20 tahun kemudian ....
Bunyi piring pecah berhasil mengacaukan kedamaian ruangan berukuran lima meter persegi tersebut. Sesosok gadis yang sedang berbaring dikelilingi oleh para wanita pelayan seketika menekan-nekan giginya dengan sangat kuat menahan amarah. Kedua tangannya turut mengepal erat, tanda bahwa ia sudah tidak bisa tahan dengan gangguan kecil itu.
Si gadis segera bangkit dari posisi berbaringnya. Gerakan kilat membuat dua timun yang telah dipotong rapi di atas matanya jatuh begitu saja. Kegiatan pijat yang dilakukan oleh dua wanita di kanan-kirinya seketika terhenti.
"Kenapa sih ... aku nggak dibiarin hidup tenang sejam aja?! Ini waktu-waktu refreshing aku setelah sibuk shooting kemarin! Kalian semua aku bayar buat ngasih aku kedamaian dan ketenangan, tapi kenapa malah ada suara piring jatoh, hah? Potong aja tangan kalian kalau pegang piring aja nggak becus! Aku bahkan nggak inget mimpiin apa barusan gara-gara gangguan kalian! Kalian mau aku nggak bayar karena ketidakbecusan kalian ini, hah?! Mau kalian?!" Hampir tanpa jeda tanpa napas, gadis dengan rambut bergelombang di ujungnya itu menjerit kuat.
Usianya belum mencapai 19 tahun, tetapi jeritannya berhasil membuat semua wanita dalam ruangan yang lebih tua darinya itu menunduk dalam, ketakutan.
Deru napas gadis bernama Karina itu berubah menderu cepat setelah ia selesai berteriak. Rambutnya yang maju ke depan ketika ia terlalu menghayati kemarahannya, segera dibawa ke belakang telinga agar rapi tanpa mengganggu wajah atau penglihatannya lagi.
"Tenang, Kar. Cuman piring jatuh doang. Lo tidur lagi ya ... cup ... cup ... Nina Bobo ...."
Seorang pria berisi dengan perut membuncit dan rambut diikat itu menghibur Karina. Ia baru saja tiba ketika sang atasan bangkit dari posisi berbaring menyerupai Suzanna. Ia buru-buru menyelamatkan para pelayan di ruangan agar tidak kena amukan yang lebih dari sang atasan.
Karina masih enggan luluh begitu saja. Dagunya terangkat tinggi penuh keangkuhan, sementara tangannya terlipat di depan dada. Ia seharusnya menampilkan kesan tidak acuh, agar memperjelas aura marah dalam dirinya, tetapi perempuan itu malah luluh saat mendengar suara kantong keresek bawaan si asisten.
"Kamu beli apa itu?" tanya Karina setengah penasaran.
Aroma cokelat yang manis menguar samar dari kantongan plastik tersebut, memicu gejolak lapar di perut Karina. Gadis itu meneguk ludah secara kasar, ketika si asisten—Rafa—tampak kebingungan dalam memberi jawaban.
"Cuman kue cokelat biasa. Lo nggak usah kepengen! Jaga badan selama masa promosi film. Kan nggak epik amat pas kamu di depan banyak orang malah dalam kondisi gendut dan jerawatan!" balas Rafa dengan nada tegas memperingatkan.
"Tapi ... aku beneran mau coba! Siniin dikit!" pinta Karina, penuh pemaksaan.
Bukan tanpa alasan. Gadis itu tengah merasakan gelisah mengenai aroma kue yang dibawa oleh Rafa. Ia bisa dengan mudah tahan pada segala jenis godaan makanan karena ketenarannya di dunia entertainment jauh lebih penting dari nafsunya. Namun entah mengapa, makanan satu ini berbeda.
"Nggak! Gue mau makan sendiri! Ini aja nggak cukup, Kar! Soalnya ini kue lejen dari puluhan tahun lalu. Buat dapat ini mesti ngantri lama, dan dibatasi pembeliannya saking banyaknya peminatnya! Gue nggak mau berbagi untuk hal yang satu ini."
"Rafa ...." Karina merengek manja, sekaligus menunjukkan tatapan memelas. Namun, lelaki itu sama sekali tidak peduli. "RAFA!" Kali ini Karina menegaskan suaranya sampai urat-urat leher gadis itu menonjol sempurna.
Para wanita dalam ruangan sudah menatap ngeri pada Karina, tetapi Rafa masih bersikap santai.
"Aku bayar kamu selama ini, buat layani aku 24 jam! Dalam arti kata lain, kamu itu cuman pelayan aku, dan wajib penuhi apa pun keinginan aku! Dari uang aku, kamu bisa beli makanan itu, Rafa! Jadi, bagi ...!" jerit Karina dengan lantang.
Hal itu berhasil membuat Rafa menatapnya serius, kemudian perlahan berubah mencemooh. Mengenali Karina sejak SD berhasil membuat Rafa sangat tahu karakter gadis itu, serta sangat paham cara menyelesaikannya.
"Maaf ya, Nona ... tapi saya beli ini dari uang hasil kerja saya sendiri. Saya melayani Anda bukan buat dapat balasan uang ngemis ya, tapi hasil pertukaran hasil keringat saya! Jangan sok di situ, ya, Nona!" balas Rafa.
Karina mengeratkan bibirnya penuh amarah, lalu turun dengan gerak kasar ke arah Rafa. Dalam kondisi tanpa alas kaki, gadis itu berjalan dan tidak mengatakan apa pun ketika merebut kantongan dari Rafa.
Setelah berhasil, Karina membelakangi Rafa untuk mengobrak-abrik bungkusan kue itu, dan mengambil secuil kue.
Aromanya sudah menimbulkan rasa gelisah aneh dalam diri Karina, dan sekarang ... rasa kue ini juga menambah ritme detak jantung gadis itu.
Karina meneguk ludah secara kasar.
Ada apa dengan kue ini? Terasa ada hal yang janggal, tetapi Karina tidak memiliki ingatan apa pun tentang kue ini.
Gadis itu tampak pucat ketika mengembalikan kantongan berisi kue pada pemiliknya. Rafa bersiap menyemburkan cercaan, ketika menyadari bahwa ada perubahan pesat pada atasannya.
Karina tampak pucat dan gelisah.
"Kar," panggil Rafa dengan nada lirih. "Lo nggak papa, kan?"
...*...
Kegiatan konferensi pers baru saja selesai dilakukan. Karina berjalan terburu-buru disusul oleh asistennya yang kerepotan membawa beberapa barang.
Karina harus cepat menuju mobil, sebelum wartawan mengetahui keberadaannya. Ia sudah sangat lelah menahan senyum ramah di hadapan puluhan orang dan kamera, sehingga sekarang ia bisa menampilkan ekspresi dingin dengan menyembunyikan diri melalui hoodie dan kacamata hitam.
Namun, ketika baru saja beberapa langkah hendak mencapai mobil, sebuah panggilan mencegat langkah gadis itu. Ia seharusnya tidak memedulikan, sehingga—siapa pun itu—menyangka salah orang. Namun, tangannya dicekal kuat oleh Rafa, dan memaksa gadis itu untuk berbalik.
Sesosok pria datang mendekat, dalam balutan kemeja putih, dasi merah, jas hitam yang senada dengan celana bahannya. Tidak ada yang menarik dari pria dewasa itu, tetapi mendadak saja kening Karina berkerut aneh. Ia memejam di balik kacamatanya seolah ada sesuatu yang menganggap di pikiran. Gadis itu mencoba mengorek isi memori otaknya, tetapi panggilan dari pria itu mengacaukan pikiran Karina.
"Kenapa buru-buru sekali? Yang lain mau makan dulu, saya yang traktir. Kamu pemeran utamanya, kenapa langsung pergi?" tanya pria itu.
Karina tidak langsung menjawab, karena masih loading sesaat. Setelah mendapat isyarat tuntutan jawaban dari pria di hadapannya, Karina memberikan gelengan kecil, sembari menarik kedua sudut bibir pink-nya hingga membentuk senyum manis.
"Maaf sebelumnya, Pak." Karina melepaskan kacamata agar terlihat sopan. Bagaimanapun, ia laku karena image malaikatnya, jadi tidak boleh ada yang tahu mengenai karakter asli di balik senyumnya itu. "Saya sedang kelelahan sekarang ini, jadi butuh istirahat. Mungkin lain kali bisa saya usahakan. Saya buru-buru, supaya saya nggak disadari wartawan lewat sini, jadi bisa aman sampai rumah."
Pria itu mengangguk, menerima jawaban Karina. Sebuah senyum simpul tercipta di bibir pria itu, yang anehnya tidak bisa membuat Karina merasa damai. Malah semakin merasa gelisah.
"Baik kalau begitu. Kamu memang harus jaga kesehatan." Pria itu tampak berusaha lapang dada dengan mengangguk dan tersenyum. "Lain kali, pasti saya ajak lagi, dan saya harap, kamu usahakan ikut lain kali."
Karina mengangguk anggun sekali, dengan senyum bersalah.
"Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi." Karina memohon undur diri, dan diiyakan oleh pria itu.
Namun, baru saja berbalik 180°, Karina sudah mengubah posisinya ke arah pria itu lagi dengan kerutan bingung. Jemarinya secara ragu terangkat menunjuk lemah pada pria itu.
"Kita ... apa pernah kenalan sebelum ini, Pak?" tanya Karina.
"Apa kamu tahu nama saya?" Pria itu balas bertanya dengan senyum yang semakin lebar.
Karina menggeleng. Ia tidak menemukan ingatan perkenalannya dengan pria ini.
"Ini pertemuan perdana kita," kata pria itu, meredupkan senyum hingga tersisa wajah dengan ekspresi misterius, "sebagai pembuka pertemuan kita yang lebih sering ke depannya."
Karina merasa tidak nyaman dengan pernyataan itu, pun dengan pria di depannya. Hingga ketika pria itu menjulurkan tangan hendak berjabat tangan, Karina tanpa sadar mundur karena terkejut.
"Saya Erik Eduardo." Pria itu memperkenalkan diri.
Secara ragu, Karina membalas jabat tangan itu, memicu senyum Erik bertambah lebar. Mendadak saja, ada perasaan sesal menghampiri Karina, memicu sensasi terancam dalam diri gadis itu.
Tiba-tiba sekelebat bayangan muncul dalam pandangan Karina, memaksa dirinya untuk segera memejam demi memperjelas tampilan itu. Kepalanya turut menunduk sangat dalam, demi bisa fokus melihat apa yang ada dalam pikirannya sekarang ini.
Pertama, muncul sebuah suara jernih yang terdengar tidak asing di telinganya.
"Apa aku boleh memiliki kekasihmu, Kak?"
Napas Karina sampai tersendat mendengar suara ilusi yang dihasilkan pikirannya sendiri. Suara tersebut sangat ia kenali, karena itu terdengar seperti miliknya sendiri. Namun, Karina ingat betul bahwa tidak ada dialog dalam drama, sinetron, atau film yang seperti itu. Bahkan dalam kehidupan nyata, karena Karina anak tunggal.
"Karina, kamu kenapa?" Erik bertanya kebingungan, bahkan sedikit membungkuk hanya untuk mengecek secara pasti perubahan ekspresi tidak nyaman di wajah Karina.
Segera, gadis itu mengangkat wajahnya, menatap lurus pada sosok pria di depan yang baru saja memperkenalkan nama.
Lalu, sebuah suara lain muncul dalam benaknya, memberikan perasaan gelisah tanpa bisa dicegah. Suara yang lebih lembut dari suara sebelumnya.
"Nanti, kamu juga akan punya kekasih seperti Erik."
Karina benar-benar kebingungan, sampai ia membeku di tempat. Lehernya menunjukkan pergerakan jelas, seolah meneguk ludah secara kasar.
"Nggak papa, Pak." Karina menjawab, dengan suara pelan. "Salam kenal, Pak ... Erik."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Jesi Jasinah
salam kenal kak dari Cintaku yang tak direstui
2023-05-14
0
Aida Arifin
ceritanya bagus semoga selesai di sini
2023-03-14
1