NovelToon NovelToon

Di Balik Sang Protagonis

1. Akhir Romansa Sempurna

Iri ini tidak bisa dibendung oleh Siska sedikit pun. Setelah kepergian pemuda yang menjadi kekasih kakaknya, segera saja ia mengutarakan pada Bella saat itu juga.

"Apa aku boleh memiliki kekasihmu, Kak?" tanya Siska dengan nada polos. Gadis itu baru berusia 12 tahun, sehingga bagi Bella, itu terdengar seperti pujian pada sang kekasih.

"Nanti, kamu juga akan punya kekasih seperti Erik. Kakak akan carikan pemuda seperti Erik untukmu, tetapi nanti. Sekarang, kamu fokus belajar! Karena Ibu tidak akan memberikanmu kebebasan keluar apalagi berpacaran jika nilaimu tidak meningkat!" ucap Bella dengan nada setengah mengancam.

Siska hanya bisa memajukan bibir cemberut, kemudian mengikuti arahan sang kakak. Langkahnya begitu pelan dan juga berat ketika meninggalkan ruang tengah, tempat di mana Erik dan Bella saling bermesraan ala kekasih, sementara Siska hanya menonton sembari menikmati kue yang dibawa pria baik itu.

"Menurut kakak, apa masih ada orang yang seperti Erik? Aku tidak masalah jika harus tua, asalkan benar-benar manis seperti Erik. Semua teman-teman sekelasku menyebalkan! Mereka tidak ada satu pun yang memiliki karakter kekasih kakak itu, dan membuatku ragu jika masih ada pria yang memiliki karakter seperti Erik," kata Siska ketika sudah berdiri di depan pintu kamarnya,

Bella yang membawa kue dari ruang tengah hendak ke dapur, menghentikan langkah di depan kamar sang adik.

"Hai, kenapa kamu memikirkan itu sekarang? Kamu tahu? Terlalu awal untuk anak kecil memikirkan pasangan! Kakak bahkan baru kenal Erik dua tahun lalu, Siska. Kamu masih punya banyak waktu untuk memiliki kekasih nanti. Fokus ke sekolah lebih dulu! Kamu harus bisa sukses supaya ibu dan ayah bangga padamu!"

"Tapi aku sudah tidak sabar, Kak! Aku mau kekasih seperti Erik supaya dibawakan kue setiap hari!"

"Kamu ini!" keluh Bella dengan nada geli. "Baiklah jika demikian, ini kue untukmu. Habiskan, oke?"

"Bukannya ini kue untuk kakak? Untuk meredakan mual kakak?" Kata Siska, keberatan mengambil semua kotak kue itu, mengingat bahwa ia sudah memakannya dua potong.

"Tidak masalah. Kakak hanya mau mencicipinya tadi. Sekarang sudah tidak lagi. Sana, masuk ke kamarmu. Kakak mau ke dapur dulu." Bella menambahkan sedikit pemaksaan kali ini, ketika menyerahkan kotak kue tadi pada sang adik.

Tanpa menunggu ucapan terima kasih dikatakan oleh Siska, Bella sudah bergegas pergi meninggalkan tempatnya berbincang dengan sang adik. Sembari berjalan, ia juga membekap mulut dan hidungnya. Meski demikian, Siska masih melihat dengan jelas gurat tidak nyaman di wajah sang kakak.

Merasa khawatir sekaligus bersalah, Siska mengikuti dari belakang. Ia memperlambat langkahnya ketika sudah berada di belakang punggung Bella yang kini berada di kamar mandi dengan pintu terbuka menampilkan dirinya sibuk memuntahkan cairan bening di kloset.

Siska menatap ngeri pada kondisi sang kakak. Terhitung sudah beberapa hari Bella mengalami muak tanpa alasan. Hal itu memicu kekhawatiran Siska, dan sulit untuk ditahan. 

"Kakak tidak mau ke rumah sakit?"

"Tidak, Siska.”

"Kenapa tidak? Kakak mual semakin parah. Aku tidak bisa tidak khawatir! Ke rumah sakit, atau ... aku akan melapor pada ibu dan ayah bahwa Kakak sakit parah akhir-akhir ini?!" ancam Siska telak, yakin tidak akan ditolak karena Bella sangat kukuh enggan memberitahukan masalah ini pada orang tua mereka.

"Jangan, Siska!" tolak Bella dengan tegas. Raut wajahnya seketika berubah sendu, dengan hiasan pucat ketika pandangannya meredup. "Iya. Kakak akan periksa besok ...."

Tampak keraguan terlihat jelas di wajah Bella, bercampur kekhawatiran yang teramat kentara.

...*...

Obrolan pasangan kekasih itu tampaknya lebih serius kali ini. Itulah yang dipikirkan Siska ketika mengintip ruang tengah sekarang ini, dan mendapati bahwa Bella dan Erik saling merangkul di sofa dengan ekspresi yang begitu serius.

Siska ingin mendengarkan lebih lanjut, tetapi Erik lebih dahulu mengetahui keberadaannya.

"Siska, sudah lama kamu di situ?" tanya Erik dengan nada ramah, yang membuat Siska seketika merasa bersalah.

"Belum. Baru selesai kerjakan tugas." Siska menjawab sangat jujur, sembari mendekat ke ruang tengah untuk duduk di salah satu sofa.

"Saya bawa kue lagi, kata Bella kamu suka. Makan saja, itu khusus saya belikan untuk kamu."

Siska melenguh dalam hati. Bagaimana ia tidak bisa semakin iri pada kakaknya yang memiliki kekasih sempurna seperti Erik ini?

Bersama wajah penuh binar bahagia, Siska menerima kue tersebut, dan memakannya secara teratur. Matanya sesekali melirik iri interaksi sang kakak dan kekasihnya, lalu menyadari ada keanehan lain kali ini selain aura serius dari mereka dan wajah pucat Bella ... yaitu tangan Erik terus mengusap perut kekasihnya.

Mendadak, Siska dipenuhi rasa khawatir yang begitu kuat. Takut jika kakaknya sakit parah, karena sejak mual-mual, Bella dari hari ke hari semakin pucat.

"Kak Bella sudah periksa? Bagaimana kabar dari dokter?" tanya Siska, penasaran. "Tolong jawab ... aku sangat khawatir sekarang." Gadis itu menambahkan nada permohonan karena Bella seolah enggan menjawab ketika menunjukkan senyum lembutnya.

"Bella tidak memiliki masalah apa-apa, Siska. Kamu tidak perlu khawatir," kata Erik menenangkan, mewakili Bella untuk menjawab. "Hanya saja ...." Ekspresi ramah pemuda itu mendadak saja berubah menjadi sendiri saat mengeluarkan dua kata barusan, memancing penasaran Siska untuk berkembang lebih besar dalam dirinya. "Bella mungkin harus pergi sementara waktu untuk bekerja di luar kota bersama saya. Saya akan meminta izin ke orang tua kalian lebih dulu. Jangan khawatir, karena kakakmu akan saya jaga dengan baik, sepenuh jiwa dan raga saya."

"Pergi? Ke mana?" Nada suara Siska menanjak, sulit menerima kenyataan ini.

"Ikut kerja di perusahaannya Erik, Dek." Giliran Bella yang menjawab. "Supaya dapat banyak uang, dan bisa bayar biaya sekolah kamu."

"T—tapi ...." Siska masih enggan menerima kenyataan tersebut.

"Jangan khawatir, Siska. Kan yang jaga kakak: Erik. Kamu percaya sama Erik, kan? Kakak juga bisa jaga diri, kok."

Siska masih sulit mencerna ucapan Bella atau tambahan penjelasan meyakinkan dari Erik, tetapi pada akhirnya gadis itu hanya bisa pasrah ketika Bella mewujudkan rencananya memberitahu orang tua mereka.

Malam itu juga Bella berangkat bersama Erik, disertai tangisan memilukan dari ibu, serta tatap nanar dari bapak. Juga pandangan tidak rela dari Siska yang belum mengerti sumber masalahnya.

"Kamu jangan seperti kakakmu, Siska! Jangan pernah memiliki pacar! Bapak tidak akan biarkan kamu memiliki pacar! Bapak hanya akan langsung menikahkan kamu dengan pemuda terbaik yang Bapak kenal!"

Kalimat ultimatum tanpa bisa dibantah itu, bagaikan sambaran petir di tengah hari yang cerah. Siska hanya bisa menatap dengan pandangan redup, ketika Bapak meninggalkannya begitu saja di depan rumah tanpa penjelasan lanjutan. Membiarkan putri bungsunya itu dalam keadaan bingung.

...*...

Namun, lambat laun Siska akhirnya mengerti apa yang terjadi hari itu. Si polos ini mencari tahu dengan amat sungguh-sungguh mengenai kejadian yang menimpa kakaknya, dan jawaban segera ia temukan beberapa bulan kemudian.

Bahwa sang kakak sedang hamil di luar nikah, dan diamankan ke tempat Erik agar terhindar dari gunjingan tetangga. Mereka tidak dapat menikah karena usia Erik masih 18 tahun sementara Bella baru 17 tahun.

Kini, Siska juga sangat memahami alasan sang ayah melarangnya untuk mendekati pemuda lain. Karena jika sampai Siska salah langkah, belum tentu ia memiliki kesempatan emas mengamankan diri seperti sang kakak, karena pemuda sejenis Erik sangatlah langkah.

Sebuah kelegaan dirasai Siska setelah menemukan jawaban itu, hingga beberapa bulan kemudian.

Di sebuah malam yang gelap, orang tua Siska belum kunjung pulang dari pesta tetangga di kampung seberang, Siska mendapati ketukan buru-buru di daun pintu.

Khawatir dan takut membuat Siska enggan untuk bergerak meninggalkan bawah selimutnya—sebagai tempat teraman. Namun setelah mendengar panggilan dari suara lembut juga jernih dari si pengetuk pintu, Siska bergegas untuk membukanya sesegera mungkin.

Ditemukanlah Bella yang tampak sangat kelelahan di depan pintu. Siska yang khawatir mengajaknya masuk dan duduk di sofa, serta membawakan minum dan makanan untuk sang kakak.

Siska penasaran dengan apa yang terjadi, tetapi menahan diri untuk bertanya karena melihat kondisi menyedihkan sang kakak. Dibiarkan Bella mengatur napas lebih dulu, bahkan abai pada ketidaksopanan Bella yang menaruh kedua kaki di atas meja.

Siska sangat yakin, bahwa kakaknya sangat lelah. Apalagi dengan bawaan di salah satu lengannya sedari tadi, dalam balutan selimut tebal dengan panjang hanya sampai lengan bawah orang dewasa. Sebuah bayi mungil yang masih merah. Siska bergidik.

"Kamu tutup pintunya, Siska!" pinta Bella dengan nada tegas, enggan dibantah atau ditunda.

Siska bergegas memenuhi perintah tersebut, kemudian kembali ke tempatnya semula—duduk di samping sang kakak.

"Kak Bella kenapa ada di sini? Erik di mana? Kenapa Kakak terlihat sangat kelelahan?" Pertanyaan beruntun itu diutarakan Siska dengan nada pelan, agar tidak menyudutkan Bella.

Namun, sesuatu hal yang mengejutkan terjadi. Bella menangis sembari kesulitan menghapus air mata hanya dengan sebelah tangan. Ia meletakkan bayinya di atas meja secara hati-hati agar guncangan tubuhnya tidak membangunkan si bayi mungil.

"Selamatkan Kakak, Siska. Tolong Kakak .... Kakak .... mau dibunuh sama Erik."

 

Mendengar kalimat terbata Bella, Siska sontak melotot. Tidak mungkin pendengarannya kali ini benar! Siska akan lebih percaya telinganya tuli dibandingkan ucapan Bella, tetapi ... perempuan di depannya ini adalah sang kakak yang dikenalinya sejak mengetahui dunia.

"Kak? Apa maksud kakak?" tanya Siska kebingungan.

Bella menunduk dalam, tampak sangat berusaha menahan isakannya tetapi lolos. Suara tangisan Bella begitu menyayat hati, membuat Siska bergegas memeluk sang kakak untuk menularkan ketenangan walau dirinya sendiri juga masih kebingungan.

"Erik ... dia hanya mau mengambil Eliza dari kakak ...."

Eliza? Siska mengarahkan pandangannya pada si mungil yang merapatkan kelopak mata. Sangat yakin bahwa nama barusan adalah milik si bayi.

"Erik ...." Bella melanjutkan di sela tangisannya, "dia mau—"

Namun, ucapan Bella seketika terkena saat mendengar seruan di balik pintu.

"Malam. Selamat malam. Siska? Kamu di dalam?" Suara ramah Erik terdengar.

Siska tertegun di tempat tampak kebingungan. Sementara Bella tampak sangat panik. Ia tidak mengatakan apa pun, dan langsung membawa bayinya semakin masuk ke dalam rumah.

Gadis 12 tahun itu kebingungan, melirik pintu dan kepergian Bella secara bergantian. Detak jantungnya berpacu lebih keras, ketika ketukan Erik kian menggelegar.

"Siska? Bella ada di dalam Siska? Tolong buka pintunya, Dek. Kami ada kesalahpahaman, jadi harus selesaikan ini segera," kata Erik, masih dengan suara rendah yang amat teratur.

Secara ragu, Siska berjalan ke arah pintu. Gemetar menguasai tangannya saat menyentuh gagang pintu, kemudian menariknya hingga terbuka. Wajah dengan senyum manis Erik langsung muncul di depannya.

"Bella ada di dalam, Dek? Kami mengalami kesalahpahaman sekarang, dan saya perlu ketemu Bella untuk meluruskan masalah ini. Bella di mana, Dek?"

Siska hanya bisa meneguk ludahnya secara kasar, kebingungan. Jemarinya memutih karena saling meremas kuat di depan perut, menandakan betapa gugup ia.

"BELLA DI MANA, SISKA!"

Teriakan pemuda itu sontak membuat Siska langsung mundur ketakutan. Gadis itu tercengang kaku, ketika sisi lembut Erik menghilang, tergantikan oleh raut marah penuh kebencian.

"Bella! Kamu di mana?!" panggil Erik sembari berjalan memasuki rumah tanpa peduli kondisi membeku yang dialami Siska.

Pemuda itu terus masuk, bersama panggilan-panggilannya yang menggelegar, sembari mengecek setiap ruangan.

Hingga tiba di area dapur, mendadak saja hening. Siska masih dalam kondisi setengah linglung, ketika alam bawah sadarnya memerintah untuk mengecek Bella sekarang.

Siska mendapati kondisi pintu belakang sudah terbuka sepenuhnya. Dalam kondisi otak yang masih blank, Siska membawa senter bersamanya sebelum ikut menyusul keluar untuk mencari sang kakak.

Halaman belakang rumah yang cukup luas menyulitkan Siska untuk mencari. Ia juga terus memanggil dengan harapan ada orang asing yang akan menolong, tetapi sunyi. Hanya ada suara serangga malam yang menemaninya malam ini.

Gadis itu terus berlari sembari mencari. Hingga setelah kakinya lelah melangkah, ia mendapati sesosok tubuh berdiri menjulang membelakanginya dengan pakaian penuh darah.

Mata Siska menatap nanar pada sosok pria itu, kemudian melarikan pandangan dan sorot senternya ke depan Erik, dan mendapati tubuh sang kakak sudah dalam kondisi tak berbentuk penuh darah.

Siska terperanjat, dengan mata terbelalak. Kaki-kakinya mendadak luas dengan otak yang mendadak kosong. Sementara napas gadis itu tertahan sehingga suara detak jantungnya yang berdegup kencang bisa didengarkan dengan jelas.

"Kak ... kak  ...." Siska menyebut Bella dengan suara tertahan, bercampur gemetar. Tanpa bisa dicegah, air matanya berjatuhan, lalu begitu cepat berubah menjadi isak tangis yang memilukan. "Kak Bella?" Siska memanggil lagi, dengan nada yang lebih panjang dan bergetar. Isakannya sudah tidak bisa ditahan. Ia meronta-ronta di atas rerumputan, menolak kenyataan.

"Kak Bella?! Ini pasti mimpi-mimpi .... Pasti mimpi ...."

Siska menampar wajahnya kanan-kiri agar sadar, tetapi rasa perih di kulitnya sudah menjadi jawaban bahwa apa yang terjadi sekarang adalah kenyataan.

"Kak ... ak ...." Siska memanggil dengan suara tersendat, kemudian mengarahkan pandangannya yang buram pada sosok Erik yang membungkuk hendak mengambil bayi tak jauh dari mereka.

Dipenuhi amarah dan duka sekaligus, Siska tidak bisa berpikir panjang. Ia hanya langsung mengambil senter besi berwarna silver dengan penerangan warna kuning itu untuk dijadikan senjata.

Persetan jika rusak. Siska langsung menghantam kepala Erik berulang kali dengan segenap tenaga sambil sumber penerangan itu rusak dan terpecah menjadi beberapa bagian.

Seketika kondisi sekitar gelap, hanya mengandalkan cahaya dari bulan purnama di atas kepala.

Siska seketika berhenti menyerang ketika senjatanya sudah rusak. Ia mendengar geraman mengerikan Erik, sebelum tubuhnya didorong kuat hingga jatuh tersungkur di atas rerumputan.

Sebelum sempat bertindak, sebuah pukulan kuat menghantam kepala Siska berulang kali menggunakan batu seberat satu kilo. Begitu cepat menghilangkan kesadaran gadis belia itu, tetapi Erik enggan berhenti.

Darah berpencar, napas Siska sudah terhenti tetapi ia enggan menjeda kegiatannya sampai lelah menghampiri pria itu. Deru napasnya terdengar begitu cepat, sembari membuang batu yang penuh darah itu ke atas tubuh Siska.

Erik menatap dua mayat kakak-beradik itu secara bergantian, kemudian meludah sembarangan. Ia kembali memungut tubuh bayi kecilnya yang juga dihiasi noda darah, untuk dibawa pergi.

"Sekarang, Eliza akan tinggal bersama Papa, tanpa pengaruh buruk dari jal*ng sialan itu," bisik Erik, dengan senyum hangat di bibirnya.

2. Sinyal Gelisah

20 tahun kemudian ....

Bunyi piring pecah berhasil mengacaukan kedamaian ruangan berukuran lima meter persegi tersebut. Sesosok gadis yang sedang berbaring dikelilingi oleh para wanita pelayan seketika menekan-nekan giginya dengan sangat kuat menahan amarah. Kedua tangannya turut mengepal erat, tanda bahwa ia sudah tidak bisa tahan dengan gangguan kecil itu.

Si gadis segera bangkit dari posisi berbaringnya. Gerakan kilat membuat dua timun yang telah dipotong rapi di atas matanya jatuh begitu saja. Kegiatan pijat yang dilakukan oleh dua wanita di kanan-kirinya seketika terhenti.

"Kenapa sih ... aku nggak dibiarin hidup tenang sejam aja?! Ini waktu-waktu refreshing aku setelah sibuk shooting kemarin! Kalian semua aku bayar buat ngasih aku kedamaian dan ketenangan, tapi kenapa malah ada suara piring jatoh, hah? Potong aja tangan kalian kalau pegang piring aja nggak becus! Aku bahkan nggak inget mimpiin apa barusan gara-gara gangguan kalian! Kalian mau aku nggak bayar karena ketidakbecusan kalian ini, hah?! Mau kalian?!" Hampir tanpa jeda tanpa napas, gadis dengan rambut bergelombang di ujungnya itu menjerit kuat.

Usianya belum mencapai 19 tahun, tetapi jeritannya berhasil membuat semua wanita dalam ruangan yang lebih tua darinya itu menunduk dalam, ketakutan.

Deru napas gadis bernama Karina itu berubah menderu cepat setelah ia selesai berteriak. Rambutnya yang maju ke depan ketika ia terlalu menghayati kemarahannya, segera dibawa ke belakang telinga agar rapi tanpa mengganggu wajah atau penglihatannya lagi.

"Tenang, Kar. Cuman piring jatuh doang. Lo tidur lagi ya ... cup ... cup ... Nina Bobo ...."

Seorang pria berisi dengan perut membuncit dan rambut diikat itu menghibur Karina. Ia baru saja tiba ketika sang atasan bangkit dari posisi berbaring menyerupai Suzanna. Ia buru-buru menyelamatkan para pelayan di ruangan agar tidak kena amukan yang lebih dari sang atasan.

Karina masih enggan luluh begitu saja. Dagunya terangkat tinggi penuh keangkuhan, sementara tangannya terlipat di depan dada. Ia seharusnya menampilkan kesan tidak acuh, agar memperjelas aura marah dalam dirinya, tetapi perempuan itu malah luluh saat mendengar suara kantong keresek bawaan si asisten.

"Kamu beli apa itu?" tanya Karina setengah penasaran.

Aroma cokelat yang manis menguar samar dari kantongan plastik tersebut, memicu gejolak lapar di perut Karina. Gadis itu meneguk ludah secara kasar, ketika si asisten—Rafa—tampak kebingungan dalam memberi jawaban.

"Cuman kue cokelat biasa. Lo nggak usah kepengen! Jaga badan selama masa promosi film. Kan nggak epik amat pas kamu di depan banyak orang malah dalam kondisi gendut dan jerawatan!" balas Rafa dengan nada tegas memperingatkan.

"Tapi ... aku beneran mau coba! Siniin dikit!" pinta Karina, penuh pemaksaan.

Bukan tanpa alasan. Gadis itu tengah merasakan gelisah mengenai aroma kue yang dibawa oleh Rafa. Ia bisa dengan mudah tahan pada segala jenis godaan makanan karena ketenarannya di dunia entertainment jauh lebih penting dari nafsunya. Namun entah mengapa, makanan satu ini berbeda.

"Nggak! Gue mau makan sendiri! Ini aja nggak cukup, Kar! Soalnya ini kue lejen dari puluhan tahun lalu. Buat dapat ini mesti ngantri lama, dan dibatasi pembeliannya saking banyaknya peminatnya! Gue nggak mau berbagi untuk hal yang satu ini."

"Rafa ...." Karina merengek manja, sekaligus menunjukkan tatapan memelas. Namun, lelaki itu sama sekali tidak peduli. "RAFA!" Kali ini Karina menegaskan suaranya sampai urat-urat leher gadis itu menonjol sempurna.

Para wanita dalam ruangan sudah menatap ngeri pada Karina, tetapi Rafa masih bersikap santai.

"Aku bayar kamu selama ini, buat layani aku 24 jam! Dalam arti kata lain, kamu itu cuman pelayan aku, dan wajib penuhi apa pun keinginan aku! Dari uang aku, kamu bisa beli makanan itu, Rafa! Jadi, bagi ...!" jerit Karina dengan lantang.

Hal itu berhasil membuat Rafa menatapnya serius, kemudian perlahan berubah mencemooh. Mengenali Karina sejak SD berhasil membuat Rafa sangat tahu karakter gadis itu, serta sangat paham cara menyelesaikannya.

"Maaf ya, Nona ... tapi saya beli ini dari uang hasil kerja saya sendiri. Saya melayani Anda bukan buat dapat balasan uang ngemis ya, tapi hasil pertukaran hasil keringat saya! Jangan sok di situ, ya, Nona!" balas Rafa.

Karina mengeratkan bibirnya penuh amarah, lalu turun dengan gerak kasar ke arah Rafa. Dalam kondisi tanpa alas kaki, gadis itu berjalan dan tidak mengatakan apa pun ketika merebut kantongan dari Rafa.

Setelah berhasil, Karina membelakangi Rafa untuk mengobrak-abrik bungkusan kue itu, dan mengambil secuil kue.

Aromanya sudah menimbulkan rasa gelisah aneh dalam diri Karina, dan sekarang ... rasa kue ini juga menambah ritme detak jantung gadis itu.

Karina meneguk ludah secara kasar.

Ada apa dengan kue ini? Terasa ada hal yang janggal, tetapi Karina tidak memiliki ingatan apa pun tentang kue ini.

Gadis itu tampak pucat ketika mengembalikan kantongan berisi kue pada pemiliknya. Rafa bersiap menyemburkan cercaan, ketika menyadari bahwa ada perubahan pesat pada atasannya.

Karina tampak pucat dan gelisah.

"Kar," panggil Rafa dengan nada lirih. "Lo nggak papa, kan?"

...*...

Kegiatan konferensi pers baru saja selesai dilakukan. Karina berjalan terburu-buru disusul oleh asistennya yang kerepotan membawa beberapa barang.

Karina harus cepat menuju mobil, sebelum wartawan mengetahui keberadaannya. Ia sudah sangat lelah menahan senyum ramah di hadapan puluhan orang dan kamera, sehingga sekarang ia bisa menampilkan ekspresi dingin dengan menyembunyikan diri melalui hoodie dan kacamata hitam.

