Teteh Kesayangan Aa Dokter
“Belum pernah saya liat orang sakit kayak kamu. Kamu sakit apa gila?”
Gistara masih bisa mendengar suara ayahnya ketika pelan-pelan kesadaran itu terkumpul. Ia membuka mata, menemukan sebuah pemandangan aneh dari langit-langit kamar asing yang cerah.
Hanya sesaat kemudian ia menutup mulut, ingin memuntahkan sesuatu meski kemudian berakhir tersedak akibat perutnya yang kosong.
“Minum dulu.”
Suara itu mengejutkan, dan sosok pria muda tampan tambah mengejutkan, tapi Gista diserang oleh perasaan tak waras. Jantungnya berdebar-debar.
Bau AC ruangan yang serasa ikan busuk di tong sampah, bercampur dengan bau parfum pria ini yang ia yakin wangi tapi tercium seperti bangkai baginya membuat Gista kembali muntah.
Lagi-lagi ia menangis. Ingin gila rasanya terhadap semua ini.
Kenapa? Kenapa hanya dirinya yang mengalami ini? Apa sungguhan ia gila? Seperti kata Ayah?
“Teh.”
Gista mengulurkan tangan untuk menyuruh dia mundur. Jika tidak, maka ia akan terus diserang gejala penyakit aneh ini.
Lama Gista tersiksa oleh dorongan mual. Rasa busuk di sekitarnya menyiksa. Segala hal terasa seperti ikan busuk dan daging mentah. Mulutnya juga terasa aneh.
Menyiksa.
“Hiks.”
“Teh.” Suara itu terdengar lagi, tapi kali ini ditambah uluran kain tebal.
Gista langsung meraihnya. Menutup mulut rapat-rapat, dan jelas menutup penciumannya dari segala hal.
Jemarinya gemetar. Buram melihat lelaki itu karena matanya basah. Tapi Gista tahu diri bahwa ia sudah ditolong, jadi sambil berusaha menahan diri, ia mengusap-usap kasar matanya.
“Jangan digosok-gosok matanya, Teh, nanti lecet," kata dia sopan.
Pemuda itu duduk agak jauh, seolah paham Gista tidak bisa jika dia mendekat.
“Udah baikan?” tanya dia lagi.
Gista masih mau menangis. “Kamu siapa?”
Baru Gista bisa melihat dia tersenyum ramah. “Nama saya banyak. Orang sini manggilnya Gasen, kadang-kadang juga Pak Dokter, Kang Dokter, Aa Dokter, tapi nama saya Endra.”
Hah?
“Nama Teteh siapa?” tanya pemuda asing itu, alih-alih menjelaskan perkataannya barusan.
“Gista.” Suara Gista gemetar waktu menjawab.
Dia agak cengengesan. “Udah tau sih, soalnya saya baca buku resepnya.”
Pemuda itu menunjuk kantong obat Gista.
“Habis dari dokter saraf, Teh?” tanya dia sekali lagi, dengan nada yang sangat ramah dan lembut.
Gista mengangguk. Mulai bisa teralihkan dari rasa frustrasinya meski ia harus terus menutup mulut.
Harus, sekali lagi, karena semua hal di sekitarnya akan terasa bau.
“Sakit apa Teh, kalau boleh tau?”
Lalu kembali Gista mau menangis.
Sakit apa, katanya? Justu Gista yang mau tanya, harus bertanya ke mana untuk tahu jawabannya?
Gista sudah bertemu tiga dokter saraf, menghamburkan banyak uang hanya untuk pemeriksaan dan semuanya cuma soal diagnosa tanpa kepastian. Yang ia lihat cuma wajah heran dokter karena tak pernah mendengar sakitnya.
Ia mencari di google, mencari di buku medis, tapi tidak ada nama. Ia sakit jiwa, kata Ayah.
Waktu Gista menangis terisak-isak, pemuda yang mengaku bernama Endra itu menggaruk tengkuknya canggung. Dia melirik kantong obat Gista, sebenarnya bukan tidak tahu bahwa pasti ada masalah.
“Saya liat di sana ada gangguan saraf. Kebetulan saya tau sedikit soal medis. Kalau Teteh mau, boleh saya denger keluhannya?”
Gista sudah terlalu lelah menyebutkannya, jadi ia cuma menyingkat. “Semuanya bau.”
Dua kata itu sudah cukup membuatnya mau menangis.
“Saya enggak bisa makan. Semuanya kayak daging mentah.”
“.... Ngerasain keluhan udah berapa lama? Pernah ada benturan atau—“
“Enggak ada.” Gista menjawabnya terlalu cepat, karena selalu itu yang ditanyakan dan jawabannya tak akan pernah berubah.
Ia sudah menjawab ini sebelumnya ke tiga dokter spesialis yang berbeda. “Enggak ada benturan. Enggak ada sakit. Saya gila. Saya gila makanya begini.”
Gista mengusap matanya yang tak bisa berhenti menangis. Itu sakit, demi Tuhan. Hatinya sakit, bukan kepalanya atau apa pun itu.
Ia cuma terluka karena menderita penyakit aneh yang dokter saja heran, lalu Ayah yang muak pun berkata ia gila.
Memang ada begitu penyakit seperti ini? Sabun bau daging busuk, odol rasa daging mentah, nasi rasa bangkai, segalanya tidak bisa makan sampai ia cuma bisa menelan satu roti dalam sehari, yang satu itu dibagi tiga.
Apa kalau bukan gila?
“Psikosomatis bukan gila, Teh.” Pemuda itu tersenyum teduh.
Tapi Gista sudah terlalu putus asa untuk menganggapnya hiburan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Nani Sumarni
baru di mulai
2023-04-01
0