3. Biaya Rumah Sakit

Mertuaku datang pagi-pagi sekali ke rumah sakit. Kali ini dia tidak sendirian tetapi dengan Heni, anak perempuannya satu-satunya, adik dari Handi.

Aku sudah diijinkan pulang. Handi sedang mengurus administrasi. Mertuaku langsung menyusulnya begitu mengetahui Handi sedang mengurus administrasi rumah sakit. Sementara Heni menemaniku di kamar.

"Bagaimana rasanya Caesar?" tanya Heni tanpa sedikitpun menunjukkan rasa hormat kepadaku. Padahal aku ini kakak iparnya dan umurku juga lebih tua darinya tetapi sikapnya kepadaku dan Handi sangat berbeda dibandingkan dengan sikapnya kepada kakak-kakaknya yang lain. Mungkin karena usia kami tidak terpaut jauh atau mungkin karena aku dan Handi tidak bisa memberinya jatah bulanan seperti yang lainnya.

"Ya seperti itulah," jawabku malas.

"Kalau aku sih, kalau melahirkan nanti jelas mau melahirkan secara normal. Biar bisa merasakan jadi seorang wanita sempurna."

Batinku tertawa mendengar jawaban Heni.

Punya pacar saja tidak sudah membayangkan mau melahirkan?! Sebaiknya benahi dulu tingkah lakumu, mungkin setelah itu akan ada laki-laki yang berminat untuk melamarmu! Dan sempurna atau tidak seorang wanita bukan dilihat dari cara melahirkannya! batinku.

Seperti mertuaku yang tidak suka kepadaku, sejak awal aku juga tidak suka kepada Heni. Sikapnya cenderung sombong dan tidak menghormati orang yang lebih tua. Dia juga hanya mau mendekat jika ada uang. Aku bahkan sering kesal melihat dia membentak Handi hanya karena masalah sepele. Meski usia mereka tidak berbeda jauh Handi tetaplah kakaknya. Seharusnya Heni menunjukkan rasa hormat kepada kakaknya.

Aku duduk sambil memangku anakku. Aku sudah bisa melakukannya sekarang. Tiba-tiba mertuaku masuk dengan wajahnya yang terlihat kesal.

"Tuh kan?! Biaya rumah sakitnya mahal! Ibu sudah menduga sejak awal! Coba kamu lahiran normal pasti tidak sampai sepuluh juta!" bentak mertuaku kepadaku sambil melemparkan nota rumah sakit kepadaku.

Aku mengambil kertas itu. Tertulis enam belas juta sekian. Pantas saja mertuaku terlihat kesal, ternyata biaya rumah sakitku mencapai enam belas juta.

Aku sendiri heran, untuk apa mertuaku ikut mengurus administrasi padahal dia tidak ikut mengeluarkan biaya sepeserpun. Semua ini dibayar menggunakan uang tabungan Handi, lalu kenapa mertuaku marah-marah kepadaku seolah uangnya lah yang terkuras habis untuk membiayai operasiku.

"Seharusnya uang itu bisa digunakan untuk kebutuhan lainnya. Bukan hanya membayar biaya operasimu! Apa kamu tidak kasihan sama Handi?! Itu Eka yang anaknya orang kaya saja mau lahiran normal, kamu yang bukan apa-apa malah minta di operasi!" Mertuaku kembali membandingkan aku dengan menantunya yang lain.

Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskan kepada mertuaku ini. Aku tidak minta dioperasi, sekali lagi ini bukan keinginanku!

"Kalau artis-artis itu memilih melahirkan secara Caesar itu sih wajar karena mereka kaya, dan juga artis!"

Kenapa sampai bawa-bawa artis? Aku bahkan tidak tahu siapa artis yang melahirkan secara Caesar. Aku tidak sempat melihat berita tentang artis karena waktuku habis untuk bekerja di pabrik.

Aku juga sadar aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, tetapi itu tidak ada hubungan dengan operasiku. Memang pada dasarnya mertuaku tidak pernah menyukaiku, jadi apapun tentang aku terlihat salah di mata mertuaku.

"Handi kan cuma sopir Emma, uang segitu pasti tidak lama mengumpulkannya." Heni berusaha menengahi tetapi jatuhnya malah semakin menyudutkan aku.

"Aku juga punya tabungan Heni, kamu tahu sendiri aku selalu bekerja lembur dan tidak pernah menggunakan uangku untuk hal yang tidak penting. Kalaupun uang Handi tidak boleh digunakan untuk membayar biaya rumah sakit, aku akan menggantinya dengan uang tabunganku," jawabku kepada Heni tetapi sebenarnya kata-kataku aku tujukan kepada mertuaku.

Aku bukan orang yang penakut. Selama ini aku diam karena aku malas ribut, apa lagi dengan mertuaku sendiri. Aku juga menjaga perasaan Handi karena aku tidak mau dianggap berani melawan ibunya. Jadi kalau aku masih diam mendengar kata-kata pedas mertuaku, itu semata-mata karena aku menghormati Handi sebagai suamiku.

Selama bekerja di pabrik aku selalu lembur, bahkan kondisiku hamil tua pun aku tetap lembur. Selama pabrik mengijinkan aku akan tetap bekerja. Hampir setiap hari aku berangkat pukul enam pagi dan pulang jam sembilan atau sepuluh malam.

Aku sadar siapa diriku karena itu aku bekerja dengan giat, demikian juga Handi.

Handi memang tidak seberuntung kakak-kakaknya yang lain. Mas Hasan, kakaknya yang pertama menikah dengan Mbak Rina, pengusaha sukses dan kaya raya. Sementara Mas Harun, kakaknya yang nomor dua menikah dengan Mbak Eka, anak orang kaya. Mas Harun diberi modal untuk membangun bisnis. Sekarang bisnisnya lancar dan menghasilkan banyak uang.

Sementara Handi, dia hanya menikah dengan buruh pabrik seperti aku. Mertuaku sangat kecewa ketika mengetahui aku hanya seorang buruh pabrik dan tidak punya orang tua. Hilang sudah harapannya memiliki satu lagi menantu kaya.

Tiba-tiba Handi masuk sambil mendorong kursi roda.

"Emm ... Kita pulang sekarang. Aku sudah meminjam mobil Mas Hasan." Ucap Handi sambil menyiapkan barang-barang yang mau dibawa pulang.

"Coba kamu menikah dengan perawat yang dulu ibu jodohkan denganmu. Pasti orang tuanya sudah membelikan kamu mobil sekarang, kamu tidak usah repot-repot cari pinjaman mobil." Mertuaku tidak ada bosan-bosannya menjatuhkan aku di depan Handi.

"Tidak repot bu, pinjam mobilnya juga cuma sama Mas Hasan, dia juga tidak apa-apa mobilnya aku pinjam. Mobilnya tidak cuma satu, mobil yang ini aku bawa masih ada mobil yang lain di rumahnya."

"Heni, tolong bawakan barang-barang Emma ya? atau kamu mau mendorongkan kursi rodanya?"

Heni memutar bola matanya malas mendengar permintaan Handi. Dia memilih untuk membawakan barang-barangku daripada mendorong kursi rodaku.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu lama akhirnya kami tiba di rumah, rumah mertuaku tepatnya. Aku tinggal bersama mertuaku setelah menikah dengan Handi. Sebenarnya kami sudah punya rencana untuk mengajukan KPR, tetapi Handi tidak tega jika harus meninggalkan aku sendirian di rumah saat dia keluar kota, apalagi kondisiku sedang hamil.

Sampai di rumah aku segera menuju kamarku. Aku tidak sabar membaringkan tubuhku di ranjangku sendiri. Sementara Handi mengurus pakaian kotorku dan mencucinya.

“Handi, apa kamu masih punya uang? Kamu masih butuh biaya untuk syukuran kelahiran anak kamu!” teriak mertuaku yang terdengar sampai ke dalam kamarku. Aku jadi tidak bisa memejamkan mataku karena mendengar suaranya yang terus ribut.

Uang terus yang dia pikirkan. Apa tidak sedikitpun dia melihat kebahagiaan kami tanpa membahas uang sebentar saja?

“Ibu tidak mau nanti tetangga-tetangga kita membicarakan kita karena kamu tidak mengadakan pesta syukuran yang layak atas kelahiran anak kamu!”

Tiba-tiba mertuaku masuk ke dalam kamar dalam kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

“Heh?!!” Mertuaku melotot kepadaku. “Kamu enak-enakan tidur sementara Handi kamu suruh mencuci baju?! Bangun perempuan manja! Kamu sekarang di rumah, bukan di rumah sakit! Handi harus menghemat tenaganya karena besok dia sudah mulai bekerja!!! Ingat, kamu sudah menghabiskan uangnya, jadi tahu dirilah selama tinggal di sini!!!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!