Namun, ketika baru saja beberapa langkah hendak mencapai mobil, sebuah panggilan mencegat langkah gadis itu. Ia seharusnya tidak memedulikan, sehingga—siapa pun itu—menyangka salah orang. Namun, tangannya dicekal kuat oleh Rafa, dan memaksa gadis itu untuk berbalik.

Sesosok pria datang mendekat, dalam balutan kemeja putih, dasi merah, jas hitam yang senada dengan celana bahannya. Tidak ada yang menarik dari pria dewasa itu, tetapi mendadak saja kening Karina berkerut aneh. Ia memejam di balik kacamatanya seolah ada sesuatu yang menganggap di pikiran. Gadis itu mencoba mengorek isi memori otaknya, tetapi panggilan dari pria itu mengacaukan pikiran Karina.

"Kenapa buru-buru sekali? Yang lain mau makan dulu, saya yang traktir. Kamu pemeran utamanya, kenapa langsung pergi?" tanya pria itu.

Karina tidak langsung menjawab, karena masih loading sesaat. Setelah mendapat isyarat tuntutan jawaban dari pria di hadapannya, Karina memberikan gelengan kecil, sembari menarik kedua sudut bibir pink-nya hingga membentuk senyum manis.

"Maaf sebelumnya, Pak." Karina melepaskan kacamata agar terlihat sopan. Bagaimanapun, ia laku karena image malaikatnya, jadi tidak boleh ada yang tahu mengenai karakter asli di balik senyumnya itu. "Saya sedang kelelahan sekarang ini, jadi butuh istirahat. Mungkin lain kali bisa saya usahakan. Saya buru-buru, supaya saya nggak disadari wartawan lewat sini, jadi bisa aman sampai rumah."

Pria itu mengangguk, menerima jawaban Karina. Sebuah senyum simpul tercipta di bibir pria itu, yang anehnya tidak bisa membuat Karina merasa damai. Malah semakin merasa gelisah.

"Baik kalau begitu. Kamu memang harus jaga kesehatan." Pria itu tampak berusaha lapang dada dengan mengangguk dan tersenyum. "Lain kali, pasti saya ajak lagi, dan saya harap, kamu usahakan ikut lain kali."

Karina mengangguk anggun sekali, dengan senyum bersalah.

"Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi." Karina memohon undur diri, dan diiyakan oleh pria itu.

Namun, baru saja berbalik 180°, Karina sudah mengubah posisinya ke arah pria itu lagi dengan kerutan bingung. Jemarinya secara ragu terangkat menunjuk lemah pada pria itu.

"Kita ... apa pernah kenalan sebelum ini, Pak?" tanya Karina.

"Apa kamu tahu nama saya?" Pria itu balas bertanya dengan senyum yang semakin lebar.

Karina menggeleng. Ia tidak menemukan ingatan perkenalannya dengan pria ini.

"Ini pertemuan perdana kita," kata pria itu, meredupkan senyum hingga tersisa wajah dengan ekspresi misterius, "sebagai pembuka pertemuan kita yang lebih sering ke depannya."

Karina merasa tidak nyaman dengan pernyataan itu, pun dengan pria di depannya. Hingga ketika pria itu menjulurkan tangan hendak berjabat tangan, Karina tanpa sadar mundur karena terkejut.

"Saya Erik Eduardo." Pria itu memperkenalkan diri.

Secara ragu, Karina membalas jabat tangan itu, memicu senyum Erik bertambah lebar. Mendadak saja, ada perasaan sesal menghampiri Karina, memicu sensasi terancam dalam diri gadis itu.

Tiba-tiba sekelebat bayangan muncul dalam pandangan Karina, memaksa dirinya untuk segera memejam demi memperjelas tampilan itu. Kepalanya turut menunduk sangat dalam, demi bisa fokus melihat apa yang ada dalam pikirannya sekarang ini.

Pertama, muncul sebuah suara jernih yang terdengar tidak asing di telinganya.

"Apa aku boleh memiliki kekasihmu, Kak?"

Napas Karina sampai tersendat mendengar suara ilusi yang dihasilkan pikirannya sendiri. Suara tersebut sangat ia kenali, karena itu terdengar seperti miliknya sendiri. Namun, Karina ingat betul bahwa tidak ada dialog dalam drama, sinetron, atau film yang seperti itu. Bahkan dalam kehidupan nyata, karena Karina anak tunggal.

"Karina, kamu kenapa?" Erik bertanya kebingungan, bahkan sedikit membungkuk hanya untuk mengecek secara pasti perubahan ekspresi tidak nyaman di wajah Karina.

Segera, gadis itu mengangkat wajahnya, menatap lurus pada sosok pria di depan yang baru saja memperkenalkan nama.

Lalu, sebuah suara lain muncul dalam benaknya, memberikan perasaan gelisah tanpa bisa dicegah. Suara yang lebih lembut dari suara sebelumnya.

"Nanti, kamu juga akan punya kekasih seperti Erik."

Karina benar-benar kebingungan, sampai ia membeku di tempat. Lehernya menunjukkan pergerakan jelas, seolah meneguk ludah secara kasar.

"Nggak papa, Pak." Karina menjawab, dengan suara pelan. "Salam kenal, Pak ... Erik."

3. Lamaran di Pertemuan Kedua

Ini hanya sebuah jabatan tangan, tetapi Karina langsung dibuat tidak nyaman setelah hari itu; hari pertemuan perdananya dengan Erik Eduardo.

Setiap malam, Karina selalu bermimpi tentang jabatan tangan mereka. Dalam mimpi itu, Karina melihat jabat tangan mereka menghasilkan darah yang menetes. Karina meraung kesakitan saat itu, sementara Erik malah tersenyum menyeringai.

Entah hal aneh apa, sehingga Karina terus memimpikan hal itu, bahkan dalam mimpi singkat yang ia curi-curi di jam istirahat.

Mungkin, Karina tidak akan terlalu peduli jika tidak memiliki efek ke dunia nyatanya. Namun, fakta bahwa gadis itu selalu terengah saat bangun usai mendapati mimpi tersebut, serta sensasi terancam—entah dari hal apa—membuat Karina gelisah setengah hidup.

Setelah bangun tidur, perempuan itu akan mengatur napas lebih dulu. Ia sedang di dalam mobil dalam perjalanan menuju pertemuan dengan para penggemar film-nya. Karina linglung selama beberapa saat, sehingga tidak menjawab pertanyaan Rafa.

“Lo ini kenapa sih anjir? Bikin gue khawatir banget, Kar! Lo kenapa weh?!” tuntut Rafa, cemas.

Karina hanya mengibaskan tangan pada ucapan sahabatnya. Enggan peduli, dan ingin mengganti topik obrolan.

“Air. Aku mau air.”

Permintaan itu segera dituruti oleh Rafa. Sebotol air mineral penuh diberikan pada sang atasan, dan buru-buru diminum oleh Karina hampir tanpa jeda sampai isi air di sana tersisa seperempat.

“Astaga, lo bikin gue takut banget.” Rafa berceletuk, sembari mengambil botol dari Karina untuk ia tutup. “Lo kenapa sih anjir? Akhir-akhir ini beneran pucat padahal cuman promosi. Lo ngapain emang sampai kecapean gini?”

Karina hanya menyandarkan tubuhnya dengan lemas pada kursi, tidak memiliki minat untuk menjawab. Ia sendiri tampak masih mengantuk, tetapi enggan untuk memejamkan mata.

“Cerita, Kar. Lo kenapa? Kapasitas gue buat bantu permasalahan orang kayak lo emang nggak banyak, tapi seenggaknya lo bisa lega dikit gitu loh. Gue beneran khawatir.” Rafa terus bergumam cemas. “Mau gue pijitin?”

Karina menggeleng lemah, tetapi tatapnya lurus pada Rafa. Ia memperbaiki posisi, bersiap menyampaikan sesuatu yang penting pada pria itu.

“Menurut kamu... Pak Erik aneh nggak, sih?”

Pertanyaan dengan nada penasaran itu langsung membuat Rafa mengerutkan kening.

“Aneh? Aneh gimana nih? Gue cuman perhatiin Pak Erik dari jauh, sementara lo yang berinteraksi secara langsung. Aneh gimana menurut lo itu?” tanya Rafa dengan nada kebingungan. “Eh, kalian kemarin jabat tangan....”

Wajah Karina langsung berbinar, seolah menemukan secercah harapan untuk mengetahui penyebab dari gangguan tidurnya beberapa hari ini.

Berpikir bahwa Rafa akan memberikan jawaban dari kegelisahannya sekarang ini.

“.... Dia pegang tangan lo sambil ngelus-ngelus aneh?” lanjur Rafa, menebak. “Atau natap cabul ke elo?”

Karina menggeleng lemas. Harapannya sirna, sehingga ia hanya mengibaskan tangan sebagai isyarat untuk menutup topik dan mengabaikannya.

Sensasi aneh ini, hanya bisa dirasakan oleh Karina seorang. Gadis itu jadi takut untuk tidur, sehingga ia mengalihkan pandangan ke jendela demi menyimak dengan tatap kosong pada jalanan macet.

Gadis itu semakin gelisah dari hari ke hari, dan yakin akan semakin tersiksa jika penyebab dan alasan kejadian aneh ini belum ditemukan.

...*...

Seperti janji Karina beberapa hari yang lalu, sekarang Erik mengundang lagi untuk traktiran makan malam di sebuah restoran bintang lima. Karina dilarang untuk menolak, dan kata teman-teman timnya yang tidak ikut datang, ini sebagai bayaran karena Karina tidak ikut tempo hari.

Jika tahu akan membayar utang undangan dengan sendirian seperti ini, tentunya Karina akan memilih ikut dulu. Sayangnya ia tidak memiliki kekuatan memutar waktu ke masa lalu, sehingga Karina hanya bisa mempertahankan ekspresi ramahnya di depan pria yang tampak baik ini.

Lagi pula, Karina juga mendapatkan informasi dari Rafa bahwa Erik bukan orang buruk. Catatan hidupnya bagus, bahkan sangat positif. Ia hanya memiliki satu kesalahan: memiliki anak di luar nikah, tetapi pria itu tetap bertanggung jawab membesarkan bayinya sementara mantan kekasihnya meninggal saat melahirkan.

Jadi, Karina seharusnya tidak perlu menakutkan sesuatu yang tidak jelas, apalagi hanya didasari oleh mimpi aneh.

“Usia kamu masih 19 tahun, Karina?” tanya Erik, yang diangguki dengan anggun oleh Karina. “Wah, seusia anak saya, bahkan lebih mudah dari putri saya. Tapi kamu sudah sangat hebat bisa memiliki karier cemerlang dan karakter yang mahal di usia belia.”

Karina menyunggingkan senyum ramah pada pria itu.

“Terima kasih pujiannya, Pak. Ini tidak luput dari hasil kerja orang tua saya,” jawab Karina dengan rendah hati. “Omong-omong, Anda bilang ‘putri’? Saya jadi penasaran dengan putri Anda, Pak. Saya yakin, putri Anda hebat seperti Anda.”

Erik tersenyum lemah, tetapi tidak mengurangi kesan ramah di wajahnya.

“Sayangnya, dia tidak mengikuti saya, Karina. Dia lebih didominasi mendiang ibunya ....” Erik mendadak diam sesaat, dan itu memancing rasa penasaran Karina. “Bukan hal penting. Kita di sini bukan untuk membahas masa lalu kelam saya, tapi masa depan cerah kamu. Setelah film ini sukses, kamu punya rencana apa, Karina?” tanya Erik, kemudian mengambil gelas berkaki untuk menyesap dua teguk minuman dari sana.

“Tetap ambil proyek film, Pak, tapi mungkin yang ... pemeran figuran supaya jam kerja saya tidak terlalu berat. Mama saya menyarankan agar tidak lupa pendidikan juga.”

“Mama kamu sangat bijak, Karina.” Erik langsung memuji seketika. “Tapi, apa kamu tidak kasihan ke gadis lain jika kamu lanjutkan pendidikan, Karina?”

Gadis itu langsung memasang wajah kebingungan. Tampak tidak mengerti dengan arah pembicaraan Erik.

“Maksudnya, Pak?”

“Kamu ini sudah jadi bidadari sekarang. Tambah pendidikan lagi, kamu setingkat lebih tinggi. Kamu sudah sempurna dengan karier yang bagus, kecantikan luar-dalam, dan kelembutan bicara. Para gadis lain akan cemburu ke kamu, Karina, dan akan sulit bagi mereka mengejar standar kamu ini.”

Karina menanggapi ucapan Erik dengan senyum malu-malu, walau ia sendiri merasa garing dengan pujian tersebut. Gadis itu sudah muak dengan gombalan banyak pria padanya, sehingga ucapan senada dengan Erik membuatnya bosan.

“Anda bisa saja, Pak. Saya masih manusia, tidak akan pernah bisa mencapai tahap sempurna, karena saya perlu memperbaiki dan membekali diri sendiri dengan ilmu dari hari ke hari sampai meninggal nanti. Jadi, jangan berlebihan, sungguh, saya tidak pantas menerimanya.”

“Dan jangan terlalu merendah, Karina. Kamu terlalu tinggi dan sudah jelas akan gagal dengan usaha merendah kamu itu,” balas Erik.

Tatap pria itu berubah lurus pada Karina, menambahkan kesan serius, sehingga Karina ikut penasaran dengan isi kepala pria di depannya ini. Sayang, sosok matang Erik adalah tipikal pria yang sulit dibaca dari luar.

“Tapi, Karina, pembahasan masa depan ini bukan cuman tentang sekolah dan karier. Kamu sudah pintar dengan karier cemerlang. Kamu tidak mau mendapatkan sesuatu yang belum kamu dapatkan, Karina?”

“Sesuatu ... yang belum ... saya dapatkan?” Karina mengeja sepenggalan kalimat Erik dengan nada bingung.

Pria itu langsung menerbitkan senyum puas. Ia menegakkan punggung, dan menempelkannya pada sandaran sofa untuk memperkuat aura penguasa dan dominan dalam dirinya.

“Pasangan, Karina. Rencana masa depan kamu tentang pasangan, bagaimana, Karina?” Erik memperjelas kalimatnya yang membingungkan tadi. “Mungkin bisa sebutkan ... kriteria. Supaya saya bisa tahu, apakah saya harus mundur atau ... bisa mengusahakan agar bisa sesuai dengan kriteria kamu. Asalkan bukan masalah umur,” Erik kembali mencondongkan tubuh ke depan, “Saya yakin bisa sesuai dengan kriteria pasangan kamu Karina.”

“M—maksudnya, Pak?" Karina terbelalak, syok sekaligus bingung dengan arah pembicaraan pria matang ini. Ia meneguk ludah secara kasar, ketika Erik dengan ekspresi serius semakin mencondongkan tubuh ke arahnya.

“Apa bisa, saya mencalonkan diri jadi ... suami kamu, Karina?”

Karina mendadak berhenti bernapas, dengan mata hampir keluar dari tempatnya.

Bagaimana bisa?

Sementara pria itu bahkan sudah memiliki anak yang lebih tua dari Karina.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!