan sulit untuk ditahan. 

"Kakak tidak mau ke rumah sakit?"

"Tidak, Siska.”

"Kenapa tidak? Kakak mual semakin parah. Aku tidak bisa tidak khawatir! Ke rumah sakit, atau ... aku akan melapor pada ibu dan ayah bahwa Kakak sakit parah akhir-akhir ini?!" ancam Siska telak, yakin tidak akan ditolak karena Bella sangat kukuh enggan memberitahukan masalah ini pada orang tua mereka.

"Jangan, Siska!" tolak Bella dengan tegas. Raut wajahnya seketika berubah sendu, dengan hiasan pucat ketika pandangannya meredup. "Iya. Kakak akan periksa besok ...."

Tampak keraguan terlihat jelas di wajah Bella, bercampur kekhawatiran yang teramat kentara.

...*...

Obrolan pasangan kekasih itu tampaknya lebih serius kali ini. Itulah yang dipikirkan Siska ketika mengintip ruang tengah sekarang ini, dan mendapati bahwa Bella dan Erik saling merangkul di sofa dengan ekspresi yang begitu serius.

Siska ingin mendengarkan lebih lanjut, tetapi Erik lebih dahulu mengetahui keberadaannya.

"Siska, sudah lama kamu di situ?" tanya Erik dengan nada ramah, yang membuat Siska seketika merasa bersalah.

"Belum. Baru selesai kerjakan tugas." Siska menjawab sangat jujur, sembari mendekat ke ruang tengah untuk duduk di salah satu sofa.

"Saya bawa kue lagi, kata Bella kamu suka. Makan saja, itu khusus saya belikan untuk kamu."

Siska melenguh dalam hati. Bagaimana ia tidak bisa semakin iri pada kakaknya yang memiliki kekasih sempurna seperti Erik ini?

Bersama wajah penuh binar bahagia, Siska menerima kue tersebut, dan memakannya secara teratur. Matanya sesekali melirik iri interaksi sang kakak dan kekasihnya, lalu menyadari ada keanehan lain kali ini selain aura serius dari mereka dan wajah pucat Bella ... yaitu tangan Erik terus mengusap perut kekasihnya.

Mendadak, Siska dipenuhi rasa khawatir yang begitu kuat. Takut jika kakaknya sakit parah, karena sejak mual-mual, Bella dari hari ke hari semakin pucat.

"Kak Bella sudah periksa? Bagaimana kabar dari dokter?" tanya Siska, penasaran. "Tolong jawab ... aku sangat khawatir sekarang." Gadis itu menambahkan nada permohonan karena Bella seolah enggan menjawab ketika menunjukkan senyum lembutnya.

"Bella tidak memiliki masalah apa-apa, Siska. Kamu tidak perlu khawatir," kata Erik menenangkan, mewakili Bella untuk menjawab. "Hanya saja ...." Ekspresi ramah pemuda itu mendadak saja berubah menjadi sendiri saat mengeluarkan dua kata barusan, memancing penasaran Siska untuk berkembang lebih besar dalam dirinya. "Bella mungkin harus pergi sementara waktu untuk bekerja di luar kota bersama saya. Saya akan meminta izin ke orang tua kalian lebih dulu. Jangan khawatir, karena kakakmu akan saya jaga dengan baik, sepenuh jiwa dan raga saya."

"Pergi? Ke mana?" Nada suara Siska menanjak, sulit menerima kenyataan ini.

"Ikut kerja di perusahaannya Erik, Dek." Giliran Bella yang menjawab. "Supaya dapat banyak uang, dan bisa bayar biaya sekolah kamu."

"T—tapi ...." Siska masih enggan menerima kenyataan tersebut.

"Jangan khawatir, Siska. Kan yang jaga kakak: Erik. Kamu percaya sama Erik, kan? Kakak juga bisa jaga diri, kok."

Siska masih sulit mencerna ucapan Bella atau tambahan penjelasan meyakinkan dari Erik, tetapi pada akhirnya gadis itu hanya bisa pasrah ketika Bella mewujudkan rencananya memberitahu orang tua mereka.

Malam itu juga Bella berangkat bersama Erik, disertai tangisan memilukan dari ibu, serta tatap nanar dari bapak. Juga pandangan tidak rela dari Siska yang belum mengerti sumber masalahnya.

"Kamu jangan seperti kakakmu, Siska! Jangan pernah memiliki pacar! Bapak tidak akan biarkan kamu memiliki pacar! Bapak hanya akan langsung menikahkan kamu dengan pemuda terbaik yang Bapak kenal!"

Kalimat ultimatum tanpa bisa dibantah itu, bagaikan sambaran petir di tengah hari yang cerah. Siska hanya bisa menatap dengan pandangan redup, ketika Bapak meninggalkannya begitu saja di depan rumah tanpa penjelasan lanjutan. Membiarkan putri bungsunya itu dalam keadaan bingung.

...*...

Namun, lambat laun Siska akhirnya mengerti apa yang terjadi hari itu. Si polos ini mencari tahu dengan amat sungguh-sungguh mengenai kejadian yang menimpa kakaknya, dan jawaban segera ia temukan beberapa bulan kemudian.

Bahwa sang kakak sedang hamil di luar nikah, dan diamankan ke tempat Erik agar terhindar dari gunjingan tetangga. Mereka tidak dapat menikah karena usia Erik masih 18 tahun sementara Bella baru 17 tahun.

Kini, Siska juga sangat memahami alasan sang ayah melarangnya untuk mendekati pemuda lain. Karena jika sampai Siska salah langkah, belum tentu ia memiliki kesempatan emas mengamankan diri seperti sang kakak, karena pemuda sejenis Erik sangatlah langkah.

Sebuah kelegaan dirasai Siska setelah menemukan jawaban itu, hingga beberapa bulan kemudian.

Di sebuah malam yang gelap, orang tua Siska belum kunjung pulang dari pesta tetangga di kampung seberang, Siska mendapati ketukan buru-buru di daun pintu.

Khawatir dan takut membuat Siska enggan untuk bergerak meninggalkan bawah selimutnya—sebagai tempat teraman. Namun setelah mendengar panggilan dari suara lembut juga jernih dari si pengetuk pintu, Siska bergegas untuk membukanya sesegera mungkin.

Ditemukanlah Bella yang tampak sangat kelelahan di depan pintu. Siska yang khawatir mengajaknya masuk dan duduk di sofa, serta membawakan minum dan makanan untuk sang kakak.

Siska penasaran dengan apa yang terjadi, tetapi menahan diri untuk bertanya karena melihat kondisi menyedihkan sang kakak. Dibiarkan Bella mengatur napas lebih dulu, bahkan abai pada ketidaksopanan Bella yang menaruh kedua kaki di atas meja.

Siska sangat yakin, bahwa kakaknya sangat lelah. Apalagi dengan bawaan di salah satu lengannya sedari tadi, dalam balutan selimut tebal dengan panjang hanya sampai lengan bawah orang dewasa. Sebuah bayi mungil yang masih merah. Siska bergidik.

"Kamu tutup pintunya, Siska!" pinta Bella dengan nada tegas, enggan dibantah atau ditunda.

Siska bergegas memenuhi perintah tersebut, kemudian kembali ke tempatnya semula—duduk di samping sang kakak.

"Kak Bella kenapa ada di sini? Erik di mana? Kenapa Kakak terlihat sangat kelelahan?" Pertanyaan beruntun itu diutarakan Siska dengan nada pelan, agar tidak menyudutkan Bella.

Namun, sesuatu hal yang mengejutkan terjadi. Bella menangis sembari kesulitan menghapus air mata hanya dengan sebelah tangan. Ia meletakkan bayinya di atas meja secara hati-hati agar guncangan tubuhnya tidak membangunkan si bayi mungil.

"Selamatkan Kakak, Siska. Tolong Kakak .... Kakak .... mau dibunuh sama Erik."

 

Mendengar kalimat terbata Bella, Siska sontak melotot. Tidak mungkin pendengarannya kali ini benar! Siska akan lebih percaya telinganya tuli dibandingkan ucapan Bella, tetapi ... perempuan di depannya ini adalah sang kakak yang dikenalinya sejak mengetahui dunia.

"Kak? Apa maksud kakak?" tanya Siska kebingungan.

Bella menunduk dalam, tampak sangat berusaha menahan isakannya tetapi lolos. Suara tangisan Bella begitu menyayat hati, membuat Siska bergegas memeluk sang kakak untuk menularkan ketenangan walau dirinya sendiri juga masih kebingungan.

"Erik ... dia hanya mau mengambil Eliza dari kakak ...."

Eliza? Siska mengarahkan pandangannya pada si mungil yang merapatkan kelopak mata. Sangat yakin bahwa nama barusan adalah milik si bayi.

"Erik ...." Bella melanjutkan di sela tangisannya, "dia mau—"

Namun, ucapan Bella seketika terkena saat mendengar seruan di balik pintu.

"Malam. Selamat malam. Siska? Kamu di dalam?" Suara ramah Erik terdengar.

Siska tertegun di tempat tampak kebingungan. Sementara Bella tampak sangat panik. Ia tidak mengatakan apa pun, dan langsung membawa bayinya semakin masuk ke dalam rumah.

Gadis 12 tahun itu kebingungan, melirik pintu dan kepergian Bella secara bergantian. Detak jantungnya berpacu lebih keras, ketika ketukan Erik kian menggelegar.

"Siska? Bella ada di dalam Siska? Tolong buka pintunya, Dek. Kami ada kesalahpahaman, jadi harus selesaikan ini segera," kata Erik, masih dengan suara rendah yang amat teratur.

Secara ragu, Siska berjalan ke arah pintu. Gemetar menguasai tangannya saat menyentuh gagang pintu, kemudian menariknya hingga terbuka. Wajah dengan senyum manis Erik langsung muncul di depannya.

"Bella ada di dalam, Dek? Kami mengalami kesalahpahaman sekarang, dan saya perlu ketemu Bella untuk meluruskan masalah ini. Bella di mana, Dek?"

Siska hanya bisa meneguk ludahnya secara kasar, kebingungan. Jemarinya memutih karena saling meremas kuat di depan perut, menandakan betapa gugup ia.

"BELLA DI MANA, SISKA!"

Teriakan pemuda itu sontak membuat Siska langsung mundur ketakutan. Gadis itu tercengang kaku, ketika sisi lembut Erik menghilang, tergantikan oleh raut marah penuh kebencian.

"Bella! Kamu di mana?!" panggil Erik sembari berjalan memasuki rumah tanpa peduli kondisi membeku yang dialami Siska.

Pemuda itu terus masuk, bersama panggilan-panggilannya yang menggelegar, sembari mengecek setiap ruangan.

Hingga tiba di area dapur, mendadak saja hening. Siska masih dalam kondisi setengah linglung, ketika alam bawah sadarnya memerintah untuk mengecek Bella sekarang.

Siska mendapati kondisi pintu belakang sudah terbuka sepenuhnya. Dalam kondisi otak yang masih blank, Siska membawa senter bersamanya sebelum ikut menyusul keluar untuk mencari sang kakak.

Halaman belakang rumah yang cukup luas menyulitkan Siska untuk mencari. Ia juga terus memanggil dengan harapan ada orang asing yang akan menolong, tetapi sunyi. Hanya ada suara serangga malam yang menemaninya malam ini.

Gadis itu terus berlari sembari mencari. Hingga setelah kakinya lelah melangkah, ia mendapati sesosok tubuh berdiri menjulang membelakanginya dengan pakaian penuh darah.

Mata Siska menatap nanar pada sosok pria itu, kemudian melarikan pandangan dan sorot senternya ke depan Erik, dan mendapati tubuh sang kakak sudah dalam kondisi tak berbentuk penuh darah.

Siska terperanjat, dengan mata terbelalak. Kaki-kakinya mendadak luas dengan otak yang mendadak kosong. Sementara napas gadis itu tertahan sehingga suara detak jantungnya yang berdegup kencang bisa didengarkan dengan jelas.

"Kak ... kak  ...." Siska menyebut Bella dengan suara tertahan, bercampur gemetar. Tanpa bisa dicegah, air matanya berjatuhan, lalu begitu cepat berubah menjadi isak tangis yang memilukan. "Kak Bella?" Siska memanggil lagi, dengan nada yang lebih panjang dan bergetar. Isakannya sudah tidak bisa ditahan. Ia meronta-ronta di atas rerumputan, menolak kenyataan.

"Kak Bella?! Ini pasti mimpi-mimpi .... Pasti mimpi ...."

Siska menampar wajahnya kanan-kiri agar sadar, tetapi rasa perih di kulitnya sudah menjadi jawaban bahwa apa yang terjadi sekarang adalah kenyataan.

"Kak ... ak ...." Siska memanggil dengan suara tersendat, kemudian mengarahkan pandangannya yang buram pada sosok Erik yang membungkuk hendak mengambil bayi tak jauh dari mereka.

Dipenuhi amarah dan duka sekaligus, Siska tidak bisa berpikir panjang. Ia hanya langsung mengambil senter besi berwarna silver dengan penerangan warna kuning itu untuk dijadikan senjata.

Persetan jika rusak. Siska langsung menghantam kepala Erik berulang kali dengan segenap tenaga sambil sumber penerangan itu rusak dan terpecah menjadi beberapa bagian.

Seketika kondisi sekitar gelap, hanya mengandalkan cahaya dari bulan purnama di atas kepala.

Siska seketika berhenti menyerang ketika senjatanya sudah rusak. Ia mendengar geraman mengerikan Erik, sebelum tubuhnya didorong kuat hingga jatuh tersungkur di atas rerumputan.

Sebelum sempat bertindak, sebuah pukulan kuat menghantam kepala Siska berulang kali menggunakan batu seberat satu kilo. Begitu cepat menghilangkan kesadaran gadis belia itu, tetapi Erik enggan berhenti.

Darah berpencar, napas Siska sudah terhenti tetapi ia enggan menjeda kegiatannya sampai lelah menghampiri pria itu. Deru napasnya terdengar begitu cepat, sembari membuang batu yang penuh darah itu ke atas tubuh Siska.

Erik menatap dua mayat kakak-beradik itu secara bergantian, kemudian meludah sembarangan. Ia kembali memungut tubuh bayi kecilnya yang juga dihiasi noda darah, untuk dibawa pergi.

"Sekarang, Eliza akan tinggal bersama Papa, tanpa pengaruh buruk dari jal*ng sialan itu," bisik Erik, dengan senyum hangat di bibirnya.

Terpopuler

Comments

Jesi Jasinah

Jesi Jasinah

semangat kakak

2023-05-14

0

RATNA RACHMAN

RATNA RACHMAN

Hadir..

2023-03-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!