Kata-kata mertuaku terdengar seperti tamparan bagiku. Sebegitu tidak sukanya dia kepadaku sampai tega membandingkan aku dengan hewan. Sakit sekali perasaanku tetapi aku masih bisa menahannya.
"Lebih baik kamu bereskan rumah, biar aku yang menjaga Damar!" ucap mertuaku seraya masuk ke dalam kamarnya.
Sebenarnya aku tidak rela, aku ingin bersama anakku tetapi aku mengalah dan membiarkan mertuaku membawanya.
Setelah menyelesaikan pekerjaanku aku mengambil Damar dari mertuaku.
"Nanti malam teman-temanku akan datang untuk melihat Damar. Sekarang kamu belanja makanan untuk persiapan nanti. Jangan sampai mereka datang dan kita tidak menyediakan apa-apa!"
"Baik bu, tapi aku ingin menyusui Damar dulu sebelum pergi."
"Kamu pompa saja, nanti aku berikan pada Damar kalau dia menangis."
Aku urung menyusui Damar. Aku segera ke kamarku untuk memompa ASI yang akan aku tinggalkan untuk Damar sementara aku belanja bahan-bahan makanan untuk nanti malam.
Selesai belanja aku langsung memasak hingga selesai menjelang malam. Semuanya aku kerjakan sendirian karena Heni tidak kelihatan batang hidungnya.
*
Malam harinya...
Teman-teman ibu mertuaku sudah datang. Aku ikut menyambut kedatangan mereka. Beberapa diantaranya ada yang membawakan kado untuk Damar dan beberapa lagi ada yang memberikan amplop.
Mereka memberiku selamat dan bersikap ramah kepadaku. Setelah itu mertuaku kembali mengambil alih Damar dari tanganku dan bertingkah seolah dia adalah nenek terbaik di dunia di depan teman-temannya.
Aku pun tahu diri. Aku segera membuatkan minuman dan menghidangkan makanan yang tadi sudah aku siapkan. Setelah selesai barulah mertuaku memberikan Damar kepadaku.
"Sana bawa Damar ke kamar, biar dia istirahat," ucap mertuaku datar. Aku pun segera meraih Damar dari mertuaku lalu membawanya masuk ke kamar.
"Istrinya Handi penurut banget ya Bu Dwi? Beda sama istrinya Hasan dan Harun," ujar salah seorang teman mertuaku tepat setelah aku menutup pintu kamar.
"Tapi kalau di suruh milih, saya lebih memilih menantu seperti istrinya Hasan atau istrinya Harun. Meskipun saya tidak berani menyuruh-nyuruh mereka untuk melakukan ini itu, setidaknya mereka rutin memberi saya jatah bulanan," balas mertuaku.
Rumah mertuaku tidaklah luas sehingga apapun bisa terdengar di rumah ini meskipun berbeda ruangan. Apalagi mertuaku lantang sekali bicara seolah sengaja agar aku mendengarnya.
"Bu Dwi benar juga. Sekarang apa sih yang tidak perlu uang? Semuanya pakai uang."
"Hasan dan Harun itu beruntung menikah dengan orang kaya. Mereka sekarang jadi pengusaha sukses, hidupnya enak, punya segalanya. Tiap bulan masing-masing dari mereka memberi jatah buat saya juga buat Heni."
"Memangnya Handi tidak memberi jatah Bu Dwi?"
"Alah ... Bu Ida ini masa seperti itu harus ditanyakan? Gaji seorang sopir berapa sih? Terus gaji istrinya bekerja di pabrik juga berapa? Buat hidup sendiri saja pas-pasan, apa yang mau diberikan ke saya?"
Aku memang tidak bisa memberi uang kepada mertuaku, tetapi setiap bulan aku dan Handi lah yang belanja kebutuhan pokok, membayar tagihan listrik dan juga tagihan air.
"Memangnya Handi sekarang bekerja apa? Apa masih menjadi sopir?"
"Iya, Handi masih bekerja sebagai sopir. Anak ini memang dari dulu pembangkang. Coba dia mau saya jodohkan dengan perempuan yang sudah saya pilihkan. Pasti sekarang hidupnya enak seperti kakak-kakaknya yang lain. Tetapi dia ngeyel, tetap menikahi perempuan yang sekarang menjadi istrinya itu. Lihat sendiri kan sekarang dia hidup susah?"
"Hati-hati loh Bu Dwi, dengar-dengar sopir itu kalau tidak pulang ke rumah biasanya punya wanita lain di luar. Bahkan sering juga jajan," ucap salah seorang dari mereka yang membuat aku merinding mendengarnya.
Aku pun mulai membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika yang orang-orang ini bicarakan ternyata benar? Bagaimana jika ketika Handi pamit untuk menginap di luar kota itu sebenarnya dia sedang menghabiskan malam bersama wanita lain bukan sedang mengantar atasannya? Apalagi kondisiku sekarang sedang nifas dan tidak bisa berhubungan badan.
Lalu aku tersadar dan aku buang jauh-jauh pikiran itu. Kenapa juga aku harus terpengaruh dengan omongan ibu-ibu ini. Handi tidak mungkin melakukan itu karena dia sangat mencintai aku.
"Saya justru senang kalau Handi punya wanita lain. Mungkin dengan begitu dia akan pisah sama istrinya lalu menikah dengan perempuan lain."
Hatiku bergemuruh mendengar jawaban mertuaku. Apakah dia menginginkan aku bercerai dari Handi? Apakah dia tidak malu berbicara seperti itu di depan teman-temannya? Apakah pantas seorang ibu bahagia jika anaknya berpisah dari istrinya hanya karena istrinya miskin?
"Kalau saya sih yang penting anaknya bahagia. Kalau memang sudah pilihannya sendiri mau apa lagi?"
"Bagaimana bisa bahagia Bu kalau hidupnya kekurangan? Apalagi sekarang mereka punya anak, kebutuhannya meningkat. Istrinya Handi juga sudah tidak bekerja. Memang dari dulu Handi ini sulit diatur anaknya."
Aku tidak kuat lagi mendengar percakapan mertuaku dan teman-temannya. Handi juga anaknya, sama seperti Mas Hasan dan Mas Harun, tetapi kenapa mertuaku menjelekkan-jelekkan Handi di depan teman-temannya seolah dia hanya anak pungut?
Aku bersenandung lirih sambil menyusui Damar agar suara orang-orang itu tidak terdengar sampai ke telingaku lagi. Lebih baik aku fokus kepada anakku karena seharian tadi aku tidak bisa menyentuhnya. Setelah beberapa saat Damar pun terlelap.
Tak berselang lama, mertuaku mengetuk pintu kamarku. Sepertinya teman-temannya sudah pergi.
"Itu, bereskan ruang tamu!"
"Ya Bu." Tanpa membantah aku langsung berjalan menuju ruang tamu.
"Tunggu sebentar!"
"Ada apa Bu?"
"Mana tadi amplop yang teman-temanku berikan?" Aku melongo tidak mengerti maksud pertanyaan mertuaku.
"Tadi temanku ada yang memberikan amplop kan? Mana?! Serahkan padaku! Mereka teman-temanku jadi amplop itu untukku!" Mataku membulat tidak percaya mendengar perkataan mertuaku. Bahkan amplop yang sudah jelas diberikan kepadaku bisa dia minta lagi tanpa merasa malu.
Aku pun mengambil beberapa amplop yang mertuaku maksud lalu menyerahkannya.
"Ini saja?!"
Aku mengangguk. "Hanya itu. Yang lainnya memberikan kado," jawabku.
"Ya sudah, sana bereskan ruang tamu!" ucap mertuaku dengan wajah kecewa.
Aku pun bergegas membersihkan ruang tamu dari piring dan gelas bekas tamu-tamu mertuaku. Pada saat yang bersamaan Heni pulang entah darimana.
"Wah, ada acara apa ini?"
"Ini tadi teman-teman ibu pada datang," jawab mertuaku sambil sibuk membuka amplop dari teman-temannya dan menghitung isinya.
"Kado-kado ini yang bawa juga teman-teman ibu?"
"Iya, mereka bawa ini untuk anaknya Handi."
"Disimpan saja Bu, ini bisa buat anakku nanti."
Apa?!! Aku pikir ibu dan anak ini sama-sama tidak bisa menghargai orang lain. Bisa-bisanya kado yang jelas-jelas untuk anakku ingin dia simpan untuk anak Heni nanti sedangkan dia menikah saja belum.
"Kamu benar juga. Ya sudah sana kamu simpan sendiri."
Dan tanpa berkata apapun kepadaku, Heni langsung membawa kado-kado itu pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments