NovelToon NovelToon

Pihak Ke Tiga

1. Operasi

Perlahan jari-jari kakiku sudah mulai bisa aku gerakkan. Kemudian di susul rasa sakit yang juga mulai terasa di perut bagian bawahku. Nyeri, panas dan perih sulit sekali untuk aku gambarkan. Awalnya tidak begitu terasa, tetapi semakin lama semakin perih dan rasa panasnya mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Aku tahu ini karena efek obat bius yang sudah hilang pengaruhnya di tubuhku.

Keringat mulai membasahi kening dan leherku. Tidak ada AC, hanya ada kipas angin tua yang tertempel di dinding rumah sakit ini. Sesekali aku meringis menahan sakit, tak jarang aku meremas selimut yang menutupi tubuhku untuk menyalurkan rasa sakitku. Seandainya ada Handi, suamiku pasti tangannya lah yang aku remas saat ini.

Perlahan pintu kamar terbuka. Dari tempat tidurku aku bisa melihat siapa yang datang. Dia adalah Ibu Dwi, mertuaku. Aku tersenyum melihatnya. Setidaknya ada seseorang yang menemaniku melewati rasa sakit ini.

Mertuaku berjalan mendekati tempat tidurku, tetapi aku merasa dia tidak menunjukkan wajah bahagianya kepadaku.

"Apa ibu sudah melihat anakku?" tanyaku. Mungkin jika membicarakan bayiku rasa sakit ini bisa berkurang, pikirku.

"Hmmm ... " jawab mertuaku pendek.

Aku baru saja selesai menjalani operasi Caesar. Operasi berjalan lancar dan sekarang aku sudah berada di ruang perawatan, sementara bayiku berada di ruangan terpisah khusus untuk bayi yang baru lahir. Aku sendiri baru melihatnya sekilas sebelum perawat membawanya untuk dibersihkan.

"Aku sudah tidak sabar ingin menggendongnya," ucapku lagi. Rasanya menggebu-gebu ingin segera menyentuh dan menimangnya, aku pikir itu wajar karena ini anak pertamaku.

Mertuaku diam saja. Dia tidak merespon ucapanku dan hanya menunjukkan wajah dinginnya. Melihat reaksi mertuaku seperti itu, aku tidak berani berkata-kata lagi. Aku berusaha menahan rasa sakitku dan dan tetap tersenyum kepadanya.

"Kenapa harus di Caesar sih? Apa lahiran secara normal saja tidak bisa?!" Sekalinya berbicara, kata-kata seperti ini yang keluar dari mulut mertuaku.

"Ini bukan keinginanku Bu ... Dokter yang memerintahkan untuk segera diambil tindakan operasi," terangku sambil terus menahan panas dan perih di perutku.

"Bilang saja kamu tidak mau merasakan sakitnya lahiran normal! Kalau dioperasi kan dibius, tidak sakit. Setelah itu juga tidak boleh mengangkat yang berat-berat. Dasar manja!" lanjut mertuaku dengan ketusnya.

Sekuat tenaga aku menahan rasa sakit setelah operasi masih harus menahan pedasnya kata-kata mertuaku. Aku tidak ingin membalas kata-kata mertuaku. Aku pejamkan mataku. Aku abaikan suara mertuaku yang terus melontarkan kata-kata pedasnya meski aku sudah menutup mataku. Lebih baik aku menikmati rasa sakit ini sambil membayangkan bayiku. Rasa sakit yang memberikan aku kebahagiaan karena rasa inilah yang membuatku menjadi seorang ibu.

Aku dengar suara pintu terbuka lalu sebuah suara menyapa mertuaku. Aku tetap memejamkan mataku tidak ingin melihat siapa yang datang karena jelas bukan suamiku.

"Ibu? Sama siapa kesini?" Ini suara Mas Harun. Kakak Handi yang nomor dua.

"Sendiri," jawab mertuaku singkat. Dari nada bicaranya sepertinya dia sedang menahan kesal.

"Ibu sudah melihat anaknya Emma?" suara Mbak Eka, istri Mas Harun.

"Sudah, tadi aku melihatnya sebentar."

"Mirip sekali sama Handi ya Bu, gemes ... rasanya ingin segera menggendongnya tetapi belum diijinkan." Aku bahagia mendengar Mbak Eka begitu antusias membicarakan bayiku.

Aku terus memejamkan mataku sambil mendengarkan percakapan mereka. Mungkin mereka berpikir aku sedang tidur.

"Heran sama perempuan jaman sekarang. Sedikit-sedikit operasi. Padahal kalau mau menahan sakit sebentar, pasti juga bayinya lahir." Mertuaku kembali membahas operasi.

"Memang harus dioperasi Bu. Tadi Dokter yang mengharuskan, bukan Emma yang minta. Kondisinya memang tidak mungkin untuk melahirkan secara normal," terang Mbak Eka. Dia yang mengantarkan aku ke rumah sakit dan juga menemani aku hingga aku mau dioperasi, jadi dia tahu semuanya.

Aku tidak tahu bagaimana raut wajah mertuaku mendengar penjelasan Mbak Eka yang terdengar seperti membelaku.

"Aku dulu melahirkan empat anak. Tidak ada satupun yang bermasalah sampai harus operasi. Kamu lahiran dua kali juga normal semua. Itu Rina, istrinya Hasan anaknya tiga juga melahirkan secara normal semua. Memang dasarnya dia ini manja, gayanya seperti anak orang kaya saja!"

Aku tahu mertuaku tidak pernah menyukaiku, tetapi tidak bisakah dia menahan satu hari saja untuk tidak menjelekkan aku? Tidak bisakah aku menikmati hari bahagiaku menjadi seorang ibu? Tidakkah kamu ikut bahagia atas kelahiran anakku, cucu laki-lakimu Bu?

"Ayo kita tunggu di luar saja. Emma sedang istirahat, kasihan nanti kalau dia terbangun karena kita berisik," ucap Mas Harun.

Setelah mendengar suara pintu tertutup barulah aku membuka mataku. Pandanganku menjadi buram karena air yang menggenang di pelupuk mataku. Kata-kata mertuaku lebih menyakitkan daripada luka operasiku. Aku tidak manja seperti yang mertuaku katakan. Aku sudah meminta dokter melakukan apa saja agar aku bisa melahirkan secara normal tetapi dokter tidak mau mengambil resiko. Aku bisa saja kehilangan bayiku jika tidak segera dioperasi.

Ingin sekali aku membela diri di depan mertuaku, tetapi rasa sakit ini sudah menguras tenagaku dan membuatku pasrah.

Tiba-tiba Mbak Eka kembali masuk ke dalam kamar. Aku tersentak dan segera ku hapus air mataku. Sepertinya dia hanya ingin mengambil tasnya yang ketinggalan tetapi malah melihat aku menangis.

"Emma, kamu sudah bangun?" Mbak Eka mendekatiku. Aku hanya mengangguk pelan.

"Sakit? Ditahan ya? Katanya kalau operasi memang seperti itu. Nanti pasti diberi obat untuk mengurangi rasa sakit." Mbak Eka berusaha menenangkan aku. Dia tahu aku menangis, tetapi dia tidak tahu kalau menangis bukan karena operasi ini melainkan karena kata-kata mertuaku, mertua kami.

"Mbak ... Apa Handi sudah diberi tahu?" tanyaku pelan.

"Sudah ... Aku sudah memberitahu dia kalau anak kalian sudah lahir dan ganteng seperti bapaknya. Kamu tenang saja, dia sudah dalam perjalanan. Tetapi mungkin nanti sore atau malam baru sampai sini."

Aku kembali mengangguk. "Terimakasih Mbak."

Lega rasanya mendengar suamiku akan segera datang. Suamiku adalah seorang sopir di sebuah perusahaan. Dia sering keluar kota karena harus mengantar atasannya, bahkan tidak jarang dia menginap beberapa hari di luar kota.

Waktu lama sekali berlalu. Mas Harun dan Mbak Eka sudah pulang. Sekarang di kamar ini hanya ada aku dan mertuaku yang terus memasang wajah masamnya kepadaku. Kami berdua sama-sama diam membisu.

Sejak dulu mertuaku tidak menyukaiku. Alasannya karena aku hanyalah seorang buruh pabrik berbeda dengan Mbak Eka yang anak orang kaya dengan pendidikan tinggi dan Mbak Rina, yang seorang pengusaha sukses.

Sebelum menikah denganku, mertuaku sempat ingin menjodohkan Handi dengan seorang perawat, anak orang kaya, tetapi Handi tidak mau. Handi tetap memilih aku, seorang buruh pabrik, miskin, berpendidikan rendah dan sudah tidak punya orang tua.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, memecah keheningan diantara aku dan mertuaku.

"Emma ... ?" Inilah Handi suamiku. Dia sudah sampai. Dia segera berlari memelukku. Setelah itu dia menatap mataku sambil mengelus-elus pipiku.

"Maafkan aku ya sayang ... aku tidak bisa mendampingimu," bisiknya dengan mata berkaca-kaca. Aku balas menatap matanya dan tanpa terasa air mataku pun meleleh. Lidahku kelu, aku tidak bisa berkata-kata. Hanya anggukan pelan yang menjawab jika aku tidak apa-apa.

2. Perempuan Manja

Handi kembali memelukku, tetapi kemudian aku meringis karena tangannya tidak sengaja mengenai perutku.

"Maaf ... " ucapnya sambil mengecup keningku. Untuk sesaat kami saling menatap dengan mata yang sama-sama basah karena bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Aku bahkan sampai lupa jika ada mertuaku di sini.

"Kalau tahu kamu akan melahirkan hari ini, aku pasti tidak akan pergi. Tetapi bukankah belum waktunya?" tanya Handi.

"Iya, maju dua minggu. Aku melahirkan secara Caesar," jawabku pelan.

"Tidak masalah, mau Caesar mau normal yang penting kamu dan bayi kita selamat." Sekali lagi Handi mengecup keningku.

"Aku ingin melihat anak kita dulu. Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal?"

Aku mengangguk.

"Bu, apa ibu tahu dimana kamar bayinya?"

"Sudah sadar kamu jika ada ibumu di sini?!" tanya mertuaku dengan ketus.

Memang begitu masuk ke dalam kamar, mata Handi hanya tertuju padaku. Dia juga belum sempat menyapa ibunya.

"Maaf Bu, aku tadi tergesa-gesa." Handi menghampiri ibunya lalu mencium tangannya. "Terimakasih ya Bu, sudah menemani Emma di sini."

Tanpa berkata apa-apa mertuaku berjalan keluar dari kamar. Lalu Handi pun berjalan mengikuti ibunya untuk melihat bayi kami di ruangan lain. Rasanya lebih tenang setelah suamiku ada di sini.

Setelah beberapa saat mertuaku dan suamiku kembali.

"Emm ... anak kita ganteng ganteng banget, wajahnya mirip sekali denganku," ucap Handi dengan bangganya. Dia terlihat sangat bahagia berbeda dengan mertuaku yang sejak tadi terus memasang wajah masamnya.

Belum sempat aku menjawab terdengar suara pintu di ketuk. Petugas rumah sakit datang mengantarkan makan malam.

"Sini aku suapi." Handi duduk di kursi di samping tempat tidurku. Dia tahu keadaanku. Aku belum boleh duduk jadi hanya bisa berbaring. Tidak mungkin aku bisa makan sendiri dengan posisi seperti ini.

"Handi, sebaiknya kamu istirahat dulu. Kamu kan habis perjalanan jauh, pasti kamu capek. Biarkan istrimu makan sendiri!" Mertuaku seperti tidak rela melihat Handi menyuapiku.

"Tidak apa-apa Bu, lagi pula Emma tidak bisa makan sendiri karena belum boleh duduk."

"Tuh ... Coba saja tadi lahiran normal, pasti sekarang sudah bisa melakukan apa-apa sendiri!" Mertuaku tidak bosan-bosannya membahas masalah operasi padahal Handi sama sekali tidak mempermasalahkan itu. "Memang pada dasarnya manja, minta di operasi agar apa-apa dilayani!"

"Aku tidak minta dioperasi Han, Dokter yang mengharuskan. Air ketubanku kering karena sudah merembes sejak tadi pagi. Nanti kamu bisa tanyakan sendiri ke dokter yang menangani." Aku menjelaskan situasiku kepada Handi.

"Tidak apa-apa Emm, yang penting kalian berdua sehat." Handi lanjut menyuapi aku. Sesekali tangannya menyibakkan anak rambut yang menutupi wajahku. Perlakuannya kepadaku menunjukkan betapa dia sangat menyayangiku.

Tepat setelah selesai makan perawat datang mengantarkan bayiku. Suara tangisnya membuatku ingin segera meraihnya ke dalam pangkuanku tetapi aku lupa aku belum bisa banyak bergerak.

Perawat itu memberikan bayiku kepadaku tetapi aku tidak bisa menerimanya. Posisiku sangat sulit, aku tidak bisa miring karena masih terasa sakit sementara aku juga tidak bisa duduk. Bayiku menangis semakin keras dan membuat aku semakin panik. Handi pun demikian, dia tidak tega melihat bayiku menangis dan ikut panik.

"Sus, gimana ini kok nangisnya semakin keras?" tanyaku hampir putus asa.

"Tenang ibu ... Nanti kalau ibu sudah tidak sakit pasti bisa. Ini hanya belum terbiasa saja." Perawat itu berusaha menenangkan aku dan bayiku setelah itu dia pun pergi.

Tangis bayiku tidak juga reda dan aku tidak bisa melakukan apa-apa. Handi berusaha menenangkannya tetapi juga tidak berhasil.

"Emm ... Bagaimana ini? Aku ingin menggendongnya tapi takut jatuh," ucap Handi yang terlihat panik karena bayiku masih belum berhenti menangis.

Akhirnya mertuaku mengambil bayiku lalu menimangnya. Tanpa berkata apa-apa dia mengambil sendok di atas meja lalu menyuapkan beberapa sendok air putih ke mulut bayiku.

"Han ... Apa yang ibu lakukan?" tanyaku tidak percaya.

"Bu, apa yang ibu lakukan? Bayi baru lahir tidak boleh diberi air putih?!"

"Bayi-bayi jaman dulu begitu lahir langsung diberi makan. Ini cuma diberi air putih saja kalian ribut?! Tuh kan? Anak kalian langsung diam," jawab mertuaku acuh.

Memang benar bayiku langsung berhenti menangis tetapi aku tetap tidak rela jika bayiku diberi selain ASI. Itu bayiku, aku yang berhak menentukan dia mau diberi apa.

"Han, berikan anakku!" Aku meminta Handi mengambil bayiku dari tangan ibunya. Lalu Handi pun menurutinya. Dia mengambil bayiku lalu meletakkannya di samping aku berbaring. Aku menangis menyesali apa yang telah mertuaku lakukan kepada bayiku.

"Tidak usah berlebihan, anakmu itu menangis karena haus. Kalau kamu belum bisa menyusui beri saja apa yang ada! Aku tidak mengerti dengan pemikiran perempuan jaman sekarang!Ini tidak boleh itu, tidak boleh!"

"Bagaimana mau jadi ibu jika menggendong bayinya saja tidak bisa?!" Mertuaku masih saja menyudutkan aku.

"Bukannya tidak bisa Bu, Emma belum bisa karena luka operasinya masih sakit."

"Siapa suruh operasi?!" ketus mertuaku.

"Sebaiknya aku antar ibu pulang. Nanti ibu kecapekan kalau harus menunggu Emma di rumah sakit. Ibu bisa istirahat di rumah, aku yang akan menemani Emma. Lagi pula kasihan Heni di rumah sendirian kalau ibu terus di sini." Handi berusaha mengusir ibunya secara halus.

"Iya, lama-lama di sini juga ibu tidak betah. Ibu tidak suka melihat perempuan manja! Perempuan melahirkan itu banyak sekali di dunia ini, tetapi yang manja hanya satu atau dua, salah satunya istrimu!" ucap mertuaku sebelum meninggalkan ruanganku di rawat.

Air mataku mengalir semakin deras mendengar perkataan mertuaku. Tega sekali dia berkata seperti itu langsung kepada suamiku tepat di depan mataku.

Setelah kepergian mertuaku aku melatih tubuhku agar badanku bisa miring seperti yang suster perintahkan. Rasanya sakit luar biasa tetapi aku terus berusaha agar aku bisa segera menyusui bayiku. Aku tidak ingin mertuaku memberinya air putih lagi atau lebih buruk memberinya makanan sebelum waktunya, aku tidak ingin itu terjadi.

Setelah beberapa kali berusaha akhirnya aku bisa menyusui bayiku. Rasanya haru melihat makhluk mungil ini keluar dari perutku. Air mataku terus menetes, seandainya saja ibuku masih ada tentu semua akan lebih mudah.

Tidak berselang lama Handi sudah kembali. Rupanya dia hanya mengantarkan ibunya sampai tempat parkir karena tadi mertuaku datang membawa kendaraan sendiri.

Handi mendekatiku. "Kamu sudah bisa menyusui?"

Aku hanya mengangguk karena aku juga menahan rasa sakit di perutku. Tiba-tiba tangan Handi meraih pipiku lalu mengusap air mataku.

"Maafkan ibu ya Em ... "

"Seharusnya dia minta ijin untuk memberi sesuatu kepada bayiku. Dia anakku dan hanya aku yang berhak atas anakku!"

"Iya ... Iya aku tahu. Maafkan ibu ya ... " Handi terus meminta maaf atas ibunya.

"Aku tidak manja Han, kamu tahu itu! Aku ingin sekali menggendong bayiku tetapi aku masih kesulitan. Kamu tahu bahagianya aku mempunyai seorang anak? Apa hanya karena aku belum bisa menggendong dan menyusui lantas aku bisa disebut bukan ibu yang baik?" ucapku dengan air mata yang kembali mengalir.

3. Biaya Rumah Sakit

Mertuaku datang pagi-pagi sekali ke rumah sakit. Kali ini dia tidak sendirian tetapi dengan Heni, anak perempuannya satu-satunya, adik dari Handi.

Aku sudah diijinkan pulang. Handi sedang mengurus administrasi. Mertuaku langsung menyusulnya begitu mengetahui Handi sedang mengurus administrasi rumah sakit. Sementara Heni menemaniku di kamar.

"Bagaimana rasanya Caesar?" tanya Heni tanpa sedikitpun menunjukkan rasa hormat kepadaku. Padahal aku ini kakak iparnya dan umurku juga lebih tua darinya tetapi sikapnya kepadaku dan Handi sangat berbeda dibandingkan dengan sikapnya kepada kakak-kakaknya yang lain. Mungkin karena usia kami tidak terpaut jauh atau mungkin karena aku dan Handi tidak bisa memberinya jatah bulanan seperti yang lainnya.

"Ya seperti itulah," jawabku malas.

"Kalau aku sih, kalau melahirkan nanti jelas mau melahirkan secara normal. Biar bisa merasakan jadi seorang wanita sempurna."

Batinku tertawa mendengar jawaban Heni.

Punya pacar saja tidak sudah membayangkan mau melahirkan?! Sebaiknya benahi dulu tingkah lakumu, mungkin setelah itu akan ada laki-laki yang berminat untuk melamarmu! Dan sempurna atau tidak seorang wanita bukan dilihat dari cara melahirkannya! batinku.

Seperti mertuaku yang tidak suka kepadaku, sejak awal aku juga tidak suka kepada Heni. Sikapnya cenderung sombong dan tidak menghormati orang yang lebih tua. Dia juga hanya mau mendekat jika ada uang. Aku bahkan sering kesal melihat dia membentak Handi hanya karena masalah sepele. Meski usia mereka tidak berbeda jauh Handi tetaplah kakaknya. Seharusnya Heni menunjukkan rasa hormat kepada kakaknya.

Aku duduk sambil memangku anakku. Aku sudah bisa melakukannya sekarang. Tiba-tiba mertuaku masuk dengan wajahnya yang terlihat kesal.

"Tuh kan?! Biaya rumah sakitnya mahal! Ibu sudah menduga sejak awal! Coba kamu lahiran normal pasti tidak sampai sepuluh juta!" bentak mertuaku kepadaku sambil melemparkan nota rumah sakit kepadaku.

Aku mengambil kertas itu. Tertulis enam belas juta sekian. Pantas saja mertuaku terlihat kesal, ternyata biaya rumah sakitku mencapai enam belas juta.

Aku sendiri heran, untuk apa mertuaku ikut mengurus administrasi padahal dia tidak ikut mengeluarkan biaya sepeserpun. Semua ini dibayar menggunakan uang tabungan Handi, lalu kenapa mertuaku marah-marah kepadaku seolah uangnya lah yang terkuras habis untuk membiayai operasiku.

"Seharusnya uang itu bisa digunakan untuk kebutuhan lainnya. Bukan hanya membayar biaya operasimu! Apa kamu tidak kasihan sama Handi?! Itu Eka yang anaknya orang kaya saja mau lahiran normal, kamu yang bukan apa-apa malah minta di operasi!" Mertuaku kembali membandingkan aku dengan menantunya yang lain.

Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskan kepada mertuaku ini. Aku tidak minta dioperasi, sekali lagi ini bukan keinginanku!

"Kalau artis-artis itu memilih melahirkan secara Caesar itu sih wajar karena mereka kaya, dan juga artis!"

Kenapa sampai bawa-bawa artis? Aku bahkan tidak tahu siapa artis yang melahirkan secara Caesar. Aku tidak sempat melihat berita tentang artis karena waktuku habis untuk bekerja di pabrik.

Aku juga sadar aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, tetapi itu tidak ada hubungan dengan operasiku. Memang pada dasarnya mertuaku tidak pernah menyukaiku, jadi apapun tentang aku terlihat salah di mata mertuaku.

"Handi kan cuma sopir Emma, uang segitu pasti tidak lama mengumpulkannya." Heni berusaha menengahi tetapi jatuhnya malah semakin menyudutkan aku.

"Aku juga punya tabungan Heni, kamu tahu sendiri aku selalu bekerja lembur dan tidak pernah menggunakan uangku untuk hal yang tidak penting. Kalaupun uang Handi tidak boleh digunakan untuk membayar biaya rumah sakit, aku akan menggantinya dengan uang tabunganku," jawabku kepada Heni tetapi sebenarnya kata-kataku aku tujukan kepada mertuaku.

Aku bukan orang yang penakut. Selama ini aku diam karena aku malas ribut, apa lagi dengan mertuaku sendiri. Aku juga menjaga perasaan Handi karena aku tidak mau dianggap berani melawan ibunya. Jadi kalau aku masih diam mendengar kata-kata pedas mertuaku, itu semata-mata karena aku menghormati Handi sebagai suamiku.

Selama bekerja di pabrik aku selalu lembur, bahkan kondisiku hamil tua pun aku tetap lembur. Selama pabrik mengijinkan aku akan tetap bekerja. Hampir setiap hari aku berangkat pukul enam pagi dan pulang jam sembilan atau sepuluh malam.

Aku sadar siapa diriku karena itu aku bekerja dengan giat, demikian juga Handi.

Handi memang tidak seberuntung kakak-kakaknya yang lain. Mas Hasan, kakaknya yang pertama menikah dengan Mbak Rina, pengusaha sukses dan kaya raya. Sementara Mas Harun, kakaknya yang nomor dua menikah dengan Mbak Eka, anak orang kaya. Mas Harun diberi modal untuk membangun bisnis. Sekarang bisnisnya lancar dan menghasilkan banyak uang.

Sementara Handi, dia hanya menikah dengan buruh pabrik seperti aku. Mertuaku sangat kecewa ketika mengetahui aku hanya seorang buruh pabrik dan tidak punya orang tua. Hilang sudah harapannya memiliki satu lagi menantu kaya.

Tiba-tiba Handi masuk sambil mendorong kursi roda.

"Emm ... Kita pulang sekarang. Aku sudah meminjam mobil Mas Hasan." Ucap Handi sambil menyiapkan barang-barang yang mau dibawa pulang.

"Coba kamu menikah dengan perawat yang dulu ibu jodohkan denganmu. Pasti orang tuanya sudah membelikan kamu mobil sekarang, kamu tidak usah repot-repot cari pinjaman mobil." Mertuaku tidak ada bosan-bosannya menjatuhkan aku di depan Handi.

"Tidak repot bu, pinjam mobilnya juga cuma sama Mas Hasan, dia juga tidak apa-apa mobilnya aku pinjam. Mobilnya tidak cuma satu, mobil yang ini aku bawa masih ada mobil yang lain di rumahnya."

"Heni, tolong bawakan barang-barang Emma ya? atau kamu mau mendorongkan kursi rodanya?"

Heni memutar bola matanya malas mendengar permintaan Handi. Dia memilih untuk membawakan barang-barangku daripada mendorong kursi rodaku.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu lama akhirnya kami tiba di rumah, rumah mertuaku tepatnya. Aku tinggal bersama mertuaku setelah menikah dengan Handi. Sebenarnya kami sudah punya rencana untuk mengajukan KPR, tetapi Handi tidak tega jika harus meninggalkan aku sendirian di rumah saat dia keluar kota, apalagi kondisiku sedang hamil.

Sampai di rumah aku segera menuju kamarku. Aku tidak sabar membaringkan tubuhku di ranjangku sendiri. Sementara Handi mengurus pakaian kotorku dan mencucinya.

“Handi, apa kamu masih punya uang? Kamu masih butuh biaya untuk syukuran kelahiran anak kamu!” teriak mertuaku yang terdengar sampai ke dalam kamarku. Aku jadi tidak bisa memejamkan mataku karena mendengar suaranya yang terus ribut.

Uang terus yang dia pikirkan. Apa tidak sedikitpun dia melihat kebahagiaan kami tanpa membahas uang sebentar saja?

“Ibu tidak mau nanti tetangga-tetangga kita membicarakan kita karena kamu tidak mengadakan pesta syukuran yang layak atas kelahiran anak kamu!”

Tiba-tiba mertuaku masuk ke dalam kamar dalam kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

“Heh?!!” Mertuaku melotot kepadaku. “Kamu enak-enakan tidur sementara Handi kamu suruh mencuci baju?! Bangun perempuan manja! Kamu sekarang di rumah, bukan di rumah sakit! Handi harus menghemat tenaganya karena besok dia sudah mulai bekerja!!! Ingat, kamu sudah menghabiskan uangnya, jadi tahu dirilah selama tinggal di sini!!!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!