Aku bangun dari tempat tidur sebelum mertuaku kembali mengeluarkan kata-kata pedasnya. Perlahan aku berjalan keluar kamar melewatinya yang berdiri di depan pintu sambil terus melotot ke arahku. Tatapannya kepadaku mengisyaratkan betapa dia tidak menyukaiku.
Lalu aku menyusul Handi ke ruang laundry. Dia sedang fokus memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci sehingga tidak menyadari kedatanganku.
"Biar aku saja," ucapku. Handi menoleh mendengar suaraku.
"Emm ... Mau apa kamu kemari? Sana istirahatlah. Biar aku yang kerjakan ini!"
Luka operasiku memang masih sakit meskipun tidak sesakit waktu itu tetapi aku masih bisa kalau hanya memasukkan cucian ke dalam mesin cuci.
"Kamulah yang harus istirahat. Besok kamu sudah mulai kerja lagi. Kemarin-kemarin kamu tidak tidur karena harus menjagaku di rumah sakit. Besok tenagamu harus fit. Aku tidak mau kamu kelelahan lalu mengantuk."
Aku setuju dengan perkataan mertuaku soal ini. Handi adalah seorang sopir dan aku tidak mau nanti dia mengantuk saat sedang mengendarai mobil. Itu berbahaya dan bisa mengakibatkan kecelakaan, aku tidak mau terjadi sesuatu kepadanya.
"Tidak! Kamu harus pulih dulu baru setelah itu kamu boleh mengerjakan pekerjaan rumah. Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa."
Aku menuruti kata-kata Handi dan hendak kembali ke kamarku.
"Handi!!! Jangan dimanja! Biarkan dia melakukannya. Nanti kalau kamu pergi memangnya siapa yang akan mencuci pakaiannya kalau bukan dia sendiri?!" hardik mertuaku yang tiba-tiba muncul di depan pintu. Aku tidak tahu kenapa dia bisa muncul dimanapun aku berada.
"Tidak apa-apa Bu, Emma belum pulih. Biar aku saja." Handi bersikeras.
"Sudahlah Han ... Kamu menemani anak kita saja di kamar, aku yang akan mengerjakan ini," ucapku untuk membuat Handi segera pergi dari ruang laundry ini. Handi pun menurut lalu pergi ke kamar.
Belum sempat aku menekan tombol mesin cuci, Heni datang.
"Nitip sekalian, cuma sedikit," ucapnya sambil memasukkan satu persatu pakaiannya ke dalam mesin. Aku hanya melihatnya tanpa berusaha mencegah karena mertuaku terus mengawasi aku.
"Setelah itu bereskan dapur. Tadi Heni tidak sempat membereskan dapur karena mengantarkan aku ke rumah sakit," titah mertuaku sebelum pergi.
Aku mengangguk. Aneh kalau dipikir-pikir. Mereka berdua datang ke rumah sakit untuk melihat kondisiku, tetapi setelah pulang dari rumah sakit justru aku yang disuruh membereskan rumah.
Selesai dengan cucian, aku pun pergi ke dapur. Sambil membersihkan dapur aku jadi berpikir siapa yang biasanya mengurus rumah saat aku sedang bekerja. Selama menikah dengan Handi aku jarang mengerjakan pekerjaan rumah. Tetapi bukan berarti aku malas karena setiap libur akulah yang melakukannya.
Memasak? Mertuaku yang memasak. Aku jarang makan di rumah. Aku berangkat ke pabrik jam setengah enam dan itu terlalu pagi untuk sarapan. Jadi sarapan dan makan siang aku beli di kantin pabrik. Lalu malamnya aku membeli makan malam sekalian pulang kerja, atau kalau Handi sedang tidak keluar kota aku makan di luar berdua dengan Handi.
Saat sedang bersih-bersih Heni masuk ke dapur untuk mengambil air minum.
"Biasanya aku yang mengerjakan ini. Tetapi sekarang ada kamu, jadi kamu saja yang mengerjakan. Kamu kan sudah tidak bekerja, mungkin mulai sekarang kamu bisa membantu aku mengurus rumah," ucap Heni sambil berlalu.
Setelah hampir sore barulah pekerjaanku selesai. Aku kembali ke kamar dan melihat Handi sedang meringkuk memeluk bayiku. Aku membaringkan tubuhku di samping Handi. Rasa nyeri kembali menyerang luka operasiku, sakit sekali. Mungkin aku kecapekan atau mungkin ini karena aku tadi mengangkat jemuran yang lumayan berat.
Aku memejamkan mataku sambil meringis menahan sakit.
"Emm ... Kamu tidak apa-apa?" Suara Handi membuatku membuka mata.
Aku hanya mengangguk.
"Tapi wajahmu pucat?!"
"Aku tidak apa-apa, tolong ambilkan obatku."
Handi bergegas mengambilkan obatku dan juga air putih. Aku segera mencari obat pereda nyeri diantara obat yang dia bawa lalu meminumnya.
"Kamu kelelahan Emm, besok lagi jangan mengerjakan apapun." Handi kembali membaringkan tubuhnya di sampingku setelah mengembalikan obatku ke tempat semula.
Kalau ditanya juga aku tidak mau mengerjakan itu dengan kondisiku yang seperti ini, hanya saja aku tidak ingin mertuaku semakin menganggap aku perempuan malas dan manja. Sudah miskin manja pula, apalagi yang bisa dia harapkan dariku kalau seperti itu?
"Nanti ibu marah kalau aku tidak melakukan perintahnya. Sudahlah aku tidak apa-apa," jawabku.
"Nanti biar aku bicara sama ibu."
"Tidak usah, aku tidak apa-apa. Aku sudah minum obat pereda nyeri, sebentar lagi pasti hilang rasa sakitnya."
Jika Handi sampai bicara dengan ibunya dan mengatakan jika aku tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah sudah pasti ibunya akan langsung memaki-maki aku.
"Han ... Kamu ingin memberi nama anak kita siapa?" Aku mengalihkan pembicaraan agar Handi tidak membahas ibunya lagi.
"Terserah kamu. Bukankah kamu sudah memilih nama?"
Aku mengangguk. "Aku ingin memberinya nama Damar. Kamu suka?"
"Aku suka," jawabnya sambil tersenyum dan mengecup keningku.
*
Keesokan harinya...
Handi sudah berangkat bekerja. Aku sedang memandikan Damar di kamar mandi. Aku belum terbiasa jadi wajar jika aku pelan-pelan memandikannya dan terkesan lama di dalam kamar mandi.
Tiba-tiba Heni menggedor pintu kamar mandi sambil berteriak.
"Emma, gantian kamar mandinya! Aku juga mau mandi!"
"Sebentar Hen, aku sedang memandikan Damar," balasku dari dalam kamar mandi. Teriakan dan gedoran Heni membuat Damar kaget lalu menangis.
"Kalau kamu tidak bisa biar ibu yang memandikan anakmu! Kamu bisa membuatku terlambat kalau seperti ini!" teriak Heni lagi.
Aku bergegas menyelesaikan kegiatanku memandikan Damar. Teriakan Heni dan tangisan Damar membuat aku panik dan terburu-buru mengangkat tubuh Damar dari bak mandinya.
Damar menangis semakin keras, aku pikir dia kedinginan. Lalu aku balut tubuhnya dengan handuk agar tidak kedinginan. Saat membuka pintu kamar mandi aku kaget karena bukan hanya Heni, tetapi mertuaku juga berdiri di depan kamar mandi. Keduanya menatapku dengan tatapan kesal.
Tanpa berkata apa-apa mertuaku langsung meraih tubuh Damar dari dalam dekapanku.
"Ambilkan baju-bajunya, biar aku yang memakaikannya," ucap mertuaku sambil berjalan membawa Damar menjauh dari kamar mandi.
Aku menuruti saja perintah mertuaku karena aku sadar memang belum mampu mengurus Damar sendiri. Aku kembali sambil membawakan pakaian dan segala keperluan Damar lalu ku serahkan semuanya kepada mertuaku.
Aku berdiri di belakang mertuaku sambil memperhatikan bagaimana mertuaku mendandani anakku. Aku sudah pernah latihan menggunakan boneka, tetapi ketika aku mengahadapi anakku rasanya berbeda. Aku panik setiap mendengar dia menangis dan membuatku merasa aku telah menyakitinya.
"Ngurus anak sendiri saja tidak bisa! Jiwa keibuan itu muncul dengan sendirinya setelah seorang perempuan itu melahirkan. Tidak perlu diberitahu atau diajari, secara naluriah dia bisa mengurus anaknya! Hewan saja bisa masa kamu tidak bisa?!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments