Karina sedang berada di sebuah kamar sempit berukuran dua meter persegi, dengan kasur ukuran single size, seprei motif kotak-kotak, jendela kecil, rak tanpa pintu untuk pakaian usangnya, serta sebuah cermin kecil di dinding yang hanya bisa menampilkan wajah saja.
Karina tercenung. Di mana ia?
Perempuan itu bercermin, dan menemukan bahwa wajahnya lebih berisi sekarang ini. Membuat Karina langsung melotot sempurna kemudian mundur dua langkah karena syok. Ia menyentuh wajah sendiri, dan menemukan bahwa dirinya kembali ke usia 12 tahun di mana Karina hampir tidak tahu caranya merawat diri sendiri.
Karina ingin berontak, hendak menolak tampilan ini. Jadi ia memukul wajah sendiri berulang kali, tetapi tidak menghasilkan apa pun. Hingga sebuah pintu terbuka terdengar, Karina menoleh cepat ke sana. Mendapati sesosok perempuan dalam balutan pakaian usang menatapnya aneh.
“Siska? Kamu kenapa?” tanya perempuan itu.
Karina semakin tidak mengerti. Ia sempat menoleh ke kanan-kiri-belakang hanya untuk mencari sosok yang disebut si perempuan, tetapi tidak ada manusia lain kecuali dirinya di sini.
“Kenapa sembunyi di sini? Erik bawa kue kesukaan kamu. Ayo keluar!” ajak perempuan asing itu, sembari menarik Karina keluar dari ruangan.
Karina masih bimbang, tetapi tetap mengikuti ke mana si perempuan mengajaknya. Mereka berhenti di sebuah ruangan yang hanya seukuran kamar Karina biasanya. Terdapat beberapa kursi kayu: dua berukuran single dan satu cukup panjang. Salah seorang pemuda berambut setengkuk menyambut Karina dengan senyum tipis.
“Kenapa dia malu-malu hari ini? Biasanya juga langsung maju paling depan pas saya sampai di sini buat eksekusi kuenya lebih dulu.” Pria itu bercanda disusul senyum lebarnya, serta gelak tawa dari perempuan di samping Karina.
Sementara Karina masih bergeming di tempat. Ia tidak paham apa pun, tidak mengerti sama sekali. Kadang ia berpikir sedang menjalani proses shooting, tetapi saat melirik sekitar, tidak ada kamera, sutradara, atau crew di sekitar.
Hanya ada mereka bertiga.
Karina tiba-tiba mendapatkan sodoran kue dari pria itu, bahkan dibukakan dengan sangat istimewa dan baik. Karina hanya diam, sembari melirik isi kue yang mengingatkannya pada bawaan Rafa tempo hari.
“Kenapa diam, Siska? Ayo ambil. Erik khusus bawa kue ke sini, buat kamu.”
Ucapan perempuan asing tersebut membuat Karina melirik pria di depannya. Mulai mengeja dalam hati nama pria tersebut dengan tidak percaya.
Erik? Erik Eduardo?
Karina tidak mengenali pria itu sedikit pun, hingga ia harus mengerutkan kening begitu dalam. Namun, saat memperhatikan senyum pria itu, Karina sangat familier dengannya. Mengingatkan Karina pada pria tua yang ... mengajaknya untuk menikah.
Tanpa sadar Karina mundur selangkah, dan tiba-tiba suasana terang hilang begitu saja. Hanya tampilan gelap yang samar-samar. Karina merasakan sesak napas, hingga ia mempercepat kerja paru-parunya untuk menghirup oksigen lebih banyak.
Karina mendapati ada benda dingin di tangannya, jadi ia mengotak-atik sampai cahaya terang muncul dari benda tersebut: senter.
Arah cahaya dibawa ke depan, dan Karina sekali lagi melotot saat ia melihat adegan berdarah di depannya. Pemuda dengan senyum manis itu kini tidak jauh berbeda dari iblis yang tengah membunuh perempuan lemah yang terbaring lemah di samping kakinya.
Seharusnya, Karina kabur. Ia bisa saja dituduh sebagai pelaku, atau juga jadi salah satu korban pemuda itu, tetapi aneh! Kakinya malah berjalan ke depan, menggunakan satu-satunya benda di tangannya untuk menyerang pemuda itu sampai senter rusak.
Dari sorot lampu di kejauhan, Karina melihat samar kondisi sekitar. Dirinya berhasil dibuat jatuh, dan sosok pemuda tengah berdiri garang di sampingnya dengan mengangkat sebuah batu hingga melewati batas kepalanya.
Karina tersendat, kesulitan bernapas. Dadanya bergerak sangat cepat, dengan cairan asin mulai berjatuhan dari mata dan keningnya. Ia mencicit, hendak meminta pertolongan, tetapi tidak ada sedikit pun teriakan keluar dari mulutnya.
Ketika Karina hendak memohon ampun, batu tersebut diturunkan oleh si pemuda, dan membuatnya mendapatkan penglihatan gelap.
Tuntutan untuk bernapas membuat Karina langsung melotot dan terbangun secara paksa. Deru udara yang keluar-masuk di hidungnya sangat cepat hingga menimbulkan suara nyaring. Karina melirik sekitar, dan hanya mendapati kamar luasnya, selimut tebal warna krem, jendela besar hampir satu sisi kamar, dan menemukan di bayangan... dirinya sekarang ini—Karina si aktris cantik—di layar ponsel. Ia langsung merasa lega.
Karina mengusap keningnya dengan lengan pakaian, sembari mengatur napas agar kembali tenang. Ini mimpi ke sekian; dengan tema, rumah, tokoh, dan suasana yang sama. Seharusnya ia tidak perlu kaget, tetapi setiap kali melihat diri sendiri dihantam batu di setiap akhir mimpi sebelum terbangun, Karina tidak bisa tenang sama sekali.
Karina terus melirik bayangan sendiri di layar ponsel yang sedang mati. Kening Karina terlihat jelas sedang mengerut dalam ketika ia memikirkan satu hal.
Tentang nama Siska dan Erik Eduardo.
Kenapa pria tua itu selalu menjadi bahan mimpi Karina akhir-akhir ini? Sejak pertemuan perdana ... Erik selalu memberinya getaran, perasaan, dan ingatan yang aneh.
Seolah ada sesuatu dengan pria itu dalam hidup Karina.
...*
...
Sisa sabun di wajah sudah dipastikan telah habis setelah sekian lama Karina membasuhnya secara berulang menggunakan air mengalir. Namun, ia tampak enggan untuk menghentikan kegiatannya karena ada ketenangan tersendiri saat air dingin menyentuh kulitnya.
“Anjir, seriusan tuh orang ngajakin lo nikah, Kar? Anjir-anjir ... jangankan lo, gue yang cowok aja jijik sama tuh orang kalau jadi pasangan lo. Walaupun vibes-nya hot Daddy ala-ala gitu, tapi ya tetep! Dia udah tuwir! Punya buntut satu lagi! Lebih tua dari kamu malahan! Astaga, beneran, sumpah, gue nggak habis pikir sama isi kepala tuh orang! Dia mau nikahin perempuan yang bahkan ... lebih mudah dari anaknya sendiri?” Rafa hampir tidak pernah menghentikan celoteh panjangnya setelah mendengarkan cerita dari Karina sejak pertama kali membersihkan make up tadi.
“Jadi, lo jawab apaan pas itu, Kar?” tanya Rafa, menuntut.
“Ya aku bilang mau fokus kerja sama belajar. Ngurus rumah tangga? Nggak dulu. Najis kalau aku cuman ngabisin waktu di dapur doang,” balas Karina setelah menjeda kegiatannya.
Ketika perempuan itu berniat melakukannya lagi, Rafa buru-buru menarik Karina agar berdiri tegap. Ia menggunakan handuk bersih untuk mengelapi wajah Karina dengan penuh perhatian.
“Tapi, ya, Kar. Di sisi lain gue menyayangkan juga. Soalnya gimana ya? Speknya dia itu udah siap banget, lo tinggal foya-foyain duit doang. Sementara kalau cowok sepantaran lo, kemungkinan masih sibuk nyari kerja. Gaji UMR, pas-pasan. Ya ... gimana ya. Pak Erik cuman kalah di umur sebenarnya, Kar. Mana tau lo mau pertimbang—“
Karina langsung memicingkan mata ke arah Rafa dengan sangat nyalang tanda permusuhan. Sikap itu sudah berhasil membuat si asisten langsung bungkam, karena tatap Karina sudah menjadi jawaban bahwa ia tidak akan mau memikirkan hal itu lebih lanjut.
“Sorry, deh, sorry.” Maka, Rafa buru-buru meralat kalimatnya. “Ya kan, mana tau lo suka hidup jadi gampang gitu. Kalau iya, Erik beneran solusi paling tepat buat lo.”
Karina mengibaskan tangannya sekali sebagai isyarat untuk menolak pembahasan tersebut lebih lanjut. Ketika Rafa berniat ingin berbicara lagi, pria itu tercenung menemukan ada satu hal yang aneh dalam diri atasannya. Rafa segera menyusul kepergian Karina dari kamar mandi.
“Lo nggak papa, Kar?” tanya Rafa, cemas. Ia sesekali berjalan hingga mendahului Karina, hanya demi melihat wajah gadis itu.
Sementara Karina hanya menggeleng malas, sembari memilih duduk nyaman di kursi santai panjangnya. Ia memejam, dengan kerutan tidak nyaman hampir tidak pernah meninggalkan keningnya.
Jelas, ada sesuatu yang salah pada Karina, Rafa yakin hal itu.
Rafa gegas mendekat, sedikit membungkuk di samping tempat Karina berbaring hanya untuk menempelkan punggung tangannya ke kepala Karina. Namun, ia malah mendapat balasan berupa pukulan keras dari sang aktris.
“Kamu kalau mau pegang minimal cuci tangan plus pakai hand sanitizer! Kamu pikir gampang jaga kulit biar nggak jerawatan? Susah! Aish!” Karina yang tampak malas tetap berusaha untuk bangkit dari posisi berbaringnya hanya untuk mencuci wajah sekali lagi di kamar mandi.
Rafa kali ini hanya menunggu di dekat kursi santai si aktris, untuk sekali lagi menanyakan kondisinya.
“Lo pucet, Kar. Akhir-akhir ini jarang tidur juga. Lo yakin nggak papa? Lo stres, Kar? Kalau iya, abis ini selesai, lo rehat aja udah. Gue beneran khawatir sama muka lo.”
Karina tidak menimpali ucapan khawatir Rafa. Sibuk memejam di tempatnya bersantai, sembari mengingat mimpi-mimpi yang selalu mendatanginya hampir setiap malam setelah perkenalan dengan Erik.
“Rafa,” panggil Karina dengan suara lirih sembari melirik Rafa. Ia lebih dahulu meneguk ludah secara kasar, seolah meyakinkan diri sendiri untuk bertanya.
“Ya? Lo mau cerita apa, Kar?” tanya Rafa, yang sedari tadi menunggu lanjutan kalimat atasannya tersebut.
“Kalau kita mimpiin sesuatu secara terus-menerus, menurut lo ... itu maksudnya apa?” tanya Karina dengan nada bingung. “Aku akhir-akhir ini sering mimpi dan dihantui sama hal aneh.”
“Lo mimpi hantu terus? Astaga ... jangan-jangan lo ketempelan? Mau gue cariin ustaz buat rukiah?”
Karina mendesis kesal, lalu merotasi bola mata karena jenuh.
“Bukan setan. Ini ... lebih buruk daripada setan.” Karena selain membuat Karina merasa tertekan, perasaannya juga ikut campur dalam mimpi. Membuat Karina merasa tidak nyaman setiap kali ia terbangun. “Aku mimpiin sesuatu terus-menerus. Dan nggak tau kenapa, ada suara yang ... selalu kedengeran di telinga aku. Suaranya mirip aku, tapi ... aku sama sekali nggak inget pernah bilang kayak gitu di mana, bahkan di dialog film sekalipun. Aku ngerasa ... aneh.”
Giliran Rafa yang tertular kebingungan. “Ini kayaknya efek stres, deh.”
Karina tidak yakin dengan gagasan tersebut.
“Nggak usah pikirin. Selama santai, lo juga refreshing aja. Tinggalin semua hal yang bikin lo tertekan,” kata Rafa memberikan saran yang sama sekali tidak membuat Karina merasa puas. “Misalnya abis lo nyantai dan tetap mimpi hal yang sama, itu bisa aja ... mimpi lo ada arti tertentu.”
“Arti? Kayak gimana?” Sekarang, barulah Karina tertarik dengan obrolan ini.
Namun, Rafa hanya mengangkat kedua bahu tidak acuh. “Lo cek di google aja lebih lengkapnya. Mimpi ini-gitu, artinya apa. Seharusnya ada. Emang lo mimpiin apa sih?”
Karina merapatkan bibir saat mendapatkan pertanyaan itu. Karena mustahil ia menjawab bahwa Karina melihat dirinya sendiri berada di keluarga miskin dan hampir dibunuh—atau bahkan sudah— oleh Erik Eduardo. Rafa bisa saja mengatakan bahwa Karina hanya syok karena lamaran dadakan, padahal mimpi tersebut sudah muncul sejak perkenalan perdana.
“Nanti aku cari sendiri,” kata Karina ragu, kemudian memalingkan wajah ke arah lain, sibuk berpikir.
Kadang, ia juga merasa bahwa pemikiran pertama Rafa benar, bahwa Karina terlalu stres menjalani perannya sebagai aktris—menjadi orang lain. Sehingga ia mungkin melihat dirinya sedang memainkan film lain.
Namun di sisi lain, perempuan itu merasa sangat yakin bahwa ada sesuatu dalam mimpinya.
Karina harus mencari tahu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments