Pihak Ke Tiga

Pihak Ke Tiga

1. Operasi

Perlahan jari-jari kakiku sudah mulai bisa aku gerakkan. Kemudian di susul rasa sakit yang juga mulai terasa di perut bagian bawahku. Nyeri, panas dan perih sulit sekali untuk aku gambarkan. Awalnya tidak begitu terasa, tetapi semakin lama semakin perih dan rasa panasnya mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Aku tahu ini karena efek obat bius yang sudah hilang pengaruhnya di tubuhku.

Keringat mulai membasahi kening dan leherku. Tidak ada AC, hanya ada kipas angin tua yang tertempel di dinding rumah sakit ini. Sesekali aku meringis menahan sakit, tak jarang aku meremas selimut yang menutupi tubuhku untuk menyalurkan rasa sakitku. Seandainya ada Handi, suamiku pasti tangannya lah yang aku remas saat ini.

Perlahan pintu kamar terbuka. Dari tempat tidurku aku bisa melihat siapa yang datang. Dia adalah Ibu Dwi, mertuaku. Aku tersenyum melihatnya. Setidaknya ada seseorang yang menemaniku melewati rasa sakit ini.

Mertuaku berjalan mendekati tempat tidurku, tetapi aku merasa dia tidak menunjukkan wajah bahagianya kepadaku.

"Apa ibu sudah melihat anakku?" tanyaku. Mungkin jika membicarakan bayiku rasa sakit ini bisa berkurang, pikirku.

"Hmmm ... " jawab mertuaku pendek.

Aku baru saja selesai menjalani operasi Caesar. Operasi berjalan lancar dan sekarang aku sudah berada di ruang perawatan, sementara bayiku berada di ruangan terpisah khusus untuk bayi yang baru lahir. Aku sendiri baru melihatnya sekilas sebelum perawat membawanya untuk dibersihkan.

"Aku sudah tidak sabar ingin menggendongnya," ucapku lagi. Rasanya menggebu-gebu ingin segera menyentuh dan menimangnya, aku pikir itu wajar karena ini anak pertamaku.

Mertuaku diam saja. Dia tidak merespon ucapanku dan hanya menunjukkan wajah dinginnya. Melihat reaksi mertuaku seperti itu, aku tidak berani berkata-kata lagi. Aku berusaha menahan rasa sakitku dan dan tetap tersenyum kepadanya.

"Kenapa harus di Caesar sih? Apa lahiran secara normal saja tidak bisa?!" Sekalinya berbicara, kata-kata seperti ini yang keluar dari mulut mertuaku.

"Ini bukan keinginanku Bu ... Dokter yang memerintahkan untuk segera diambil tindakan operasi," terangku sambil terus menahan panas dan perih di perutku.

"Bilang saja kamu tidak mau merasakan sakitnya lahiran normal! Kalau dioperasi kan dibius, tidak sakit. Setelah itu juga tidak boleh mengangkat yang berat-berat. Dasar manja!" lanjut mertuaku dengan ketusnya.

Sekuat tenaga aku menahan rasa sakit setelah operasi masih harus menahan pedasnya kata-kata mertuaku. Aku tidak ingin membalas kata-kata mertuaku. Aku pejamkan mataku. Aku abaikan suara mertuaku yang terus melontarkan kata-kata pedasnya meski aku sudah menutup mataku. Lebih baik aku menikmati rasa sakit ini sambil membayangkan bayiku. Rasa sakit yang memberikan aku kebahagiaan karena rasa inilah yang membuatku menjadi seorang ibu.

Aku dengar suara pintu terbuka lalu sebuah suara menyapa mertuaku. Aku tetap memejamkan mataku tidak ingin melihat siapa yang datang karena jelas bukan suamiku.

"Ibu? Sama siapa kesini?" Ini suara Mas Harun. Kakak Handi yang nomor dua.

"Sendiri," jawab mertuaku singkat. Dari nada bicaranya sepertinya dia sedang menahan kesal.

"Ibu sudah melihat anaknya Emma?" suara Mbak Eka, istri Mas Harun.

"Sudah, tadi aku melihatnya sebentar."

"Mirip sekali sama Handi ya Bu, gemes ... rasanya ingin segera menggendongnya tetapi belum diijinkan." Aku bahagia mendengar Mbak Eka begitu antusias membicarakan bayiku.

Aku terus memejamkan mataku sambil mendengarkan percakapan mereka. Mungkin mereka berpikir aku sedang tidur.

"Heran sama perempuan jaman sekarang. Sedikit-sedikit operasi. Padahal kalau mau menahan sakit sebentar, pasti juga bayinya lahir." Mertuaku kembali membahas operasi.

"Memang harus dioperasi Bu. Tadi Dokter yang mengharuskan, bukan Emma yang minta. Kondisinya memang tidak mungkin untuk melahirkan secara normal," terang Mbak Eka. Dia yang mengantarkan aku ke rumah sakit dan juga menemani aku hingga aku mau dioperasi, jadi dia tahu semuanya.

Aku tidak tahu bagaimana raut wajah mertuaku mendengar penjelasan Mbak Eka yang terdengar seperti membelaku.

"Aku dulu melahirkan empat anak. Tidak ada satupun yang bermasalah sampai harus operasi. Kamu lahiran dua kali juga normal semua. Itu Rina, istrinya Hasan anaknya tiga juga melahirkan secara normal semua. Memang dasarnya dia ini manja, gayanya seperti anak orang kaya saja!"

Aku tahu mertuaku tidak pernah menyukaiku, tetapi tidak bisakah dia menahan satu hari saja untuk tidak menjelekkan aku? Tidak bisakah aku menikmati hari bahagiaku menjadi seorang ibu? Tidakkah kamu ikut bahagia atas kelahiran anakku, cucu laki-lakimu Bu?

"Ayo kita tunggu di luar saja. Emma sedang istirahat, kasihan nanti kalau dia terbangun karena kita berisik," ucap Mas Harun.

Setelah mendengar suara pintu tertutup barulah aku membuka mataku. Pandanganku menjadi buram karena air yang menggenang di pelupuk mataku. Kata-kata mertuaku lebih menyakitkan daripada luka operasiku. Aku tidak manja seperti yang mertuaku katakan. Aku sudah meminta dokter melakukan apa saja agar aku bisa melahirkan secara normal tetapi dokter tidak mau mengambil resiko. Aku bisa saja kehilangan bayiku jika tidak segera dioperasi.

Ingin sekali aku membela diri di depan mertuaku, tetapi rasa sakit ini sudah menguras tenagaku dan membuatku pasrah.

Tiba-tiba Mbak Eka kembali masuk ke dalam kamar. Aku tersentak dan segera ku hapus air mataku. Sepertinya dia hanya ingin mengambil tasnya yang ketinggalan tetapi malah melihat aku menangis.

"Emma, kamu sudah bangun?" Mbak Eka mendekatiku. Aku hanya mengangguk pelan.

"Sakit? Ditahan ya? Katanya kalau operasi memang seperti itu. Nanti pasti diberi obat untuk mengurangi rasa sakit." Mbak Eka berusaha menenangkan aku. Dia tahu aku menangis, tetapi dia tidak tahu kalau menangis bukan karena operasi ini melainkan karena kata-kata mertuaku, mertua kami.

"Mbak ... Apa Handi sudah diberi tahu?" tanyaku pelan.

"Sudah ... Aku sudah memberitahu dia kalau anak kalian sudah lahir dan ganteng seperti bapaknya. Kamu tenang saja, dia sudah dalam perjalanan. Tetapi mungkin nanti sore atau malam baru sampai sini."

Aku kembali mengangguk. "Terimakasih Mbak."

Lega rasanya mendengar suamiku akan segera datang. Suamiku adalah seorang sopir di sebuah perusahaan. Dia sering keluar kota karena harus mengantar atasannya, bahkan tidak jarang dia menginap beberapa hari di luar kota.

Waktu lama sekali berlalu. Mas Harun dan Mbak Eka sudah pulang. Sekarang di kamar ini hanya ada aku dan mertuaku yang terus memasang wajah masamnya kepadaku. Kami berdua sama-sama diam membisu.

Sejak dulu mertuaku tidak menyukaiku. Alasannya karena aku hanyalah seorang buruh pabrik berbeda dengan Mbak Eka yang anak orang kaya dengan pendidikan tinggi dan Mbak Rina, yang seorang pengusaha sukses.

Sebelum menikah denganku, mertuaku sempat ingin menjodohkan Handi dengan seorang perawat, anak orang kaya, tetapi Handi tidak mau. Handi tetap memilih aku, seorang buruh pabrik, miskin, berpendidikan rendah dan sudah tidak punya orang tua.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, memecah keheningan diantara aku dan mertuaku.

"Emma ... ?" Inilah Handi suamiku. Dia sudah sampai. Dia segera berlari memelukku. Setelah itu dia menatap mataku sambil mengelus-elus pipiku.

"Maafkan aku ya sayang ... aku tidak bisa mendampingimu," bisiknya dengan mata berkaca-kaca. Aku balas menatap matanya dan tanpa terasa air mataku pun meleleh. Lidahku kelu, aku tidak bisa berkata-kata. Hanya anggukan pelan yang menjawab jika aku tidak apa-apa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!